Bab 39 Sebuah Firasat
"Mera, rasa sayangku padamu tidak akan pernah pudar. Hanya saja, sekarang rasa sayang itu biar kusimpan dalam bentuk kasih sayang seorang kakak pada sang adik. Jujur Mera, aku tidak bisa mencari penggantimu. Aku belum mampu. Kuharap, kau segera pulih dan tidak lagi harus dirawat seperti ini."
Aku diam saja mendengar ucapannya.
"Abraham, mengapa kau jual rumah yang telah kau bangun kepada Brandy dengan harga begitu murah?"
Aku tidak bisa menahan pertanyaan yang telah kusimpan sejak lama.
"Tidak usah bicara soal rumah itu, Mera. Aku tidak menyinggung masalah itu. Aku sudah cukup senang bila kau tinggal di rumah seperti yang pernah kau impikan sebelumnya. Meski kau tidak tinggal disana bersamaku, tapi kau bisa menempatinya bersama Brandy."
"Itu untukmu, Me
Bab 40 Entahlah sudah dua hari ini badanku terasa lebih baikkan. Tubuhku tidak lagi lemah dan selera makan pun meningkat. Karena ini aku meminta untuk pulang dan tidak dirawat lagi di klinik kesehatan. Kondisi klinik sudah terlalu memuakkan bagiku. "Aku senang melihat kesehatanmu membaik, Sayang. Semoga buah hati kita selalu dianugerahi kesehatan. Maaf ya sayang. Gara-gara mengandung anakku badanmu jadi sakit-sakitan," ucap Brandy mencium perutku. "Ah ini bukan salahmu. Janin yang sedang berada dalam perutku ini adalah anakku juga." Ucapku. Keluar dari klinik aku memilih untuk berjalan sendiri. Brandy membimbing langkahku. Menurut ucapannya ia belum begitu percaya untuk melepaskan aku untuk berjalan sendiri. Entahlah. Perhatian lelaki itu memang terlalu besar. &nbs
41 Tubuh Mera benar-benar sehat. Seluruh anggota keluarga merasa senang dengan kesehatan Mera. Tidak lagi seperti dulu, dimana Mera selalu memilih-milih makanan yang kira-kira bisa lolos dari kerongkongan. Sekarang apapun yang ada di meja makan akan lahapnya dengan berselera. Seperti kali ini, sepotong pizza di atas meja makan menarik perhatian perempuan itu. Tak urung Mera melahap pizza tersebut. Di sudut lain steak daging pun tak luput dari giliran santapannya. Tingkahnya membuat geleng-geleng kepala seorang laki-laki yang diam-diam memperhatikan tingkah Mera. Setelah semuanya berhasil di lahap habis, segelas minuman pun di seruputnya hingga tersisa sedikit saja. Wanita tersebut nampak menyetel AC. Sembari mengelus perut. Mera mengubah posisi duduk dengan lebih santai. Menikmat
Bab 42 Brandy mengernyitkan dahi melihat sikap istrinya yang mendadak berubah. "Ada apa, Sayang? Kelihatannya kamu terkejut," ucap Brandy samping mengambil posisi tempat duduk di samping Mera. Tangan kanan yang meraih jari-jemari Mera. Sadar akan kebingungan suaminya, Mera bergegas bersikap untuk mengubah sikap menjadi sebiasa mungkin. "Ah tidak apa-apa. Cuma sedikit bingung saja kok Kak Abraham cepat sekali kembali ke Jerman," sahut Mera. "Oh itu ... Namanya juga tuntutan kerja, Sayang," jelas Brandy tersenyum. "Iya, di mana-mana memang selalu saja pekerjaan yang kerap menjadi alasan utama seseorang untuk tinggal berjauhan dari saudara mereka. Bahkan lintas negara," ujar Mera. Sembari bibirnya berucap, Mera menyibakkan rambutnya ke belakang. Kakinya melangkah menuju ke je
Bab 43 Hingga akhirnya tibalah di mana hari Abraham harus kembali lagi ke Jerman. "Kak, biar aku yang bawa barangnya," ujar Brandy mendorong koper yang tidak terlalu besar yang berisi barang-barang kakaknya. Sedangkan Mera terpekur lesu di kursi ruang kamar.. "Mera ...? Ada apa denganmu kok malah terlihat murung, Sayang," Brandy mengernyitkan dahi. "Tidak apa, Sayang. Cuma sedikit pusing," sahut Mera kemudian. "Apa kesehatanmu kembali menurun?" Brandy mulai khawatir. "Kurasa tidak. Aku baik-baik saja," jawab Mera pelan. "Kita akan mengantar kak Abraham berangkat ke bandara. Tapi ... Hmmm ... Kalau kondisimu sedang dalam keadaan tidak baik, biar Ibu sama Ayah saja yang pergi, aku akan menemanimu," Brandy membelai pundak Mera. "Ku kira ak
