Keesolan harinya, Bimantara masih terbaring lemah di atas jerami. Wajahnya terlihat pucat.
“Apa hari ini aku sudah bisa berlatih denganmu, Tuan Guru?” tanya Bimantara lemah.
“Kau masih lemah. Tunggu tubuhmu pulih dengan sempurna dulu,” jawab Ki Walang.
Bimantara terdiam. Dia sudah tidak sabar mengikuti segala ajaran Ki Walang. Ki Walang mencampurkan ramuan yang baru saja ditumbuknya ke dalam gelas bambu lalu mengulurkannya pada Bimantara.
“Minum ini,” pinta Ki Walang.
Bimantara mencoba bangkit. Kali ini tenaganya sudah mulai terkumpul hingga dia berhasil duduk. Bimantara meraih gelas bambu yang diulurkan Ki Walang. “Terima kasih, Tuan Guru,” ucap Bimantara. Dia pun langsung meminum ramuan itu. Meski pahit dia mencoba untuk menghabiskannya. Hampir saja dia muntah, namun akhirnya seluruh air ramuan itu berhasil diminumnya sampai habis.
Tak lama kemudian Ki Walang menoleh ke atas langit-langit gub
Adji Darma berdiri gagah di hadapan gerbang keluar hutan terlarang itu. Di sebalahnya Pendekar Tangan Besi berdiri sambil menatap gerbang dengan penasaran. Para guru utama berada di belakang mereka. Pangeran Sakai berdiri di dekat Pendekar Pedang Emas. Ratusan murid lainnya juga sedang menunggu dengan rasa penasaran. Siapakah yang akan keluar duluan dari gerbang keluar hutan terlarang itu?Adji Darma menoleh pada Pendekar Tangan Besi. “Kenapa sampai detik ini Ki Walang dan muridnya belum menampakkan batang hidungnya?” tanya Adji Darma pada Pendekar Tangan Besi dengan heran.“Ampun, Tuan Guru. Tadi hamba sudah memeriksa ke sana, namun pintu gua tertutup oleh batu, hanya Ki Walang yang bisa membukanya. Saya tidak tahu kenapa mereka tak hadir di sini,” jawab Pendekar Tangan Besi.Adji Darma terdiam sesaat. Dia curiga ada sesuatu yang disimpan Ki Walang padanya. Sesaat dia menoleh lagi pada Pendekar Tangan Besi. “Apakah kapal layar suda
Ki Walang berhasil menombak ikan yang besar. Dia menunjukkannya pada Bimantara.“Bimantara! Lihat ini! Kita dapat ikan besar!” teriak Ki Walang begitu bahagia.Teriakan itu membuyarkan lamunanya. Bimantara langsung berjalan menuju Ki Walang. Kini dengan keberadaan kaki cahaya, membuatnya seolah memiliki kaki normal. Dia tak perlu lagi menggunakan tongkat untuk berjalan.“Ikannya besar sekali, Tuan Guru,” ucap Bimantara sangat bahagia.Ki Walang tersenyum lalu menatap kedua matanya yang terlihat memikirkan sesuatu. Ki Walang bisa menangkap itu. “Sedang apa tadi kau di sana?” tanya Ki Walang kemudian.“Aku belajar untuk mendengarkan sesuatu yang jauh di sana. Seperti yang Tuan Guru lakukan,” jawab Bimantara berbohong.Ki Walang tertawa. “Kau pikir itu bisa dilakukan dengan mudah?” ucap Ki Walang sambil mengulurkan ikan besar itu pada Bimantara.Bimantara meraihnya. “Meman
Bimantara melahap ikan bakarnya dengan cepat. Ki Walang yang duduk di dekatnya sambil tersenyum melihatnya. Mereka sedang duduk menghadap api unggun yang menyala besar.“Pelan-pelan. Nanti kau tertusuk tulang ikan,” ucap Ki Walang.“Ikannya enak sekali, Tuan Guru,” jawab Bimantara sambil tersenyum senang.Sesaat Ki Walang kembali teringat dengan mendiang anak lelakinya. Mungkin jika masih hidup, dia akan sebesar Bimantara. Bimantara heran melihat Ki Walang menatapnya sedih. Dia tak berani bertanya.“Siapa gadis yang datang bersamamu ke Perguruan Matahari itu?” tanya Ki Walang tiba-tiba, seolah bertanya kepada anaknya sendiri. Malam itu hubungan mereka sudah tak terlihat lagi seperti guru dan murid. Ki Walang mulai akrab dengannya. Bimantara pun merasakan kasih sayang Ki Walang padanya mirip kasih sayang seorang ayah kepada anaknya.Bimantara gugup mendengar pertanyaan itu, “Maksud guru… Dahayu?&rdquo
Dahayu terbaring di atas jerami. Matanya menerawang ke atas langit-langit kamarnya. Dia teringat di hari itu, hari ketika dia mulai memikirkan untuk menjadi seorang pendekar perempuan. Karena di hari itu dia mendengar sebuah kenyatakan pahit dalam hidupnya yang dirahasiakan oleh Sada dan Sukma – kedua orang tuanya.Dahayu tidak sengaja mendengar pertengkaran Sada dan Sukma saat dia pulang dari pasar membawa bakul kosong yang semula di isi penuh dagangannya.“Sampai kapan kita harus merahasiakan ini dari Dahayu, Kakang?" tanya Sukma pada Sada.Dahayu heran mendengar pertanyaan ibunya itu. Langkahnya terhenti tepat di depan kamar kedua orangtuanya lalu berusaha mencuri dengar apa yang akan dikatakan mereka selanjutnya."Dahayu tak perlu tahu kalau kamu bukan ibu kandungnya," jawab Sada.Dahayu terbelalak mendengarnya."Kenapa?" tanya Sukma heran."Aku takut jika Dahayu tahu, akan memunculkan dendam di hatinya pad
