Sudah satu Minggu Hilya berada di rumah dokter Melvina. Dokter cantik itu terlihat sangat menyayangi Hilya, dan Hilya pun sangat menghargai kebaikan dokter Melvina, dengan menunjukkan sikap santun, sopan, ramah, dan bersahaja.
Hilya bekerja sangat rajin di rumah dokter Melvina. Dari membantu Mbok Nah menyapu, mengepel, dan membersihkan halaman rumah.
"Hilya! Ibu lihat dari kemarin kamu rajin sekali," kata dokter Melvina saat melihat Hilya mengurus tanaman di depan rumahnya. "Ingat! Kamu bukan pembantu di rumah ini. Jadi, bantulah Mbok Nah sewajarnya!"
"Iya, dokter."
Hilya mengangguk sembari tersenyum saat dokter Melvina menghampirinya.
"Ingat juga, kamu sedang hamil. Jadi, kamu harus jaga kandungan kamu dengan baik!" tambah wanita itu.
"Mmm..."
Hilya kembali mengangguk-angguk.
"O, ya. Ibu ingin bicara dengan kamu. Ibu tunggu kamu di dalam ya!" kata wanita yang hanya terlihat tinggal bersama pembantunya yang bernama Mbok Nah itu
Melihat laki-laki yang sama sekali tidak ingin dijumpainya itu, membuat Hilya menjadi geram. Namun dia berusaha untuk mengendalikan diri, dan menunjukkan sikap tenang.'Ya Allah, tidak! Aku tidak mengenal laki-laki itu. Aku ke sini untuk bekerja. Beri aku kekuatan Ya Allah! Untuk tidak melihatnya sekalipun dia ada di depanku!' ucap Hilya dalam hati, berusaha membangun kekuatan agar bisa menghadapi laki-laki itu dengan tenang.Terlihat setelah itu Hilya menghelan nafasnya panjang."Hilya, ini Satya. Omnya Clara, putra Ibu Diana," kata dokter Melvina mengenalkan Satya pada Hilya.Hilya mengangguk sembari tersenyum tipis tanpa melihat seorang laki-laki yang berdiri tegap di hadapannya."O, ya Diana. Aku harus ke rumah sakit. Aku titip Hilya ya! Insya Allah Hilya akan bekerja dengan baik, dan tolong hubungi aku ya, kalau ada apa-apa dengan Hilya, karena anak ini tidak punya telepon," kata dokter Melvina kemudian kepada Ibu Diana."Okey!" jawab I
Mobil mulai melaju dengan kencang menuju sekolah Clara. Dan dalam perjalanan Hilya mulai menyuapi gadis manja itu."Minum!" kata gadis itu ketus, setelah makanan yang disuapkan oleh Hilya telah habis.Hilya pun segera membuka botol minum dan menyodorkan botol itu padanya.Tidak lama kemudian mereka telah sampai di sekolah.Pak Juned sopir Clara, bergegas membukakan pintu.Hilya turut keluar dari dalam mobil untuk mengantarkan anak asuhnya."Hati-hati ya Clara, Semangat belajar!" pesan Hilya lembut sembari membantu Clara memasangkan tas di punggungnya."Clara!!!"Tiba-tiba dua orang gadis kecil menyapa Clara."Tumben kamu nggak diantar pembantu?" tanyanya."Mama kamu cantik," kata salah satu teman yang lain dengan tersenyum ke arah Hilya.Seketika Clara menoleh ke arah Hilya yang berdiri di belangnya."Mama aku udah mati," jawab Clara kemudian dengan suara ketus dan berjalan cepat meninggalkan kedua t
Bel telah berbunyi. Pertanda siswa-siswi SD Harapan Bangsa keluar dari sekolahnya, salah satu Sekolah Dasar elite yang ada di ibu kota.Hilya dan Pak Juned sudah menunggu Clara di area parkir sekolah."Assalamualaikum Clara!" sapa Hilya saat gadis kecil itu berjalan menghampirinya.Clara hanya terdiam, dan tidak menjawab salam Hilya. Dan Hilya hanya tersenyum melihat sikap gadis kecil judes itu."Bagaimana PRnya?" tanya Hilya saat mereka sudah berada di dalam mobil.Tanpa menjawab Clara langsung menyodorkan buku lembar kerjanya pada Hilya.Belahan Hilya membuka dua buku LKS yang Clara sodorkan padanya."Bahasa Inggris benar semua. Matematika salah lima," kata Hilya.Setelah itu Hilya menoleh ke arah gadis kecil yang duduk di sampingnya."Kak Hilya tidak akan ingkar janji. Jika Kak Hilya tidak bisa menyelesaikan tantangan ini, Kak Hilya harus pergi," kata Hilya dengan mengatur suaranya. "Jujur, kakak masih ingin menemani
