Satya sedikit mundur dari pintu ruang KIA tersebut saat seorang perawat keluar dari sana.
Perawatan itu memandang Satya dengan wajah curiga.
"Maaf Sus! Saya keponakannya dokter Melvina, saya ingin bertemu Beliau tapi sepertinya beliau masih sibuk," kata Satya dengan suara lirih dan sopan pada perawat itu.
"Oooh, apa mau saya panggilkan dokter Melvina?"
"Tidak usah, Sus! Saya tunggu di depan sini saja. Biar Tante Melvi memeriksa pasien dulu."
"Oooh, baik. Kalau begitu saya tinggal dulu ya! Bapak silahkan duduk di sana!" kata perawat itu dengan membersihkan Satya duduk di kursi tunggu pasien yang ada di depan ruangan, sembari melangkah pergi.
Setelah perawat itu pergi. Satya kembali menghampiri pintu ruangan itu. Dia kembali membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu. Dan berkonsentrasi memperhatikan dokter Melvina yang tengah memeriksa Hilya.
Dahi Satya mulai mengernyit ketika dokter Melvina mulai menggosok-gosok bagian bawah perut Hi
(Pada wanita hamil, penurunan kadar HB dapat beresiko pada kematian ibu hamil, dan pada kelahiran prematur, dan...)Satya terlihat membaca sebuah artikel di laptopnya.Dia mulai menghela napas dan mencengkeram kepalanya. Wajahnya tampak gelisah setelah membaca artikel tersebut."Bagaimana jika itu terjadi kepada Hilya?" ucapnya lirih dengan mencubit dagunya.Laki-laki yang duduk di meja kerjanya itu, tiba-tiba mengangkat gagang telepon dan menghubungi sekertarisnya."Ke ruanganku sekarang!"Tidak lama setelah itu seorang wanita cantik dengan blazer dan rok sepan di atas lutut masuk ke dalam ruang kerja Satya."Cika! Kamu pernah hamil kan?" tanya laki-laki itu pada sekertarisnya."Iya, Pak. Saya baru dua minggu ini masuk kantor setelah cuti melahirkan.""Bagus," sahut laki-laki itu, membuat wanita yang berdiri di hadapannya mengerutkan kedua alis karena heran."O, ya. Saat wanita hamil dua bulan, dan dia meng
Pagi telah menjelang. Dan Satya sudah terlihat berada di dapur menghampiri bibi."Tuan muda mau bibi buatkan sarapan apa?" tanya bibi saat laki-laki yang masih mengenakan piyama itu berdiri di belakangnya."Bi, buah-buahan yang tadi malam saya beli, sudah bibi simpan di kulkas?""Iya, Tuan! Sudah," sahut bibik dengan mengangguk. "Ada susu juga, tapi tidak ada kotaknya tuan, hanya dibungkus alumunium foil saja," ujar bibik."Iya," sahut Satya.Kotak susu tersebut memang telah sengaja dibuang oleh Satya."Bi, tolong setiap hari, suruh Hilya makan buah-buahan! Atau bibi buatkan jus! Dan tolong juga buatkan Hilya susu ya Bi! Tiga kali sehari," kata Satya kepada bibi, membuat bibi mengernyitkan dahi heran."Kalau Mbak Hilya tidak mau, Tuan?""Paksa ya, Bi! Soalnya ini untuk kesehatan Hilya," ujar Satya. "Ini untuk bibi!" tiba-tiba Satya memberikan beberapa lembar uang kertas warna merah ke tangan bibik."Tuan, ini uang apa?"
Pagi telah menjelang. Satya bersama mama dan keponakannya sudah bersiap di meja makan. "Satya! Mobil mama masih dibawa Pak Hadi ke bengkel. Pagi ini mama minta antar Pak Juned ke kantor. Jadi tolong kamu antar Clara ke sekolah ya!" kata Ibu Diana saat di meja makan. "Iya." Satya mengangguk dan tersenyum ke arah wanita berblazer hitam yang duduk di hadapannya. Terlihat setelah menghabiskan sepotong roti, dan meneguk segelas jus berwarna hijau muda wanita itu bangkit dari tempat duduknya. "Mama ke kantor dulu, mama ada meeting pagi ini!" kata wanita itu. "Ya, Ma. Hati-hati!" sahut Satya seraya berdiri dan mencium pipinya. Beberapa menit kemudian, Satya dan Clara telah selesai sarapan. "Om! Aku panggil Kak Hilya dulu, ya?" kata Clara sembari turun dari tempat duduknya. Satya pun menjawabnya dengan tersenyum dan mengangguk. Tidak lama setelah itu Clara kembali ke ruang makan. "Om! Kak Hilya masih ada
