Pangeran Sakai datang menghadap Pendekar Pedang Emas. Hari itu dia siap berlatih seperti biasanya. Para murid lain dari berbagai tingkatan sedang berlatih beradu pedang di halaman kediaman Pendekar itu. Mereka terlihat begitu bersemangat.
“Kenapa kau datang telambat?!” tanya Pendekar Pedang Emas dengan tegas.
“Ampun, Tuan Guru, tadi ada sesuatu di asrama hingga membuat aku datang terlambat,” ucap Pangeran Sakai berbohong. Padahal sedari tadi dia sengaja menunggu Dahayu di depan gerbang ruangan Adji Darma. Dia khawatir terjadi apa-apa dengan gadis itu.
Pendekar Pedang Emas tertawa. “Jangan bohong padaku. Aku tahu kau sedang jatuh cinta, Pangeran.”
Pangeran Sakai terbelalak mendengarnya. “Ampun, Tuan Guru,” ucap Pangeran Sakai merasa bersalah.
Pendekar Pedang Emas memandangi wajah Pangeran Sakai dengan tatapan serius. “Aku ingatkan sekali lagi. Jangan mudah percaya dengan siapapun. Kau adalah gene
Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma dengan raut wajah kesal. Adji Darma yang duduk bersila tampak heran melihatnya.“Apa kau sudah menemukan tanda-tanda mencurigakan dari kedua anak muda itu?” tanya Adji Darma penasaran.“Ampun, Tuan Guru. Untuk Dahayu, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Aku hanya mendengar kalau Pendekar Rambut Emas sedang mengawasinya untuk dijadikannya sebagai murid tetap. Lalu aku mendengar desas-desus dari teman-teman seangkatannya. Katanya Dahayu diam-diam telah menguasai jurus selendang merah yang telah lama menghilang dari peradaban Nusantara,” jawab Pendekar Tangan Besi.Adji Darma berdiri mendengar itu. “Dari siapa dia belajar jurus itu?”“Aku tidak tahu, Tuan Guru Besar. Sepertinya Pendekar Rambut Emas tertarik menjadikan Dahayu sebagai murid tetapnya kelak karena dia sudah tahu itu,” jawab Pendekar Tangan Besi.“Itu bagus! Jurus itu adalah jurus ya
“Akhirnya kau datang lagi padaku!” ucap Panglima Cakara dengan geram.Ki Walang dan Bimantara yang masih mengenakan penutup wajah tampak bersiap melakukan penyerangan. Tak lama kemudian datang segerombolan lelaki kekar dan berotot dari dalam rumah sambil membawa senjata berbeda mengelilingin Ki Walang dan Bimantara. Kelima gadis yang disandera mereka tampak tenang dan berharap kedua pendekar berpenutup wajah itu bisa menyelamatkan mereka.“Bebaskan para gadis itu! Kalau tidak semuanya yang ada di sini akan mati!” ancam Ki Walang.Mendadak Bimantara gemetar. Ini adalah pertarungan pertamanya menumpas kejahatan. Panglima Cakara tertawa di hadapan mereka.“Jangan terlalu percaya diri! Justru kalian berdua lah yang menyerahkan nyawa ke sini!” teriak Panglima Cakara dengan amarah.Bimantara semakin gemetar mendengarnya. Tiba-tiba pikirannya kemana-mana. “Bagaimana jika aku tidak berhasil mengalahkan mereka? Apak
Ki Walang mamandangi wajah Kepala Wilayah sambil berpikir untuk bisa lolos dari kepungan mereka. Bimantara dilihatnya masih terduduk lemah tak berdaya. Kalau dia tidak sigap untuk keluar dari kepungan itu, maka nyawa Bimantara akan sulit diselamatkan. Lalu dengan sigap Ki Walang menarik tangan Bimantara lalu membawanya melompat menuju batang pohon. Tiba-tiba sebuah jaring dilempar oleh Kepala Wilayah ke atas hingga Ki Walang tak mampu meraih dahan. Ki Walang dan Bimantara pun jatuh ke atas tanah. Mereka terjebak dalam jaring itu. Kini Ki Walang dan Bimantara tak bisa lagi meloloskan diri.Kepala Wilayah tertawa, “Kau kira aku tidak memikirkan bagaimana cara menangkap para ninja?”Bimantara semakin lemah. Dia pun tak percaya kalau nasibnya dan Ki Walang akan seperti itu.“Bawa mereka ke padepokan!” teriak Kepala Wilayah pada para prajuritnya.Para prajurit itu pun mendekat ke Ki Walang dan Bimantara yang masih terjebak di dalam jari