Tiga Minggu sudah Hilya berada di rumah Ibu Diana. Semakin hari hubungan Hilya dengan Clara semakin dekat.Dengan kesabaran dan ketelatenan Hilya membimbing gadis kecil itu, hingga akhirnya gadis kecil itu menjadi pribadi yang sangat manis dan penurut.Sikapnya yang dulu kasar dan suka berteriak-teriak pada pembantu, kini menjadi lembut. Tidak dimungkiri, perubahan sikap Clara ini membuat Ibu Diana menjadi sangat bahagia, dan membuat Ibu Diana bersimpati kepada Hilya."Hilya terimakasih ya! Sudah membantu Clara belajar, dan sudah membimbing Clara menjadi lebih baik," kata Ibu Diana pada Hilya, saat Hilya membantu bibi menyiapkan sarapan pagi di meja makan."Sama-sama, Bu," jawab Hilya dengan mengangguk sopan, seraya meletakkan susu dan air putih di sebelah piring-piring yang tertata rapi di meja makan itu.Tidak lama kemudian, Satya datang. Laki-laki itu terlihat menarik kursi dan duduk di hadapan mamanya, sembari melirik Hilya yang sedang menata s
Hilya bergegas keluar dari mobil saat telah sampai di rumah Ibu Diana.Satya yang merasa ada yang aneh dengan sikap Hilya, bergegas keluar dari mobil mengikuti langkah wanita itu."Ueeek!! Ueeek!"Terdengar Hilya memuntahkan semua isi perutnya di kamar mandi.Satya berdiri di depan kamar mandi dengan perasaan tidak tenang, sembari mondar-mandir dan sesekali mengusap kepalanya. Laki-laki itu sepertinya merasa khawatir dengan keadaan Hilya."Kreek!"Hilya membuka pintu kamar mandi dengan pelan.Wajah Hilya tampak pucat, dan badannya terlihat lemas."Kamu sakit apa?" tanya Satya dengan memegang kuat lengan Hilya yang baru keluar dari kamar mandi."Aku nggak sakit," sahut Hilya dengan berusaha melepas memegang kuat tangan laki-laki itu."Kamu pucat. Ayo ke rumah sakit!" kata Satya dengan masih memegang lengan Hilya, sembari menarik wanita itu untuk ikut bersamanyaSeketika Hilya menghempaskan tangan laki-laki i
Pagi ini Hilya terlihat sibuk melayani Clara yang sudah berada di meja makan. Dari menyiapkan susu, air putih, hingga roti tawar yang hendak gadis itu makan."Aku nggak mau selai coklat, aku mau yang stroberi," rengek gadis kecil itu saat Hilya hendak mengoleskan selai coklat ke rotinya.Ibu Diana yang saat itu sudah berada di meja makan tampak memperhatikan sikap manja cucunya kepada Hilya dengan tersenyum kecil.Tidak lama kemudian seorang laki-laki berjas hitam dengan kemeja putih di dalamnya turun dari lantai dua rumah.Laki-laki itu berjalan menghampiri Ibu Diana yang sudah dari tadi berada di meja makan."Ma, aku ada meeting pagi ini. Aku sarapan di kantor!" pamit pria itu dengan mencium pipi wanita berusia 50 tahun yang masih terlihat cantik dengan blazer warna coklat muda."Iya hati-hati!" jawab wanita tersebut.Laki-laki itu pun mengangguk sembari memperhatikan Hilya yang saat itu masih terlihat melayani keponakannya.
Satya menarik kursi yang ada di sebelah kanan tempat tidur Hilya. Dia duduk dengan raut wajah cemas. Tangannya terus menggenggam tangan wanita yang terkulai lemas di hadapannya.Satya bergegas membuka kerudung Hilya ketika Bi Rum menyodorkan minyak kayu putih padanya. Dia tampak sigap mengoleskan minyak hangat itu pada leher, dada, dan pada bagian bawah hidung Hilya."Tuan! Biar bibi saja yang mengoleskan minyak kayu putih itu pada tubuh Mbak Hilya!" kata Bibi Rum menawarkan membantu majikannya."Tidak usah," jawab Satya dengan terus mengoleskan minyak itu ke telapak tangan dan telapak kaki Hilya."Tapi tuan, Mbak Hilya kan, bukan muhrim tuan muda? Pasti nanti Mbak Hilya malu kalau tuan membuka hijab dan menyentuh tangan serta kakinya."Seketika Satya menoleh ke arah Bibi Rum."Ini kan darurat, Bik!""Oooh begitu," sahut bibi dengan mengangguk.Terlihat setelah itu Satya memasang kembali kerudung Hilya yang sempat dia buka.
