Aku pulang dengan tubuh yang terasa seringan kapas. Seluruh tenagaku sudah terkuras seharian ini dan Roya benar-benar cewek yang andal dalam urusan memberi kenikmatan. Untung saja aku masih bisa menyetir sampai ke rumah tanpa mengalami kendala apa pun. Sebelum aku meninggalkan mobil dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal, sebuah sepeda motor berhenti di belakang mobilku dan kulihat Rati turun dari boncengan. Dia tidak mengatakan apa-apa kepada pria yang mengantarnya, tapi dari tatapan yang saling mereka tukarkan pada satu sama lain, seolah itu sudah lebih dari cukup.
Kubuka pintu mobil dan pada saat yang bersamaan sepeda motor itu dipacu tuas gasnya dalam-dalam. Pria itu pergi meninggalkan Rati kurang dari semenit dan melihatku yang baru saja keluar dari mobil, Rati berusaha untuk terlihat sesantai mungkin. Bahwa dirinya diantar pulang oleh Atmi bukanlah hal yang besar dan perlu kami ributkan.
Tadinya aku berniat melakukan hal yang sama. Dengan setenang mungki
Sesuai dugaan, setelah teman Xai yang aneh dijemput oleh orangtuanya, sekelompok orang datang menggedor pintu rumah dengan tidak sabar ketika kami sedang makan malam. Bapak dari teman Xai itu bilang kalau dirinya akan berusaha membantu kami apa pun yang terjadi setelah ini dan tidak keberatan membayar ganti rugi kerusakan pada sepeda motor, karena mereka menganggap anaknya ikut andil dalam keributan yang terjadi. Mereka pulang dan si Bapak berpesan pada Xai untuk menghubungi mereka jika pihak Atmi berusaha memperpanjang masalah.Kubiarkan Xai membukakan pintu untuk mereka. Dalam seketika semua orang merangsek masuk dan memenuhi ruang depan kami yang sempit. Di antara mereka, terlihat Atmi yang kepalanya dibebat dengan perban dengan noda merah yang cukup besar dan dia terus merintih kesakitan pada seorang pria tua yang kuduga adalah bapaknya.Rati melirikku lalu dia mengesah panjang. Ekspresinya mengisyaratkan bahwa kelelahannya sudah mencapai puncak tertinggi. Dia berd
“Boleh saya saja yang bercerita, Pak?”Rati membuat semua orang menoleh dan memperhatikannya. Dia duduk di sebelahku dan meraih tanganku untuk digenggam. Seolah dia sedang butuh berpegangan pada sesuatu saat ini, jika tidak melakukannya mungkin dia bisa terjatuh atau semacamnya. Aku diam saja dang mencoba mengikuti permainannya.“Bapak mungkin tidak mengenal saya sekalipun sebelumnya saya sudah datang ke kantor untuk mengurus dokumen kepindahan kami ke sini, karena itu izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dulu. Nama saya Rati dan ini suami saya, Owen. Kami punya satu anak yang seusia dengan anaknya Pak Sekretaris Camat,” kata Rati seraya menunjuk bapaknya teman Xai yang sebelumnya datang untuk menjemput si anak. Pantas saja dia bisa memprediksi hal semacam ini akan terjadi dan langsung datang bersama jalan keluar yang ampuh—yang kumaksud adalah Pak Camat.“Saya seorang calon ASN di salah satu sekolah di daerah yang Bapak
Segala yang terjadi menjadi tontonan sebagian warga yang berkerumun di depan rumah kami. Beberapa bahkan ada yang merekam. Beberapa lainnya mulai bersorak tak sabar menantikan keputusan Pak Camat atas nasib si kepala desa. Aku pun menantikan hal yang sama. Di sebelahku, Rati sudah tidak lagi menggenggam tanganku. Dia menatap lurus ke arah Atmi seraya mengembuskan napasnya keras-keras. “Kau tidak tega melihatnya seperti itu?” Rati langsung melirikku dengan sengit. “Aku tidak merasakan apa pun saat ini selain lega.” Sebelum aku sempat menyinggung ekspresi aneh di wajahnya, Rati langsung menarik tanganku untuk digenggam lagi olehnya. Aku menolak. Tidak akan kubiarkan dia memainkan sandiwaranya lagi dan memanfaatkan aku untuk ikut serta di dalamnya. Setelah beberapa saat, Pak Camat akhirnya mengumumkan keputusannya. “Untuk saudara Atmi, saya pikir urusannya kembali kepada Pak Sekretaris Camat dan saudara Owen untuk kelanjutan kasusnya. Apakah diperpanjang