Bimantara mendayung perahunya dengan sekuat tenaga. Saat dia menoleh ke belakang, Ki Walang tampak duduk dengan tenang dalam posisi bertapa. Matanya terpejam. Mungkin dia sedang menerawang apa yang terjadi di Perguruan Matahari, pikir Bimantara. Laut tampak tenang. Perahu terus bergerak menuju arah yang ditunjukkan Ki Walang sejak tadi. Sesaat kemudian, Bimantara mendengar Ki Walang terbatuk. Dia menoleh ke belakang. Ki Walang tampak lemas dan memegang dadanya. Bimantara panik.“Guru! Guru kenapa?” tanya Bimantara menghentikan mendayungnya lalu mendekat ke Ki Walang dengan khawatirnya.“Teruslah mendayung! Aku tidak apa-apa,” jawab Ki Walang.“Tapi…”“Aku hanya terkena angin laut saja,” jawab Ki Walang.Mendengar itu Bimantara tampak tenang. Dia pun kembali mendayung perahunya dengan penuh semangat.“Jika kau lelah, biar aku yang menggantikan,” pinta Ki Walang.“
“Apa kau mencintaiku?” tanya Pangeran Sakai dengan gugup dan terbata.Dahayu tersenyum padanya. “Aku baru menyadarinya,” jawab Dahayu.Pangeran Sakai tersenyum bahagia mendengarnya. Dia tidak bisa membaca dari raut wajah dan sorot mata gadis itu. Dahayu melakukan itu semua karena itulah satu-satunya cara dia bisa membalaskan dendamnya pada Panglima Cakara. Dia akan mempermainkan cinta Pangeran Sakai agar kelak Pangeran Sakai bisa menariknya ke istana. Dahayu tidak tahu apakah cara itu cara yang terbaik baginya, namun setidaknya dia sudah berusaha agar mendiang ibunya tenang di alam sana dan ayahnya tidak lagi ketakutan untuk keluar dari persembunyiannya. Bagaimana pun juga, jika Panglima Cakara tahu keberadaan ayahnya, Panglima Cakara pasti akan membunuh ayahnya juga.Pangeran Sakai menatap wajah Dahayu dengan tatapan serius. “Kalau begitu, bisakah kau menjauhi Kancil dan Bimantara? Jangan lagi dekat dengan mereka! Mereka adalah mus
Panglima Cakara sedang menunganggi kudanya menembus hutan hendak kembali ke Istana. Dibelakangnya para prajuritnya mengikuti dengan kuda masing-masing. Tak berapa lama kemudian sebuah anak panah melesat dari atas pohon dan tertancap ke atas tanah tepat di hadapan kuda Panglima Cakara. Panglima Cakara menghentikan kudanya sambil memberi kode pada pasukannya dengan tangan kanannya mengarah ke atas agar mereka juga ikut menghentikan kuda masing-masing.Panglima Cakara memperhatikan sekitar dengan tegang. Para prajurit pun tampak tegang. Panglima Cakara heran dari mana asal anak panah itu? Dia pun turun dari kudanya lalu mencabut anak panah yang tertancap lalu memeriksa anak panah itu dengan seksama.“Anak panah ini bukan berasal dari kerjaan Nusantara Tengah dan Barat, bukan juga berasal dari Perguruan Matahari, bukan juga berasal dari perguruan Tengkorak,” ucap Panglima heran. Dia memang mengenali setiap senjata yang menjadi ciri khas dari wilayah yang disebu
Bimantara membuka matanya. Samar dia melihat Ki Walang berteriak memanggil-manggil namanya. Namun saat Bimantara hendak memanggil nama guru besarnya, pandangan matanya semakin buram. Tak lama kemudian dia rubuh lalu terlentang di atas tanah. Sosok yang menyerupa cahaya putih tiba-tiba datang. Tak lama kemudian dia melihat cahaya putih itu berubah menjadi sosok yang sangat dirindukannya.“A… yah…” ucap Bimantara lemah.“Kau memang anak nakal,” ucap Naga Wali padanya dengan wajah sedih.“Maafkan aku,” ucap Bimantara.“Ayah sudah bilang, jangan buka peti itu dan jangan kau pergi ke tempat ini, tapi kau tidak mengikuti kata ayah!”“Aku ingin membalaskan dendam ayah,” ucap Bimantara.Lalu Naga Wali kembali menyerupa menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahayanya menghilang. Kini yang terdengar teriakan Ki Walang di telinganya.“Bimantara!”Bimantara l