Dua puluh menit setelah berada di gedung yang bertuliskan "Clarissa Beutik". Satya dan mamanya terlihat keluar dari tempat itu.Mama Satya, Ibu Diana tampak kesal saat berjalan menjejeri putranya tersebut."Mama heran. Bisa-bisanya kamu terlambat di acara penting seperti ini?"Ibu Diana mengungkapkan kekesalannya pada Satya saat mereka berjalan keluar gedung.Dan di depan gedung, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di hadapan mereka."Silahkan, Bu!" kata Pak Hadi seorang sopir yang mengantar Ibu Diana ke acara itu, sembari membukakan pintu mobil untuknya."Pak Hadi, pulang sendiri ya! Saya pulang sama Satya."Setelah mengatakan hal itu pada sopirnya, Ibu Diana bergegas berjalan menuju mobil milik putranya yang masih terparkir di halaman gedung."Kamu benar-benar tidak memikirkan perasaan Clarissa. Bisa-
Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata
Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior
Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"
Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Siang itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dirga bergegas menuju kantor Satya."Aku lupa, kita hampir saja terlambat. Hari ini kamu ada jadwal kencan dengan Lily Harland. Putri pengungusa Cokro Harland. Dia baru saja menyelesaikan sekolah bisnisnya di Eropa, dan saat ini, menjabat sebagai direktur di anak perusahaan ayahnya," terang Dirga."Ayo cepat!" kata Dirga kemudian seraya keluar dari ruang kerja Satya.Satya pun bergegas mengikuti langkah Dirga dengan merapikan kancing jasnya.Pengusaha kaya itu, terlihat sangat tampan saat mengenakan setelan jas dengan warna apa pun.Dua puluh menit kemudian mobil yang dinaiki Satya sudah berhenti di halaman parkir hotel bintang lima.Ternyata Dirga mengatur pertemuan Satya dengan putri pengusaha kaya itu, di sebuah restoran mewah yang ada di dalam hotel ini.Saat ini Satya telah duduk di restoran, menunggu wanita cantik yang akan dia temui."Dia masih di jalan," bisik Dirga saat Satya berkali-kali melihat arloji di tangannya.Beberapa men
Pukul dua puluh satu malam, Satya baru sampai di rumahnya. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dan membersihkan diri.Setelah itu dia tampak membuka laci, mengambil sebuah buku kecil tuntutan salat yang pernah diberikan oleh istrinya.Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan membaca buku tersebut."Aaaaagh!" desahnya."Hmmmh!" kemudian dia membuang napas keras, dan meraih handphone yang ada di meja lampu tidurnya.Dia menyentuh layar handphone tersebut. Terlihat gambar Hilya, wanita yang pernah dinikahinya di layar utama handphone tersebut.Gambar wanita cantik itu, tampak tersenyum manis ke arahnya.Satya tersebut kecil. Entah apa yang laki-laki kaya itu pikirkan, mungkin rasa rindu, karena sudah hampir satu Minggu mereka tidak bertemu.Namun tiba-tiba senyum di bibir Satya menghilang, berganti dengan wajah kesal."Wanita macam apa kamu? Keluar dari rumah tanpa izin. Kamu pikir, aku akan meneleponmu? Tidak akan pernah!"Satya tampak berbicara de
Kini pagi telah tiba. Satya sudah berada di ruang kerjanya berjibaku dengan laptop dan berkas-berkas yang berserakan di meja.Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Satya."Bagaimana kabarmu?" tanya laki-laki yang tidak lain adalah pengacara Satya tersebut.Satya melirik laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaannya, seraya kemudian melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya."O, iya. Bagaiman kabar Clarissa? Kapan kalian menikah?" tanya pengacara itu kemudian sembari duduk di hadapan Satya."Clarissa sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali ke Jepang setelah kejadian kemarin," sahut Satya dengan masih mengerjakan sesuatu di laptopnya."Oooh.... Pantas, kamu terlihat frustrasi sekali. Ternya, dua orang wanita yang sangat mencintaimu, kompak meninggalkan kamu secara bersamaan," ejek Dirga dengan terkekeh."Hmmmh!"Satya membuang napas keras sembari melirik Dirga dengan wajah kesal."Kapan rencana kamu menyusul Clarissa ke Jepang?" tanya Dirga lagi."Siapa bilang aku mau me