(Pada wanita hamil, penurunan kadar HB dapat beresiko pada kematian ibu hamil, dan pada kelahiran prematur, dan...)
Satya terlihat membaca sebuah artikel di laptopnya.
Dia mulai menghela napas dan mencengkeram kepalanya. Wajahnya tampak gelisah setelah membaca artikel tersebut.
"Bagaimana jika itu terjadi kepada Hilya?" ucapnya lirih dengan mencubit dagunya.
Laki-laki yang duduk di meja kerjanya itu, tiba-tiba mengangkat gagang telepon dan menghubungi sekertarisnya.
"Ke ruanganku sekarang!"
Tidak lama setelah itu seorang wanita cantik dengan blazer dan rok sepan di atas lutut masuk ke dalam ruang kerja Satya.
"Cika! Kamu pernah hamil kan?" tanya laki-laki itu pada sekertarisnya.
"Iya, Pak. Saya baru dua minggu ini masuk kantor setelah cuti melahirkan."
"Bagus," sahut laki-laki itu, membuat wanita yang berdiri di hadapannya mengerutkan kedua alis karena heran.
"O, ya. Saat wanita hamil dua bulan, dan dia meng
Pagi telah menjelang. Dan Satya sudah terlihat berada di dapur menghampiri bibi."Tuan muda mau bibi buatkan sarapan apa?" tanya bibi saat laki-laki yang masih mengenakan piyama itu berdiri di belakangnya."Bi, buah-buahan yang tadi malam saya beli, sudah bibi simpan di kulkas?""Iya, Tuan! Sudah," sahut bibik dengan mengangguk. "Ada susu juga, tapi tidak ada kotaknya tuan, hanya dibungkus alumunium foil saja," ujar bibik."Iya," sahut Satya.Kotak susu tersebut memang telah sengaja dibuang oleh Satya."Bi, tolong setiap hari, suruh Hilya makan buah-buahan! Atau bibi buatkan jus! Dan tolong juga buatkan Hilya susu ya Bi! Tiga kali sehari," kata Satya kepada bibi, membuat bibi mengernyitkan dahi heran."Kalau Mbak Hilya tidak mau, Tuan?""Paksa ya, Bi! Soalnya ini untuk kesehatan Hilya," ujar Satya. "Ini untuk bibi!" tiba-tiba Satya memberikan beberapa lembar uang kertas warna merah ke tangan bibik."Tuan, ini uang apa?"
Pagi telah menjelang. Satya bersama mama dan keponakannya sudah bersiap di meja makan. "Satya! Mobil mama masih dibawa Pak Hadi ke bengkel. Pagi ini mama minta antar Pak Juned ke kantor. Jadi tolong kamu antar Clara ke sekolah ya!" kata Ibu Diana saat di meja makan. "Iya." Satya mengangguk dan tersenyum ke arah wanita berblazer hitam yang duduk di hadapannya. Terlihat setelah menghabiskan sepotong roti, dan meneguk segelas jus berwarna hijau muda wanita itu bangkit dari tempat duduknya. "Mama ke kantor dulu, mama ada meeting pagi ini!" kata wanita itu. "Ya, Ma. Hati-hati!" sahut Satya seraya berdiri dan mencium pipinya. Beberapa menit kemudian, Satya dan Clara telah selesai sarapan. "Om! Aku panggil Kak Hilya dulu, ya?" kata Clara sembari turun dari tempat duduknya. Satya pun menjawabnya dengan tersenyum dan mengangguk. Tidak lama setelah itu Clara kembali ke ruang makan. "Om! Kak Hilya masih ada
Sore menjelang. Saat ini Hilya tengah membantu Bibi Rum di dapur. Terlihat wanita yang sedang hamil muda itu begitu cekatan dan rajin saat menyelesaikan pekerjaan rumah."Bik! Bibik duduk saja, biar hari ini Hilya yang memasak untuk makan malam," kata wanita cantik itu."Mbak Hilya, nanti kecapean, lo!""Enggak, Bik! Hari ini Hilya memang pingin masak. Jadi, bibik istirahat aja ya! Bibik duduk aja temani Hilya!""Mmm... Iya deh terserah Mbak Hilya!" sahut Bibi Rum. "Malam ini. Ibu minta bibi masak ayam goreng, rendang, cah sawi jagung manis, terus soup jamur," terang bibi. "Mbak Hilya sanggup masak itu semua sendirian?""Insya Allah sanggup, Bik. Sini Bibi duduk!" kata Hilya dengan menarik kursi yang ada di dapur, dan meminta bibi untuk duduk.Terlihat Hilya mulai memasak. Wanita itu tampak bersemangat, dan sepertinya semua karena pengaruh dari hormon kehamilannya."O, ya. Bik! Aku lupa, Clara minta nasi goreng. Berarti menunya tambah