Bab 44 Sambil menunggu, Nyonya Jonathan beserta keluarga asyik dalam obrolan. Suasana begitu hangat. Mungkin karena mereka berpikir, nanti akan butuh waktu yang lama agar bisa kembali mengobrol bersama sang anak sulung. Sedangkan Mera tidak terlalu banyak mengeluarkan suara. Hanya sesekali saja ia menyunggingkan senyum dan tertawa sekenanya. "Mera, kau baik-baik saja kan?" Brandy menggenggam tangan istrinya. "Ya, tentu. Aduh ... Sebentar ya, aku ke toilet dulu," sahut Mera. Ia takut jika Brandy memperhatikan tingkahnya. "Mau kutemani ...?" Brandy mendekatkan wajah. "Tidak usah. Lagian cuma ke toilet aja kok," sahut Mera. Merah bergegas melangkah menjauh. Setelah pintu toilet tertutup, wanita cantik itu tidak kuasa lagi menahan tetesan-tetesan bening yang seda
Bab 45 Sungguh Mera bergidik gelagapan melihat siapa yang memotong ucapannya. "A ... Abraham ... Me ... mengapa kau membuntuti langkahku ...?" Dengan gugup suara itu keluar terbata-bata dari bibir Mera. "Aku tak membuntutimu, ini hanya kebetulan saja" sahut Abraham dingin. Tidak tahan menahan dorongan dari dalam hatinya, Mera mendongakkan kepala, menatap wajah yang selama ini mengganggu kenyamanan hidupnya. Wajah tampan itu semakin membuat Mera terenyuh. Dadanya mulai sesak menahan rasa serba salah, rindu, kagum, takut kehilangan, dan sejuta rasa lainnya yang tak mampu untuk ia urai. 'Andai saja kau halal untukku sentuh, tentu saja sudah kudekap dirimu erat-erat, Abraham ... Andai kau tahu, bagaimana gemuruh rasa yang ku tanggung ... Andai saja kau berada di posisiku sekarang, belum tentu kau mampu berta
Bab 46 "Nak, hati-hati di negeri orang. Fokuskan niatmu kepada tujuan. Doa ibu menyertai," Jonathan memeluk Abraham orang sebelum melepaskan putranya pergi. "Tentu, Bu. Terima kasih atas doa tulus ibu," Kemudian setelah itu secara bergantian Brandy mengucapkan salam perpisahan untuk sang kakak. "Semoga sukses ya, Kak. Kami selalu mendoakan yang terbaik buat Kak Abraham," "Amin terima kasih doanya. Jangan lupa jaga Ibu dan Ayah selama aku tidak di sini. Dan jaga si Mera. Ingat, di dalam perutnya sedang tumbuh seorang calon pewaris besar keluarga kita," Abraham mengucapkan kata-kata dengan nada bersungguh-sungguh. Mera berusaha mengulas senyum dengan kebersamaan mereka. Senyum yang sangat berlawanan jauh dengan suasana hatinya sedang di dominasi oleh kepiluan. "Mera ...," satu tang
Bab 47 "Sayang, besok pagi kita langsung pulang ya. Dua malam sudah cukup untuk kita liburan, aku pikir liburan hanya akan membuang waktu sia-sia dan juga merepotkanmu" celetuk Mera. "Untukmu kenapa harus merasakan repot, Mera," tanggap Brandy. "Aku ingin melihatmu menikmati masa-masa kehamilan dengan moment-moment indah kebersamaan. Bukankah ibu hamil seharusnya selalu berada dalam keadaan nyaman? Aku ingin bisa membuatmu bahagia, Mera. Apalagi ... Apalagi dari kemarin aku perhatikan kau sedikit murung. Apa kah ada yang menjadi beban pikiranmu? Ceritakan padaku ... Aku akan berusaha untuk menjadi teman yang akan mendengarkan segala keluh kesahmu," Brandy bertutur pelan dan penuh perhatian. Mera merenung. 'Apa yang bisa ku katakan untuknya? Jika jujur, maka sama saja dengan men