Bimantara melahap ikan bakarnya dengan cepat. Ki Walang yang duduk di dekatnya sambil tersenyum melihatnya. Mereka sedang duduk menghadap api unggun yang menyala besar.
“Pelan-pelan. Nanti kau tertusuk tulang ikan,” ucap Ki Walang.
“Ikannya enak sekali, Tuan Guru,” jawab Bimantara sambil tersenyum senang.
Sesaat Ki Walang kembali teringat dengan mendiang anak lelakinya. Mungkin jika masih hidup, dia akan sebesar Bimantara. Bimantara heran melihat Ki Walang menatapnya sedih. Dia tak berani bertanya.
“Siapa gadis yang datang bersamamu ke Perguruan Matahari itu?” tanya Ki Walang tiba-tiba, seolah bertanya kepada anaknya sendiri. Malam itu hubungan mereka sudah tak terlihat lagi seperti guru dan murid. Ki Walang mulai akrab dengannya. Bimantara pun merasakan kasih sayang Ki Walang padanya mirip kasih sayang seorang ayah kepada anaknya.
Bimantara gugup mendengar pertanyaan itu, “Maksud guru… Dahayu?&rdquo
Dahayu terbaring di atas jerami. Matanya menerawang ke atas langit-langit kamarnya. Dia teringat di hari itu, hari ketika dia mulai memikirkan untuk menjadi seorang pendekar perempuan. Karena di hari itu dia mendengar sebuah kenyatakan pahit dalam hidupnya yang dirahasiakan oleh Sada dan Sukma – kedua orang tuanya.Dahayu tidak sengaja mendengar pertengkaran Sada dan Sukma saat dia pulang dari pasar membawa bakul kosong yang semula di isi penuh dagangannya.“Sampai kapan kita harus merahasiakan ini dari Dahayu, Kakang?" tanya Sukma pada Sada.Dahayu heran mendengar pertanyaan ibunya itu. Langkahnya terhenti tepat di depan kamar kedua orangtuanya lalu berusaha mencuri dengar apa yang akan dikatakan mereka selanjutnya."Dahayu tak perlu tahu kalau kamu bukan ibu kandungnya," jawab Sada.Dahayu terbelalak mendengarnya."Kenapa?" tanya Sukma heran."Aku takut jika Dahayu tahu, akan memunculkan dendam di hatinya pad
Bimantara mendayung perahunya dengan sekuat tenaga. Saat dia menoleh ke belakang, Ki Walang tampak duduk dengan tenang dalam posisi bertapa. Matanya terpejam. Mungkin dia sedang menerawang apa yang terjadi di Perguruan Matahari, pikir Bimantara. Laut tampak tenang. Perahu terus bergerak menuju arah yang ditunjukkan Ki Walang sejak tadi. Sesaat kemudian, Bimantara mendengar Ki Walang terbatuk. Dia menoleh ke belakang. Ki Walang tampak lemas dan memegang dadanya. Bimantara panik.“Guru! Guru kenapa?” tanya Bimantara menghentikan mendayungnya lalu mendekat ke Ki Walang dengan khawatirnya.“Teruslah mendayung! Aku tidak apa-apa,” jawab Ki Walang.“Tapi…”“Aku hanya terkena angin laut saja,” jawab Ki Walang.Mendengar itu Bimantara tampak tenang. Dia pun kembali mendayung perahunya dengan penuh semangat.“Jika kau lelah, biar aku yang menggantikan,” pinta Ki Walang.“
“Apa kau mencintaiku?” tanya Pangeran Sakai dengan gugup dan terbata.Dahayu tersenyum padanya. “Aku baru menyadarinya,” jawab Dahayu.Pangeran Sakai tersenyum bahagia mendengarnya. Dia tidak bisa membaca dari raut wajah dan sorot mata gadis itu. Dahayu melakukan itu semua karena itulah satu-satunya cara dia bisa membalaskan dendamnya pada Panglima Cakara. Dia akan mempermainkan cinta Pangeran Sakai agar kelak Pangeran Sakai bisa menariknya ke istana. Dahayu tidak tahu apakah cara itu cara yang terbaik baginya, namun setidaknya dia sudah berusaha agar mendiang ibunya tenang di alam sana dan ayahnya tidak lagi ketakutan untuk keluar dari persembunyiannya. Bagaimana pun juga, jika Panglima Cakara tahu keberadaan ayahnya, Panglima Cakara pasti akan membunuh ayahnya juga.Pangeran Sakai menatap wajah Dahayu dengan tatapan serius. “Kalau begitu, bisakah kau menjauhi Kancil dan Bimantara? Jangan lagi dekat dengan mereka! Mereka adalah mus
