“Eh! Sejak kapan kamu yang menyetir, Xai! Cepat bertukar posisi! Ibuk belum mau mati muda karena kamu nekat membawa mobil begini.”
Kecemasan di yang tampak jelas di wajah Rati membuat kantuk segera lenyap dari diriku. Aku dan Xai menertawai sikapnya yang berlebihan. Selain memasang sabuk pengaman, Rati juga berpegangan pada kursi pengemudi yang ditempati Xai. Tangannya mencengkram kursi itu sampai buku-buku jarinya memutih.
“Temanmu apa kabar, Xai? Enggak ada yang luka atau patah?”
“Jangan ajak dia bicara! Nanti perhatiannya bisa terbagi dan kita bisa menabrak kalau dia tidak fokus ke jalan! Aku belum mau mati, demi Tuhan!”
Xai mengabaikan Ibuknya dan menjawab pertanyaanku sambil tetap menyetir dengan baik. Dia tidak kehilangan fokus seperti yang ditakutkan oleh Rati. “Dia baik-baik saja, Yah. Tadi masuk sekolah seperti biasa.”
“Dia teman sekelasmu? Atau teman main saja?”
Xai bingun
Pertanyaan dari Xai membuatku terdiam. Aku sampai lupa mematikan keran air yang kugunakan untuk membasuh sabun dari tangan. Xai berinisiatif mematikan keran itu untukku dan dia menadahkan tangannya di bawah pengering otomatis. “Tebakanku benar, kan?”“Kamu tahu dari mana?”“Semuanya terlihat jelas, Yah. Tante itu bermesraan dengan suaminya, seolah ingin memanas-manasi Ayah. Tapi Ayah diam saja dan tidak melakukan hal yang sama dengan Ibuk. Aku jadi mengira kalau Ayah benar-benar suka sama tante itu. Muka Ayah sampai merah karena kesal selama kita makan.”“Ayah cuma kepedasan,” kilahku.Xai terkekeh saja dan lalu berjalan meninggalkan aku yang masih terlalu terkejut karena kartuku kini dipegang oleh anakku sendiri. Apa memang semudah itu baginya untuk menyadari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi? Jangan-jangan Xai memang sudah belajar banyak dari perselingkuhan di antara Ibuknya dan anak Pak Rajesh dulu?
Aku memutuskan untuk pulang saja. Sesampainya di rumah, Rati tidak menolak ketika aku meminta. Dia membuka kakinya dengan pasrah dan tanpa protes. Kami melakukannya dua kali dan kedua-duanya aku melepaskan benihku di dalam dirinya. Rati tidak pernah protes setiap kali aku melakukan hal itu. Entah karena dia memang menginginkan anak lagi dariku atau memang tidak mau pusing dengan menyuarakan protes yang sudah pasti akan kubantah.Tidak ada hal aneh dan tak biasa yang terjadi sepanjang sisa hari itu. Namun, setelah hari berganti dan aku harus bekerja lagi, aku tidak melakukannya dengan semangat penuh. Hari ini tidak ada jadwal untuk melatih Roya. Aku hanya perlu berurusan dengan klien tiga perempuan bersaudara yang cerewetnya mengalahkan orang satu kampung. Mereka tidak pernah melewatkan kesempatan satu detik pun untuk menjamah tubuhku sekalipun tujuannya hanya sekadar untuk menanyakan hal remeh atau bahkan mengulangi pertanyaan yang sebelumnya sudah pernah diajukan. Setelah sa
Seperti yang terjadi pada hari pertama kami menggunakan kamar indekos ini, malam ini sekali lagi kami kebablasan dan sampai lupa waktu. Sudah hampir pukul delapan malam ketika kami memutuskan untuk menyudahi sesi panjang berhubungan intim yang disponsori oleh suplemen dan sekotak kondom.“Menginaplah bersamaku,” bisikku pada Roya yang masih kupeluk tubuhnya.Bukannya mengiakan, Roya malah mendorong tubuh seksinya itu untuk bangkit dengan susah payah. Dia mencoba duduk lalu pelan-pelan berdiri. Sebelum melakukan itu, dia menepuk dadaku beberapa kali lalu pergi ke kamar mandi dengan langkah yang diseret. Aku tidak bisa menahan tawa ketika melihat Roya berjalan seperti kepiting. Roya menatapku sengit, lalu ikut tertawa sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.Aku sepertinya terlelap karena kelelahan dan tidak menyadari seberapa lama waktu sudah berlalu, Roya sudah kembali dari kamar mandi dan memakai kembali pakaiannya seperti saat d
