Satya menarik kursi yang ada di sebelah kanan tempat tidur Hilya. Dia duduk dengan raut wajah cemas. Tangannya terus menggenggam tangan wanita yang terkulai lemas di hadapannya.
Satya bergegas membuka kerudung Hilya ketika Bi Rum menyodorkan minyak kayu putih padanya. Dia tampak sigap mengoleskan minyak hangat itu pada leher, dada, dan pada bagian bawah hidung Hilya.
"Tuan! Biar bibi saja yang mengoleskan minyak kayu putih itu pada tubuh Mbak Hilya!" kata Bibi Rum menawarkan membantu majikannya.
"Tidak usah," jawab Satya dengan terus mengoleskan minyak itu ke telapak tangan dan telapak kaki Hilya.
"Tapi tuan, Mbak Hilya kan, bukan muhrim tuan muda? Pasti nanti Mbak Hilya malu kalau tuan membuka hijab dan menyentuh tangan serta kakinya."
Seketika Satya menoleh ke arah Bibi Rum.
"Ini kan darurat, Bik!"
"Oooh begitu," sahut bibi dengan mengangguk.
Terlihat setelah itu Satya memasang kembali kerudung Hilya yang sempat dia buka.
Dua puluh menit setelah berada di gedung yang bertuliskan "Clarissa Beutik". Satya dan mamanya terlihat keluar dari tempat itu.Mama Satya, Ibu Diana tampak kesal saat berjalan menjejeri putranya tersebut."Mama heran. Bisa-bisanya kamu terlambat di acara penting seperti ini?"Ibu Diana mengungkapkan kekesalannya pada Satya saat mereka berjalan keluar gedung.Dan di depan gedung, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di hadapan mereka."Silahkan, Bu!" kata Pak Hadi seorang sopir yang mengantar Ibu Diana ke acara itu, sembari membukakan pintu mobil untuknya."Pak Hadi, pulang sendiri ya! Saya pulang sama Satya."Setelah mengatakan hal itu pada sopirnya, Ibu Diana bergegas berjalan menuju mobil milik putranya yang masih terparkir di halaman gedung."Kamu benar-benar tidak memikirkan perasaan Clarissa. Bisa-
Mobil sedan warna hitam yang dikemudikan Pak Juned mulai melaju keluar dari gerbang rumah mewah milik Ibu Diana, istri almarhum bapak Agung Wijaya.Tampak di dalam mobil Clara dan Hilya sedang bercanda. Dan di tengah-tengah tawa kecil mereka. Pak Juned yang dari tadi memperhatikan mereka dari spion depan mobil, mulai mengajukan pertanyaan kepada Hilya."Mbak Hilya tadi malam pingsan, ya?" tanya Pak Juned sembari terus berkonsentrasi mengemudikan mobilnya."Iya, Pak," jawab wanita yang duduk di belakang kursi Pak Juned itu dengan mengangguk."Sekarang bagaimana keadaannya?""Alhamdulillah, sudah lebih baik.""Memangnya Mbak Hilya sakit apa?""Mmm... Anemia Pak," sahut Hilya ragu."Ooh! Kalau mbak Hilya ingin periksa, jangan sungkan-sungkan bilang! Saya akan mengantar Mbak Hilya ke rumah sakit."
Satya sedikit mundur dari pintu ruang KIA tersebut saat seorang perawat keluar dari sana.Perawatan itu memandang Satya dengan wajah curiga."Maaf Sus! Saya keponakannya dokter Melvina, saya ingin bertemu Beliau tapi sepertinya beliau masih sibuk," kata Satya dengan suara lirih dan sopan pada perawat itu."Oooh, apa mau saya panggilkan dokter Melvina?""Tidak usah, Sus! Saya tunggu di depan sini saja. Biar Tante Melvi memeriksa pasien dulu.""Oooh, baik. Kalau begitu saya tinggal dulu ya! Bapak silahkan duduk di sana!" kata perawat itu dengan membersihkan Satya duduk di kursi tunggu pasien yang ada di depan ruangan, sembari melangkah pergi.Setelah perawat itu pergi. Satya kembali menghampiri pintu ruangan itu. Dia kembali membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu. Dan berkonsentrasi memperhatikan dokter Melvina yang tengah memeriksa Hilya.Dahi Satya mulai mengernyit ketika dokter Melvina mulai menggosok-gosok bagian bawah perut Hi
(Pada wanita hamil, penurunan kadar HB dapat beresiko pada kematian ibu hamil, dan pada kelahiran prematur, dan...)Satya terlihat membaca sebuah artikel di laptopnya.Dia mulai menghela napas dan mencengkeram kepalanya. Wajahnya tampak gelisah setelah membaca artikel tersebut."Bagaimana jika itu terjadi kepada Hilya?" ucapnya lirih dengan mencubit dagunya.Laki-laki yang duduk di meja kerjanya itu, tiba-tiba mengangkat gagang telepon dan menghubungi sekertarisnya."Ke ruanganku sekarang!"Tidak lama setelah itu seorang wanita cantik dengan blazer dan rok sepan di atas lutut masuk ke dalam ruang kerja Satya."Cika! Kamu pernah hamil kan?" tanya laki-laki itu pada sekertarisnya."Iya, Pak. Saya baru dua minggu ini masuk kantor setelah cuti melahirkan.""Bagus," sahut laki-laki itu, membuat wanita yang berdiri di hadapannya mengerutkan kedua alis karena heran."O, ya. Saat wanita hamil dua bulan, dan dia meng
