Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma dengan raut wajah kesal. Adji Darma yang duduk bersila tampak heran melihatnya.
“Apa kau sudah menemukan tanda-tanda mencurigakan dari kedua anak muda itu?” tanya Adji Darma penasaran.
“Ampun, Tuan Guru. Untuk Dahayu, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Aku hanya mendengar kalau Pendekar Rambut Emas sedang mengawasinya untuk dijadikannya sebagai murid tetap. Lalu aku mendengar desas-desus dari teman-teman seangkatannya. Katanya Dahayu diam-diam telah menguasai jurus selendang merah yang telah lama menghilang dari peradaban Nusantara,” jawab Pendekar Tangan Besi.
Adji Darma berdiri mendengar itu. “Dari siapa dia belajar jurus itu?”
“Aku tidak tahu, Tuan Guru Besar. Sepertinya Pendekar Rambut Emas tertarik menjadikan Dahayu sebagai murid tetapnya kelak karena dia sudah tahu itu,” jawab Pendekar Tangan Besi.
“Itu bagus! Jurus itu adalah jurus ya
“Akhirnya kau datang lagi padaku!” ucap Panglima Cakara dengan geram.Ki Walang dan Bimantara yang masih mengenakan penutup wajah tampak bersiap melakukan penyerangan. Tak lama kemudian datang segerombolan lelaki kekar dan berotot dari dalam rumah sambil membawa senjata berbeda mengelilingin Ki Walang dan Bimantara. Kelima gadis yang disandera mereka tampak tenang dan berharap kedua pendekar berpenutup wajah itu bisa menyelamatkan mereka.“Bebaskan para gadis itu! Kalau tidak semuanya yang ada di sini akan mati!” ancam Ki Walang.Mendadak Bimantara gemetar. Ini adalah pertarungan pertamanya menumpas kejahatan. Panglima Cakara tertawa di hadapan mereka.“Jangan terlalu percaya diri! Justru kalian berdua lah yang menyerahkan nyawa ke sini!” teriak Panglima Cakara dengan amarah.Bimantara semakin gemetar mendengarnya. Tiba-tiba pikirannya kemana-mana. “Bagaimana jika aku tidak berhasil mengalahkan mereka? Apak
Ki Walang mamandangi wajah Kepala Wilayah sambil berpikir untuk bisa lolos dari kepungan mereka. Bimantara dilihatnya masih terduduk lemah tak berdaya. Kalau dia tidak sigap untuk keluar dari kepungan itu, maka nyawa Bimantara akan sulit diselamatkan. Lalu dengan sigap Ki Walang menarik tangan Bimantara lalu membawanya melompat menuju batang pohon. Tiba-tiba sebuah jaring dilempar oleh Kepala Wilayah ke atas hingga Ki Walang tak mampu meraih dahan. Ki Walang dan Bimantara pun jatuh ke atas tanah. Mereka terjebak dalam jaring itu. Kini Ki Walang dan Bimantara tak bisa lagi meloloskan diri.Kepala Wilayah tertawa, “Kau kira aku tidak memikirkan bagaimana cara menangkap para ninja?”Bimantara semakin lemah. Dia pun tak percaya kalau nasibnya dan Ki Walang akan seperti itu.“Bawa mereka ke padepokan!” teriak Kepala Wilayah pada para prajuritnya.Para prajurit itu pun mendekat ke Ki Walang dan Bimantara yang masih terjebak di dalam jari
Dahayu berdiri menatap jendela kamarnya yang terbuka. Di atas sana langit menunjukkan bintang dan rembulannya. Bayangannya akan masa kecilnya bersama Bimantara tiba-tiba berdatangan. Saat itu memeraka sedang bermain di halaman rumah Dahayu yang sederhana. Dua boneka dari jerami di tangan masing masing.“Ayah pergi dulu mencari umbi ya, istriku,” ucap Bimantara kecil sambil menggerakkan boneka jeraminya pada boneka jerami perempuan di tangan Dahayu.“Iya, suamiku! Bawa umbi yang banyak untukku,” ucap Dahayu.Bimantara pun menggerakkan bonekanya seolah pergi menjauh dari boneka Dahayu.“Cepat pulang, Suamiku! Jangan pulang kemalaman!” teriak Dahayu.Dahayu menunduk mengingat itu. Tak lama kemudian terdengar pintu kamarnya diketuk. Dahayu bergegas membukanya. Dia terkejut ketika mendapati Sanum dan Welas sudah berdiri di ambang pintu.“Kau belum tidur?” tanya Sanum.Dahayu menggeleng. Sanum
“Itu salah satu ilmu yang aku berikan pada Bimantara,” jawab Ki Walang jujur pada Kakek Sangkala.Kakek Sangkala terharu mendengar jawabannya. “Apakah itu ilmu cahaya kaki naga?” tanya Kakek Sangkala mencoba menerka.Ki Walang dan Bimantara terkejut mendengarnya. “Kakek tahu itu?” tanya Bimantara heran.Kakek Sangkala menatap Ki Walang dengan haru. Kemudian dia memeluknya erat sambil meneteskan air mata. “Terima kasih, Pendekar! Terima kasih telah menurunkan ilmu itu pada cucuku! Sejak Bimantara kecil, aku mengembara mencari seorang guru untuknya agar bisa mengajarkan ilmu itu padanya, namun sampai ke utara aku mencarinya, aku tidak menemukannya,” isak Sangkala.Bimantara yang mendengarnya tampak haru. Dia tak menyangka kakeknya ternyata memikirkan dirinya selama ini.“Sudah, ini memang pantas untuk Bimantara. Sekarang kita harus menggali peti itu sebelum subuh datang dan orang-orang melihat kam
