Awan di atas Istana Kerajaan Nusantara tampak cerah. Seekor burung merpati berputar-putar di atasnya. Sudah berhari-hari dia ia di sana. Surat yang terkait di kakinya masih tergantung. Ia baru tiba setelah menempuh jarak yang sangat jauh dari pulau Perguruan Matahari. Tak lama kemudian seorang Panglima bernama Cakara berjalan dengan tegap hendak menuju ruangan tempat Raja dirawat. Tak lama kemudian merpati itu terbang ke atas kepalanya lalu menjatuhkan surat itu padanya. Panglima Cakara terkejut mendapati sebuah surat dari gulungan kain terjatuh di atas tanah di hadapannya. Dia meraih gulungan kain itu lalu membukanya.
“Pangeran Sakai resmi diterima di Perguruan Matahari?” gumamnya. Panglima Cakara tersenyum senang mendengarnya. Dia pun kembali melangkah. Saat dia tiba di ruangan Raja yang sedang terbaring lemah. Dia langsung duduk penuh hormat di hadapannya.
“Ampun, Yang Mulia Raja,” ucap Panglima Cakara penuh hormat.
Raja Adiwilaga yang
Hampir tengah malam. Langit di atas laut tak ada bulan dan bintang. Awan gelap telah menutupinya. Laut tampak tenang. Ki Walang dan Bimantara memperhatikan apa yang ada di hadapan mereka dengan heran. Di hadapan mereka terlihat begitu gelap. Tak lama kemudian ombak perlahan membesar. Perahu yang mereka naiki mulai bergoyang. Bimantara ketakutan. Dia memiliki firasat buruk.“Apa yang ada di hadapan kita, Tuan Guru?” tanya Bimantara pada Ki Walang dengan khawatir.Ki Walang malah tertawa. “Di hadapan kita adalah hujan badai. Sebentar lagi perahu ini akan menembusnya. Di balik hujan badai itu adalah pulau yang akan kita tuju. Kita sudah hampir sampai, Bimantara. Kau jangan takut!”Bimantara mengangguk. Tak lama kemudian ombak semakin besar. Perahu yang mereka naiki semakin bergoyang. Ki Walang memainkan dayungnya untuk mendapatkan keseimbangan agar perahunya tidak terbalik. Bimantara berpengangan erat pada perahunya. Jantungnya memompa
Saat Matahari mulai bersinar terang, Ki Walang membangunkan Bimantara yang tertidur lelap di dalam gubuk tua.“Bangun, anak muda!” teriak Ki Walang.Bimantara terbangun dalam keadaan napas terengah-engah. Dia bangkit dengan wajah pucat dipenuhi ketakutan.Ki Walang heran. “Apa kau bermimpi buruk?” tanya Ki Walang.Keringat mengucur di dahi Bimantara. Dia mengangguk pada Ki Walang. “Aku bermimpi melihat tiga kerajaan Nusantara saling memerangi karena ulah Perguruan Tengkorak, Tuan Guru,” jawab Bimantara.Ki Walang tertawa. “Itu tidak akan terjadi. Arti mimpi adalah kebalikan dari apa yang kau mimpikan. Sudah, jangan kau pikirkan. Tiga kerajaan Nusantara akan tetap bersatu. Bersiaplah untuk latihan hari ini.”“Siap, Tuan Guru!”Di saat matahari sudah mulai meninggi. Ki Walang dan Bimantara duduk bersila saling menghadap di depan gubuk tua. Mereka menduduki tanah basah yan
Keesolan harinya, Bimantara masih terbaring lemah di atas jerami. Wajahnya terlihat pucat.“Apa hari ini aku sudah bisa berlatih denganmu, Tuan Guru?” tanya Bimantara lemah.“Kau masih lemah. Tunggu tubuhmu pulih dengan sempurna dulu,” jawab Ki Walang.Bimantara terdiam. Dia sudah tidak sabar mengikuti segala ajaran Ki Walang. Ki Walang mencampurkan ramuan yang baru saja ditumbuknya ke dalam gelas bambu lalu mengulurkannya pada Bimantara.“Minum ini,” pinta Ki Walang.Bimantara mencoba bangkit. Kali ini tenaganya sudah mulai terkumpul hingga dia berhasil duduk. Bimantara meraih gelas bambu yang diulurkan Ki Walang. “Terima kasih, Tuan Guru,” ucap Bimantara. Dia pun langsung meminum ramuan itu. Meski pahit dia mencoba untuk menghabiskannya. Hampir saja dia muntah, namun akhirnya seluruh air ramuan itu berhasil diminumnya sampai habis.Tak lama kemudian Ki Walang menoleh ke atas langit-langit gub