Clarissa duduk di sofa ruang keluarga rumah Satya dengan perasaan kacau."Ma! Apa mungkin Satya tertarik dengan pengasuh itu?" tanya Clarissa dengan mata berkaca-kaca."Sayang!" seketika Ibu Diana merangkul calon menantunya itu. "Jangan berpikir macam-macam. Satya itu anak yang baik. Bibi saja pernah dia gendong saat jatuh, Mbak Ira juga pernah dia papah saat terpeleset di tangga. Jadi wajar, jika dia menolong Hilya, yang hampir jatuh di depan matanya. Jadi, kamu jangan berpikir macam-macam!"Terlihat Clarissa mulai memikirkan penjelasan dari Ibu Diana. Dan berusaha menepis kecemburuannya pada Hilya yang tidak lagi beralasan."Sekarang, pergi ke kamar Satya! Kamu selesaikan masalah perasaanmu itu dengan tunangan kamu! Ayo, sana!" saran Ibu Diana pada calon menantunya dengan tersenyum.Akhirnya Clarissa pun menaiki tangga menuju ke kamar tunangannya.Dia membuka kamar laki-laki yang pintunya tidak terkunci itu. Dan seketika dia memeluk dari b
Pagi itu di rumah keluarga Agung Wijaya."Mbak Ira! Mana bibi dan Hilya?" tanya Satya saat melihat hanya Mbak Ira yang ada di dapur."Bibi, di kamar mandi. Kalau Mbak Hilya di kamar Non Clara, Tuan.""Ooh!"Satya yang saat itu membawa sebuah kantong plastik berisi sesuatu, bergegas keluar dari ruangan itu, setelah mendengar jawaban dari Mbak Ira.Laki-laki yang sudah berpakaian rapi itu, melangkah menuju kamar keponakannya."Clara! Seandainya nanti, kakak pergi dari rumah ini, Clara harus tetap jadi anak baik ya! Rajin salat doain mama, papa! Rajin belajar! Nurut sama Oma dan Om! Terus kalau ada Neny baru, Clara tidak boleh kasar!"Terdengar Hilya menasehati Clara saat menyisir rambut gadis kecil itu."Memang, Kak Hilya mau pergi ke mana? Kak Hilya nggak boleh pergi kemana-mana!"Hilya mulai melangkah duduk di hadapan Clara, memasangkan sepatu gadis kecil itu, setelah selesai menyisir rambutnya."Sayang! Hid
Saat ini Satya dan Hilya sudah berada di lobby hotel.Tampak sopir mereka menggendong Clara yang sudah tertidur."Selamat malam, Pak!"Terlihat semua karyawan di hotel itu menyapa Satya dengan sopan seraya menganggukkan kepala."Kamar sudah siap, Pak. Mari!" kata seorang manager hotel dengan mengantar Satya dan Hilya menuju kamar.Sementara di belakang mereka seorang kurir mengikuti langkah mereka membawa barang-barang Satya dan Hilya."Satya!"Tiba-tiba dari arah yang berlawanan seorang laki-laki bertubuh atletis, berkulit hitam manis menyapa Satya, dan kemudian memeluknya."Selamat malam Hilya!" sapanya pada Hilya yang saat itu tengah berdiri tidak jauh di belakang Satya.Hilya tidak menyahuti sapaan laki-laki itu, dia hanya tersenyum sinis."Ternyata, aura wanita yang sedang hamil itu berbeda. Terlihat lebih segar dan cantik!" puji laki-laki itu pada Hilya sembari melirik Satya.Hilya kembali tersenyum s
Sepertinya Clara cukup menikmati liburannya di hotel pamannya itu.Seharian ini, Hilya menemani Clara berenang dan berjemur di sebuah kolam renang yang pemandangannya mengarah ke pantai.Indah dan nyaman memang suasana alam yang ada di kawasan hotel ini. Dan meski tidak ikut bermain air dengan Clara di dalam kolam, namun Hilya cukup menikmati suasana indah di tempat ini."Kak Hilya, aku sudah selesai!" kata Clara sembari menghampiri Hilya yang duduk di samping kolam renang menemaninya.Dipakaikannya kimono handuk ke tubuh Clara oleh Hilya."Ayo mandi air hangat di kamar!" kata Hilya sembari menggandeng gadis kecil tersebut untuk kembali ke kamar hotel.Setelah sampai di kamar. Hilya segera mengurus gadis kecil itu, membantunya mandi hingga memakaikannya baju.Tidak terasa magrib pun menjelang.Hilya mengajak Clara untuk sholat magrib berjamaah dengannya seperti biasa."Kak, aku lapar!" rengek Clara setelah mereka melakuk
