Panglima Sada berdiri di atas pagar istana kerajaan Nusantara Timur. Matanya mengawasi mayat-mayat hidup yang mencoba masuk ke dalam istana. Tak ada lagi penduduk yang meminta untuk diselamatkan di luar pagar sana. Semuanya sudah berada di dalam tujuh lapis gerbang istana.“Harimau!” teriak salah satu dari prajurit.Panglima Sada terkejut mendengarnya. Dia melihat ke bawah sana. Di belakang mayat-mayat hidup yang mencoba mendorong gerbang istana itu datang satu harimau besar hendak menuju ke mayat-mayat hidup itu.“Apakah kita harus memanahnya, Tuan Panglima?” tanya salah satu dari prajuritnya.“Tunggu dulu!” pinta Panglima Sada padanya.Tak lama kemudian berdatangan harimau-harimau lainnya dan binatang buas lainnya. Elang berterbangan di atas sana. Mereka baru berdatangan. Panglima Sada dan para prajurit terbelalak tak percaya melihat kedatangan mereka.“Apa yang harus kita lakukan, Tuan Panglima?! Binatang-binatang buas itu bisa saja memasuki istana dan menerkam kita semua?” tanya p
Panglima Sada mendapat surat dari prajuritnya. Surat yang datang dari Perguruan Matahari melalui burung merpati. Di atas pagar istana dia segera membaca surat itu. Dia terbelalak ketika mengetahui bahwa Pangeran Sakai ikut andil dalam misi perguruan untuk mencari keberadaan Perguruan Tengkorak. Di dalam surat itu, Kepala Perguruan belum memberitahukan mengenai Dahayu yang kembali ke alam peri. Entah apa alasan Kepala Perguruan masih merahasiakannya kepada ayahnya sendiri.Panglima Sada pun buru-buru turun dari atas pagar. Dia menaiki kudanyanya untuk menyampaikan surat itu kepada Rajanya. Sesampainya dia di hadapan Raja Dwilaga, Panglima Sada menyampaikan isi surat itu kepadanya dengan penuh hormat.Raja Dwilaga terkejut mendengarnya.“Kenapa Kepala Perguruan membiarkan Pangeran ikut andil dalam misi itu?” tanya Raja Dwilaga penuh kekhawatiran dan amarah.“Hamba tidak tahu yang mulia,” jawab Panglima Sada.“Kepala Perguruan sudah tahu kalau Pangeran adalah penerus tahtaku, kenapa dia
Pendekar Pedang Emas datang ke kediaman Kepala Perguruan. Dia menghadap dengan penuh hormat padanya. Pendekar Pedang Emas tampak heran melihat raut wajah Kepala Perguruan yang menyiratkan penuh kekhawatiran.“Apakah sudah ada kabar dari Bimantara, Tuan Guru?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan khawatir.“Hingga siang ini belum ada kabar apapun yang aku terima darinya. Merpati tak datang padaku untuk menerima suratnya,” jawab Kepala Perguruan dengan sedih.“Bagaimana dengan Pangeran Sakai dan Pangeran Pangaraban? Apakah Istana sudah mengetahui kepergian mereka bersama Bimantara?”“Aku sudah mengirimkan surat kepada dua kerajaan itu. Aku tidak tahu bagaimana respon para yang mulia raja. Tapi tindakan kita sudah tepat. Mereka pasti sudah mengerti bagaimana jika para leluhur yang meminta,” jawab Kepala Perguruan.“Lalu mengenai Dahayu?”“Aku belum memberitahukannya pada Panglima Sada,” jawab Kepala Perguruan dengan bingung.Pendekar Pedang Emas terkejut mendengarnya. “Kenapa belum diberita
Pendekar Rambut Emas tiba di depan gua dengan kudanya. Tak lama kemudian anak panah meluncur padanya. Dengan gerakan cepat Pendekar Rambut Emas menangkap anak panah itu satu persatu dan sebagiannya ditendangnya hingga anak panah itu menancap ke batang pohon dan sebagian jatuh ke atas tanah. Tak lama kemudian Nyi Sengkuni melompat dari atas tebing lalu mendarat ke hadapan Pendekar Rambut Emas. “Siapa kau? Kenapa kau berada di sini?” tanya Nyi Sengkuni dengan heran. “Aku diutus perguruan matahari untuk mencari keberadaan Nyi Sengkuni,” jawab Pendekar Rambut Emas padanya. Nyi Sengkuni mengernyit heran. “Kenapa Perguruan Matahari mencariku?” Pendekar Rambut Emas turun dari kudanya lalu berjalan mendekat ke Nyi Sengkuni dengan penuh hati-hati. “Dahayu kembali ke alam peri,” jawab Pendekar Rambut Emas. Nyi Sengkuni terbelalak mendengarnya. “Dahayu kembali ke alam peri? Siapa yang menghilangkan cahaya biru di dalam tubuhnya?” tanya Nyi Sengkuni heran. “Dia telah mengalirkan tenaga dal
Kesepuluh pendekar bertopeng itu langsung menyerang Bimantara dan sekawanannya dengan jurus-jurusnya. Bimantara pun melawan salah satu pendekar bertopeng itu dengan tongkatnya. Dia mencoba menahan pukulan demi pukulan dengan tongkatnya. Saat pendekar bertopeng itu hendak menendang dada Bimantara, Bimantara langsung sigap menghindarinya hingga tongkatnya berhasil memukul kepala lawannya itu. Pendekar bertopeng pun rubuh hingga kepalanya menghantam batu.Saat itu juga Bimantara melompat lalu mendaratkan kakinya ke perut pendekar bertopeng itu hingga pendekar itu memuntahkan darah. Seketika kaki cahaya naganya menyala, Bimantara langsung menendangnya hingga tubuhnya terpelanting jauh.Di belakang Bimantara, satu pendekar hendak menusukkan pedangnya ke punggung Bimantara. Pangeran Dawuh yang sedang beradu dengan pendekar topeng lainnya tampak terkejut.“Bimantara! Di belakangmu!” teriak Pangeran Dawuh.Secepat kilat Bimantara berbalik lalu menghindari pedang musuhnya yang baru datang itu.