“Pelan-pelan, Owen!”Aku mendorong tubuh Roya semakin merunduk di atas sofa agar bokongnya semakin pas dengan tinggi pinggulku. Aku tidak ingin mengambil risiko membungkukkan tubuh lalu membuat pinggul dan pinggangku sendiri pegal atau sampai cedera. Setelah kurasa pas, aku menarik jariku dari liang sempit Roya yang sejak tadi terasa menyesap ujung-ujung jariku yang kuselipkan masuk ke dalam dirinya. Belum pernah ada yang mencoba masuk ke dalam sana, liang yang lain dari yang biasa digunakan. Aku menagih janjinya untuk mewujudkan apa pun yang kuinginkan dan dari siang tadi aku menghabiskan waktu hanya untuk membujuk Roya dan mencoba melonggarkan jalan masuk agar aku tak terlalu menyakitinya saat berada di dalam liang tersebut.Tidak ada pelumas yang kusiapkan karena aku sendiri pun tidak pernah menyangka akan dapat melakukan hal ini. Fantasiku yang kedua yang akan kuwujudkan hari ini adalah mencoba berhubungan dengan cewek lewat sisi belakangnya. Menontonny
Ucapannya mungkin bernada bercanda, tapi aku melihat mata Gina yang intens menatapku seakan berusaha memperingatkan. Aku hanya terkekeh untuk menanggapinya. Terserah dia mau bilang apa. Aku tidak peduli sekalipun Gina akan menggonggong di hadapan Bapak, dia bebas melakukannya. Aku tidak khawatir karena dia tidak punya bukti. Kurangkul Abu sekali lagi dan kubawa dia ke ruang ganti untuk anggota tetap Daimen. “Ganti saja dengan kaus dan celana pendek. Bawa, kan, Bang?” Kulirik ransel di punggungnya dan Abu membenarkan dugaanku. “Nanti aku tunggu di dekat sepeda statis. Kita akan mulai dari sana.” Untuk meyakinkan Abu bahwa olahraga bersamaku layak dia coba, sengaja kuberikan pola latihan paling ringan untuk dia ikuti. Dia masih segar bugar ketika kami mengakhiri sesi hari ini dan dia bilang cukup senang karena masih bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri. “Kupikir aku akan pingsan atau semacamnya, Bang,” aku Abu padaku. Aku tertawa bersamanya. “Oke,
“Apa maumu!”Gina menarik kantung itu menjauh dariku dan dia memasang ekspresi mengejeknya yang biasa. “Kau tahu apa yang kuinginan,” ucapnya santai.Aku menggeleng cepat. “Tidak, Gina! Kita rekan kerja dan aku tidak akan melakukannya dengan rekan kerjaku sendiri. Itu tidak profesional!”Gina mendesis. “Tapi kau melakukannya dengan klienmu!”“Kau... kau tahu dari mana?”Gina hanya tersenyum simpul, lalu memintaku pergi menjauh darinya. “Sana pergi. Bapak sedang dalam perjalanan kemari. Beri aku jawaban secepatnya dan akan kupastikan kau akan menyesal jika terus menolakku, Bos.”Sekali lagi Gina mengejekku dengan menggunakan istilah itu. Aku berjalan cepat kembali ke ruanganku dan segera membenahi barang-barang pribadiku. Jika memang aku akan kehilangan pekerjaan terbaik ini, aku harus bersiap-siap dari sekarang. Selama aku memasukkan berkotak-kotak kondom juga s
