Kakek Sangakala berada di atas pohon, bertahan di dahan sambil memeluk pohonnya dengan ketakutan. Di bawahnya ada tiga harimau yang sedang berkeliaran di halaman gubuk tuanya.
“Pergi kalian dari sini! Kembalilah ke tempat kalian! Jangan ganggu aku!” teriak Kakek Sangkala pada ketiga harimau itu.
Namun ketiga harimau itu tampak jinak. Satu sedang duduk di atas bale. Duanya sedang menjilati bulu masing-masing. Kakek Sangkala bingung, dari mana asal ketiga harimau itu? Kenapa mereka datang ke gubuknya?
Tak lama kemudian sebuah anak panah melesat lalu tertancap ke batang pohon di dekat Kakek Sangkala. Kakek Sangkala terkejut. Siapa yang melesatkan anak panah itu? Namun saat dia melihat ada gulungan kain yang meletak pada anak panah itu, dia langsung mencabutnya dan mengambil gulungan kain itu. Ketika dibuka, Kakek Sangkala ternyata itu sebuah surat dari Ki Walang. Surat berisi bahwa Ki Walang sengaja mengirimkan tiga harimau untuk membantunya menja
Raja Banggala duduk di atas singgasana yang disedikan Perguruan Matahari di sebuah ruangan – khusus untuk penyambutan para Raja dan pembesar istana jika berkunjung ke Perguruan Matahari. Di sana sudah ada Adji Darma dan para Guru Utama – termasuk Ki Walang. Beberapa pelayan tampak menyajikan jamuan dadakan. “Ampun, yang Mulia. Karena kedatangan yang Mulia mendadak, jadi jamuannya sederhana,” ucap Adji Darma merasa tidak enak. “Tidak apa-apa. Sebenarnya tujuan saya ke sini karena ada rumor dari kerajaan Nusantara Timur dan Tengah, katanya saat ini sebuah pusaka milik Perguruan Tengkorak telah dimiliki oleh salah satu pendekar yang berada di sini,” ucap Raja Banggala dengan ramah. Adji Darma terkejut mendengarnya. Ki Walang tak kalah terkejutnya. “Ampun, yang Mulia. Siapa yang mengatakan rumor itu pada istana?” tanya Adji Darma dengan heran. “Raja dari kerajaan Nusantara Timur,” jawab Raja Banggala. Semua terkejut mendengarnya. Ki Walang
“Saya tidak tahu apa-apa! Akhir-akhir ini saya sibuk mengajari murid saya!” jawab Ki Walang dengan tegas. “Kenapa kau harus membawa Bimantara ke pulau rahasia?” tanya Pendekar Pedang Emas tiba-tiba. Ki Walang terkejut mendengarnya. Dia heran dari mana Pendekar Pedang Emas tahu itu? Adji Darma pun terkejut mendengarnya. “Saya memang membebaskan para guru untuk membawa murid keluar dari Perguruan, dengan syarat untuk kepentingan perguruan,” ucap Adji Darma, “Akan tetapi pergi ke pulau rahasia membawa murid itu tidak dibenarkan!” tegas Adji Darma. Ki Walang tampak kebingungan untuk menjawabnya. Pendekar Pedang Emas tampak puas sudah behasil membongkar sedikit rahasianya. “Ampun, Tuan Guru Besar,” ucap Ki Walang. “Saya mengajak Bimantara ke pulau rahasia untuk melatih kekuatan tangannya. Hanya itu yang bisa Bimantara andalkan karena kecacatannya. Dengan mendayung ke pulau itu, dia berlatih menumbuhkan otot-ototnya agar semakin kuat,” jawab Ki Wala
“Surat dari siapa, Bimantara?” tanya Kancil heran dan penasaran.Bimantara ragu untuk memberitahukannya atau tidak pada Kancil.“Aku harus menemui guruku sekarang, Kancil,” ucap Bimantara lalu langsung pergi dari sana dengan tongkatnya. Dia tidak ingin membahas itu saat ini kepada Kancil.Kancil menyimpan rasa penasarannya lalu akhirnya bergegas pergi ke asramanya.Ki Walang sedang duduk sambil berpikir di dalam gua, saat Bimantara datang padanya.“Tuan, Guru,” panggil Bimantara.Ki Walang menoleh padanya. “Ada apa?”“Tadi aku kedatangan merpati, ia menjatuhkan sebuah surat untukku, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil mengulurkan selembar kain kecil itu pada Ki Walang.Ki Walang meraihnya dengan heran. Saat dia membacanya, dia terbelalak dan langsung curiga pada Pendekar Pedang Emas. Ya, sepertinya pendekar itu sedang menyimpan kecurigaan padanya. Ki Walang khawatir kala
