Bab 34 Suamiku Malaikatku
"Sayang, tadi siang Kak Abraham nelpon melalui nomor Ni Sumi. Dari manakah Kak Abraham tahu nomor ponsel Bi Sumi?" Aku bertanya.
"Oh itu. Tadi siang kak Abraham meneleponku. Terus karena aku ada pekerjaan yang tidak bisa diganggu. Makanya aku suruh dia nelpon ke rumah. Karena kamu tidak angkat teleponnya makanya aku kasih nomor Bi Sumi. Lagian sepertinya Kak Abraham juga turut senang menyambut calon buah hati kita. Terbukti ketika aku mengabarimu yang tengah mengandung buah cinta kita, ke Abraham begitu antusias," ucapnya.
"Tidak lama kemudian, Kak Abraham kembali menghubungiku. Katanya kamu sedang tidak enak badan, makanya tidak bisa bicara langsung padanya. Dia juga berpesan padaku untuk menjagamu sebaik yang aku bisa," lanjutnya.
"Tentu saja aku selalu menjagamu melebihi seperti yang ia pesankan. Dia memang figur kakak yang penuh kasih sayang yang kukenal sejak kecil. Jadi kau tidak perlu takut padanya. Dia orang yang paling k
Bab 35 Seandainya Waktu Boleh Terulang, Aku Tak Akan MenyakitimuSebulan lamanya aku tinggal di rumah ini, tidaklah membuatku nyaman.Potret rumah inilah yang diperlihatkan Abraham di villa waktu itu.Ingin rasanya untuk segera pergi, namun keadaan yang tidak memungkinkan.Aku berjalan lunglai. Mengapa hamil ini terasa begitu berat. Lihat tubuh ini, kian turun angka beratnya. Menciptakan kurus membalut tulang.Hups ....Tak sengaja tanganku menyingkap gorden berwarna biru besar yang menutupi separuh dari dinding kamar. .Tidak sengaja, aku seperti melihat sesuatu yang sedikit tersembunyi di dalam sana.Penasaran, ku coba untuk menyingkap gorden itu secara keseluruhan. Berusaha keras karena ada sesuatu yang menahannya di bagian dinding."Apa sih yang menghalangi? gerutuku.Penasaranku bertambah. kembali aku mencoba.Dan akhirnya, tadaaa...Usahaku membuahkan hasil.Namun,Deghhh ...
Bab 36 Sosok Itu KembaliTubuhku terasa kian lemah. Berbaring tak berdaya di sebuah kamar klinik swasta yang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya.Seiring waktu tubuh ini kian kurus.Seringkali Nyonya Jonathan datang untuk melihat kondisiku. Sampai rasanya hati ini malu."Nak, apa ada yang menarik seleramu?" Tanya nyonya Jonathan."Tidak, Bu." Aku menggeleng lemah.Kudengar mertuaku menghela nafas lelah. Mungkin ia bingung melihat keadaanku yang semakin memprihatinkan.Sesekali ibuku datang, ia juga memperlihatkan ekspresi yang sama. Kondisi ini membuatku lelah."Sayang, Aku belikan lagi cokelat ya?"Pertanyaaan Brandy yang penuh dengan nada kekhawatiran dan penuh kasih sayang yang tinggi itu amat membuatku terenyuh.Namun aku menggeleng pelan. Hari ini aku benar-benar kehilangan nafsu makan. Maafkan aku yang telah merepotkan kalian, Brandy.Kulihat Brandy keluar dari kamar dengan kecewa.Kup
Bab 37 Aku Bukan Monster"Waalaikumsalam, Abraham? Kamu sudah sampai, Sayang?" ujar Nyonya Jonathan dengan aura bahagia."Ya, Bu. Ibu apa kabar?"Abraham memeluk ibunya."Alhamdulillah, baik juga. Ibu senang kau datang," ucap Nyonya Jonathan."Kak, Brandy tidak tahu apa yang terjadi pada Mera. Lihatlah, tubuhnya kian kurus dan lemah," ucap Brandy dengan suara prihatin."Sabar, semua pasti ada hikmahnya,"Abraham mengambil tempat duduk agak jauh dariku."Mera, tadi Kak Abraham bawakan oleh-oleh. Apa kau mau mencicipinya?" Tanya Brandy."Nanti saja," ucapku.Sebenarnya aku malu untuk mengakui bahwa aku sangat menginginkannya. Tiba-tiba saja aku berselera dengan oleh-oleh yang Abraham bawa.Ya Tuhan. Apa aku terlalu lebay? Tidak! Apa yang kurasakan ini memang murni dari naluri."Bu, Ibu boleh istirahat dulu. Kan ada aku dan Kak Abraham, buat menjaga Mera" tutur Brandy."Oh iya. Mera, Ibu pu