Aku tidak akan terpancing kali ini dan mempertaruhkan nilaiku di mata Bapak. Kalau aku bocorkan apa yang terjadi, belum tentu ia akan percaya padaku seratus persen dan jika aku memilih untuk tidak cerita, maka perhatiannya akan berbalik padaku dan membuatku juga berada di posisi yang tidak mengenakkan. Apa yang sebaiknya kulakukan?“Ceritakan padaku atau gajimu bulan ini kutahan?”Ancaman itu tidak membuatku goyah. Aku terus berdiam diri padahal sesungguhnya aku ketakutan.“Atau kau sebenarnya butuh uang tambahan juga? Bonus? Itu yang kau inginkan? Aku akan memberimu bonus dua kali lipat kalau kau mau bicara jujur.”Aku tetap diam. Tidak ingin kelepasan bicara lalu mengacaukan segalanya.“Ya sudah kalau kau maunya seperti itu. Kuharap apa pun informasi yang kau miliki kuharap itu cukup sepadan dengan posisimu di sini. Simpan saja dulu dan kalau ada masalah yang berhubungan dengan Gina, akan kupastikan kau orang pertama
Aku sudah membenahi celana sebelum turun dari mobil, tapi sesampainya di kamar indekos, bahkan sebelum pintu berhasil kututup rapat, Roya sudah menyentak celanaku sampai terlepas lagi. Dia mendorong tubuhku untuk bersandar pada daun pintu dan saat itulah dia mulai berlutut untuk menyerangku sekali lagi. Segala jurus dia lakukan untuk membuatku takluk dan melepaskan benihku di dalam mulutnya. Namun, aku tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku mencoba bertahan sekuat tenaga dan tidak membiarkan diriku berada di bawah kendali Roya.Kalaupun aku harus mencapai puncak, aku ingin melakukan di dalam dirinya. Tanpa penghalang.Aku menarik tubuh Roya untuk bangkit dari lantai dan kudorong dia sampai jauh terjerembap di atas kasur. Dengan bagian belakang tubuhnya mengarah ke padaku, Roya langsung menarik kakinya naik ke ranjang dan memosisikan tubuhnya menungging ke arahku. Roya mengundangku untuk datang padanya, tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku berjongkok di hadapan milikny
“Sebelum magang di Daimen kamu kerja di mana?” Saras menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga sebelum menjawabku. “Di SPBU, Pak,” jawabnya tanpa ragu. “Pasti banyak yang langganan beli bahan bakar karena kamu yang melayani.” Saras tersenyum manis kemudian tertawa saja. Dia tidak mengiakan, tapi tidak pula membantah. Dugaanku memang benar. Kecantikannya mengundang banyak pria jadi tertarik dan berusaha melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Apalagi dirinya memang cukup andal dalam memberikan pelayanan. “Biasanya kalau melayani pembeli di SPBU bilang apa?” Saras tersenyum rikuh, tapi dia menjawab, “Dimulai dari nol, ya, Pak.” Aku balas tersenyum dan kuusap anak rambutnya yang terlepas dari balik daun telinga. Dengan sengaja aku berlama-lama menelusuri rambutnya yang halus dengan ujung jariku. “Silakan, mari kita mulai dari nol,” balasku. Saras diam saja dan kembali mengabaikanku. Dia asyik sendiri padahal aku masih ingi
Aku tiba di indekos menjelang tengah malam dan tidak ada seorang pun yang melihatku datang. Aku langsung masuk dan membanting pintu dari dalam hingga tertutup rapat. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengganggu hidupku mulai saat ini. Aku tidak akan segan lagi memberikan balasan langsung di tempat jika ada yang berani mencoba mengusik hidupku. Aku akan memulai menata hidup yang baru di tempat ini dan hal yang pertama yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku tidak peduli sekalipun seprai kasurnya kusut dan beraroma agak sengit karena bekas dipakai beberapa hari yang lalu dan tak sempat diganti. Aku butuh istirahat setelah serangkaian kejadian tak terduga malam ini dan kuharap kejutan yang datang beruntun ini berhenti sekarang juga jika aku sudah terlelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur tapi sepertinya di luar sudah lewat tengah hari. Aku terjaga dengan badan yang terasa jauh lebih segar. Saat aku turun dari ranjang dan memeriksa telepon ge