Adji Darma berdiri gagah di hadapan gerbang keluar hutan terlarang itu. Di sebalahnya Pendekar Tangan Besi berdiri sambil menatap gerbang dengan penasaran. Para guru utama berada di belakang mereka. Pangeran Sakai berdiri di dekat Pendekar Pedang Emas. Ratusan murid lainnya juga sedang menunggu dengan rasa penasaran. Siapakah yang akan keluar duluan dari gerbang keluar hutan terlarang itu?Adji Darma menoleh pada Pendekar Tangan Besi. “Kenapa sampai detik ini Ki Walang dan muridnya belum menampakkan batang hidungnya?” tanya Adji Darma pada Pendekar Tangan Besi dengan heran.“Ampun, Tuan Guru. Tadi hamba sudah memeriksa ke sana, namun pintu gua tertutup oleh batu, hanya Ki Walang yang bisa membukanya. Saya tidak tahu kenapa mereka tak hadir di sini,” jawab Pendekar Tangan Besi.Adji Darma terdiam sesaat. Dia curiga ada sesuatu yang disimpan Ki Walang padanya. Sesaat dia menoleh lagi pada Pendekar Tangan Besi. “Apakah kapal layar suda
Ki Walang berhasil menombak ikan yang besar. Dia menunjukkannya pada Bimantara.“Bimantara! Lihat ini! Kita dapat ikan besar!” teriak Ki Walang begitu bahagia.Teriakan itu membuyarkan lamunanya. Bimantara langsung berjalan menuju Ki Walang. Kini dengan keberadaan kaki cahaya, membuatnya seolah memiliki kaki normal. Dia tak perlu lagi menggunakan tongkat untuk berjalan.“Ikannya besar sekali, Tuan Guru,” ucap Bimantara sangat bahagia.Ki Walang tersenyum lalu menatap kedua matanya yang terlihat memikirkan sesuatu. Ki Walang bisa menangkap itu. “Sedang apa tadi kau di sana?” tanya Ki Walang kemudian.“Aku belajar untuk mendengarkan sesuatu yang jauh di sana. Seperti yang Tuan Guru lakukan,” jawab Bimantara berbohong.Ki Walang tertawa. “Kau pikir itu bisa dilakukan dengan mudah?” ucap Ki Walang sambil mengulurkan ikan besar itu pada Bimantara.Bimantara meraihnya. “Meman
Bimantara melahap ikan bakarnya dengan cepat. Ki Walang yang duduk di dekatnya sambil tersenyum melihatnya. Mereka sedang duduk menghadap api unggun yang menyala besar.“Pelan-pelan. Nanti kau tertusuk tulang ikan,” ucap Ki Walang.“Ikannya enak sekali, Tuan Guru,” jawab Bimantara sambil tersenyum senang.Sesaat Ki Walang kembali teringat dengan mendiang anak lelakinya. Mungkin jika masih hidup, dia akan sebesar Bimantara. Bimantara heran melihat Ki Walang menatapnya sedih. Dia tak berani bertanya.“Siapa gadis yang datang bersamamu ke Perguruan Matahari itu?” tanya Ki Walang tiba-tiba, seolah bertanya kepada anaknya sendiri. Malam itu hubungan mereka sudah tak terlihat lagi seperti guru dan murid. Ki Walang mulai akrab dengannya. Bimantara pun merasakan kasih sayang Ki Walang padanya mirip kasih sayang seorang ayah kepada anaknya.Bimantara gugup mendengar pertanyaan itu, “Maksud guru… Dahayu?&rdquo
Dahayu terbaring di atas jerami. Matanya menerawang ke atas langit-langit kamarnya. Dia teringat di hari itu, hari ketika dia mulai memikirkan untuk menjadi seorang pendekar perempuan. Karena di hari itu dia mendengar sebuah kenyatakan pahit dalam hidupnya yang dirahasiakan oleh Sada dan Sukma – kedua orang tuanya.Dahayu tidak sengaja mendengar pertengkaran Sada dan Sukma saat dia pulang dari pasar membawa bakul kosong yang semula di isi penuh dagangannya.“Sampai kapan kita harus merahasiakan ini dari Dahayu, Kakang?" tanya Sukma pada Sada.Dahayu heran mendengar pertanyaan ibunya itu. Langkahnya terhenti tepat di depan kamar kedua orangtuanya lalu berusaha mencuri dengar apa yang akan dikatakan mereka selanjutnya."Dahayu tak perlu tahu kalau kamu bukan ibu kandungnya," jawab Sada.Dahayu terbelalak mendengarnya."Kenapa?" tanya Sukma heran."Aku takut jika Dahayu tahu, akan memunculkan dendam di hatinya pad
Bimantara mendayung perahunya dengan sekuat tenaga. Saat dia menoleh ke belakang, Ki Walang tampak duduk dengan tenang dalam posisi bertapa. Matanya terpejam. Mungkin dia sedang menerawang apa yang terjadi di Perguruan Matahari, pikir Bimantara. Laut tampak tenang. Perahu terus bergerak menuju arah yang ditunjukkan Ki Walang sejak tadi. Sesaat kemudian, Bimantara mendengar Ki Walang terbatuk. Dia menoleh ke belakang. Ki Walang tampak lemas dan memegang dadanya. Bimantara panik.“Guru! Guru kenapa?” tanya Bimantara menghentikan mendayungnya lalu mendekat ke Ki Walang dengan khawatirnya.“Teruslah mendayung! Aku tidak apa-apa,” jawab Ki Walang.“Tapi…”“Aku hanya terkena angin laut saja,” jawab Ki Walang.Mendengar itu Bimantara tampak tenang. Dia pun kembali mendayung perahunya dengan penuh semangat.“Jika kau lelah, biar aku yang menggantikan,” pinta Ki Walang.“