Malam semakin larut. Suasana di tempat hiburan malam itu semakin ramai. apalagi ketika pukul dua puluh tiga malam, diskotik mulai dibuka di tempat hiburan itu, suara dentuman musik yang dimainkan oleh DJ cukup membuat pecah seisi ruangan.
Suara musik saling bertabrakan. Ada yang menyanyi di room-room karaoke, dan ada juga yang berjoged di diskotik tempat hiburan malam ini.
"Satya, jangan terlalu banyak minum! Ingat kamu tidak biasa minum banyak!" bisik Dirga saat sahabatnya itu berulang-ulang meneguk gelas yang berisi minuman keras.
Sepertinya Satya tidak mendengarkan nasehat Dirga. Pria itu benar-benar lepas kendali hingga dia mengalami mabuk berat malam ini.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dirga segera berpamitan pada Mr. Jhonson untuk undur diri.
Dipapahnya seorang pria yang berjalan sempoyongan itu keluar dari area klub malam menuju tempat parkir mobil.
"Aku bahagia, aku bahagia!" teriak Satya saat berada di
Subuh pun menjelang. Hilya mulai membersihkan diri di kamar mandi karena dia hendak melaksanakan ibadah sholat subuh.Setelah hampir tiga puluh menit di kamar mandi Hilya mulai keluar."Kreek!!" Hilya membuka pintu kamar mandi dengan pelan.Berlahan dia melangkah keluar."Ya Tuhan! sakit sekali kepalaku," gumam Satya yang baru saja terjaga dari tidurnya.Pria itu terlihat memijit-mijit kepalanya dengan tangan kanannya."Hilya?"Satya tercengang ketika menoleh ke arah Hilya yang baru keluar dari kamar mandi.Ditatapnya dengan seksama wajah wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah tergerai.Satya mulai berfikir dan mengingat-ingat apa yang sudah dilakukannya kepada Hilya beberapa jam yang lalu."Apa yang aku lakukan padamu?" tanya pria yang belum mengenakan sehelai pakaian itu dengan menatap tajam mata Hilya.Hilya bergeming tidak menjawab pertanyaan suaminya.Seketika Satya me
Satya terlihat cemas dan gelisah saat mendengar ungkapan Dirga yang akan melakukan visum kepada Hilya."Dirga?"Terdengar suara lirih Satya memanggil pria yang hendak meninggalkan ruangannya itu."Ya. Apa?""Mmm... Aku... Aku, aku sudah melakukan sebuah kesalahan.""Maksudmu?""Aku tidak sengaja melakukannya. Aku dalam pengaruh alkohol malam itu. Aku tidak sengaja melakukan semuanya pada Hilya," jelas Satya dengan suara gemetar."Maksudmu, kamu sudah?....""Ya, aku sudah menggauli gadis itu," ucap Satya dengan suara lirih.Pria itu tampak lemas setelah menjelaskan semuanya pada Dirga."Hmmmh!!"Dirga membuang nafasnya keras. Pria yang semula hendak keluar dari ruang kerja sahabatnya itu, kini mengurungkan niatnya."Lalu bagaimana?" tanya Dirga kemudian."Mmm... Aku sudah pikirkan semuanya. Aku harus segera mengakhiri pernikahan konyol ini. Aku sudah tidak memperdulikan resikonya. Aku tetap aka
Hilya berjalan menyusuri jalanan ibu kota setelah keluar dari apartemen milik Satya.Air matanya terus mengalir."Ummi, Abah!" ucapnya lirih sembari menyeka air matanya yang tidak berhenti mengalir.Wanita itu terus berjalan, hampir setengah hari dia berjalan, hingga akhirnya dia berhenti di sebuah halte.Hilya duduk dan beristirahat di kursi halte yang membujur panjang. Hatinya masih diselimuti kesedihan. Dia duduk membungkuk dengan menutup kedua matanya. Terlihat wanita itu masih terisak tangis. Dan setelah beberapa menit kemudian baru dia mulai menegakkan kepalanya."Bagaimana aku bisa pulang, aku tidak memiliki uang sepeserpun," kata wanita itu dalam hati. "Ya Allah, beri aku jalan!" ucapnya lirih dengan meremas-remas jari jemarinya.Hilya mulai merasakan sesuatu yang menempel di salah-satu jarinya."Ya Allah... Cincin ini. Iya, aku bisa menjual cincin ini," ucap Hilya dengan memperhatikan cincin pernikahan yang melingkar di jari