Sore menjelang. Saat ini Hilya tengah membantu Bibi Rum di dapur. Terlihat wanita yang sedang hamil muda itu begitu cekatan dan rajin saat menyelesaikan pekerjaan rumah."Bik! Bibik duduk saja, biar hari ini Hilya yang memasak untuk makan malam," kata wanita cantik itu."Mbak Hilya, nanti kecapean, lo!""Enggak, Bik! Hari ini Hilya memang pingin masak. Jadi, bibik istirahat aja ya! Bibik duduk aja temani Hilya!""Mmm... Iya deh terserah Mbak Hilya!" sahut Bibi Rum. "Malam ini. Ibu minta bibi masak ayam goreng, rendang, cah sawi jagung manis, terus soup jamur," terang bibi. "Mbak Hilya sanggup masak itu semua sendirian?""Insya Allah sanggup, Bik. Sini Bibi duduk!" kata Hilya dengan menarik kursi yang ada di dapur, dan meminta bibi untuk duduk.Terlihat Hilya mulai memasak. Wanita itu tampak bersemangat, dan sepertinya semua karena pengaruh dari hormon kehamilannya."O, ya. Bik! Aku lupa, Clara minta nasi goreng. Berarti menunya tambah
Clarissa duduk di sofa ruang keluarga rumah Satya dengan perasaan kacau."Ma! Apa mungkin Satya tertarik dengan pengasuh itu?" tanya Clarissa dengan mata berkaca-kaca."Sayang!" seketika Ibu Diana merangkul calon menantunya itu. "Jangan berpikir macam-macam. Satya itu anak yang baik. Bibi saja pernah dia gendong saat jatuh, Mbak Ira juga pernah dia papah saat terpeleset di tangga. Jadi wajar, jika dia menolong Hilya, yang hampir jatuh di depan matanya. Jadi, kamu jangan berpikir macam-macam!"Terlihat Clarissa mulai memikirkan penjelasan dari Ibu Diana. Dan berusaha menepis kecemburuannya pada Hilya yang tidak lagi beralasan."Sekarang, pergi ke kamar Satya! Kamu selesaikan masalah perasaanmu itu dengan tunangan kamu! Ayo, sana!" saran Ibu Diana pada calon menantunya dengan tersenyum.Akhirnya Clarissa pun menaiki tangga menuju ke kamar tunangannya.Dia membuka kamar laki-laki yang pintunya tidak terkunci itu. Dan seketika dia memeluk dari b
Pagi itu di rumah keluarga Agung Wijaya."Mbak Ira! Mana bibi dan Hilya?" tanya Satya saat melihat hanya Mbak Ira yang ada di dapur."Bibi, di kamar mandi. Kalau Mbak Hilya di kamar Non Clara, Tuan.""Ooh!"Satya yang saat itu membawa sebuah kantong plastik berisi sesuatu, bergegas keluar dari ruangan itu, setelah mendengar jawaban dari Mbak Ira.Laki-laki yang sudah berpakaian rapi itu, melangkah menuju kamar keponakannya."Clara! Seandainya nanti, kakak pergi dari rumah ini, Clara harus tetap jadi anak baik ya! Rajin salat doain mama, papa! Rajin belajar! Nurut sama Oma dan Om! Terus kalau ada Neny baru, Clara tidak boleh kasar!"Terdengar Hilya menasehati Clara saat menyisir rambut gadis kecil itu."Memang, Kak Hilya mau pergi ke mana? Kak Hilya nggak boleh pergi kemana-mana!"Hilya mulai melangkah duduk di hadapan Clara, memasangkan sepatu gadis kecil itu, setelah selesai menyisir rambutnya."Sayang! Hid
Saat ini Satya dan Hilya sudah berada di lobby hotel.Tampak sopir mereka menggendong Clara yang sudah tertidur."Selamat malam, Pak!"Terlihat semua karyawan di hotel itu menyapa Satya dengan sopan seraya menganggukkan kepala."Kamar sudah siap, Pak. Mari!" kata seorang manager hotel dengan mengantar Satya dan Hilya menuju kamar.Sementara di belakang mereka seorang kurir mengikuti langkah mereka membawa barang-barang Satya dan Hilya."Satya!"Tiba-tiba dari arah yang berlawanan seorang laki-laki bertubuh atletis, berkulit hitam manis menyapa Satya, dan kemudian memeluknya."Selamat malam Hilya!" sapanya pada Hilya yang saat itu tengah berdiri tidak jauh di belakang Satya.Hilya tidak menyahuti sapaan laki-laki itu, dia hanya tersenyum sinis."Ternyata, aura wanita yang sedang hamil itu berbeda. Terlihat lebih segar dan cantik!" puji laki-laki itu pada Hilya sembari melirik Satya.Hilya kembali tersenyum s
Sepertinya Clara cukup menikmati liburannya di hotel pamannya itu.Seharian ini, Hilya menemani Clara berenang dan berjemur di sebuah kolam renang yang pemandangannya mengarah ke pantai.Indah dan nyaman memang suasana alam yang ada di kawasan hotel ini. Dan meski tidak ikut bermain air dengan Clara di dalam kolam, namun Hilya cukup menikmati suasana indah di tempat ini."Kak Hilya, aku sudah selesai!" kata Clara sembari menghampiri Hilya yang duduk di samping kolam renang menemaninya.Dipakaikannya kimono handuk ke tubuh Clara oleh Hilya."Ayo mandi air hangat di kamar!" kata Hilya sembari menggandeng gadis kecil tersebut untuk kembali ke kamar hotel.Setelah sampai di kamar. Hilya segera mengurus gadis kecil itu, membantunya mandi hingga memakaikannya baju.Tidak terasa magrib pun menjelang.Hilya mengajak Clara untuk sholat magrib berjamaah dengannya seperti biasa."Kak, aku lapar!" rengek Clara setelah mereka melakuk