Tubuhku kelelahan, tapi tidak mungkin aku mengucapkan pamit lebih dulu. Aku yakin jika aku melakukannya mereka pasti akan tersinggung dan aku pun akhirnya bertahan sekalipun mataku sudah amat pedih menahan kantuk. Menjelang tengah malam, semua orang akhirnya berpamitan pulang. Keramaian di teras akhirnya membubarkan diri dan aku bisa masuk ke rumah. Aku menguap setelah mengunci pintu dan nyaris menginjak Xai yang sudah berbaring di matras tidurnya yang biasa. Dia bergumul di balik selimut dan tampak sangat kelelahan karena aku mendengar suara dengkurnya. Langkahku berjingkat melewati Xai lalu menyelinap masuk ke kamar. Rati rupanya belum tidur. Dia memandangi langit-langit dan tampak tidak terkejut ketika aku duduk lalu rebah di sisinya di ranjang. Dia seperti sudah menantikanku. “Semua yang terjadi ini adalah hukuman atas kesalahanku di masa lalu kepadamu. Apa menurutmu sebaiknya aku diam saja dan menerima?” “Lakukan sebagaimana kau mau. Kalau kau me
Setelah memutuskan panggilan dari Roya, telepon genggamku berbunyi sekali lagi. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku mengangkatnya dan ternyata yang menghubungiku adalah Pak Camat.“Saya menelepon untuk memberitahukan, ada tawaran damai dari Pak Kades dan keluarganya. Kalau saya pribadi tidak sebaiknya ikut campur karena ini urusan kalian sebagai warga, tapi berhubung keluarga mereka ini adalah keluarga yang terpandang di lingkungan kita, saya mau memberi saran....”“Damai?”“Nah, itu Pak Owen langsung paham yang saya maksud. Bicara sama orang kota rupanya jauh lebih mudah dari yang saya bayangkan.”“Bapak dapat berapa dari mereka?”Pak Camat terdiam cukup lama. “Apa maksudmu?”“Pendapat Bapak berubah drastis dari yang Bapak sampaikan semalam. Saya yakin warga tidak akan senang dengan apa yang saya dengar sekarang. Saya tidak ingin berdamai dan tidak menerima uang atau
Sindiran Gina membuatku nekat menyewa satu kamar di indekos khusus untuk menjadi tempat pertemuanku dan Roya. Selama waktu makan siang, aku mendatangi tempat itu untuk membayarkan uang sewa untuk tiga bulan dan membeli beberapa perlengkapan yang sekiranya akan kubutuhkan seperti peralatan mandi dan makan. Yang sederhana saja, yang berukuran kecil dan seadanya. Toh, tempat itu tidak akan kutinggali secara penuh waktu.Setelah kurasa cukup, kuhubungi Roya dan mengirimkan alamat indekos baruku ini. Kurang dari setengah jam Roya mengetuk pintu dan aku mempersilakannya masuk. Dia melirik ke meja di samping tempat tidur dan menemukan sekotak penuh pengaman dan suplemen yang sengaja kusiapkan. Aku tidak membuang waktu dengan berbasa-basi. Kubungkus tubuhnya dalam pelukan dan langsung kulahap bibirnya yang menggoda. Roya langsung mengerang tak berdaya ketika aku meremas dadanya yang seperti hampir tumpah di balik setelan olahraganya. Kuharap dinding kamar indekos ini cukup tebal dan
