Persetan dengan Rati dan apa yang dia sukai. Hari ini aku tiba di Daimen dengan semangat yang terbakar. Karena hari ini, aku akan melakukannya dengan Roya. Aku sudah memintanya datang lebih pagi, beralasan ada yang harus aku diskusikan bersamanya, perihal latihannya. Tentu saja tidak ada yang benar-benar ingin kubicarakan. Itu hanya alasan saja.
Setelah berganti pakaian dan menelan sebutir suplemen sebagai persiapan, aku menunggu Roya di ruang latihan. Setelah kira-kira lima belas menit berlalu, suplemen yang kutelan mulai memberikan reaksi di tubuhku. Di balik celana pendek parasut yang kukenakan, milikku mengeras detik demi detik. Ketika sudah tegang sampai ke batas maksimalnya, aku mulai gelisah dan keringat mulai muncul di dahiku. Gawat. Kalau tahu dia akan terlambat, aku tidak akan menelan suplemen itu lebih dulu dan kewalahan menyembunyikan efeknya sekarang. Dan karena dia tidak juga datang, aku meninggalkan ruangan itu lalu pindah ke lobi. Sudah terlalu banyak orang y
“Jujur saja, awalnya aku merasa terancam. Perhatian semua orang tertuju padamu sejak pertama kali kau datang ke sini. Tapi, semakin kuperhatikan, aku paham apa yang dilihat Bapak darimu. Kau punya sesuatu yang layak untuk dijual olehnya, menjadi wajah Daimen dan lain sebagianya. Kau juga pekerja keras, Bang. Dulu, waktu aku melatihmu untuk pertama kali, aku sempat meremehkanmu. Itu karena kau terlihat lemah dan kurang meyakinkan. Semakin hari, melihat kemajuan yang terjadi pada tubuhmu, aku percaya kau sama sepertiku. Butuh kesempatan kedua dan Bapak melihat hal itu. Karena itulah aku tidak pernah sekalipun merasa iri Bapak memilih Abang sebagai wakilnya di Daimen.”Ucapan Cahyo hari itu terngiang di dalam kepalaku. Sialan. Karena memikirkan bagaimana aku mendapat bahan onani di telepon genggamku, aku malah memikirkan dia.Aku segera berbenah dan menyingkirkan kondom bekas ke wadah sampah. Namun, sebelum melemparnya ke wadah itu dan bergabung bersama sampah
Aku pulang dengan tubuh yang terasa seringan kapas. Seluruh tenagaku sudah terkuras seharian ini dan Roya benar-benar cewek yang andal dalam urusan memberi kenikmatan. Untung saja aku masih bisa menyetir sampai ke rumah tanpa mengalami kendala apa pun. Sebelum aku meninggalkan mobil dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal, sebuah sepeda motor berhenti di belakang mobilku dan kulihat Rati turun dari boncengan. Dia tidak mengatakan apa-apa kepada pria yang mengantarnya, tapi dari tatapan yang saling mereka tukarkan pada satu sama lain, seolah itu sudah lebih dari cukup.Kubuka pintu mobil dan pada saat yang bersamaan sepeda motor itu dipacu tuas gasnya dalam-dalam. Pria itu pergi meninggalkan Rati kurang dari semenit dan melihatku yang baru saja keluar dari mobil, Rati berusaha untuk terlihat sesantai mungkin. Bahwa dirinya diantar pulang oleh Atmi bukanlah hal yang besar dan perlu kami ributkan.Tadinya aku berniat melakukan hal yang sama. Dengan setenang mungki
Sesuai dugaan, setelah teman Xai yang aneh dijemput oleh orangtuanya, sekelompok orang datang menggedor pintu rumah dengan tidak sabar ketika kami sedang makan malam. Bapak dari teman Xai itu bilang kalau dirinya akan berusaha membantu kami apa pun yang terjadi setelah ini dan tidak keberatan membayar ganti rugi kerusakan pada sepeda motor, karena mereka menganggap anaknya ikut andil dalam keributan yang terjadi. Mereka pulang dan si Bapak berpesan pada Xai untuk menghubungi mereka jika pihak Atmi berusaha memperpanjang masalah.Kubiarkan Xai membukakan pintu untuk mereka. Dalam seketika semua orang merangsek masuk dan memenuhi ruang depan kami yang sempit. Di antara mereka, terlihat Atmi yang kepalanya dibebat dengan perban dengan noda merah yang cukup besar dan dia terus merintih kesakitan pada seorang pria tua yang kuduga adalah bapaknya.Rati melirikku lalu dia mengesah panjang. Ekspresinya mengisyaratkan bahwa kelelahannya sudah mencapai puncak tertinggi. Dia berd
