“Kembalikan mereka ke tempat persembunyiannya! Kau harus segera pergi menemui Kepala Perguruan bersama yang lainnya,” pinta Ki Walang.“Baik,Tuan Guru,” jawab Bimantara.Bimantara pun kembali memejamkan mata dan bergumam. Tak lama kemudian ratusan kalajengking itu kembali berjalan menuju tempat bersembunyian masing-masing.Bimantara pun menatap Pangeran Sakai dan yang lainnya.“Sekarang kita harus berangkat ke pulau seberang malam ini juga,” pinta Bimantara.“Apakah hanya seperti ini?” tanya Pangeran Sakai heran.“Aku sudah menyiapkan pakaian terbaik untuk kalian semuanya,” ucap Bimantara.Semua heran. “Pakaian apa itu, Bimantara?” tanya Kancil penasaran.Bimantara tersenyum pada mereka.***Bimantara tersenyum menatap Pangeran Sakai dan yang lainnya sudah memakai pakaian perang terbuat dari baja. Pakaian itu Bimantara dapatkan dari Ki Walang. Pangeran Sakai dan Kancil tampak memperhatikan pakaian perang yang sudah mereka pakai. Ini untuk pertama kalinya mereka memakai pakaian seperti
Panglima Sada berdiri di atas pagar istana kerajaan Nusantara Timur. Matanya mengawasi mayat-mayat hidup yang mencoba masuk ke dalam istana. Tak ada lagi penduduk yang meminta untuk diselamatkan di luar pagar sana. Semuanya sudah berada di dalam tujuh lapis gerbang istana.“Harimau!” teriak salah satu dari prajurit.Panglima Sada terkejut mendengarnya. Dia melihat ke bawah sana. Di belakang mayat-mayat hidup yang mencoba mendorong gerbang istana itu datang satu harimau besar hendak menuju ke mayat-mayat hidup itu.“Apakah kita harus memanahnya, Tuan Panglima?” tanya salah satu dari prajuritnya.“Tunggu dulu!” pinta Panglima Sada padanya.Tak lama kemudian berdatangan harimau-harimau lainnya dan binatang buas lainnya. Elang berterbangan di atas sana. Mereka baru berdatangan. Panglima Sada dan para prajurit terbelalak tak percaya melihat kedatangan mereka.“Apa yang harus kita lakukan, Tuan Panglima?! Binatang-binatang buas itu bisa saja memasuki istana dan menerkam kita semua?” tanya p
Panglima Sada mendapat surat dari prajuritnya. Surat yang datang dari Perguruan Matahari melalui burung merpati. Di atas pagar istana dia segera membaca surat itu. Dia terbelalak ketika mengetahui bahwa Pangeran Sakai ikut andil dalam misi perguruan untuk mencari keberadaan Perguruan Tengkorak. Di dalam surat itu, Kepala Perguruan belum memberitahukan mengenai Dahayu yang kembali ke alam peri. Entah apa alasan Kepala Perguruan masih merahasiakannya kepada ayahnya sendiri.Panglima Sada pun buru-buru turun dari atas pagar. Dia menaiki kudanyanya untuk menyampaikan surat itu kepada Rajanya. Sesampainya dia di hadapan Raja Dwilaga, Panglima Sada menyampaikan isi surat itu kepadanya dengan penuh hormat.Raja Dwilaga terkejut mendengarnya.“Kenapa Kepala Perguruan membiarkan Pangeran ikut andil dalam misi itu?” tanya Raja Dwilaga penuh kekhawatiran dan amarah.“Hamba tidak tahu yang mulia,” jawab Panglima Sada.“Kepala Perguruan sudah tahu kalau Pangeran adalah penerus tahtaku, kenapa dia
Pendekar Pedang Emas datang ke kediaman Kepala Perguruan. Dia menghadap dengan penuh hormat padanya. Pendekar Pedang Emas tampak heran melihat raut wajah Kepala Perguruan yang menyiratkan penuh kekhawatiran.“Apakah sudah ada kabar dari Bimantara, Tuan Guru?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan khawatir.“Hingga siang ini belum ada kabar apapun yang aku terima darinya. Merpati tak datang padaku untuk menerima suratnya,” jawab Kepala Perguruan dengan sedih.“Bagaimana dengan Pangeran Sakai dan Pangeran Pangaraban? Apakah Istana sudah mengetahui kepergian mereka bersama Bimantara?”“Aku sudah mengirimkan surat kepada dua kerajaan itu. Aku tidak tahu bagaimana respon para yang mulia raja. Tapi tindakan kita sudah tepat. Mereka pasti sudah mengerti bagaimana jika para leluhur yang meminta,” jawab Kepala Perguruan.“Lalu mengenai Dahayu?”“Aku belum memberitahukannya pada Panglima Sada,” jawab Kepala Perguruan dengan bingung.Pendekar Pedang Emas terkejut mendengarnya. “Kenapa belum diberita