Panglima Cakara sedang menunganggi kudanya menembus hutan hendak kembali ke Istana. Dibelakangnya para prajuritnya mengikuti dengan kuda masing-masing. Tak berapa lama kemudian sebuah anak panah melesat dari atas pohon dan tertancap ke atas tanah tepat di hadapan kuda Panglima Cakara. Panglima Cakara menghentikan kudanya sambil memberi kode pada pasukannya dengan tangan kanannya mengarah ke atas agar mereka juga ikut menghentikan kuda masing-masing.Panglima Cakara memperhatikan sekitar dengan tegang. Para prajurit pun tampak tegang. Panglima Cakara heran dari mana asal anak panah itu? Dia pun turun dari kudanya lalu mencabut anak panah yang tertancap lalu memeriksa anak panah itu dengan seksama.“Anak panah ini bukan berasal dari kerjaan Nusantara Tengah dan Barat, bukan juga berasal dari Perguruan Matahari, bukan juga berasal dari perguruan Tengkorak,” ucap Panglima heran. Dia memang mengenali setiap senjata yang menjadi ciri khas dari wilayah yang disebu
Bimantara membuka matanya. Samar dia melihat Ki Walang berteriak memanggil-manggil namanya. Namun saat Bimantara hendak memanggil nama guru besarnya, pandangan matanya semakin buram. Tak lama kemudian dia rubuh lalu terlentang di atas tanah. Sosok yang menyerupa cahaya putih tiba-tiba datang. Tak lama kemudian dia melihat cahaya putih itu berubah menjadi sosok yang sangat dirindukannya.“A… yah…” ucap Bimantara lemah.“Kau memang anak nakal,” ucap Naga Wali padanya dengan wajah sedih.“Maafkan aku,” ucap Bimantara.“Ayah sudah bilang, jangan buka peti itu dan jangan kau pergi ke tempat ini, tapi kau tidak mengikuti kata ayah!”“Aku ingin membalaskan dendam ayah,” ucap Bimantara.Lalu Naga Wali kembali menyerupa menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahayanya menghilang. Kini yang terdengar teriakan Ki Walang di telinganya.“Bimantara!”Bimantara l
Bimantara sedang bertarung dengan Ki Walang di dalam gua. Saat Ki Walang menendang dadanya dengan kecepatan luar biasanya, Bimantara kini berhasil menghindar darinya.“Bagus!” puji Ki Walang.Kini Ki Walang menggerakkan tangannya. Tak lama kemudian dia melompat ke atas kepala Bimantara. Saat kaki Ki Walang hendak menendang kepalanya dari atas, Bimantara yang tidak begitu konsentrasi, tidak bisa menghindarinya hingga kepalanya tertentang dan tubuhnya tersungkur ke atas tanah. Kepalanya terasa pusing tujuh keliling. Pandangan matanya mendadak kabur.“Kemana konsentrasimu?” tanya Ki Walang dengan kesal.“Maaf, Tuan Guru,” ucap Bimantara sambil mencoba bangkit dan memegang kepalanya. Namun karena kepalanya masih terasa linglung, tubuhnya oleng kekurangan keseimbangan.“Keluarkan tenaga dalammu!” pinta Ki Walang.Bimantara pun menggerakkan tangannya lalu mengumpulkan tenaga dalamnya melalui putaran
Dahayu tengah berjalan di taman perguruan hendak menuju asramanya. Pangeran Sakai sedari jauh mengejarnya.“Dahayu! Dahayu!” teriak Pangeran Sakai padanya.Langkah Dahayu terhenti. Dia menoleh ke belakang. Memasang senyumnya agar lelaki dari kalangan bangsawan itu tetap percaya bahwa dia mencintainya.“Benarkah Tuan Guru Besar Adji Darma memintamu untuk datang ke ruangannya esok pagi?” tanya Pangeran Sakai saat sudah berada di hadapannya.Dahayu mengangguk. Pangeran Sakai tampak khawatir padanya.“Aku akan menemanimu,” pinta Pangeran Sakai.“Tidak perlu. Lagipula yang diminta Adji Darma hanya aku,” jawab Dahayu.“Kalau Adji Darma macam-macam padamu bagaimana?”Dahayu tersenyum. “Dia itu pimpinan di Perguruan Matahari. Kalau sampai mengkhianati aturan di perguruan ini, aku yakin para leluhur akan menghukumnya. Kau tak perlu khawatir,” ucap Dahayu.&ld
Pendekar Tangan Besi datang menghadap Adji Darma yang sedang duduk bersila di dalam ruangannya. “Ampun, Tuan Guru Besar, di depan pintu Bimantara sedang menunggu, Tuan,” ucap Pendekar Tangan Besi padanya. “Suruh dia masuk ke sini,” pinta Adji Darma. “Baik, Tuan Guru Besar.” Pendekar Tangan Besi pun berjalan keluar. Sementara itu, Bimantara yang masih berdiri menunggu di depan pintu ruangan Adji Darma tampak terkejut melihat Dahayu datang ke sana. Dahayu pun terkejut melihat kehadiran Bimantara di sana. “Kenapa Tuan Guru Besar mengundang Dahayu juga ke sini?” tanya Bimantara dalam hati. Dahayu pun bertanya-tanya juga. Namun dia enggan bertanya malah memilih menunduk di hadapannya. Bimantara pun bergeming dan menghadapkan wajahnya ke arah pintu ruangan yang tertutup. Dia sudah berjanji untuk tidak mengganggu Dahayu lagi. Itu artinya dia tak akan mengajaknya bicara lagi seperti dahulu. Pintu ruangan itu terbuka. Pendekar Tangan Besi kelua
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it