“Eh! Sejak kapan kamu yang menyetir, Xai! Cepat bertukar posisi! Ibuk belum mau mati muda karena kamu nekat membawa mobil begini.”Kecemasan di yang tampak jelas di wajah Rati membuat kantuk segera lenyap dari diriku. Aku dan Xai menertawai sikapnya yang berlebihan. Selain memasang sabuk pengaman, Rati juga berpegangan pada kursi pengemudi yang ditempati Xai. Tangannya mencengkram kursi itu sampai buku-buku jarinya memutih.“Temanmu apa kabar, Xai? Enggak ada yang luka atau patah?”“Jangan ajak dia bicara! Nanti perhatiannya bisa terbagi dan kita bisa menabrak kalau dia tidak fokus ke jalan! Aku belum mau mati, demi Tuhan!”Xai mengabaikan Ibuknya dan menjawab pertanyaanku sambil tetap menyetir dengan baik. Dia tidak kehilangan fokus seperti yang ditakutkan oleh Rati. “Dia baik-baik saja, Yah. Tadi masuk sekolah seperti biasa.”“Dia teman sekelasmu? Atau teman main saja?”Xai bingun
Pertanyaan dari Xai membuatku terdiam. Aku sampai lupa mematikan keran air yang kugunakan untuk membasuh sabun dari tangan. Xai berinisiatif mematikan keran itu untukku dan dia menadahkan tangannya di bawah pengering otomatis. “Tebakanku benar, kan?”“Kamu tahu dari mana?”“Semuanya terlihat jelas, Yah. Tante itu bermesraan dengan suaminya, seolah ingin memanas-manasi Ayah. Tapi Ayah diam saja dan tidak melakukan hal yang sama dengan Ibuk. Aku jadi mengira kalau Ayah benar-benar suka sama tante itu. Muka Ayah sampai merah karena kesal selama kita makan.”“Ayah cuma kepedasan,” kilahku.Xai terkekeh saja dan lalu berjalan meninggalkan aku yang masih terlalu terkejut karena kartuku kini dipegang oleh anakku sendiri. Apa memang semudah itu baginya untuk menyadari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi? Jangan-jangan Xai memang sudah belajar banyak dari perselingkuhan di antara Ibuknya dan anak Pak Rajesh dulu?
“Sebelum magang di Daimen kamu kerja di mana?” Saras menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga sebelum menjawabku. “Di SPBU, Pak,” jawabnya tanpa ragu. “Pasti banyak yang langganan beli bahan bakar karena kamu yang melayani.” Saras tersenyum manis kemudian tertawa saja. Dia tidak mengiakan, tapi tidak pula membantah. Dugaanku memang benar. Kecantikannya mengundang banyak pria jadi tertarik dan berusaha melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Apalagi dirinya memang cukup andal dalam memberikan pelayanan. “Biasanya kalau melayani pembeli di SPBU bilang apa?” Saras tersenyum rikuh, tapi dia menjawab, “Dimulai dari nol, ya, Pak.” Aku balas tersenyum dan kuusap anak rambutnya yang terlepas dari balik daun telinga. Dengan sengaja aku berlama-lama menelusuri rambutnya yang halus dengan ujung jariku. “Silakan, mari kita mulai dari nol,” balasku. Saras diam saja dan kembali mengabaikanku. Dia asyik sendiri padahal aku masih ingi
Aku tiba di indekos menjelang tengah malam dan tidak ada seorang pun yang melihatku datang. Aku langsung masuk dan membanting pintu dari dalam hingga tertutup rapat. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengganggu hidupku mulai saat ini. Aku tidak akan segan lagi memberikan balasan langsung di tempat jika ada yang berani mencoba mengusik hidupku. Aku akan memulai menata hidup yang baru di tempat ini dan hal yang pertama yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku tidak peduli sekalipun seprai kasurnya kusut dan beraroma agak sengit karena bekas dipakai beberapa hari yang lalu dan tak sempat diganti. Aku butuh istirahat setelah serangkaian kejadian tak terduga malam ini dan kuharap kejutan yang datang beruntun ini berhenti sekarang juga jika aku sudah terlelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur tapi sepertinya di luar sudah lewat tengah hari. Aku terjaga dengan badan yang terasa jauh lebih segar. Saat aku turun dari ranjang dan memeriksa telepon ge