Pendekar Rambut Emas tiba di depan gua dengan kudanya. Tak lama kemudian anak panah meluncur padanya. Dengan gerakan cepat Pendekar Rambut Emas menangkap anak panah itu satu persatu dan sebagiannya ditendangnya hingga anak panah itu menancap ke batang pohon dan sebagian jatuh ke atas tanah. Tak lama kemudian Nyi Sengkuni melompat dari atas tebing lalu mendarat ke hadapan Pendekar Rambut Emas. “Siapa kau? Kenapa kau berada di sini?” tanya Nyi Sengkuni dengan heran. “Aku diutus perguruan matahari untuk mencari keberadaan Nyi Sengkuni,” jawab Pendekar Rambut Emas padanya. Nyi Sengkuni mengernyit heran. “Kenapa Perguruan Matahari mencariku?” Pendekar Rambut Emas turun dari kudanya lalu berjalan mendekat ke Nyi Sengkuni dengan penuh hati-hati. “Dahayu kembali ke alam peri,” jawab Pendekar Rambut Emas. Nyi Sengkuni terbelalak mendengarnya. “Dahayu kembali ke alam peri? Siapa yang menghilangkan cahaya biru di dalam tubuhnya?” tanya Nyi Sengkuni heran. “Dia telah mengalirkan tenaga dal
Kesepuluh pendekar bertopeng itu langsung menyerang Bimantara dan sekawanannya dengan jurus-jurusnya. Bimantara pun melawan salah satu pendekar bertopeng itu dengan tongkatnya. Dia mencoba menahan pukulan demi pukulan dengan tongkatnya. Saat pendekar bertopeng itu hendak menendang dada Bimantara, Bimantara langsung sigap menghindarinya hingga tongkatnya berhasil memukul kepala lawannya itu. Pendekar bertopeng pun rubuh hingga kepalanya menghantam batu.Saat itu juga Bimantara melompat lalu mendaratkan kakinya ke perut pendekar bertopeng itu hingga pendekar itu memuntahkan darah. Seketika kaki cahaya naganya menyala, Bimantara langsung menendangnya hingga tubuhnya terpelanting jauh.Di belakang Bimantara, satu pendekar hendak menusukkan pedangnya ke punggung Bimantara. Pangeran Dawuh yang sedang beradu dengan pendekar topeng lainnya tampak terkejut.“Bimantara! Di belakangmu!” teriak Pangeran Dawuh.Secepat kilat Bimantara berbalik lalu menghindari pedang musuhnya yang baru datang itu.
Panglima Sada dan pasukannya memacukan kuda menembus jalanan berbatu yang di pinggir kiri dan kanannya adalah hutan rimba. Mereka semua sudah memakai pakaian perang lengkap dengan tameng dan penutup kepala. Tombak dan anak panah sudah dibawa masing-masing prajurit. Panglima Sada yang berada paling depan tampak begitu semangat memacukan kudanya.Hari sudah hampir gelap. Kuda yang ditunggangi Panglima Sada tiba-tiba berhenti dan mengangkat kedua kaki depannya sambil bersuara kencang. Para prajurit di belakangnya pun terpaksa menghentikan kuda masing-masing.“Ada apa, Panglima?” tanya salah satu Prajurit dengan heran.“Aku tidak tahu. Mungkin karena hari sudah mulai gelap, kita harus berhati-hati. Mayat-mayat hidup bisa saja keluar dari hutan lalu tiba-tiba menyerang kita,” jawab Panglima Sada.Para prajurit langsung mengitari tempat itu. Tak lama kemudian kabut putih berdatangan. Pandangan mereka menjadi buram.“Bagaimana ini, Panglima? Apakah kita tetap melanjutkan perjalanan atau isti
Arwah Gantari tiba di hadapan gubuk tuanya dengan sedih. Saat dia melihat selendang hitam yang terkait di gubuk tuanya, Gantari heran lalu menatap selendang itu dengan lekat. Dia ingat, selendang itu adalah milik Nyi Sengkuni.“Sengkuni? Apa dia ke sini mencariku? Aku sudah lama menantinya, kemana dia sekarang?” tanya Gantari sambil mengitari sekitar gubuk. Dia melihat bekas kaki kuda di atas tanah. Gantari pun langsung terbang mencari keberadaan Nyi Sengkuni setelah melihat bekas kuda itu.Sementara itu, Nyi Sengkuni dan Pendekar Rambut Emas masih menunggangi kuda masing-masing menuju mata air abadi. Tak lama kemudian mereka melihat kabut datang. Nyi Sengkuni menghentikan kudanya. Pendekar Rambut Emas pun menghentikan kudanya dengan heran.“Ada apa?” tanya Pendekar Rambut Emas.“Kabut ini adalah kabut dari negeri peri,” jawab Nyi Sengkuni.“Apakah ini pertanda dari ibunya Dahayu?” tanya Pendekar Rambut Emas dengan heran.“Tadi aku telah menaruh selendangku di gubuk tua itu. Mungkin G
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it