Pendekar Pedang Emas datang ke kediaman Kepala Perguruan. Dia menghadap dengan penuh hormat padanya. Pendekar Pedang Emas tampak heran melihat raut wajah Kepala Perguruan yang menyiratkan penuh kekhawatiran.“Apakah sudah ada kabar dari Bimantara, Tuan Guru?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan khawatir.“Hingga siang ini belum ada kabar apapun yang aku terima darinya. Merpati tak datang padaku untuk menerima suratnya,” jawab Kepala Perguruan dengan sedih.“Bagaimana dengan Pangeran Sakai dan Pangeran Pangaraban? Apakah Istana sudah mengetahui kepergian mereka bersama Bimantara?”“Aku sudah mengirimkan surat kepada dua kerajaan itu. Aku tidak tahu bagaimana respon para yang mulia raja. Tapi tindakan kita sudah tepat. Mereka pasti sudah mengerti bagaimana jika para leluhur yang meminta,” jawab Kepala Perguruan.“Lalu mengenai Dahayu?”“Aku belum memberitahukannya pada Panglima Sada,” jawab Kepala Perguruan dengan bingung.Pendekar Pedang Emas terkejut mendengarnya. “Kenapa belum diberita
Pendekar Rambut Emas tiba di depan gua dengan kudanya. Tak lama kemudian anak panah meluncur padanya. Dengan gerakan cepat Pendekar Rambut Emas menangkap anak panah itu satu persatu dan sebagiannya ditendangnya hingga anak panah itu menancap ke batang pohon dan sebagian jatuh ke atas tanah. Tak lama kemudian Nyi Sengkuni melompat dari atas tebing lalu mendarat ke hadapan Pendekar Rambut Emas. “Siapa kau? Kenapa kau berada di sini?” tanya Nyi Sengkuni dengan heran. “Aku diutus perguruan matahari untuk mencari keberadaan Nyi Sengkuni,” jawab Pendekar Rambut Emas padanya. Nyi Sengkuni mengernyit heran. “Kenapa Perguruan Matahari mencariku?” Pendekar Rambut Emas turun dari kudanya lalu berjalan mendekat ke Nyi Sengkuni dengan penuh hati-hati. “Dahayu kembali ke alam peri,” jawab Pendekar Rambut Emas. Nyi Sengkuni terbelalak mendengarnya. “Dahayu kembali ke alam peri? Siapa yang menghilangkan cahaya biru di dalam tubuhnya?” tanya Nyi Sengkuni heran. “Dia telah mengalirkan tenaga dal
Kesepuluh pendekar bertopeng itu langsung menyerang Bimantara dan sekawanannya dengan jurus-jurusnya. Bimantara pun melawan salah satu pendekar bertopeng itu dengan tongkatnya. Dia mencoba menahan pukulan demi pukulan dengan tongkatnya. Saat pendekar bertopeng itu hendak menendang dada Bimantara, Bimantara langsung sigap menghindarinya hingga tongkatnya berhasil memukul kepala lawannya itu. Pendekar bertopeng pun rubuh hingga kepalanya menghantam batu.Saat itu juga Bimantara melompat lalu mendaratkan kakinya ke perut pendekar bertopeng itu hingga pendekar itu memuntahkan darah. Seketika kaki cahaya naganya menyala, Bimantara langsung menendangnya hingga tubuhnya terpelanting jauh.Di belakang Bimantara, satu pendekar hendak menusukkan pedangnya ke punggung Bimantara. Pangeran Dawuh yang sedang beradu dengan pendekar topeng lainnya tampak terkejut.“Bimantara! Di belakangmu!” teriak Pangeran Dawuh.Secepat kilat Bimantara berbalik lalu menghindari pedang musuhnya yang baru datang itu.