Panglima Cakara memecut kudanya yang tengah menanjak ke atas bukit. Malam itu kabut menutupi hutan. Panglima Cakara menuntun kudanya untuk melewati jalanan setapak yang menanjak ke atas. Tak lama kemudian, Panglima Cakara tiba di halaman luas. Ratusan pendekar berpakaian hitam dan memakai ikat kepala keluar dari bangunan tua lalu berbaris rapi di hadapannya. Salah satu dari mereka maju ke hadapan. Dialah Gajendra, kepala Perguruan Tengkorak yang paling ditakuti seantero Nusantra.“Ada apa gerangan dikau kemari, Panglima?” tanyanya dengan tatapan curiga. Sementara ratusan pendekar lain di belakangnya bersiap dengan senjata masing-masing.Panglima Cakara turun dari kudanya lalu berdiri tepat di hadapan Gajendra. “Aku kembali datang untuk menawarkan kembali yang dulu pernah aku tawarkan pada kalian,” jawab Panglima Cakara dengan tatapan ramah.“Kami tidak ingin lagi berurusan dengan kerajaan!” tegas Gajendra.“Kalian
Adji Darma berdiri dengan geram di hadapan Bimantara dan Pangeran Sakai di ruangannya.“Ada apa dengan kalian berdua?” tanya Adji Darma heran.“Dia telah memperkosa Dahayu, Tuan Guru Besar…”“Tidak!” potong Pangeran Sakai, “Ini salah paham, Tuan Guru Besar. Itu tidak benar. Saya sengaja memancing kemarahan Bimantara agar saya bisa memastikan apakah benar angin puting beliung yang kerap datang ke Perguruan itu adalah akibat dari ilmu hitamnya.”Adji Darma terbelalak mendengarnya. Bimantara pun terkejut.“Dari mana kau tahu soal itu?” tanya Adji Darma penasaran pada Pangeran.“Adik saya mati di tangan para penganut aliran ilmu hitam itu, Tuan Guru Besar. Saya tidak bisa membiarkan jika benar ada murid yang menganut aliran hitam dari Perguruan Tengkorak di perguruan ini,” jawab Pangeran Sakai.Bimantara diam saja. Dia lega karena cahaya merah itu sudah dikemba
Bimantara datang ke dalam gua. Ki Walang duduk di atas batu sambil tersenyum melihatnya.“Bagaimana perkelahiannya?” tanya Ki Walang sambil tertawa.Bimantara terkejut mendengarnya. Dia kira Ki Walang tidak mengetahui soal itu, karena dia tidak ada saat pertarungan itu terjadi.“Maafkan aku, Tuan Guru. Tadi aku tak bisa menahan emosiku,” ucap Bimantara merasa bersalah.Ki Walang tertawa. “Aku sudah tahu sejak awal. Aku sudah tahu Pangeran Sakai sengaja membuat makar, tapi karena aku tahu kalau itu bisa membuat semua orang di perguruan percaya bahwa ilmu pedang cahaya merah itu tidak ada padamu, jadi aku diamkan saja,” ucap Ki Walang.Bimantara lega mendengarnya. Dia kira mendatanginya di sana akan membuat Ki Walang marah padanya.“Sekarang lempar tongkatmu dan mari kita mulai berlatih tingkatan ke dua,” pinta Ki Walang.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil meletakkan tong
Kakek Sangakala berada di atas pohon, bertahan di dahan sambil memeluk pohonnya dengan ketakutan. Di bawahnya ada tiga harimau yang sedang berkeliaran di halaman gubuk tuanya.“Pergi kalian dari sini! Kembalilah ke tempat kalian! Jangan ganggu aku!” teriak Kakek Sangkala pada ketiga harimau itu.Namun ketiga harimau itu tampak jinak. Satu sedang duduk di atas bale. Duanya sedang menjilati bulu masing-masing. Kakek Sangkala bingung, dari mana asal ketiga harimau itu? Kenapa mereka datang ke gubuknya?Tak lama kemudian sebuah anak panah melesat lalu tertancap ke batang pohon di dekat Kakek Sangkala. Kakek Sangkala terkejut. Siapa yang melesatkan anak panah itu? Namun saat dia melihat ada gulungan kain yang meletak pada anak panah itu, dia langsung mencabutnya dan mengambil gulungan kain itu. Ketika dibuka, Kakek Sangkala ternyata itu sebuah surat dari Ki Walang. Surat berisi bahwa Ki Walang sengaja mengirimkan tiga harimau untuk membantunya menja
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it