Pangeran Kantata pun menyerahkan pedang itu kepada Ganjendra. Kini pedang itu sudah berada di tangannya. Namun Gajendra heran, tidak ada suara petir itu. Tidak ada angin puting beliung yang datang. Tidak ada cahaya merah yang keluar dari pedang itu. Dia pun menatap Pangeran Kantata dengan amarah.
“Kau sudah meniduri Ratu Peri penjaga Mata Air Abadi?” selidiknya.
Pangeran Kantata terdiam. Karena dia tidak mengingat apapun. Yang dia ingat hanyalah disaat terbangun dalam tubuh bugil dan pedang itu sudah berada di tangannya.
“Aku tidak mengerti pertanyaanmu. Aku tidak ingat apa-apa saat menuju ke sana. Yang aku ingat adalah aku tiba-tiba terbangun di dekat mata air dan pedang ini sudah berada di tanganku,” jawab Pangeran Kantata dengan bingung.
“Dia telah membacakan ajian agar kau lupa akan kejadian itu!” geram Gajendra sambil meremas kerah Pangeran Kantata. “Pedang yang kau berikan itu tidak ada artinya bagiku jika c
Bimantara, Kancil dan Dahayu kini terbaring di atas jerami. Gua itu memiliki ruangan untuk mereka istrirahat. Nyai Sengkuni menatap semuanya dengan heran. Tak lama kemudian satu persatu satu dari mereka terbangun lalu muntah. Angin malam telah merasuki tubuh mereka masing-masing. Kelaparan telah membuat merka tampak lemas.Dahayu bangkit. Nyai Sengkuni buru-buru membantunya bersandar di bebatuan. Tak lama kemudian Bimantara dan Kancil pun bangkit dan menyandar di bebatuan.“Maafkan atas kecerobohan ayahku dan murid-muridku,” ucap Nyai Sengkuni.Semua mengangguk, tampak lemas untuk bicara.Nyai Sengkuni kembali bicara. “Perguruan tengkorak akhir-akhir ini telah memasuki perkampungan. Saya dan semua murid-murid saya sengaja memasang jerat untuk menangkap mereka. Kamu sudah berhasil menangkap puluhan dari mereka dan kami lemparkan ke sungai penuh buaya!” ucap Nyai Sengkuni penuh kesal. “Mereka pantas untuk menerima itu kar
Hutan di hadapan mulut gua itu tampak rimbun. Tanah berbukit yang memiliki lembah-lembah berawa. Bimantara berdiri di hadapan Kancil Dan Dahayu dengan tongkat barunya. Nyi Sengkuni dan para pendekarnya pun berada di sana untuk melepas kepergian mereka. Dua kuda mereka pun sudah siap mengantarkan mereka.“Aku harap kalian kembali ke Perguruan Matahari,” pinta Bimantara pada Kancil dan Dahayu. “Kita memiliki tujuan hidup masing-masing. Aku tahu kalian begitu menyayangiku. Sekarang biarkan aku berangkat sendiri menuju lembah Gunung Menara untuk menyelesaikan tugas terakhir dari mendiang Tuan Guruku. Tunggulah aku di sana. Aku akan kembali ke sana secepatnya.”Kancil dan Dahayu terdiam bingung. Akhirnya Nyi Sengkuni angkat bicara. “Bimantara benar, kalian berdua harus menyelesaikan berlati ilmu bela diri di Perguruan Matahari sampai kalian lulus dan dilepas kembali ke tanah Nusantara ini.”Kancil dan Dahayu akhirnya mengangguk. Da
“Tunggu...” terdengar suara Pangeran Kantata yang barus sadar memanggil para prajurit itu.Para prajurit itu pun berhenti menarik Dhaksayini. Raja Dwilaga pun mendekat padanya dengan geram.“Benarkah kau diam-diam sudah menikahi seorang gadis desa?!” tanya tegas Raja Dwilaga.Pangeran Kantata hendak bangkit. Pelayannya langsung membantu Pangeran Kantata duduk.“Ampun Yang Mulia, jangan kurung dia dariku. Biarkan dia menjagaku di sini,” pinta Pangeran Kantata.“Jawab pertanyaanku!!!” tegas Raja Dwilaga.“I... iya, Yang Mulia,” jawab Raja Dwilaga.Raja Dwilaga semakin geram melihatnya. “Setelah kau sembuh, kau harus menikah dengannya secara kerajaan. Aku tidak mau orang-orang istana membicarakanmu. Apalagi jika ini sampai terdengar keluar istana.”“Baik, Yang Mulia,” jawab Pangeran Kantata. Dia sendiri pun tak mengerti siapa perempuan itu. Namun d