Bab 38 Bukan Aku Yang MenginginkannyaSelama ini, seringkali Nyonya Jonathan atau Brandy membelikan aku buah apel jenis itu. Tepi seleraku tidak seperti ini. Semakin aneh saja."Mau apelnya? Itu kan buah kesukaanmu, Bukan?" Suara berat AbrahamAku tersentak.Kulihat Abraham beranjak, berjalan mendekati meja.Abraham membawa keranjang buah tersebut mendekatiku. Aku menelan ludah ketika melihat ranumnya apel merah segar di dalam keranjang di tangan Abraham.Kulihat Abraham mengupas apel tersebut, lalu memotongnya menjadi beberapa bagian.Rupanya logat Abraham masih tetap sama seperti dulu. Dulu inilah pemandangan yang biasa kulihat. Dimana ia mengupas buah dan mencandaiku lembut dengan gayanya yang khas.Tapi sekarang candaan itu sudah tidak terlihat lagi.Kuperhatikan wajahnya kembali. Kuperhatikan baik-baik. Aku perhatikan wajah itu memang sungguh menarik. Di dekatnya tidaklah mengerikan seperti dulu. Melaink
Bab 39 Sebuah Firasat "Mera, rasa sayangku padamu tidak akan pernah pudar. Hanya saja, sekarang rasa sayang itu biar kusimpan dalam bentuk kasih sayang seorang kakak pada sang adik. Jujur Mera, aku tidak bisa mencari penggantimu. Aku belum mampu. Kuharap, kau segera pulih dan tidak lagi harus dirawat seperti ini." Aku diam saja mendengar ucapannya. "Abraham, mengapa kau jual rumah yang telah kau bangun kepada Brandy dengan harga begitu murah?" Aku tidak bisa menahan pertanyaan yang telah kusimpan sejak lama. "Tidak usah bicara soal rumah itu, Mera. Aku tidak menyinggung masalah itu. Aku sudah cukup senang bila kau tinggal di rumah seperti yang pernah kau impikan sebelumnya. Meski kau tidak tinggal disana bersamaku, tapi kau bisa menempatinya bersama Brandy." "Itu untukmu, Me
Bab 40 Entahlah sudah dua hari ini badanku terasa lebih baikkan. Tubuhku tidak lagi lemah dan selera makan pun meningkat. Karena ini aku meminta untuk pulang dan tidak dirawat lagi di klinik kesehatan. Kondisi klinik sudah terlalu memuakkan bagiku. "Aku senang melihat kesehatanmu membaik, Sayang. Semoga buah hati kita selalu dianugerahi kesehatan. Maaf ya sayang. Gara-gara mengandung anakku badanmu jadi sakit-sakitan," ucap Brandy mencium perutku. "Ah ini bukan salahmu. Janin yang sedang berada dalam perutku ini adalah anakku juga." Ucapku. Keluar dari klinik aku memilih untuk berjalan sendiri. Brandy membimbing langkahku. Menurut ucapannya ia belum begitu percaya untuk melepaskan aku untuk berjalan sendiri. Entahlah. Perhatian lelaki itu memang terlalu besar. &nbs
41 Tubuh Mera benar-benar sehat. Seluruh anggota keluarga merasa senang dengan kesehatan Mera. Tidak lagi seperti dulu, dimana Mera selalu memilih-milih makanan yang kira-kira bisa lolos dari kerongkongan. Sekarang apapun yang ada di meja makan akan lahapnya dengan berselera. Seperti kali ini, sepotong pizza di atas meja makan menarik perhatian perempuan itu. Tak urung Mera melahap pizza tersebut. Di sudut lain steak daging pun tak luput dari giliran santapannya. Tingkahnya membuat geleng-geleng kepala seorang laki-laki yang diam-diam memperhatikan tingkah Mera. Setelah semuanya berhasil di lahap habis, segelas minuman pun di seruputnya hingga tersisa sedikit saja. Wanita tersebut nampak menyetel AC. Sembari mengelus perut. Mera mengubah posisi duduk dengan lebih santai. Menikmat
Bab 42 Brandy mengernyitkan dahi melihat sikap istrinya yang mendadak berubah. "Ada apa, Sayang? Kelihatannya kamu terkejut," ucap Brandy samping mengambil posisi tempat duduk di samping Mera. Tangan kanan yang meraih jari-jemari Mera. Sadar akan kebingungan suaminya, Mera bergegas bersikap untuk mengubah sikap menjadi sebiasa mungkin. "Ah tidak apa-apa. Cuma sedikit bingung saja kok Kak Abraham cepat sekali kembali ke Jerman," sahut Mera. "Oh itu ... Namanya juga tuntutan kerja, Sayang," jelas Brandy tersenyum. "Iya, di mana-mana memang selalu saja pekerjaan yang kerap menjadi alasan utama seseorang untuk tinggal berjauhan dari saudara mereka. Bahkan lintas negara," ujar Mera. Sembari bibirnya berucap, Mera menyibakkan rambutnya ke belakang. Kakinya melangkah menuju ke je