Setelah memutuskan panggilan dari Roya, telepon genggamku berbunyi sekali lagi. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku mengangkatnya dan ternyata yang menghubungiku adalah Pak Camat.
“Saya menelepon untuk memberitahukan, ada tawaran damai dari Pak Kades dan keluarganya. Kalau saya pribadi tidak sebaiknya ikut campur karena ini urusan kalian sebagai warga, tapi berhubung keluarga mereka ini adalah keluarga yang terpandang di lingkungan kita, saya mau memberi saran....”
“Damai?”
“Nah, itu Pak Owen langsung paham yang saya maksud. Bicara sama orang kota rupanya jauh lebih mudah dari yang saya bayangkan.”
“Bapak dapat berapa dari mereka?”
Pak Camat terdiam cukup lama. “Apa maksudmu?”
“Pendapat Bapak berubah drastis dari yang Bapak sampaikan semalam. Saya yakin warga tidak akan senang dengan apa yang saya dengar sekarang. Saya tidak ingin berdamai dan tidak menerima uang atau
Sindiran Gina membuatku nekat menyewa satu kamar di indekos khusus untuk menjadi tempat pertemuanku dan Roya. Selama waktu makan siang, aku mendatangi tempat itu untuk membayarkan uang sewa untuk tiga bulan dan membeli beberapa perlengkapan yang sekiranya akan kubutuhkan seperti peralatan mandi dan makan. Yang sederhana saja, yang berukuran kecil dan seadanya. Toh, tempat itu tidak akan kutinggali secara penuh waktu.Setelah kurasa cukup, kuhubungi Roya dan mengirimkan alamat indekos baruku ini. Kurang dari setengah jam Roya mengetuk pintu dan aku mempersilakannya masuk. Dia melirik ke meja di samping tempat tidur dan menemukan sekotak penuh pengaman dan suplemen yang sengaja kusiapkan. Aku tidak membuang waktu dengan berbasa-basi. Kubungkus tubuhnya dalam pelukan dan langsung kulahap bibirnya yang menggoda. Roya langsung mengerang tak berdaya ketika aku meremas dadanya yang seperti hampir tumpah di balik setelan olahraganya. Kuharap dinding kamar indekos ini cukup tebal dan
“Eh! Sejak kapan kamu yang menyetir, Xai! Cepat bertukar posisi! Ibuk belum mau mati muda karena kamu nekat membawa mobil begini.”Kecemasan di yang tampak jelas di wajah Rati membuat kantuk segera lenyap dari diriku. Aku dan Xai menertawai sikapnya yang berlebihan. Selain memasang sabuk pengaman, Rati juga berpegangan pada kursi pengemudi yang ditempati Xai. Tangannya mencengkram kursi itu sampai buku-buku jarinya memutih.“Temanmu apa kabar, Xai? Enggak ada yang luka atau patah?”“Jangan ajak dia bicara! Nanti perhatiannya bisa terbagi dan kita bisa menabrak kalau dia tidak fokus ke jalan! Aku belum mau mati, demi Tuhan!”Xai mengabaikan Ibuknya dan menjawab pertanyaanku sambil tetap menyetir dengan baik. Dia tidak kehilangan fokus seperti yang ditakutkan oleh Rati. “Dia baik-baik saja, Yah. Tadi masuk sekolah seperti biasa.”“Dia teman sekelasmu? Atau teman main saja?”Xai bingun
Pertanyaan dari Xai membuatku terdiam. Aku sampai lupa mematikan keran air yang kugunakan untuk membasuh sabun dari tangan. Xai berinisiatif mematikan keran itu untukku dan dia menadahkan tangannya di bawah pengering otomatis. “Tebakanku benar, kan?”“Kamu tahu dari mana?”“Semuanya terlihat jelas, Yah. Tante itu bermesraan dengan suaminya, seolah ingin memanas-manasi Ayah. Tapi Ayah diam saja dan tidak melakukan hal yang sama dengan Ibuk. Aku jadi mengira kalau Ayah benar-benar suka sama tante itu. Muka Ayah sampai merah karena kesal selama kita makan.”“Ayah cuma kepedasan,” kilahku.Xai terkekeh saja dan lalu berjalan meninggalkan aku yang masih terlalu terkejut karena kartuku kini dipegang oleh anakku sendiri. Apa memang semudah itu baginya untuk menyadari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi? Jangan-jangan Xai memang sudah belajar banyak dari perselingkuhan di antara Ibuknya dan anak Pak Rajesh dulu?