Beberapa menit kemudian mobil dokter Melvina sudah terparkir di halaman klinik itu."Assalamualaikum dokter, selamat pagi!" sapa beberapa perawat di klinik pada dokter cantik yang mengenakan hijab itu."Waalaikum salam," sahutnya dengan tersenyum ramah.Setelah itu dokter Melvina terlihat menuju ruang kerjanya."Suster Maya!" dokter Melvina memanggil salah seorang perawat yang menangani Hilya. "Bagaimana keadaan gadis itu?""Sudah lebih baik dokter. Ini berkas-berkas laporan kesehatan pasien!" kata perawat itu dengan menyerahkan map kepada dokter Melvina."Okey, terimakasih!"Setelah itu dokter Melvina mulai mempelajari berkas yang diserahkan oleh salah seorang perawat di kliniknya. Dan kemudian dia mulai beranjak dari tempat duduknya menghampiri kamar rawat Hilya."Assalamualaikum!" ucap dokter Melvina saat masuk ke kamar Hilya."Waalaikum salam," jawab Hilya dengan tersenyum."Saya periksa dulu ya!" kata dokter
Terasa tangan lembut seorang wanita menyentuh pundak Hilya."Dokter!" gumam Hilya saat menoleh ke arah wanita tersebut. "Ini handphone dokter!" kata Hilya kemudian dengan menjulurkan handphone kepada dokter Melvina."Ada apa?" tanya dokter Melvina dengan kembali duduk di kursi yang ada disebelah kanan bad Hilya."Tidak ada apa-apa," jawab Hilya lirih dengan mengalihkan pandangannya dari dokter Melvina. Menatap ke depan dengan tatapan mata kosong."Jika kamu butuh teman untuk bercerita, kamu bisa ceritakan semuanya padaku!" kata dokter Melvina lembut.Hilya menoleh ke arah dokter Melvina seraya tersenyum. Kepalanya mengangguk-angguk."Istirahatlah! Aku keluar dulu!" kata dokter Melvina seraya beranjak pergi."Dokter!" seru Hilya kemudian. "Jika aku bercerita kepada dokter, apakah dokter akan percaya padaku?"Hilya menatap dokter Melvina dengan mata berkaca-kaca."Mmm..."Dokter Melvina menoleh sembari tersenyum den
Sudah satu Minggu Hilya berada di rumah dokter Melvina. Dokter cantik itu terlihat sangat menyayangi Hilya, dan Hilya pun sangat menghargai kebaikan dokter Melvina, dengan menunjukkan sikap santun, sopan, ramah, dan bersahaja.Hilya bekerja sangat rajin di rumah dokter Melvina. Dari membantu Mbok Nah menyapu, mengepel, dan membersihkan halaman rumah."Hilya! Ibu lihat dari kemarin kamu rajin sekali," kata dokter Melvina saat melihat Hilya mengurus tanaman di depan rumahnya. "Ingat! Kamu bukan pembantu di rumah ini. Jadi, bantulah Mbok Nah sewajarnya!""Iya, dokter."Hilya mengangguk sembari tersenyum saat dokter Melvina menghampirinya."Ingat juga, kamu sedang hamil. Jadi, kamu harus jaga kandungan kamu dengan baik!" tambah wanita itu."Mmm..."Hilya kembali mengangguk-angguk."O, ya. Ibu ingin bicara dengan kamu. Ibu tunggu kamu di dalam ya!" kata wanita yang hanya terlihat tinggal bersama pembantunya yang bernama Mbok Nah itu
Melihat laki-laki yang sama sekali tidak ingin dijumpainya itu, membuat Hilya menjadi geram. Namun dia berusaha untuk mengendalikan diri, dan menunjukkan sikap tenang.'Ya Allah, tidak! Aku tidak mengenal laki-laki itu. Aku ke sini untuk bekerja. Beri aku kekuatan Ya Allah! Untuk tidak melihatnya sekalipun dia ada di depanku!' ucap Hilya dalam hati, berusaha membangun kekuatan agar bisa menghadapi laki-laki itu dengan tenang.Terlihat setelah itu Hilya menghelan nafasnya panjang."Hilya, ini Satya. Omnya Clara, putra Ibu Diana," kata dokter Melvina mengenalkan Satya pada Hilya.Hilya mengangguk sembari tersenyum tipis tanpa melihat seorang laki-laki yang berdiri tegap di hadapannya."O, ya Diana. Aku harus ke rumah sakit. Aku titip Hilya ya! Insya Allah Hilya akan bekerja dengan baik, dan tolong hubungi aku ya, kalau ada apa-apa dengan Hilya, karena anak ini tidak punya telepon," kata dokter Melvina kemudian kepada Ibu Diana."Okey!" jawab I
