Satya terlihat cemas dan gelisah saat mendengar ungkapan Dirga yang akan melakukan visum kepada Hilya.
"Dirga?"
Terdengar suara lirih Satya memanggil pria yang hendak meninggalkan ruangannya itu.
"Ya. Apa?"
"Mmm... Aku... Aku, aku sudah melakukan sebuah kesalahan."
"Maksudmu?"
"Aku tidak sengaja melakukannya. Aku dalam pengaruh alkohol malam itu. Aku tidak sengaja melakukan semuanya pada Hilya," jelas Satya dengan suara gemetar.
"Maksudmu, kamu sudah?...."
"Ya, aku sudah menggauli gadis itu," ucap Satya dengan suara lirih.
Pria itu tampak lemas setelah menjelaskan semuanya pada Dirga.
"Hmmmh!!"
Dirga membuang nafasnya keras. Pria yang semula hendak keluar dari ruang kerja sahabatnya itu, kini mengurungkan niatnya.
"Lalu bagaimana?" tanya Dirga kemudian.
"Mmm... Aku sudah pikirkan semuanya. Aku harus segera mengakhiri pernikahan konyol ini. Aku sudah tidak memperdulikan resikonya. Aku tetap aka
Hilya berjalan menyusuri jalanan ibu kota setelah keluar dari apartemen milik Satya.Air matanya terus mengalir."Ummi, Abah!" ucapnya lirih sembari menyeka air matanya yang tidak berhenti mengalir.Wanita itu terus berjalan, hampir setengah hari dia berjalan, hingga akhirnya dia berhenti di sebuah halte.Hilya duduk dan beristirahat di kursi halte yang membujur panjang. Hatinya masih diselimuti kesedihan. Dia duduk membungkuk dengan menutup kedua matanya. Terlihat wanita itu masih terisak tangis. Dan setelah beberapa menit kemudian baru dia mulai menegakkan kepalanya."Bagaimana aku bisa pulang, aku tidak memiliki uang sepeserpun," kata wanita itu dalam hati. "Ya Allah, beri aku jalan!" ucapnya lirih dengan meremas-remas jari jemarinya.Hilya mulai merasakan sesuatu yang menempel di salah-satu jarinya."Ya Allah... Cincin ini. Iya, aku bisa menjual cincin ini," ucap Hilya dengan memperhatikan cincin pernikahan yang melingkar di jari
Beberapa menit kemudian mobil dokter Melvina sudah terparkir di halaman klinik itu."Assalamualaikum dokter, selamat pagi!" sapa beberapa perawat di klinik pada dokter cantik yang mengenakan hijab itu."Waalaikum salam," sahutnya dengan tersenyum ramah.Setelah itu dokter Melvina terlihat menuju ruang kerjanya."Suster Maya!" dokter Melvina memanggil salah seorang perawat yang menangani Hilya. "Bagaimana keadaan gadis itu?""Sudah lebih baik dokter. Ini berkas-berkas laporan kesehatan pasien!" kata perawat itu dengan menyerahkan map kepada dokter Melvina."Okey, terimakasih!"Setelah itu dokter Melvina mulai mempelajari berkas yang diserahkan oleh salah seorang perawat di kliniknya. Dan kemudian dia mulai beranjak dari tempat duduknya menghampiri kamar rawat Hilya."Assalamualaikum!" ucap dokter Melvina saat masuk ke kamar Hilya."Waalaikum salam," jawab Hilya dengan tersenyum."Saya periksa dulu ya!" kata dokter
Terasa tangan lembut seorang wanita menyentuh pundak Hilya."Dokter!" gumam Hilya saat menoleh ke arah wanita tersebut. "Ini handphone dokter!" kata Hilya kemudian dengan menjulurkan handphone kepada dokter Melvina."Ada apa?" tanya dokter Melvina dengan kembali duduk di kursi yang ada disebelah kanan bad Hilya."Tidak ada apa-apa," jawab Hilya lirih dengan mengalihkan pandangannya dari dokter Melvina. Menatap ke depan dengan tatapan mata kosong."Jika kamu butuh teman untuk bercerita, kamu bisa ceritakan semuanya padaku!" kata dokter Melvina lembut.Hilya menoleh ke arah dokter Melvina seraya tersenyum. Kepalanya mengangguk-angguk."Istirahatlah! Aku keluar dulu!" kata dokter Melvina seraya beranjak pergi."Dokter!" seru Hilya kemudian. "Jika aku bercerita kepada dokter, apakah dokter akan percaya padaku?"Hilya menatap dokter Melvina dengan mata berkaca-kaca."Mmm..."Dokter Melvina menoleh sembari tersenyum den
Sudah satu Minggu Hilya berada di rumah dokter Melvina. Dokter cantik itu terlihat sangat menyayangi Hilya, dan Hilya pun sangat menghargai kebaikan dokter Melvina, dengan menunjukkan sikap santun, sopan, ramah, dan bersahaja.Hilya bekerja sangat rajin di rumah dokter Melvina. Dari membantu Mbok Nah menyapu, mengepel, dan membersihkan halaman rumah."Hilya! Ibu lihat dari kemarin kamu rajin sekali," kata dokter Melvina saat melihat Hilya mengurus tanaman di depan rumahnya. "Ingat! Kamu bukan pembantu di rumah ini. Jadi, bantulah Mbok Nah sewajarnya!""Iya, dokter."Hilya mengangguk sembari tersenyum saat dokter Melvina menghampirinya."Ingat juga, kamu sedang hamil. Jadi, kamu harus jaga kandungan kamu dengan baik!" tambah wanita itu."Mmm..."Hilya kembali mengangguk-angguk."O, ya. Ibu ingin bicara dengan kamu. Ibu tunggu kamu di dalam ya!" kata wanita yang hanya terlihat tinggal bersama pembantunya yang bernama Mbok Nah itu