Pagi telah menjelang. Dan Satya sudah terlihat berada di dapur menghampiri bibi."Tuan muda mau bibi buatkan sarapan apa?" tanya bibi saat laki-laki yang masih mengenakan piyama itu berdiri di belakangnya."Bi, buah-buahan yang tadi malam saya beli, sudah bibi simpan di kulkas?""Iya, Tuan! Sudah," sahut bibik dengan mengangguk. "Ada susu juga, tapi tidak ada kotaknya tuan, hanya dibungkus alumunium foil saja," ujar bibik."Iya," sahut Satya.Kotak susu tersebut memang telah sengaja dibuang oleh Satya."Bi, tolong setiap hari, suruh Hilya makan buah-buahan! Atau bibi buatkan jus! Dan tolong juga buatkan Hilya susu ya Bi! Tiga kali sehari," kata Satya kepada bibi, membuat bibi mengernyitkan dahi heran."Kalau Mbak Hilya tidak mau, Tuan?""Paksa ya, Bi! Soalnya ini untuk kesehatan Hilya," ujar Satya. "Ini untuk bibi!" tiba-tiba Satya memberikan beberapa lembar uang kertas warna merah ke tangan bibik."Tuan, ini uang apa?"
Pagi telah menjelang. Satya bersama mama dan keponakannya sudah bersiap di meja makan. "Satya! Mobil mama masih dibawa Pak Hadi ke bengkel. Pagi ini mama minta antar Pak Juned ke kantor. Jadi tolong kamu antar Clara ke sekolah ya!" kata Ibu Diana saat di meja makan. "Iya." Satya mengangguk dan tersenyum ke arah wanita berblazer hitam yang duduk di hadapannya. Terlihat setelah menghabiskan sepotong roti, dan meneguk segelas jus berwarna hijau muda wanita itu bangkit dari tempat duduknya. "Mama ke kantor dulu, mama ada meeting pagi ini!" kata wanita itu. "Ya, Ma. Hati-hati!" sahut Satya seraya berdiri dan mencium pipinya. Beberapa menit kemudian, Satya dan Clara telah selesai sarapan. "Om! Aku panggil Kak Hilya dulu, ya?" kata Clara sembari turun dari tempat duduknya. Satya pun menjawabnya dengan tersenyum dan mengangguk. Tidak lama setelah itu Clara kembali ke ruang makan. "Om! Kak Hilya masih ada
Sore menjelang. Saat ini Hilya tengah membantu Bibi Rum di dapur. Terlihat wanita yang sedang hamil muda itu begitu cekatan dan rajin saat menyelesaikan pekerjaan rumah."Bik! Bibik duduk saja, biar hari ini Hilya yang memasak untuk makan malam," kata wanita cantik itu."Mbak Hilya, nanti kecapean, lo!""Enggak, Bik! Hari ini Hilya memang pingin masak. Jadi, bibik istirahat aja ya! Bibik duduk aja temani Hilya!""Mmm... Iya deh terserah Mbak Hilya!" sahut Bibi Rum. "Malam ini. Ibu minta bibi masak ayam goreng, rendang, cah sawi jagung manis, terus soup jamur," terang bibi. "Mbak Hilya sanggup masak itu semua sendirian?""Insya Allah sanggup, Bik. Sini Bibi duduk!" kata Hilya dengan menarik kursi yang ada di dapur, dan meminta bibi untuk duduk.Terlihat Hilya mulai memasak. Wanita itu tampak bersemangat, dan sepertinya semua karena pengaruh dari hormon kehamilannya."O, ya. Bik! Aku lupa, Clara minta nasi goreng. Berarti menunya tambah
Clarissa duduk di sofa ruang keluarga rumah Satya dengan perasaan kacau."Ma! Apa mungkin Satya tertarik dengan pengasuh itu?" tanya Clarissa dengan mata berkaca-kaca."Sayang!" seketika Ibu Diana merangkul calon menantunya itu. "Jangan berpikir macam-macam. Satya itu anak yang baik. Bibi saja pernah dia gendong saat jatuh, Mbak Ira juga pernah dia papah saat terpeleset di tangga. Jadi wajar, jika dia menolong Hilya, yang hampir jatuh di depan matanya. Jadi, kamu jangan berpikir macam-macam!"Terlihat Clarissa mulai memikirkan penjelasan dari Ibu Diana. Dan berusaha menepis kecemburuannya pada Hilya yang tidak lagi beralasan."Sekarang, pergi ke kamar Satya! Kamu selesaikan masalah perasaanmu itu dengan tunangan kamu! Ayo, sana!" saran Ibu Diana pada calon menantunya dengan tersenyum.Akhirnya Clarissa pun menaiki tangga menuju ke kamar tunangannya.Dia membuka kamar laki-laki yang pintunya tidak terkunci itu. Dan seketika dia memeluk dari b