“Boleh saya saja yang bercerita, Pak?”Rati membuat semua orang menoleh dan memperhatikannya. Dia duduk di sebelahku dan meraih tanganku untuk digenggam. Seolah dia sedang butuh berpegangan pada sesuatu saat ini, jika tidak melakukannya mungkin dia bisa terjatuh atau semacamnya. Aku diam saja dang mencoba mengikuti permainannya.“Bapak mungkin tidak mengenal saya sekalipun sebelumnya saya sudah datang ke kantor untuk mengurus dokumen kepindahan kami ke sini, karena itu izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dulu. Nama saya Rati dan ini suami saya, Owen. Kami punya satu anak yang seusia dengan anaknya Pak Sekretaris Camat,” kata Rati seraya menunjuk bapaknya teman Xai yang sebelumnya datang untuk menjemput si anak. Pantas saja dia bisa memprediksi hal semacam ini akan terjadi dan langsung datang bersama jalan keluar yang ampuh—yang kumaksud adalah Pak Camat.“Saya seorang calon ASN di salah satu sekolah di daerah yang Bapak
Segala yang terjadi menjadi tontonan sebagian warga yang berkerumun di depan rumah kami. Beberapa bahkan ada yang merekam. Beberapa lainnya mulai bersorak tak sabar menantikan keputusan Pak Camat atas nasib si kepala desa. Aku pun menantikan hal yang sama. Di sebelahku, Rati sudah tidak lagi menggenggam tanganku. Dia menatap lurus ke arah Atmi seraya mengembuskan napasnya keras-keras. “Kau tidak tega melihatnya seperti itu?” Rati langsung melirikku dengan sengit. “Aku tidak merasakan apa pun saat ini selain lega.” Sebelum aku sempat menyinggung ekspresi aneh di wajahnya, Rati langsung menarik tanganku untuk digenggam lagi olehnya. Aku menolak. Tidak akan kubiarkan dia memainkan sandiwaranya lagi dan memanfaatkan aku untuk ikut serta di dalamnya. Setelah beberapa saat, Pak Camat akhirnya mengumumkan keputusannya. “Untuk saudara Atmi, saya pikir urusannya kembali kepada Pak Sekretaris Camat dan saudara Owen untuk kelanjutan kasusnya. Apakah diperpanjang
Tubuhku kelelahan, tapi tidak mungkin aku mengucapkan pamit lebih dulu. Aku yakin jika aku melakukannya mereka pasti akan tersinggung dan aku pun akhirnya bertahan sekalipun mataku sudah amat pedih menahan kantuk. Menjelang tengah malam, semua orang akhirnya berpamitan pulang. Keramaian di teras akhirnya membubarkan diri dan aku bisa masuk ke rumah. Aku menguap setelah mengunci pintu dan nyaris menginjak Xai yang sudah berbaring di matras tidurnya yang biasa. Dia bergumul di balik selimut dan tampak sangat kelelahan karena aku mendengar suara dengkurnya. Langkahku berjingkat melewati Xai lalu menyelinap masuk ke kamar. Rati rupanya belum tidur. Dia memandangi langit-langit dan tampak tidak terkejut ketika aku duduk lalu rebah di sisinya di ranjang. Dia seperti sudah menantikanku. “Semua yang terjadi ini adalah hukuman atas kesalahanku di masa lalu kepadamu. Apa menurutmu sebaiknya aku diam saja dan menerima?” “Lakukan sebagaimana kau mau. Kalau kau me
Setelah memutuskan panggilan dari Roya, telepon genggamku berbunyi sekali lagi. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku mengangkatnya dan ternyata yang menghubungiku adalah Pak Camat.“Saya menelepon untuk memberitahukan, ada tawaran damai dari Pak Kades dan keluarganya. Kalau saya pribadi tidak sebaiknya ikut campur karena ini urusan kalian sebagai warga, tapi berhubung keluarga mereka ini adalah keluarga yang terpandang di lingkungan kita, saya mau memberi saran....”“Damai?”“Nah, itu Pak Owen langsung paham yang saya maksud. Bicara sama orang kota rupanya jauh lebih mudah dari yang saya bayangkan.”“Bapak dapat berapa dari mereka?”Pak Camat terdiam cukup lama. “Apa maksudmu?”“Pendapat Bapak berubah drastis dari yang Bapak sampaikan semalam. Saya yakin warga tidak akan senang dengan apa yang saya dengar sekarang. Saya tidak ingin berdamai dan tidak menerima uang atau
Sindiran Gina membuatku nekat menyewa satu kamar di indekos khusus untuk menjadi tempat pertemuanku dan Roya. Selama waktu makan siang, aku mendatangi tempat itu untuk membayarkan uang sewa untuk tiga bulan dan membeli beberapa perlengkapan yang sekiranya akan kubutuhkan seperti peralatan mandi dan makan. Yang sederhana saja, yang berukuran kecil dan seadanya. Toh, tempat itu tidak akan kutinggali secara penuh waktu.Setelah kurasa cukup, kuhubungi Roya dan mengirimkan alamat indekos baruku ini. Kurang dari setengah jam Roya mengetuk pintu dan aku mempersilakannya masuk. Dia melirik ke meja di samping tempat tidur dan menemukan sekotak penuh pengaman dan suplemen yang sengaja kusiapkan. Aku tidak membuang waktu dengan berbasa-basi. Kubungkus tubuhnya dalam pelukan dan langsung kulahap bibirnya yang menggoda. Roya langsung mengerang tak berdaya ketika aku meremas dadanya yang seperti hampir tumpah di balik setelan olahraganya. Kuharap dinding kamar indekos ini cukup tebal dan