Melihat laki-laki yang sama sekali tidak ingin dijumpainya itu, membuat Hilya menjadi geram. Namun dia berusaha untuk mengendalikan diri, dan menunjukkan sikap tenang.'Ya Allah, tidak! Aku tidak mengenal laki-laki itu. Aku ke sini untuk bekerja. Beri aku kekuatan Ya Allah! Untuk tidak melihatnya sekalipun dia ada di depanku!' ucap Hilya dalam hati, berusaha membangun kekuatan agar bisa menghadapi laki-laki itu dengan tenang.Terlihat setelah itu Hilya menghelan nafasnya panjang."Hilya, ini Satya. Omnya Clara, putra Ibu Diana," kata dokter Melvina mengenalkan Satya pada Hilya.Hilya mengangguk sembari tersenyum tipis tanpa melihat seorang laki-laki yang berdiri tegap di hadapannya."O, ya Diana. Aku harus ke rumah sakit. Aku titip Hilya ya! Insya Allah Hilya akan bekerja dengan baik, dan tolong hubungi aku ya, kalau ada apa-apa dengan Hilya, karena anak ini tidak punya telepon," kata dokter Melvina kemudian kepada Ibu Diana."Okey!" jawab I
Mobil mulai melaju dengan kencang menuju sekolah Clara. Dan dalam perjalanan Hilya mulai menyuapi gadis manja itu."Minum!" kata gadis itu ketus, setelah makanan yang disuapkan oleh Hilya telah habis.Hilya pun segera membuka botol minum dan menyodorkan botol itu padanya.Tidak lama kemudian mereka telah sampai di sekolah.Pak Juned sopir Clara, bergegas membukakan pintu.Hilya turut keluar dari dalam mobil untuk mengantarkan anak asuhnya."Hati-hati ya Clara, Semangat belajar!" pesan Hilya lembut sembari membantu Clara memasangkan tas di punggungnya."Clara!!!"Tiba-tiba dua orang gadis kecil menyapa Clara."Tumben kamu nggak diantar pembantu?" tanyanya."Mama kamu cantik," kata salah satu teman yang lain dengan tersenyum ke arah Hilya.Seketika Clara menoleh ke arah Hilya yang berdiri di belangnya."Mama aku udah mati," jawab Clara kemudian dengan suara ketus dan berjalan cepat meninggalkan kedua t
Bel telah berbunyi. Pertanda siswa-siswi SD Harapan Bangsa keluar dari sekolahnya, salah satu Sekolah Dasar elite yang ada di ibu kota.Hilya dan Pak Juned sudah menunggu Clara di area parkir sekolah."Assalamualaikum Clara!" sapa Hilya saat gadis kecil itu berjalan menghampirinya.Clara hanya terdiam, dan tidak menjawab salam Hilya. Dan Hilya hanya tersenyum melihat sikap gadis kecil judes itu."Bagaimana PRnya?" tanya Hilya saat mereka sudah berada di dalam mobil.Tanpa menjawab Clara langsung menyodorkan buku lembar kerjanya pada Hilya.Belahan Hilya membuka dua buku LKS yang Clara sodorkan padanya."Bahasa Inggris benar semua. Matematika salah lima," kata Hilya.Setelah itu Hilya menoleh ke arah gadis kecil yang duduk di sampingnya."Kak Hilya tidak akan ingkar janji. Jika Kak Hilya tidak bisa menyelesaikan tantangan ini, Kak Hilya harus pergi," kata Hilya dengan mengatur suaranya. "Jujur, kakak masih ingin menemani
Tiga Minggu sudah Hilya berada di rumah Ibu Diana. Semakin hari hubungan Hilya dengan Clara semakin dekat.Dengan kesabaran dan ketelatenan Hilya membimbing gadis kecil itu, hingga akhirnya gadis kecil itu menjadi pribadi yang sangat manis dan penurut.Sikapnya yang dulu kasar dan suka berteriak-teriak pada pembantu, kini menjadi lembut. Tidak dimungkiri, perubahan sikap Clara ini membuat Ibu Diana menjadi sangat bahagia, dan membuat Ibu Diana bersimpati kepada Hilya."Hilya terimakasih ya! Sudah membantu Clara belajar, dan sudah membimbing Clara menjadi lebih baik," kata Ibu Diana pada Hilya, saat Hilya membantu bibi menyiapkan sarapan pagi di meja makan."Sama-sama, Bu," jawab Hilya dengan mengangguk sopan, seraya meletakkan susu dan air putih di sebelah piring-piring yang tertata rapi di meja makan itu.Tidak lama kemudian, Satya datang. Laki-laki itu terlihat menarik kursi dan duduk di hadapan mamanya, sembari melirik Hilya yang sedang menata s