Tepat tengah malam itu Ki Walang yang menggunakan pakaian ninja melompati pagar istana yang sangat tinggi itu. Dia mendarat dengan sempurna di atas tanah. Bagunan istana tampak sangat megah di hadapannya. Saat mendengar suara langkah prajurit yang berjaga, Ki Walang langsung melompat ke atas pohon dan bersembunyi di sana. Dia menunggu hingga para prajurit yang berjaga itu berlaru. Saat para parjurit itu menghilang dari pandangan matanya, Ki Walang melompat dari atas pohon ke atap istana lalu berjalan dengan hati-hati menelusuri atap itu.Ki Walang turun dari atap lalu mendarat tepat di dekat kediaman Raja Dwilaga. Matanya mengawasi sekitar, khawatir para prajurit penjaga melihatnya. Ki Walang berjalan pelan ke arah dinding kediaman Raja. Langkahnya terhenti saat mendengar suara batuk yang begitu keras di dalam sana. Ki Walang akhirnya mencoba mendengarkan suara batuk itu.Kini, suara Raja Dwilaga dan seorang tabib terdengar jelas di telinganya. Ki Walang pun mendengark
Ki walang membuka matanya. Dia terkejut saat melihat kaki dan tangannya sudah dirantai. Tubuhnya tampak lemas. Tak lama kemudian dia memuntahkan darah karena racun di dalam tubuhnya masih mengalir.“Di mana aku? Kenapa aku begini?” tanya Ki Walang dengan heran. Dia memandangi ruangan itu. Di hadapannya jeruri besi. Berdiri tiga prajurit menjaga di luar jeruji sambil memegang tombaknya masing-masing. Dia baru ingat saat mencuri dengar pembicaraan Pangeran Kantata dengan Panglima Cakara tadi ada anak panah yang menyerangnya. “Sepertinya aku terkena racun anak panah itu hingga tak sadarkan diri lalu di kurung di sini. Aku harus menyelamatkan diri,” ucap Ki Walang dengan lemah. Tak lama kemudian dia mencoba mengeluarkan tenaga dalamnya, namun rantai besi itu sangat kuat hingga tenaga dalamnya tak kuasa untuk melepaskannya.“Kau tak akan bisa lepas dari rantai itu,” teriak salah satu dari prajurit penjaga.Ki Walang pun akhirnya me
Ki Walang masih mengumpulkan tenanganya di dalam penjara bawah tanah itu. Tiga Prajurit masih berdiri di depan jeruji besi menjaganya.“Aku harus mengumpulkan semua tenagaku agar bisa melepas ikatan rantai ini,” ucap Ki Walang dalam hatinya. “Mungkin akan butuh beberapa hari agar tenaga dalamku terkumpul semua.”Tak lama kemudian Pangeran Kantata datang disambut penuh hormat oleh tiga prajurit itu. Ki Walang heran karena tidak melihat Panglima Cakara datang bersamanya.“Rupanya ini pengkhianat Perguruan Matahari,” ucap Pangeran Kantata sambil tersenyum pada Ki Walang.Ki Walang geram mendengarnya. “Kau yang berkhianat pada Kerajaan Nusantara!” teriak Ki Walang.Pangeran Kantata tertawa mendengarnya. “Bukan kah kau ke sini karena takut kamu mengetahui jati dirimu sesungguhnya, bahwa kau itu adalah perebut pedang perak bercahaya merah?” tanya Pangeran Kantata.“Aku tidak pernah
Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi berdiri dengan bingung di atas dermaga. Laut tampak tidak bersahabat di mata mereka. Ombaknya besar. Angin bertiup cukup kencang.“Sepertinya kita belum bisa menaiki kapal menuju pulau seberang, Tuan Guru Besar,” ucap Pendekar Tangan Besi padanya.“Ya, kita harus menunggu hingga ombak kembali tenang,” sahut Adji Darma.“Apakah Tuan Guru Besar tahu kemana kita harus mencari Ki Walang?” tanya Pendekar Tangan Besi dengan bingung.“Jika benar kematian Bimantara karena ulah Ki Walang, dia pasti sedang berada di tempat persembunyian Perguruan Tengkorak,” jawab Adji Darma.Pendekar Tangan Besi terkejut mendengarnya. “Kita harus mencari persembunyi Perguruan Tengkorak?”“Iya, kita harus cari sampai ketemu. Aku tidak bisa membiarkan siapapun yang berkhianat pada perguruan matahari untuk hidup!” tegas Adji Darma.Pendekar Tangan Besi terd
Bimantara heran, kaki cahaya naganya belum menyala. Pemimpin Kawanan itu langsung menyerangnya dengan pedang di tangannya. Bimantara pun menggunakan tongkatnya untuk menangkisnya. Di saat seperti itu, ajaran Kakek Sangkala dahulu yang memintanya untuk menyatu dengan tongkatnya baru berguna. Dengan cepat, Bimantara mampu menangkis pedang itu dengan tongkatnya. Saat pedang Pemimpin Kawanan itu hendak menebas kaki Bimantara, Bimantara berhasil menghindarinya dengan melompat ke atas lalu dengan berputar dan menendang kepala Pimpinan Kawanannya itu. Pimpinan Kawanan itu rubuh ke atas tanah dengan geram. Para pasukannya hendak maju.“Biar aku sendiri yang menghadapinya!” tegas Pemimpin Kawanan itu sambil bangkit dan menunjukkan wajah kesalnya pada Bimantara yang sudah berdiri di atas tanah dengan tongkatnya.“Lepaskan para gadis itu!” teriak Bimantara sekali lagi.Para gadis di dalam kereta yang terikat itu tampak heran dan penasaran dengan Bim