Hari sudah gelap ketika aku menepikan mobil di pekarangan rumah. Di teras terlihat Xai dan beberapa remaja yang tinggal di sekitar sini sedang bernyanyi sambil memetik gitar. Aku menyapa mereka sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Rati sudah menyiapkan makan malam dan aku langsung mengambil piring lalu makan sendirian di meja makan. Rati tidak menyambutku seperti biasanya. Dia berdiam diri di kamar dan aku tidak keberatan sama sekali.Aku melirik Rati sekilas saat mengambil handuk yang tergantung di kamar. Dia tampak sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku mandi dan menggosok seluruh bagian tubuhku keras-keras seakan ingin meluruhkan dosa dari permukaan kulit meski hal semacam itu mustahil terjadi.Hanya dengan memakai handuk yang terlilit di pinggang, aku kembali ke kamar dan terkejut saat melihat Rati yang tidak lagi sibuk bekerja. Dia sepertinya sudah menungguku dan langsung mengunci pintu dari dalam. Aku terlalu heran dibuatnya sampai-sampai tidak sadar ketika R
Aku terjaga dan tidak ada lagi Roya di atas tubuhku. Atau di sisi mana pun di atas ranjang. Di kamar mandi juga dia tidak ada. Itu berarti dia telah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Aku mengintip layar telepon genggam dan mendapati bahwa sudah lewat tengah malam. Aku tidak tahu pukul berapa Roya menyelinap pergi tapi kuharap dia bisa pulang dengan selamat sampai ke rumahnya. Apa pun yang akan terjadi pada rumah tangganya, aku tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sampai dia sendiri yang memberiku kabar.Karena rasa lengket di sekujur tubuhku, aku memutuskan untuk membilas tubuh. Tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi ini terpakai selain bathtub. Itu artinya Roya pulang tanpa membersihkan diri sama sekali. Tidak bisa kubayangkan jika aku jadi Abu, entah apa yang akan kulakukan kepada Roya yang kembali ke rumah dalam keadaan berantakan dan bekas perselingkuhan tampak jelas di setiap jengkal tubuhnya.
Tubuh Roya menggelepar di atas seprai yang kusut. Aku terus memainkan jariku di atas titik sensitifnya serta menggoyangkan pinggul sesekali untuk menggerakkan milikku yang terbenam di dalam liang sempitnya.“Lima belas,” kataku keras-keras.Jariku yang tadinya bermain-main di titik sensitifnya kini kupindahkan ke bawah, mendorong masuk ke dalam liangnya yang menganggur. Awalnya hanya dua jari yang kulesakkan ke dalam, tetapi aku mulai menambah jari ketiga dan keempat pada saat yang hampir bersamaan. Aku menggerakkan empat jariku yang terbenam di liang basahnya beriringan dengan entakkan pinggulku sendiri. Permukaan jariku sudah basah dan terasa lengket karena sudah terjadi percampuran antara cairan milik Roya dan juga benih yang kutumpahkan di dalam dirinya sebanyak dua kali.Empat jariku kuganti posisinya dari yang semula hanya menusuk keluar masuk biasa menjadi menukik dan berusaha merogoh satu titik di dalam liangnya yang kabarnya jauh lebih sensi