Beberapa menit setelah Hilya dan Clara sampai di kamar, tiba-tiba seorang pelayan hotel datang mengantarkan makanan untuk mereka berdua."Terima kasih!" kata Hilya dengan tersenyum kepada tiga orang pelayan hotel yang sudah menata makanan di mejanya."Sama-sama! Pesan Pak Dir, jika makanannya tidak cocok, atau Ibu butuh yang lain, bisa langsung menghubungi kami, kami akan siap melayani!" kata salah satu dari mereka, sebelum mereka berpamitan untuk pergi."Terima kasih, ini sudah cukup!" sahut Hilya.Setelah Pelayan itu pergi, Hilya dan Clara segera melahap berbagai menu makanan itu, mereka berdua terlihat sangat kelaparan."Eeee'k!"Terdengar Clara bersendawa setelah menghabiskan beberapa piring makanan yang ada di meja."Alhamdulillah!" sahut Hilya dengan tersenyum saat melihat gadis kecil itu menutup mulutnya karena malu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara seseorang mengetuk pintu.Hilya segera bangkit dari tempat
Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata
Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior
Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"
Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Siang itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dirga bergegas menuju kantor Satya."Aku lupa, kita hampir saja terlambat. Hari ini kamu ada jadwal kencan dengan Lily Harland. Putri pengungusa Cokro Harland. Dia baru saja menyelesaikan sekolah bisnisnya di Eropa, dan saat ini, menjabat sebagai direktur di anak perusahaan ayahnya," terang Dirga."Ayo cepat!" kata Dirga kemudian seraya keluar dari ruang kerja Satya.Satya pun bergegas mengikuti langkah Dirga dengan merapikan kancing jasnya.Pengusaha kaya itu, terlihat sangat tampan saat mengenakan setelan jas dengan warna apa pun.Dua puluh menit kemudian mobil yang dinaiki Satya sudah berhenti di halaman parkir hotel bintang lima.Ternyata Dirga mengatur pertemuan Satya dengan putri pengusaha kaya itu, di sebuah restoran mewah yang ada di dalam hotel ini.Saat ini Satya telah duduk di restoran, menunggu wanita cantik yang akan dia temui."Dia masih di jalan," bisik Dirga saat Satya berkali-kali melihat arloji di tangannya.Beberapa men
Pukul dua puluh satu malam, Satya baru sampai di rumahnya. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dan membersihkan diri.Setelah itu dia tampak membuka laci, mengambil sebuah buku kecil tuntutan salat yang pernah diberikan oleh istrinya.Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan membaca buku tersebut."Aaaaagh!" desahnya."Hmmmh!" kemudian dia membuang napas keras, dan meraih handphone yang ada di meja lampu tidurnya.Dia menyentuh layar handphone tersebut. Terlihat gambar Hilya, wanita yang pernah dinikahinya di layar utama handphone tersebut.Gambar wanita cantik itu, tampak tersenyum manis ke arahnya.Satya tersebut kecil. Entah apa yang laki-laki kaya itu pikirkan, mungkin rasa rindu, karena sudah hampir satu Minggu mereka tidak bertemu.Namun tiba-tiba senyum di bibir Satya menghilang, berganti dengan wajah kesal."Wanita macam apa kamu? Keluar dari rumah tanpa izin. Kamu pikir, aku akan meneleponmu? Tidak akan pernah!"Satya tampak berbicara de
Kini pagi telah tiba. Satya sudah berada di ruang kerjanya berjibaku dengan laptop dan berkas-berkas yang berserakan di meja.Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Satya."Bagaimana kabarmu?" tanya laki-laki yang tidak lain adalah pengacara Satya tersebut.Satya melirik laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaannya, seraya kemudian melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya."O, iya. Bagaiman kabar Clarissa? Kapan kalian menikah?" tanya pengacara itu kemudian sembari duduk di hadapan Satya."Clarissa sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali ke Jepang setelah kejadian kemarin," sahut Satya dengan masih mengerjakan sesuatu di laptopnya."Oooh.... Pantas, kamu terlihat frustrasi sekali. Ternya, dua orang wanita yang sangat mencintaimu, kompak meninggalkan kamu secara bersamaan," ejek Dirga dengan terkekeh."Hmmmh!"Satya membuang napas keras sembari melirik Dirga dengan wajah kesal."Kapan rencana kamu menyusul Clarissa ke Jepang?" tanya Dirga lagi."Siapa bilang aku mau me