Aku memutuskan untuk pulang saja. Sesampainya di rumah, Rati tidak menolak ketika aku meminta. Dia membuka kakinya dengan pasrah dan tanpa protes. Kami melakukannya dua kali dan kedua-duanya aku melepaskan benihku di dalam dirinya. Rati tidak pernah protes setiap kali aku melakukan hal itu. Entah karena dia memang menginginkan anak lagi dariku atau memang tidak mau pusing dengan menyuarakan protes yang sudah pasti akan kubantah.Tidak ada hal aneh dan tak biasa yang terjadi sepanjang sisa hari itu. Namun, setelah hari berganti dan aku harus bekerja lagi, aku tidak melakukannya dengan semangat penuh. Hari ini tidak ada jadwal untuk melatih Roya. Aku hanya perlu berurusan dengan klien tiga perempuan bersaudara yang cerewetnya mengalahkan orang satu kampung. Mereka tidak pernah melewatkan kesempatan satu detik pun untuk menjamah tubuhku sekalipun tujuannya hanya sekadar untuk menanyakan hal remeh atau bahkan mengulangi pertanyaan yang sebelumnya sudah pernah diajukan. Setelah sa
Seperti yang terjadi pada hari pertama kami menggunakan kamar indekos ini, malam ini sekali lagi kami kebablasan dan sampai lupa waktu. Sudah hampir pukul delapan malam ketika kami memutuskan untuk menyudahi sesi panjang berhubungan intim yang disponsori oleh suplemen dan sekotak kondom.“Menginaplah bersamaku,” bisikku pada Roya yang masih kupeluk tubuhnya.Bukannya mengiakan, Roya malah mendorong tubuh seksinya itu untuk bangkit dengan susah payah. Dia mencoba duduk lalu pelan-pelan berdiri. Sebelum melakukan itu, dia menepuk dadaku beberapa kali lalu pergi ke kamar mandi dengan langkah yang diseret. Aku tidak bisa menahan tawa ketika melihat Roya berjalan seperti kepiting. Roya menatapku sengit, lalu ikut tertawa sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.Aku sepertinya terlelap karena kelelahan dan tidak menyadari seberapa lama waktu sudah berlalu, Roya sudah kembali dari kamar mandi dan memakai kembali pakaiannya seperti saat d
“Pelan-pelan, Owen!”Aku mendorong tubuh Roya semakin merunduk di atas sofa agar bokongnya semakin pas dengan tinggi pinggulku. Aku tidak ingin mengambil risiko membungkukkan tubuh lalu membuat pinggul dan pinggangku sendiri pegal atau sampai cedera. Setelah kurasa pas, aku menarik jariku dari liang sempit Roya yang sejak tadi terasa menyesap ujung-ujung jariku yang kuselipkan masuk ke dalam dirinya. Belum pernah ada yang mencoba masuk ke dalam sana, liang yang lain dari yang biasa digunakan. Aku menagih janjinya untuk mewujudkan apa pun yang kuinginkan dan dari siang tadi aku menghabiskan waktu hanya untuk membujuk Roya dan mencoba melonggarkan jalan masuk agar aku tak terlalu menyakitinya saat berada di dalam liang tersebut.Tidak ada pelumas yang kusiapkan karena aku sendiri pun tidak pernah menyangka akan dapat melakukan hal ini. Fantasiku yang kedua yang akan kuwujudkan hari ini adalah mencoba berhubungan dengan cewek lewat sisi belakangnya. Menontonny
Ucapannya mungkin bernada bercanda, tapi aku melihat mata Gina yang intens menatapku seakan berusaha memperingatkan. Aku hanya terkekeh untuk menanggapinya. Terserah dia mau bilang apa. Aku tidak peduli sekalipun Gina akan menggonggong di hadapan Bapak, dia bebas melakukannya. Aku tidak khawatir karena dia tidak punya bukti. Kurangkul Abu sekali lagi dan kubawa dia ke ruang ganti untuk anggota tetap Daimen. “Ganti saja dengan kaus dan celana pendek. Bawa, kan, Bang?” Kulirik ransel di punggungnya dan Abu membenarkan dugaanku. “Nanti aku tunggu di dekat sepeda statis. Kita akan mulai dari sana.” Untuk meyakinkan Abu bahwa olahraga bersamaku layak dia coba, sengaja kuberikan pola latihan paling ringan untuk dia ikuti. Dia masih segar bugar ketika kami mengakhiri sesi hari ini dan dia bilang cukup senang karena masih bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri. “Kupikir aku akan pingsan atau semacamnya, Bang,” aku Abu padaku. Aku tertawa bersamanya. “Oke,
“Apa maumu!”Gina menarik kantung itu menjauh dariku dan dia memasang ekspresi mengejeknya yang biasa. “Kau tahu apa yang kuinginan,” ucapnya santai.Aku menggeleng cepat. “Tidak, Gina! Kita rekan kerja dan aku tidak akan melakukannya dengan rekan kerjaku sendiri. Itu tidak profesional!”Gina mendesis. “Tapi kau melakukannya dengan klienmu!”“Kau... kau tahu dari mana?”Gina hanya tersenyum simpul, lalu memintaku pergi menjauh darinya. “Sana pergi. Bapak sedang dalam perjalanan kemari. Beri aku jawaban secepatnya dan akan kupastikan kau akan menyesal jika terus menolakku, Bos.”Sekali lagi Gina mengejekku dengan menggunakan istilah itu. Aku berjalan cepat kembali ke ruanganku dan segera membenahi barang-barang pribadiku. Jika memang aku akan kehilangan pekerjaan terbaik ini, aku harus bersiap-siap dari sekarang. Selama aku memasukkan berkotak-kotak kondom juga s