Kancil dan Dahayu pun turun. Mereka mengikat kuda hitam itu di pohon depan gubuk tua. Kancil dan Dahayu pun duduk di bale depan gubuk itu. Kancil mengeluarkan tempat air minum lalu memberikannya pada Dahayu. Dahayu meminumnya, menyembuhkan dahaganya.
“Kemana kita harus mencari Bimantara?” tanya Dahayu kemudian.
Kancil tampak bingung. “Kita harus mencarinya kemana pun sampai kita menemukannya,” jawab Kancil.
Dahayu tampak terdiam.
“Jika kau tidak ingin lelah, sebaiknya kau kembali saja ke Perguruan Matahari,” pinta Kancil.
“Aku tak akan kembali ke Perguruan Matahari sampai aku menemukan Bimantara,” ucap Dahayu.
Tak lama kemudian terdengar suara kuda mendekat ke arah mereka. Kancil dan Dahayu berdiri sambil melihat-lihat ke arah sumber suara. Kancil dan Dahayu terbelalak ketika mendapati Bimantara tengah menunggangi kudanya sambil memegangi tongkatnya.
Kancil dan Dahayu berlari ke arah Bim
Upacara pemakaman Ki Walang sudah dilakukan. Hujan turun deras membasahi Perguruan Matahari. Adji Darma berdiri terpaku di hadapan gundukan tanah itu. Hujan membasahi tubuhnya. Dia hanya sendiri di sana. Semua sudah kembali ke dalam sana.“Aku akui aku terlalu ceroboh dalam hal ini,” ucap Adji Darma merasa bersalah. “Harusnya aku berpikir bahwa semua ini pasti ada dalang di baliknya. Untuk menghancurkan perguruan kita dengan memfitnahmu, Ki Walang.”Adji Darma melepas topengnya. Dia mencabut pedangnya lalu bersiap menghunuskannya ke dadanyanya sendiri. Pendekar Tangan Besi datang berlari ke arahnya.“Tuan Guru Besar!!!” teriak Pendekar Tangan Besi padanya.Adji Darma menoleh padanya. Pendekar Tangan Besi tampak shock ketika untuk pertama kalinya dia melihat wajah Adji Darma.“Pergilah!” pinta Adji Darma dengan tegas.“Apa yang Tuan Guru Besar lakukan?! Tuan Guru Besar ingin bunuh diri?! I
Acara pengukuhan pangkat Panglima Sada telah berlangsung dengan khidmat. Ki Panglima baru itu sedang duduk bersimpuh di hadapan Raja Dwilaga yang duduk di singgasananya. Pangeran Sakai dan Pangeran Kantata duduk di tempatnya. Para pejabat istana berdiri mengelilinginya.“Mulai hari ini, urusan pertahanan Kerajaan Nusantara Timur aku serahkan padamu wahai Panglima Sada,” perintah Raja Dwilaga.“Siap, Mulia! Hamba akan menjalankan tugas sebaik-baiknya,” ucap Panglima Sada penuh hormat.Pangeran Kantata tampak tak suka melihatnya. Sementara Pangeran Sakai tampak senang, kini Kerajaan Nusantara Timur telah memiliki Panglima perang yang bisa dipercaya, tidak seperti Panglima Cakara yang semua kejahatannya barus diketahuinya.Setelah acara itu selesai. Pangeran Sakai datang mengunjungi kediaman baru Panglima Sada. Istrinya segera pergi dari sana saat mendapati Pangeran datang ke sana.“Ampun , Pangeran. Ada apa gerangan hing
“Hari ini Kakang akan pergi ke Perguruan Matahari mengantarkan Pangeran Sakai,” ucap Panglima Sada pada Sukma istrinya yang sedang membantunya memakaikan pakaian kebesaran kerajaan. Kamar mereka kini tampak luas. Sukma juga sudah memakai pakaian-pakaian pantas.“Benarkah? Berarti nanti kau akan menemui Dahayu?” tanya Sukma dengan haru.“Iya, Kakang akan menemui Dahayu. Aku sudah rindu dengan anak gadisku,” jawabnya.“Sampaikan salamku padanya, Kakang. Aku juga merindukannya. Setiap malam aku memikirkannya,” pinta Sukma.“Tentu, aku akan menyampaikan salam rindumu padanya,” sahut Panglima Sada.Panglima Sada tampak heran melihat mimik wajah Sukma seperti menyimpan sesuatu. “Kau baik-baik saja?”“Aku mendengar pembicaraan para pelayan istana. Katanya mereka tahu dari mata-mata istana.”“Hentikan itu. Kau tidak boleh ikut-ikutan mendengarkan sesuatu
“Jurus apa yang hendak digunakan Bimantara dengan kaki satunya?” tanya Kancil heran.Ketiga pendekar bertopeng itu pun bersiap mengeluarkan jurusnya untuk melawan Bimantara. Bimantara mengangkat tubuhnya lalu berputar di atas, kemudian kaki cahaya naganya menendang satu persatu ketiga pendekar berpoteng itu hingga mereka berteriak terpelanting jauh.Bimantara menurunkan tubuhnya lalu mendarat ke atas tanah. “Sudah kubilang pergi dari sini! Jika kalian tak ingin mati!” ancam Bimantara.Ketiga pendekar bertopeng itu berlarian memasuki hutan. Bimantara mengatur napasnya lalu memandangi Kancil dan Dahayu yang tengah bangkit berdiri memandanginya dengan takjub.“Kalian mengejarku?” tanya Bimantara heran.“Maaf, Bimantara. Kami harus menemanimu,” jawab Kancil.Dahayu diam saja. Bimantara mendekat ke Dahayu dengan kaki cahaya naganya. Dahayu heran bagaimana Bimantara bisa berjalan? Dia melihat seolah