Panglima Sada dan pasukannya memacukan kuda menembus jalanan berbatu yang di pinggir kiri dan kanannya adalah hutan rimba. Mereka semua sudah memakai pakaian perang lengkap dengan tameng dan penutup kepala. Tombak dan anak panah sudah dibawa masing-masing prajurit. Panglima Sada yang berada paling depan tampak begitu semangat memacukan kudanya.Hari sudah hampir gelap. Kuda yang ditunggangi Panglima Sada tiba-tiba berhenti dan mengangkat kedua kaki depannya sambil bersuara kencang. Para prajurit di belakangnya pun terpaksa menghentikan kuda masing-masing.“Ada apa, Panglima?” tanya salah satu Prajurit dengan heran.“Aku tidak tahu. Mungkin karena hari sudah mulai gelap, kita harus berhati-hati. Mayat-mayat hidup bisa saja keluar dari hutan lalu tiba-tiba menyerang kita,” jawab Panglima Sada.Para prajurit langsung mengitari tempat itu. Tak lama kemudian kabut putih berdatangan. Pandangan mereka menjadi buram.“Bagaimana ini, Panglima? Apakah kita tetap melanjutkan perjalanan atau isti
Arwah Gantari tiba di hadapan gubuk tuanya dengan sedih. Saat dia melihat selendang hitam yang terkait di gubuk tuanya, Gantari heran lalu menatap selendang itu dengan lekat. Dia ingat, selendang itu adalah milik Nyi Sengkuni.“Sengkuni? Apa dia ke sini mencariku? Aku sudah lama menantinya, kemana dia sekarang?” tanya Gantari sambil mengitari sekitar gubuk. Dia melihat bekas kaki kuda di atas tanah. Gantari pun langsung terbang mencari keberadaan Nyi Sengkuni setelah melihat bekas kuda itu.Sementara itu, Nyi Sengkuni dan Pendekar Rambut Emas masih menunggangi kuda masing-masing menuju mata air abadi. Tak lama kemudian mereka melihat kabut datang. Nyi Sengkuni menghentikan kudanya. Pendekar Rambut Emas pun menghentikan kudanya dengan heran.“Ada apa?” tanya Pendekar Rambut Emas.“Kabut ini adalah kabut dari negeri peri,” jawab Nyi Sengkuni.“Apakah ini pertanda dari ibunya Dahayu?” tanya Pendekar Rambut Emas dengan heran.“Tadi aku telah menaruh selendangku di gubuk tua itu. Mungkin G
Pasukan Panglima Aras dari kerajaan Nusantara Barat memasuki padang ilalang yang luas. Obor api yang menyala terang berada di tangan para prajurit. Langit malam dihiasi bulan sabit. Bintang-bintang tak begitu nampak karena sebagian langit ditutupi awan. Semuanya telah memakai pakaian pelindung baja untuk menghindari gigitan mayat hidup jika mendadak menyerang mereka. Mereka tengah diperintahkan Sang Raja untuk membantu Pangeran Pangaraban alias Kancil dalam misi pencarian tempat persembunyian Perguruan Tengkorak.Panglima Aras tidak tahu kemana Pangeran Pangaraban dan sekawanannya dari Perguruan Matahari menuju. Dia hanya berbekal petunjuk dari penerawangan tetua istana. Arah yang mereka tuju adalah arah yang dikatakan tetua padanya.Mendadak burung gagak beterbangan di atas sana. Panglima Aras menatap ke atas. Kekhawatirannya mulai tampak ketika melihat sekawanan burung gagak di atas sana. Burung gagak adalah petanda kematian. Tiba-tiba Panglima Aras menghentikan kudanya ketika meli