Pendekar Pedang Emas mengulurkan pedangnya ke hadapan Pangeran Kantata dengan tatapan tajamnya.“Serahkan Pedang Perak Cahaya Merah itu padaku! Jika kau mau selamat dari maut!” tantang Pendekar Pedang Emas padanya.Pangeran Kantata tertawa. “Kau tak akan bisa merebut pedang ini dariku! Justru kau yang harus menyingkir dariku jika tidak mau mati di tanganku!” ancam Pangeran Kantata.“Aku masih menghormatimu sebagai yang mulaiku! Jika kau tidak mau menyerahkan pedang itu, maka aku tak punya pilihan lain selain membunuhmu,” jawab Pendekar Pedang Emas.Pangeran Kantata langsung menyerang Pendekar Pedang Emas dengan pedangnya. Pendekar itu pun melawan serangan Pangeran Kantata dengan gesit. Petarungan keduanya tampak sengit dikelilingi oleh angin puting beliung.Semuanya menunggu siapa yang akan menang dan kalah dalam pertarungan itu. Kini, Pangeran Kantata hampir saja menusuk kaki Pendekar Pedang Emas, namun pendekar itu berhasil menghindarinya hingga dia langsung mengarahkan tendangannya
“Sekarang kau sudah memiliki pedang itu! Aku tak menyangka ternyata kaulah Candaka Uddhiharta yang ditunggu-tunggu para pendekar selama ini,” ucap Gajendra.“Aku tidak peduli siapa diriku! Yang aku pikirkan saat ini kau harus mati di tanganku! Kau telah membuat kekacauan demi kekacuan di bumi Nusantara ini!” teriak Bimantara, “Kau telah mengoyak ketenangan dan kedamian di bumi Nusantara ini!” Bimantara mengangkat pedangnya.Gajendra tertawa. “Kau tahu, keturunan-keturunan Raja di tiga kerajaan nusantra ini bukanlah keturuan yang sah untuk mendapatkan tahta?!” tanya Gajendra.Bimantara terkejut mendengarnya. Pangeran Dawuh, Kancil dan Pangeran Sakai pun terkejut mendengarnya.“Aku tidak tahu itu! Aku tidak peduli! Itu bukan urusanku!” teriak Bimantara.“Makanya aku memberitahumu anak muda! Leluhur mereka!” ucap Gajendra menunjuk Pangeran Sakai, Pangeran Dawuh dan Kancil. “Bukan keturunan yang sah untuk mendapatkan tahta kerajaan! Leluhurku lah yang seharusnya menjadi penguasa di bumi N
“Tuan Guruuuuu!” teriak murid-murid Gajendra tampak terduduk sedih melihat Gajendra tak lagi bernyawa.Seketika dinding pembatas tak terlihat terbuka. Para murid Gajendra berlarian hendak membalaskan dendam Tuan Gurunya. Bimantara dan semua pasukan yang mendukung Bimantara pun berlarian ke arah para pendekar bertopeng yang jumlahnya ratusan itu.Pertarungan kembali terjadi. Satu persatu dari para pendekar dari perguruan tengkorak itu tumbang di tangan Bimantara dan pasukan yang mendukungnya. Bimantara pun menggunakan tendangan seribunya melibas para pendekar dari perguruan tengkorak yang tersisa itu. Kini, semua dari murid Gajendra itu telah meregang nyawa. Mayat-mayat bergelimpangan di atas padang rumput itu.Bimantara berlutut sambil memegang pedangnya. Keringat bercucuran di dahinya. Matahari pun muncul di ufuk timur.“Misi kita telah berhasil Bimantara,” ucap Pangeran Dawuh terengah-engah.Tak lama kemudian air mata Bimantara mengalir ke pipinya. Pangeran Dawuh heran melihatnya.