Mobil mulai melaju dengan kencang menuju sekolah Clara. Dan dalam perjalanan Hilya mulai menyuapi gadis manja itu."Minum!" kata gadis itu ketus, setelah makanan yang disuapkan oleh Hilya telah habis.Hilya pun segera membuka botol minum dan menyodorkan botol itu padanya.Tidak lama kemudian mereka telah sampai di sekolah.Pak Juned sopir Clara, bergegas membukakan pintu.Hilya turut keluar dari dalam mobil untuk mengantarkan anak asuhnya."Hati-hati ya Clara, Semangat belajar!" pesan Hilya lembut sembari membantu Clara memasangkan tas di punggungnya."Clara!!!"Tiba-tiba dua orang gadis kecil menyapa Clara."Tumben kamu nggak diantar pembantu?" tanyanya."Mama kamu cantik," kata salah satu teman yang lain dengan tersenyum ke arah Hilya.Seketika Clara menoleh ke arah Hilya yang berdiri di belangnya."Mama aku udah mati," jawab Clara kemudian dengan suara ketus dan berjalan cepat meninggalkan kedua t
Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata
Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior
Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"
Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Siang itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dirga bergegas menuju kantor Satya."Aku lupa, kita hampir saja terlambat. Hari ini kamu ada jadwal kencan dengan Lily Harland. Putri pengungusa Cokro Harland. Dia baru saja menyelesaikan sekolah bisnisnya di Eropa, dan saat ini, menjabat sebagai direktur di anak perusahaan ayahnya," terang Dirga."Ayo cepat!" kata Dirga kemudian seraya keluar dari ruang kerja Satya.Satya pun bergegas mengikuti langkah Dirga dengan merapikan kancing jasnya.Pengusaha kaya itu, terlihat sangat tampan saat mengenakan setelan jas dengan warna apa pun.Dua puluh menit kemudian mobil yang dinaiki Satya sudah berhenti di halaman parkir hotel bintang lima.Ternyata Dirga mengatur pertemuan Satya dengan putri pengusaha kaya itu, di sebuah restoran mewah yang ada di dalam hotel ini.Saat ini Satya telah duduk di restoran, menunggu wanita cantik yang akan dia temui."Dia masih di jalan," bisik Dirga saat Satya berkali-kali melihat arloji di tangannya.Beberapa men
Pukul dua puluh satu malam, Satya baru sampai di rumahnya. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dan membersihkan diri.Setelah itu dia tampak membuka laci, mengambil sebuah buku kecil tuntutan salat yang pernah diberikan oleh istrinya.Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan membaca buku tersebut."Aaaaagh!" desahnya."Hmmmh!" kemudian dia membuang napas keras, dan meraih handphone yang ada di meja lampu tidurnya.Dia menyentuh layar handphone tersebut. Terlihat gambar Hilya, wanita yang pernah dinikahinya di layar utama handphone tersebut.Gambar wanita cantik itu, tampak tersenyum manis ke arahnya.Satya tersebut kecil. Entah apa yang laki-laki kaya itu pikirkan, mungkin rasa rindu, karena sudah hampir satu Minggu mereka tidak bertemu.Namun tiba-tiba senyum di bibir Satya menghilang, berganti dengan wajah kesal."Wanita macam apa kamu? Keluar dari rumah tanpa izin. Kamu pikir, aku akan meneleponmu? Tidak akan pernah!"Satya tampak berbicara de
Kini pagi telah tiba. Satya sudah berada di ruang kerjanya berjibaku dengan laptop dan berkas-berkas yang berserakan di meja.Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Satya."Bagaimana kabarmu?" tanya laki-laki yang tidak lain adalah pengacara Satya tersebut.Satya melirik laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaannya, seraya kemudian melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya."O, iya. Bagaiman kabar Clarissa? Kapan kalian menikah?" tanya pengacara itu kemudian sembari duduk di hadapan Satya."Clarissa sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali ke Jepang setelah kejadian kemarin," sahut Satya dengan masih mengerjakan sesuatu di laptopnya."Oooh.... Pantas, kamu terlihat frustrasi sekali. Ternya, dua orang wanita yang sangat mencintaimu, kompak meninggalkan kamu secara bersamaan," ejek Dirga dengan terkekeh."Hmmmh!"Satya membuang napas keras sembari melirik Dirga dengan wajah kesal."Kapan rencana kamu menyusul Clarissa ke Jepang?" tanya Dirga lagi."Siapa bilang aku mau me