Hari sudah gelap ketika aku menepikan mobil di pekarangan rumah. Di teras terlihat Xai dan beberapa remaja yang tinggal di sekitar sini sedang bernyanyi sambil memetik gitar. Aku menyapa mereka sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Rati sudah menyiapkan makan malam dan aku langsung mengambil piring lalu makan sendirian di meja makan. Rati tidak menyambutku seperti biasanya. Dia berdiam diri di kamar dan aku tidak keberatan sama sekali.Aku melirik Rati sekilas saat mengambil handuk yang tergantung di kamar. Dia tampak sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku mandi dan menggosok seluruh bagian tubuhku keras-keras seakan ingin meluruhkan dosa dari permukaan kulit meski hal semacam itu mustahil terjadi.Hanya dengan memakai handuk yang terlilit di pinggang, aku kembali ke kamar dan terkejut saat melihat Rati yang tidak lagi sibuk bekerja. Dia sepertinya sudah menungguku dan langsung mengunci pintu dari dalam. Aku terlalu heran dibuatnya sampai-sampai tidak sadar ketika R
Aku terjaga dan tidak ada lagi Roya di atas tubuhku. Atau di sisi mana pun di atas ranjang. Di kamar mandi juga dia tidak ada. Itu berarti dia telah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Aku mengintip layar telepon genggam dan mendapati bahwa sudah lewat tengah malam. Aku tidak tahu pukul berapa Roya menyelinap pergi tapi kuharap dia bisa pulang dengan selamat sampai ke rumahnya. Apa pun yang akan terjadi pada rumah tangganya, aku tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sampai dia sendiri yang memberiku kabar.Karena rasa lengket di sekujur tubuhku, aku memutuskan untuk membilas tubuh. Tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi ini terpakai selain bathtub. Itu artinya Roya pulang tanpa membersihkan diri sama sekali. Tidak bisa kubayangkan jika aku jadi Abu, entah apa yang akan kulakukan kepada Roya yang kembali ke rumah dalam keadaan berantakan dan bekas perselingkuhan tampak jelas di setiap jengkal tubuhnya.
Tubuh Roya menggelepar di atas seprai yang kusut. Aku terus memainkan jariku di atas titik sensitifnya serta menggoyangkan pinggul sesekali untuk menggerakkan milikku yang terbenam di dalam liang sempitnya.“Lima belas,” kataku keras-keras.Jariku yang tadinya bermain-main di titik sensitifnya kini kupindahkan ke bawah, mendorong masuk ke dalam liangnya yang menganggur. Awalnya hanya dua jari yang kulesakkan ke dalam, tetapi aku mulai menambah jari ketiga dan keempat pada saat yang hampir bersamaan. Aku menggerakkan empat jariku yang terbenam di liang basahnya beriringan dengan entakkan pinggulku sendiri. Permukaan jariku sudah basah dan terasa lengket karena sudah terjadi percampuran antara cairan milik Roya dan juga benih yang kutumpahkan di dalam dirinya sebanyak dua kali.Empat jariku kuganti posisinya dari yang semula hanya menusuk keluar masuk biasa menjadi menukik dan berusaha merogoh satu titik di dalam liangnya yang kabarnya jauh lebih sensi
