Mobil mulai melaju dengan kencang menuju sekolah Clara. Dan dalam perjalanan Hilya mulai menyuapi gadis manja itu.
"Minum!" kata gadis itu ketus, setelah makanan yang disuapkan oleh Hilya telah habis.
Hilya pun segera membuka botol minum dan menyodorkan botol itu padanya.
Tidak lama kemudian mereka telah sampai di sekolah.
Pak Juned sopir Clara, bergegas membukakan pintu.
Hilya turut keluar dari dalam mobil untuk mengantarkan anak asuhnya.
"Hati-hati ya Clara, Semangat belajar!" pesan Hilya lembut sembari membantu Clara memasangkan tas di punggungnya.
"Clara!!!"
Tiba-tiba dua orang gadis kecil menyapa Clara.
"Tumben kamu nggak diantar pembantu?" tanyanya.
"Mama kamu cantik," kata salah satu teman yang lain dengan tersenyum ke arah Hilya.
Seketika Clara menoleh ke arah Hilya yang berdiri di belangnya.
"Mama aku udah mati," jawab Clara kemudian dengan suara ketus dan berjalan cepat meninggalkan kedua t
Bel telah berbunyi. Pertanda siswa-siswi SD Harapan Bangsa keluar dari sekolahnya, salah satu Sekolah Dasar elite yang ada di ibu kota.Hilya dan Pak Juned sudah menunggu Clara di area parkir sekolah."Assalamualaikum Clara!" sapa Hilya saat gadis kecil itu berjalan menghampirinya.Clara hanya terdiam, dan tidak menjawab salam Hilya. Dan Hilya hanya tersenyum melihat sikap gadis kecil judes itu."Bagaimana PRnya?" tanya Hilya saat mereka sudah berada di dalam mobil.Tanpa menjawab Clara langsung menyodorkan buku lembar kerjanya pada Hilya.Belahan Hilya membuka dua buku LKS yang Clara sodorkan padanya."Bahasa Inggris benar semua. Matematika salah lima," kata Hilya.Setelah itu Hilya menoleh ke arah gadis kecil yang duduk di sampingnya."Kak Hilya tidak akan ingkar janji. Jika Kak Hilya tidak bisa menyelesaikan tantangan ini, Kak Hilya harus pergi," kata Hilya dengan mengatur suaranya. "Jujur, kakak masih ingin menemani
Tiga Minggu sudah Hilya berada di rumah Ibu Diana. Semakin hari hubungan Hilya dengan Clara semakin dekat.Dengan kesabaran dan ketelatenan Hilya membimbing gadis kecil itu, hingga akhirnya gadis kecil itu menjadi pribadi yang sangat manis dan penurut.Sikapnya yang dulu kasar dan suka berteriak-teriak pada pembantu, kini menjadi lembut. Tidak dimungkiri, perubahan sikap Clara ini membuat Ibu Diana menjadi sangat bahagia, dan membuat Ibu Diana bersimpati kepada Hilya."Hilya terimakasih ya! Sudah membantu Clara belajar, dan sudah membimbing Clara menjadi lebih baik," kata Ibu Diana pada Hilya, saat Hilya membantu bibi menyiapkan sarapan pagi di meja makan."Sama-sama, Bu," jawab Hilya dengan mengangguk sopan, seraya meletakkan susu dan air putih di sebelah piring-piring yang tertata rapi di meja makan itu.Tidak lama kemudian, Satya datang. Laki-laki itu terlihat menarik kursi dan duduk di hadapan mamanya, sembari melirik Hilya yang sedang menata s
Hilya bergegas keluar dari mobil saat telah sampai di rumah Ibu Diana.Satya yang merasa ada yang aneh dengan sikap Hilya, bergegas keluar dari mobil mengikuti langkah wanita itu."Ueeek!! Ueeek!"Terdengar Hilya memuntahkan semua isi perutnya di kamar mandi.Satya berdiri di depan kamar mandi dengan perasaan tidak tenang, sembari mondar-mandir dan sesekali mengusap kepalanya. Laki-laki itu sepertinya merasa khawatir dengan keadaan Hilya."Kreek!"Hilya membuka pintu kamar mandi dengan pelan.Wajah Hilya tampak pucat, dan badannya terlihat lemas."Kamu sakit apa?" tanya Satya dengan memegang kuat lengan Hilya yang baru keluar dari kamar mandi."Aku nggak sakit," sahut Hilya dengan berusaha melepas memegang kuat tangan laki-laki itu."Kamu pucat. Ayo ke rumah sakit!" kata Satya dengan masih memegang lengan Hilya, sembari menarik wanita itu untuk ikut bersamanyaSeketika Hilya menghempaskan tangan laki-laki i
Pagi ini Hilya terlihat sibuk melayani Clara yang sudah berada di meja makan. Dari menyiapkan susu, air putih, hingga roti tawar yang hendak gadis itu makan."Aku nggak mau selai coklat, aku mau yang stroberi," rengek gadis kecil itu saat Hilya hendak mengoleskan selai coklat ke rotinya.Ibu Diana yang saat itu sudah berada di meja makan tampak memperhatikan sikap manja cucunya kepada Hilya dengan tersenyum kecil.Tidak lama kemudian seorang laki-laki berjas hitam dengan kemeja putih di dalamnya turun dari lantai dua rumah.Laki-laki itu berjalan menghampiri Ibu Diana yang sudah dari tadi berada di meja makan."Ma, aku ada meeting pagi ini. Aku sarapan di kantor!" pamit pria itu dengan mencium pipi wanita berusia 50 tahun yang masih terlihat cantik dengan blazer warna coklat muda."Iya hati-hati!" jawab wanita tersebut.Laki-laki itu pun mengangguk sembari memperhatikan Hilya yang saat itu masih terlihat melayani keponakannya.