“Siapa ayahmu dan siapa pendekar itu?” tanya Bimantara.“Ayahku kepala wilayah di ujung kawasan Kerajaan Nusantara ini dan pendekar itu bernama Sangkala, kami memanggilnya dengan panggilan pendekar harimau.”Bimantara terkejut mendengarnya. “Sangkala?!” ya, nama pendekar itu sama dengan nama kakeknya. Tiba-tiba dia berpikir, apakah mungkin yang dimasudnya adalah kakeknya sendiri.“Bisakah kau menjadikan aku sebagai muridmu?” tanya gadis itu penuh harap.“Aku masih menjadi seorang murid di Perguruan Matahari. Aku belum layak untuk menjadi gurumu!” tegas Bimantara.“Tolong ajarkan aku! Aku adalah satu-satunya putri yang dimiliki oleh ayahku. Aku tidak ingin menjadi perempuan tak berguna dan diremehkan kaum lelaki jika kelak ayahku tiada. Saat ini kerajaan Nusantara tengah panik karena Perguruan Tengkorak sudah keluar dari persembunyiannya. Aku harus menjaga ayahku dan menjaga wilayah p
Bimantara meraih tongkatnya lalu berdiri. “Aku harus melanjutkan perjalananku, Kek.”Kakek Sangkala mengangguk. Dia pun berdiri sambil menepuk bahu Bimantara dengan lembut. “Capai semua yang kau inginkan cucuku. Saat ini hanya dirimu yang kupunya. Kakek akan menunggumu di sini sampai kau lulus menjadi pendekar terbaik di Perguruan Matahari,” ucap Kakek Sangkala.Bimantara mengangguk lalu memeluk tubuh tua Kakeknya dengan erat. Setelah itu dia keluar dari rumah itu dan pergi menuju kudanya.Sesampainya Bimantara di tempat kuda putihnya. Dia terkejut saat melihat gadis itu masih berada di sana.“Kau akan kembali melanjutkan perjalananmu?” tanya gadis itu.“Iya, aku akan pergi,” jawab Bimantara.“Apakah kau akan berkunjung kembali ke sini?” tanyanya.“Jika umurku panjang aku pasti akan kembali ke sini, karena tujuanku pulang berada di sini,” jawab Bimantara.&
Kepala Perguruan menatapnya dengan lekat dan kembali bertuah padanya. “Kalau kunci terus rasa percayamu pada orang lain, kau akan kehilangan pembuktian orang-orang baik dan suci. Selamanya kau menganggap orang lain sebagai musuh!”“Ampun Tuan Guru Besar, terima kasih sudah menasehati hamba. Ini sangat berat jika hamba harus mendampingi Tuan Besar dan kelak akan menggantikanmu memimpin perguruan ini,” ucap Pendekar Pedang Emas dengan bingung.“Tidak ada yang berat jika kau percaya bisa melakukannya,” nasehat Kepala Perguruan padanya.“Kalau begitu, berilah hamba waktu untuk berpikir dahulu,” ucapnya.Kepala Perguruan tersenyum padanya. “Baiklah,” sahutnya.“Apakah hamba boleh kembali ke murid-murid hamba?” tanya Pendekar Pedang Emas.“Tunggu sebentar. Aku ingin bertanya mengenai Bimantara, Kancil dan Dahayu? Apakah kau sudah mendapatkan kabar tentang mereka?”
“Aku berbohong kalau aku telah mencintaimu,” jujur Dahayu sekali lagi.“Jadi selama ini kau tidak mencintaiku?”Dahayu mengangguk.Pangeran Sakai memegang kedua bahunya. “Aku tidak percaya itu, Dahayu. Aku tahu saat ini kau berbohong padaku. Siapa yang membuatmu begini? Siapa yang telah meracuni pikiranmu Dahayu? Apakah Kancil? Atau orang jahat yang kau temui dalam pelarianmu?” tanya Pangeran Sakai heran.“Tidak ada satupun yang mempengaruhiku untuk mengatakan hal jujur ini padamu. Ini dari hatiku sendiri,” jawab Dahayu.“Jika benar begitu, kenapa kau membohongiku?” tanya Pangeran Sakai tak percaya.“Aku hanya ingin memanfaatkanmu saja. Waktu itu aku memiliki dendam akan kematian mendiang ibuku yang telah dibunuh oleh penduduk istana. Aku kira dengan menerima cintamu, aku akan dibawa ke istana dan di sana aku bisa membalaskan dendam ibuku. Namun ternyata dendam adalah penghala
Bimantara turun dari kudanya karena kuda tidak mau dipacukan lagi. Bimantara memeriksa mayat-mayat yang ada di sekitarnya. Dia sama sekali tak bisa lagi mengenali wujudnya karena wajah mayat itu sudah rusak dipenuhi belatung. Bau mayat kian menyengat terhirup ke hidungnya. Bimantara ingin muntah namun dia mencoba menahannya untuk menghormati jasad para pendekar entah berasal dari mana yang meninggal dibunuh secara kejam di sekitarnya.“Siapa yang membunuh mereka, Kuda Putih?” tanya Bimantara heran.Tak berapa lama kemudian meluncur sebuah tombak ke arahnya dari arah belakang punggungnya. Untunglah Bimantara mampu mendengarnya hingga dia menunduk lalu menggerakkan kaki cahaya naganya hingga tombak itu mampu terpelanting jauh. Bimantara berdiri dengan berjaga penuh khawatir tombak-tombak lain akan berdatangan.“Siapa itu?! Keluar lah dari persembunyianmu!!!” tegas Bimantara.Tak berapa lama kumudian tombak-tombak lain berdatangan dar