Aku menyentak tangan Roya yang sedang ingin berlari menyusul Abu. Kutahan dia agar tidak meninggalkanku begitu saja. Semua mata sudah tertuju kepada kami dan aku tidak punya pilihan selain membawa Roya meninggalkan Daimen, tapi aku harus menunggu sejenak setidaknya sampai si berengsek Abu menghilang.Roya diam saja ketika aku menariknya turun dari Daimen dan membawanya naik ke mobilku. Pandangannya menerawang dan dia menyeka air mata yang baru akan mengalir turun sebelum sempat membasahi pipinya.“Siapa Abu?”Tidak ada jawaban.“Roya, aku tanya sekali lagi. Siapa Abu?”Roya masih terus bungkam, mengatupkan bibirnya rapat-rapat.“Siapa Abu, berengsek!”“Dia suamiku! Apa kamu sebodoh itu untuk menyadarinya! Dia suamiku, sialan!”Jawaban Roya membuatku menjadi terdiam menggantikannya. Kini Roya mulai mengucapkan sumpah serapah yang dia tujukan kepadaku. Lengkap dengan pukulan yang di
Aku bangun lebih siang hari ini dan langsung mandi. Xai dan Rati tentu sudah tidak ada lagi di rumah. Aku memutuskan untuk memakai langsung pakaian olahragaku dan berangkat bekerja setelah selesai sarapan—aku tidak menduga bahwa Rati masih menyisakan makanan untukku setelah apa yang kuucapkan padanya subuh tadi.Sepanjang perjalanan, aku memikirkan akan seperti apa nasib hubunganku bersama Roya setelah ini. Dari apa yang dia katakan sebelum turun dari mobilku, jelas Roya ingin meneruskan. Namun, entah mengapa aku punya firasat bahwa kami tidak akan bertemu lagi setelah ini.Setibanya aku di Daimen, telepon genggamku berbunyi. Panggilan masuk dari Roya.“Aku akan ke Daimen sore ini. Kita tidak bisa lagi menggunakan ruanganmu?” tanya Roya dengan suara berbisik.“Atasanku melarang. Sofaku bahkan diganti dengan yang baru karena warnanya berubah akibat terlalu sering kena keringat dan kamu tahu sendirilah terkena apa lagi,” godaku
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Roya terus saja bungkam. Dia menolak sekalipun aku menanyakan dia ingin makan apa. Kami tidak sempat memesan makan malam karena tidak ada jeda yang cukup untuk memesan makanan. Kami berhubungan badan tanpa henti. Terlebih lagi sesi terakhir yang di luar dugaan karena sejujurnya aku sudah tidak lagi sanggup tetapi aku tidak sudi harga diriku dilukai oleh Roya dengan menganggap aku hanya berada di peringkat tiga besar sekalipun aku telah memberikan begitu banyak kepuasan padanya.Sesi terakhir berlangsung lebih lama dari sesi yang lain setelah digabungkan menjadi satu. Penyebabnya adalah aku telah mencapai puncak lebih banyak dari yang bisa kulakukan dalam satu waktu. Seharusnya kuberikan tubuhku sendiri jeda setidaknya tiga jam sebelum memulai ronde berikutnya, tapi aku terus melakukannya karena ingin membuktikan kepada Roya bahwa aku layak untuk menempati peringat pertama dalam penilaiannya yang sialan itu.Selama melakukannya,
Aku sudah membenahi celana sebelum turun dari mobil, tapi sesampainya di kamar indekos, bahkan sebelum pintu berhasil kututup rapat, Roya sudah menyentak celanaku sampai terlepas lagi. Dia mendorong tubuhku untuk bersandar pada daun pintu dan saat itulah dia mulai berlutut untuk menyerangku sekali lagi. Segala jurus dia lakukan untuk membuatku takluk dan melepaskan benihku di dalam mulutnya. Namun, aku tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku mencoba bertahan sekuat tenaga dan tidak membiarkan diriku berada di bawah kendali Roya.Kalaupun aku harus mencapai puncak, aku ingin melakukan di dalam dirinya. Tanpa penghalang.Aku menarik tubuh Roya untuk bangkit dari lantai dan kudorong dia sampai jauh terjerembap di atas kasur. Dengan bagian belakang tubuhnya mengarah ke padaku, Roya langsung menarik kakinya naik ke ranjang dan memosisikan tubuhnya menungging ke arahku. Roya mengundangku untuk datang padanya, tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku berjongkok di hadapan milikny