Dahayu berdiri menatap jendela kamarnya yang terbuka. Di atas sana langit menunjukkan bintang dan rembulannya. Bayangannya akan masa kecilnya bersama Bimantara tiba-tiba berdatangan. Saat itu memeraka sedang bermain di halaman rumah Dahayu yang sederhana. Dua boneka dari jerami di tangan masing masing.“Ayah pergi dulu mencari umbi ya, istriku,” ucap Bimantara kecil sambil menggerakkan boneka jeraminya pada boneka jerami perempuan di tangan Dahayu.“Iya, suamiku! Bawa umbi yang banyak untukku,” ucap Dahayu.Bimantara pun menggerakkan bonekanya seolah pergi menjauh dari boneka Dahayu.“Cepat pulang, Suamiku! Jangan pulang kemalaman!” teriak Dahayu.Dahayu menunduk mengingat itu. Tak lama kemudian terdengar pintu kamarnya diketuk. Dahayu bergegas membukanya. Dia terkejut ketika mendapati Sanum dan Welas sudah berdiri di ambang pintu.“Kau belum tidur?” tanya Sanum.Dahayu menggeleng. Sanum
“Itu salah satu ilmu yang aku berikan pada Bimantara,” jawab Ki Walang jujur pada Kakek Sangkala.Kakek Sangkala terharu mendengar jawabannya. “Apakah itu ilmu cahaya kaki naga?” tanya Kakek Sangkala mencoba menerka.Ki Walang dan Bimantara terkejut mendengarnya. “Kakek tahu itu?” tanya Bimantara heran.Kakek Sangkala menatap Ki Walang dengan haru. Kemudian dia memeluknya erat sambil meneteskan air mata. “Terima kasih, Pendekar! Terima kasih telah menurunkan ilmu itu pada cucuku! Sejak Bimantara kecil, aku mengembara mencari seorang guru untuknya agar bisa mengajarkan ilmu itu padanya, namun sampai ke utara aku mencarinya, aku tidak menemukannya,” isak Sangkala.Bimantara yang mendengarnya tampak haru. Dia tak menyangka kakeknya ternyata memikirkan dirinya selama ini.“Sudah, ini memang pantas untuk Bimantara. Sekarang kita harus menggali peti itu sebelum subuh datang dan orang-orang melihat kam
Panglima Cakara memecut kudanya yang tengah menanjak ke atas bukit. Malam itu kabut menutupi hutan. Panglima Cakara menuntun kudanya untuk melewati jalanan setapak yang menanjak ke atas. Tak lama kemudian, Panglima Cakara tiba di halaman luas. Ratusan pendekar berpakaian hitam dan memakai ikat kepala keluar dari bangunan tua lalu berbaris rapi di hadapannya. Salah satu dari mereka maju ke hadapan. Dialah Gajendra, kepala Perguruan Tengkorak yang paling ditakuti seantero Nusantra.“Ada apa gerangan dikau kemari, Panglima?” tanyanya dengan tatapan curiga. Sementara ratusan pendekar lain di belakangnya bersiap dengan senjata masing-masing.Panglima Cakara turun dari kudanya lalu berdiri tepat di hadapan Gajendra. “Aku kembali datang untuk menawarkan kembali yang dulu pernah aku tawarkan pada kalian,” jawab Panglima Cakara dengan tatapan ramah.“Kami tidak ingin lagi berurusan dengan kerajaan!” tegas Gajendra.“Kalian
Adji Darma berdiri dengan geram di hadapan Bimantara dan Pangeran Sakai di ruangannya.“Ada apa dengan kalian berdua?” tanya Adji Darma heran.“Dia telah memperkosa Dahayu, Tuan Guru Besar…”“Tidak!” potong Pangeran Sakai, “Ini salah paham, Tuan Guru Besar. Itu tidak benar. Saya sengaja memancing kemarahan Bimantara agar saya bisa memastikan apakah benar angin puting beliung yang kerap datang ke Perguruan itu adalah akibat dari ilmu hitamnya.”Adji Darma terbelalak mendengarnya. Bimantara pun terkejut.“Dari mana kau tahu soal itu?” tanya Adji Darma penasaran pada Pangeran.“Adik saya mati di tangan para penganut aliran ilmu hitam itu, Tuan Guru Besar. Saya tidak bisa membiarkan jika benar ada murid yang menganut aliran hitam dari Perguruan Tengkorak di perguruan ini,” jawab Pangeran Sakai.Bimantara diam saja. Dia lega karena cahaya merah itu sudah dikemba
Bimantara datang ke dalam gua. Ki Walang duduk di atas batu sambil tersenyum melihatnya.“Bagaimana perkelahiannya?” tanya Ki Walang sambil tertawa.Bimantara terkejut mendengarnya. Dia kira Ki Walang tidak mengetahui soal itu, karena dia tidak ada saat pertarungan itu terjadi.“Maafkan aku, Tuan Guru. Tadi aku tak bisa menahan emosiku,” ucap Bimantara merasa bersalah.Ki Walang tertawa. “Aku sudah tahu sejak awal. Aku sudah tahu Pangeran Sakai sengaja membuat makar, tapi karena aku tahu kalau itu bisa membuat semua orang di perguruan percaya bahwa ilmu pedang cahaya merah itu tidak ada padamu, jadi aku diamkan saja,” ucap Ki Walang.Bimantara lega mendengarnya. Dia kira mendatanginya di sana akan membuat Ki Walang marah padanya.“Sekarang lempar tongkatmu dan mari kita mulai berlatih tingkatan ke dua,” pinta Ki Walang.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil meletakkan tong