Aku menyentak tangan Roya yang sedang ingin berlari menyusul Abu. Kutahan dia agar tidak meninggalkanku begitu saja. Semua mata sudah tertuju kepada kami dan aku tidak punya pilihan selain membawa Roya meninggalkan Daimen, tapi aku harus menunggu sejenak setidaknya sampai si berengsek Abu menghilang.Roya diam saja ketika aku menariknya turun dari Daimen dan membawanya naik ke mobilku. Pandangannya menerawang dan dia menyeka air mata yang baru akan mengalir turun sebelum sempat membasahi pipinya.“Siapa Abu?”Tidak ada jawaban.“Roya, aku tanya sekali lagi. Siapa Abu?”Roya masih terus bungkam, mengatupkan bibirnya rapat-rapat.“Siapa Abu, berengsek!”“Dia suamiku! Apa kamu sebodoh itu untuk menyadarinya! Dia suamiku, sialan!”Jawaban Roya membuatku menjadi terdiam menggantikannya. Kini Roya mulai mengucapkan sumpah serapah yang dia tujukan kepadaku. Lengkap dengan pukulan yang di
Aku bangun lebih siang hari ini dan langsung mandi. Xai dan Rati tentu sudah tidak ada lagi di rumah. Aku memutuskan untuk memakai langsung pakaian olahragaku dan berangkat bekerja setelah selesai sarapan—aku tidak menduga bahwa Rati masih menyisakan makanan untukku setelah apa yang kuucapkan padanya subuh tadi.Sepanjang perjalanan, aku memikirkan akan seperti apa nasib hubunganku bersama Roya setelah ini. Dari apa yang dia katakan sebelum turun dari mobilku, jelas Roya ingin meneruskan. Namun, entah mengapa aku punya firasat bahwa kami tidak akan bertemu lagi setelah ini.Setibanya aku di Daimen, telepon genggamku berbunyi. Panggilan masuk dari Roya.“Aku akan ke Daimen sore ini. Kita tidak bisa lagi menggunakan ruanganmu?” tanya Roya dengan suara berbisik.“Atasanku melarang. Sofaku bahkan diganti dengan yang baru karena warnanya berubah akibat terlalu sering kena keringat dan kamu tahu sendirilah terkena apa lagi,” godaku
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Roya terus saja bungkam. Dia menolak sekalipun aku menanyakan dia ingin makan apa. Kami tidak sempat memesan makan malam karena tidak ada jeda yang cukup untuk memesan makanan. Kami berhubungan badan tanpa henti. Terlebih lagi sesi terakhir yang di luar dugaan karena sejujurnya aku sudah tidak lagi sanggup tetapi aku tidak sudi harga diriku dilukai oleh Roya dengan menganggap aku hanya berada di peringkat tiga besar sekalipun aku telah memberikan begitu banyak kepuasan padanya.Sesi terakhir berlangsung lebih lama dari sesi yang lain setelah digabungkan menjadi satu. Penyebabnya adalah aku telah mencapai puncak lebih banyak dari yang bisa kulakukan dalam satu waktu. Seharusnya kuberikan tubuhku sendiri jeda setidaknya tiga jam sebelum memulai ronde berikutnya, tapi aku terus melakukannya karena ingin membuktikan kepada Roya bahwa aku layak untuk menempati peringat pertama dalam penilaiannya yang sialan itu.Selama melakukannya,
Aku sudah membenahi celana sebelum turun dari mobil, tapi sesampainya di kamar indekos, bahkan sebelum pintu berhasil kututup rapat, Roya sudah menyentak celanaku sampai terlepas lagi. Dia mendorong tubuhku untuk bersandar pada daun pintu dan saat itulah dia mulai berlutut untuk menyerangku sekali lagi. Segala jurus dia lakukan untuk membuatku takluk dan melepaskan benihku di dalam mulutnya. Namun, aku tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku mencoba bertahan sekuat tenaga dan tidak membiarkan diriku berada di bawah kendali Roya.Kalaupun aku harus mencapai puncak, aku ingin melakukan di dalam dirinya. Tanpa penghalang.Aku menarik tubuh Roya untuk bangkit dari lantai dan kudorong dia sampai jauh terjerembap di atas kasur. Dengan bagian belakang tubuhnya mengarah ke padaku, Roya langsung menarik kakinya naik ke ranjang dan memosisikan tubuhnya menungging ke arahku. Roya mengundangku untuk datang padanya, tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku berjongkok di hadapan milikny