Satya menarik kursi yang ada di sebelah kanan tempat tidur Hilya. Dia duduk dengan raut wajah cemas. Tangannya terus menggenggam tangan wanita yang terkulai lemas di hadapannya.Satya bergegas membuka kerudung Hilya ketika Bi Rum menyodorkan minyak kayu putih padanya. Dia tampak sigap mengoleskan minyak hangat itu pada leher, dada, dan pada bagian bawah hidung Hilya."Tuan! Biar bibi saja yang mengoleskan minyak kayu putih itu pada tubuh Mbak Hilya!" kata Bibi Rum menawarkan membantu majikannya."Tidak usah," jawab Satya dengan terus mengoleskan minyak itu ke telapak tangan dan telapak kaki Hilya."Tapi tuan, Mbak Hilya kan, bukan muhrim tuan muda? Pasti nanti Mbak Hilya malu kalau tuan membuka hijab dan menyentuh tangan serta kakinya."Seketika Satya menoleh ke arah Bibi Rum."Ini kan darurat, Bik!""Oooh begitu," sahut bibi dengan mengangguk.Terlihat setelah itu Satya memasang kembali kerudung Hilya yang sempat dia buka.
Dua puluh menit setelah berada di gedung yang bertuliskan "Clarissa Beutik". Satya dan mamanya terlihat keluar dari tempat itu.Mama Satya, Ibu Diana tampak kesal saat berjalan menjejeri putranya tersebut."Mama heran. Bisa-bisanya kamu terlambat di acara penting seperti ini?"Ibu Diana mengungkapkan kekesalannya pada Satya saat mereka berjalan keluar gedung.Dan di depan gedung, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di hadapan mereka."Silahkan, Bu!" kata Pak Hadi seorang sopir yang mengantar Ibu Diana ke acara itu, sembari membukakan pintu mobil untuknya."Pak Hadi, pulang sendiri ya! Saya pulang sama Satya."Setelah mengatakan hal itu pada sopirnya, Ibu Diana bergegas berjalan menuju mobil milik putranya yang masih terparkir di halaman gedung."Kamu benar-benar tidak memikirkan perasaan Clarissa. Bisa-
Mobil sedan warna hitam yang dikemudikan Pak Juned mulai melaju keluar dari gerbang rumah mewah milik Ibu Diana, istri almarhum bapak Agung Wijaya.Tampak di dalam mobil Clara dan Hilya sedang bercanda. Dan di tengah-tengah tawa kecil mereka. Pak Juned yang dari tadi memperhatikan mereka dari spion depan mobil, mulai mengajukan pertanyaan kepada Hilya."Mbak Hilya tadi malam pingsan, ya?" tanya Pak Juned sembari terus berkonsentrasi mengemudikan mobilnya."Iya, Pak," jawab wanita yang duduk di belakang kursi Pak Juned itu dengan mengangguk."Sekarang bagaimana keadaannya?""Alhamdulillah, sudah lebih baik.""Memangnya Mbak Hilya sakit apa?""Mmm... Anemia Pak," sahut Hilya ragu."Ooh! Kalau mbak Hilya ingin periksa, jangan sungkan-sungkan bilang! Saya akan mengantar Mbak Hilya ke rumah sakit."
Satya sedikit mundur dari pintu ruang KIA tersebut saat seorang perawat keluar dari sana.Perawatan itu memandang Satya dengan wajah curiga."Maaf Sus! Saya keponakannya dokter Melvina, saya ingin bertemu Beliau tapi sepertinya beliau masih sibuk," kata Satya dengan suara lirih dan sopan pada perawat itu."Oooh, apa mau saya panggilkan dokter Melvina?""Tidak usah, Sus! Saya tunggu di depan sini saja. Biar Tante Melvi memeriksa pasien dulu.""Oooh, baik. Kalau begitu saya tinggal dulu ya! Bapak silahkan duduk di sana!" kata perawat itu dengan membersihkan Satya duduk di kursi tunggu pasien yang ada di depan ruangan, sembari melangkah pergi.Setelah perawat itu pergi. Satya kembali menghampiri pintu ruangan itu. Dia kembali membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu. Dan berkonsentrasi memperhatikan dokter Melvina yang tengah memeriksa Hilya.Dahi Satya mulai mengernyit ketika dokter Melvina mulai menggosok-gosok bagian bawah perut Hi