Pangeran Sakai tiba di perguruan bersama Panglima Sada dan pasukannya. Pendekar Tangan Besi yang sudah menjadi pimpinan Perguruan Matahari menyambut kedatangannya bersama penduduk perguruan yang lainnya. Pangeran Sakai dan Panglima Sada heran tidak melihat Dahayu ada di sana.“Apa yang terjadi di Perguruan hingga Tuan Guru Besar Adji Darma digantikan dengamu wahai Tuan Guru Besar Pendekar Tangan Besi?” tanya Pangeran Sakai heran.Pendekar Tangan Besi pun menjelaskan semuanya pada Pangeran Sakai. Pangeran Sakai terkejut mendengarnya.“Kemana Dahayu?” tanya Pangeran Sakai penasaran.“Dia pergi bersama Pangeran Pangaraban menyusul Bimantara,” jawab Pendekar Tangan Besi.Pangeran Sakai dan Panglima Sada tampak terkejut.“Menyusul Bimantara ke mana, Tuan Guru Besar?” tanya Panglima Sada khawatir.“Sepertinya Bimantara hendak pergi ke sebuah lembah untuk menjalankan perintah terakhir men
Pangeran Dawuh keluar dari kamarnya memakai pakaian rakyat jelata lalu menunjukkannya pada Balasoka.“Bagaimana, Balasoka? Apakah penyamaranku sebagai rakyat jelata sudah sempurna?” tanya Pangeran Dawuh sambil tersenyum.“Sudah sempurna, Pangeran,” jawab Balasoka sambil tersenyum senang.“Saya sudah meminta penjaga gerbang istana untuk diganti dengan para prajurit yang setia kepada saya agar kita bisa keluar dari gerbang istana dengan mudah,” ucap Pangeran Dawuh padanya.“Baik, Pangeran. Apakah peta rahasia letak sesungguhnya lembah gunung Munara itu sudah Pangeran bawa?” tanya Balasoka dengan penasaran.Pangeran Dawuh tersenyum lalu meneluarkan peta rahasia itu dari ikat pinggangnya dan menunjukkannya pada Balasoka.“Aku sudah bersusah payah menemukannya di kediaman ayah. Jika ayah tahu aku mencuri ini, dia pasti murka padaku. Inilah satu-satunya peta terbaik yang dimiliki Kerajaan Nusan
Kabut menutupi sebuah perkampungan di lembah bukit. Penduduk di perkampungan itu tampak sudah beraktivitas seperti biasanya. Anak-anak kecil berlarian di jalanan setapaknya. Burung-burung di atasnya tampak berterbangan. Seorang kakek sedang memikul kayu bakar di ujung kampung. Tak lama kemudian langkah kakek itu terhenti ketika mendengar suara langkah kuda di belekangnya. Dia menoleh ke belakang. Tak lama kemudian pasukan kuda yang ditunggangi para pendekar bertopeng berdatangan membawa pedang yang siap menghunus siapa pun di dekatnya.Kakek itu terbelalak ketakutan. Tubuhnya gemetar, dia menjatuhkan kayu bakar yang dipikulnya ke atas tanah, kemudian langsung berlari ke tengah kampung.“Perguruaan Tengkoraaaa!!!” teriak kakek itu.Tak lama kemudian terdengar suara teriakan ketakutan di mana-mana. Semua orang berlarian untuk bersembunyi. Sebagian ada yang menggendong anak kecil lalu pergi menuju hutan di sisi kampung.Seekor kuda yang ditunggan
Kuda yang ditunggangi Bimantara berhenti di pinggir sungai. Dahayu yang duduk di belakang Bimantara tampak heran. Kancil pun tampak menghentikan kudanya dengan heran.“Kenapa kita berhenti di sini, Bimantara?”“Kita harus istrirahat dulu. Kata Tuan Guruku, tubuh kita juga perlu tenaga. Kita cari ikan di sini dan kita makan dulu saja,” pinta Bimantara.Semua pun akhirnya turun dari kuda. Bimantara berjalan ke arah sungai dengan tongkatnya. Kancil menyusul Bimantara ke arah sungai.“Kau juga ahli menangkap ikan?” tanya Kancil.“Tuan Guru mengajarkan semuanya padaku,” jawab Bimantara.Dahayu duduk di atas batu sambil melihat Bimantara yang siap menombak ikan dengan tongkatya. “Aku melihat kakimu tumbuh menjadi cahaya saat melawan para pendekar bertopeng itu! Apakah itu juga diturunkan oleh Tuan Gurumu?” tanya Dahayu tiba-tiba.Bimantara terkejut mendengarnya. “Kau bisa mel