Raja Dwilaga berdiri saat melihat kedatangan Panglima Sada sendirian menuju singgasananya. Semua pejabat istana pun berdiri dengan penasaran, menunggu laporan dari sang Panglima. Saat Panglima Sada tiba di hadapan Raja Dwilaga, dia berlutut penuh hormat padanya lalu bicara padanya. “Ampun, Yang Mulia. Pangeran Sakai dan teman-teman seperguruannya sudah berhasil melaksanakan misi perguruan matahari untuk membasmi keberadaan Perguruan Tengkorak di muka bumi ini! Saat ini Gajendra dan murid-muridnya telah mati,” ucap Panglima Sada. Raja Dwilaga tampak haru mendengarnya. “Syukurlah! Aku senang mendengarnya,” sahut Raja Dwilaga padanya. “Tapi ada berita duka yang ingin hamba sampaikan yang mulia!” ucap Panglima Sada. “Apa itu, Panglima?” tanya Raja Dwilaga penasaran. “Semua pasukanku gugur dalam membantu misi itu dan Pangeran Kantata yang tiba-tiba datang menghalangi misi Pangeran Sakai, telah mati di tangan Pangeran Sakai sendiri,” jawab Panglima Sada yang masih menunduk hormat pada
Lima kapal layar yang sangat besar tengah mengarungi lautan. Saat itu laut tampak tenang. Seorang Panglima berdiri di atas kapal layar yang paling depan. Dia adalah Panglima Susesa yang datang dari kerajaan Tala. Seorang prajurit berdiri di sampingnya. Panglima Susesa menoleh padanya.“Berapa lama lagi kita akan tiba di Nusantara?” tanyanya.“Mungkin lima hari lima malam lagi, Panglima,” jawabnya.Panglima Susesa pun terdiam lalu kembali menatap lautan di hadapannya. Dia mengarungi samudera dari Tala menuju Nusantara atas perintah yang mulia rajanya. Beberapa upeti sudah disimpan baik-baik di perut kapal. Surat dari yang mulia rajanya untuk para raja di Nusantara sudah dia simpannya dengan baik.“Apa yang terjadi jika mereka menolak kedatangan kita, Panglima?” tanya prajuritnya.“Apapun itu, pesan dari yang mulia raja harus sampai kepada mereka. Jika tidak, mungkin peperangan jalannya,” jawab Panglima Susesa.Prajurit itu pun terdiam.“Sebenarnya, apakah tujuan yang mulia raja hanya u
Pangeran Sakai berlutut di hadapan Raja Dwilaga di singgasana. Raja Dwilaga telah menjemput Pangeran Sakai di perguruan Matahari untuk menghadapnya sementara sebelum dia melaksanakan tugas terakhir di perguruan – mencari kitab sakti. Di sana sudah duduk Panglima Sada dan para pejabat istana.“Maafkan aku, yang mulia. Sepertinya rencana mengadakan upacara ikrar itu harus dibatalkan,” pinta Pangeran Sakai.Raja Dwilaga terkejut mendengarnya. Panglima Sada pun tak kalah terkejutnya.“Kenapa?”“Aku telah salah sangka. Aku kira Dahayu selama ini mencintaiku, ternyata itu dilakukan Dahayu karena tidak enak kepadaku, karena aku seorang Pangeran dari kerjaan ini, dia tidak bisa menolak cintaku sementara hatinya bukan untukku,” jawab Pangeran Sakai.Raja Dwilaga berdiri dengan marah.“Itu artinya Dahayu telah membohongimu dan mengkhianatimu! Dia harus dihukum!” geram Raja Dwilaga.Panglima Sada tampak panik mendengarnya, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Pangeran Sakai bersujud padanya.“I
“Apa yang ingin kau ingat lagi itu, Dahayu?” tanya Welas.“Bisakah kau melakukannya tanpa perlu aku menjelaskannya?” tanya Dahayu.“Kita duduk di lantai saja,” pinta Welas.Mereka pun duduk bersila saling menghadap. Welas menatap Dahayu dengan tatapan serius.“Pejamkan matamu,” pinta Welas.Dahayu mengangguk. Gadis itu pun memejamkan matanya. Tak lama kemudian Welas membacakan mantra lalu di tangannya keluar cahaya putih. Welas menempelkan cahaya putih itu ke kening Dahayu.Tak berapa lama kemudian Welas melihat Dahayu sedang berlari di padang bunga yang bermekaran. Padang bunga itu sangat luas. Dahayu menarik tangan seorang lelaki sambil berlari menembus bebungaan yang harumnya tercium ke hidungangnya di sana. Namun saat Welas berusaha untuk ingin melihat siapa lelaki yang tangannya dipegang tangan Dahayu itu, Welas tidak bisa melihatnya.GUBRAAAK!Dahayu dan Welas terkejut ketika mendapati pintu kamarnya terbuka dan Nyi Laksita sudah berdiri di ambang pintu dengan mata melotot.“Apa
Kepala Perguruan menatap wajah Bimantara dengan lekat.“Suwarnadwipa adalah negeri nun jauh dari negeri kita. Wilayah asing yang tidak termasuk dari kekuasaan tiga kerajaan di negeri kita. Mereka pun memiliki perguruan sendiri yang keagungannya sama dengan Perguruan Matahari,” ucap Kepala Perguruan.Bimantara mendengarkannya dengan serius.Kepala Perguruan kembali melanjutkan kata-katanya. “Jangan pernah menggunakan ajian penakluk binatang jika sudah memasuki wilayah Suwarnadwipa. Ajian itu hanya untuk di negeri kita saja.”“Memangnya kenapa jika aku menggunakan ajian itu, Tuan Guru?” tanya Bimantara penasaran.“Semua makhluk yang ada di Suwarnadwipa adalah milik kerjaan di sana. Itu sama saja kau mencoba menguasai para prjaurit di kerajaan sana. Itu tidak terhormat dan perbuatan terlarang di dalam dunia persilatan,” jawab Kepala Perguruan.“Padahal aku ingin mengajak Tuan Nagaku untuk be
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it