Panglima Sada dan pasukannya memacukan kuda menembus jalanan berbatu yang di pinggir kiri dan kanannya adalah hutan rimba. Mereka semua sudah memakai pakaian perang lengkap dengan tameng dan penutup kepala. Tombak dan anak panah sudah dibawa masing-masing prajurit. Panglima Sada yang berada paling depan tampak begitu semangat memacukan kudanya.Hari sudah hampir gelap. Kuda yang ditunggangi Panglima Sada tiba-tiba berhenti dan mengangkat kedua kaki depannya sambil bersuara kencang. Para prajurit di belakangnya pun terpaksa menghentikan kuda masing-masing.“Ada apa, Panglima?” tanya salah satu Prajurit dengan heran.“Aku tidak tahu. Mungkin karena hari sudah mulai gelap, kita harus berhati-hati. Mayat-mayat hidup bisa saja keluar dari hutan lalu tiba-tiba menyerang kita,” jawab Panglima Sada.Para prajurit langsung mengitari tempat itu. Tak lama kemudian kabut putih berdatangan. Pandangan mereka menjadi buram.“Bagaimana ini, Panglima? Apakah kita tetap melanjutkan perjalanan atau isti
Arwah Gantari tiba di hadapan gubuk tuanya dengan sedih. Saat dia melihat selendang hitam yang terkait di gubuk tuanya, Gantari heran lalu menatap selendang itu dengan lekat. Dia ingat, selendang itu adalah milik Nyi Sengkuni.“Sengkuni? Apa dia ke sini mencariku? Aku sudah lama menantinya, kemana dia sekarang?” tanya Gantari sambil mengitari sekitar gubuk. Dia melihat bekas kaki kuda di atas tanah. Gantari pun langsung terbang mencari keberadaan Nyi Sengkuni setelah melihat bekas kuda itu.Sementara itu, Nyi Sengkuni dan Pendekar Rambut Emas masih menunggangi kuda masing-masing menuju mata air abadi. Tak lama kemudian mereka melihat kabut datang. Nyi Sengkuni menghentikan kudanya. Pendekar Rambut Emas pun menghentikan kudanya dengan heran.“Ada apa?” tanya Pendekar Rambut Emas.“Kabut ini adalah kabut dari negeri peri,” jawab Nyi Sengkuni.“Apakah ini pertanda dari ibunya Dahayu?” tanya Pendekar Rambut Emas dengan heran.“Tadi aku telah menaruh selendangku di gubuk tua itu. Mungkin G
Pasukan Panglima Aras dari kerajaan Nusantara Barat memasuki padang ilalang yang luas. Obor api yang menyala terang berada di tangan para prajurit. Langit malam dihiasi bulan sabit. Bintang-bintang tak begitu nampak karena sebagian langit ditutupi awan. Semuanya telah memakai pakaian pelindung baja untuk menghindari gigitan mayat hidup jika mendadak menyerang mereka. Mereka tengah diperintahkan Sang Raja untuk membantu Pangeran Pangaraban alias Kancil dalam misi pencarian tempat persembunyian Perguruan Tengkorak.Panglima Aras tidak tahu kemana Pangeran Pangaraban dan sekawanannya dari Perguruan Matahari menuju. Dia hanya berbekal petunjuk dari penerawangan tetua istana. Arah yang mereka tuju adalah arah yang dikatakan tetua padanya.Mendadak burung gagak beterbangan di atas sana. Panglima Aras menatap ke atas. Kekhawatirannya mulai tampak ketika melihat sekawanan burung gagak di atas sana. Burung gagak adalah petanda kematian. Tiba-tiba Panglima Aras menghentikan kudanya ketika meli
“Kurang cocok bagaimana? Bukan kah itu sudah tepat? Memangnya yang cocok bagaimana?” tanya Pangeran Sakai geram.“Membunuh kedelapan pendekar terlebih dahulu akan memancing yang lainnya untuk membantu. Kita bukan sedang menyerang orang-orang tidur. Di sana tidak semuanya sedang mabuk. Pasti ada yang berjaga dan yang berjaga itu banyak jumlahnya,” ucap Bimantara.“Lalu serangan seperti apa yang harus kita lakukan?” tanya Pangeran Sakai penasaran.“Kalian semua mendekat padaku,” pinta Bimantara.Semua heran lalu mendekat ke Bimantara. Bimantara pun berbisik pada mereka. Semua mendengarkan dengan serius. Tampak diwajah Pangeran Sakai mulai mengakui ide yang dilontarkan Bimantara.“Bagaimana?” tanya Bimantara.“Aku setuju!” jawab Pangeran Dawuh dan Kancil bersamaan.Sementara Pangeran Sakai terdiam. Rajo, Wira, Sanum dan Welas menatap ke Pangeran Sakai. Dalam hati mereka sangat setuju, namun melihat Pangeran Sakai tampak masih kurang setuju, mereka memilih diam karena tidak enak terlihat
Pendekar Rambut Emas tengah memacukan kudanya untuk kembali ke Perguruan Matahari. Mayat-mayat hidup yang hendak menyerangnya dari dalam hutan dia lilit dengan selandangnya lalu dilemparkannya ke kejauhan. Pikirannya masih mengingat apa yang dibicarakan Gantari tentang Dahayu saat dia bertemu dengannya bersama Nyi Sengkuni.“Aku tidak bisa lagi kembai ke sana. Aku sudah menjadi arwah yang sebelum kematianku adalah sosok manusia,” ucap Gantari. “Dan tak ada yang bisa mengembalikan Dahayu ke alam manusia kecuali lelaki yang sangat dicintainya.”“Aku tahu siapa yang dicintainya,” ucap Nyi Sengkuni.“Maksudmu Bimantara?” tanya Gantari.“Iya, dia pernah membawa Dahayu ke tempatku,” jawab Nyi Sengkuni.“Ternyata benar dugaanku,” sahut Pendekar Rambut Emas.“Kita harus meminta Bimantara untuk memanggilnya di mata air abadi,” pinta Gantari.“Tapi waktu itu Bimantara sudah ke sana dan katanya dia tidak berhasil menemukan Dahayu di sana,” ucap Pendekar Rambut Emas heran.Gantari terkejut menden