Sesuai dugaan, setelah teman Xai yang aneh dijemput oleh orangtuanya, sekelompok orang datang menggedor pintu rumah dengan tidak sabar ketika kami sedang makan malam. Bapak dari teman Xai itu bilang kalau dirinya akan berusaha membantu kami apa pun yang terjadi setelah ini dan tidak keberatan membayar ganti rugi kerusakan pada sepeda motor, karena mereka menganggap anaknya ikut andil dalam keributan yang terjadi. Mereka pulang dan si Bapak berpesan pada Xai untuk menghubungi mereka jika pihak Atmi berusaha memperpanjang masalah.
Kubiarkan Xai membukakan pintu untuk mereka. Dalam seketika semua orang merangsek masuk dan memenuhi ruang depan kami yang sempit. Di antara mereka, terlihat Atmi yang kepalanya dibebat dengan perban dengan noda merah yang cukup besar dan dia terus merintih kesakitan pada seorang pria tua yang kuduga adalah bapaknya.
Rati melirikku lalu dia mengesah panjang. Ekspresinya mengisyaratkan bahwa kelelahannya sudah mencapai puncak tertinggi. Dia berd
“Boleh saya saja yang bercerita, Pak?”Rati membuat semua orang menoleh dan memperhatikannya. Dia duduk di sebelahku dan meraih tanganku untuk digenggam. Seolah dia sedang butuh berpegangan pada sesuatu saat ini, jika tidak melakukannya mungkin dia bisa terjatuh atau semacamnya. Aku diam saja dang mencoba mengikuti permainannya.“Bapak mungkin tidak mengenal saya sekalipun sebelumnya saya sudah datang ke kantor untuk mengurus dokumen kepindahan kami ke sini, karena itu izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dulu. Nama saya Rati dan ini suami saya, Owen. Kami punya satu anak yang seusia dengan anaknya Pak Sekretaris Camat,” kata Rati seraya menunjuk bapaknya teman Xai yang sebelumnya datang untuk menjemput si anak. Pantas saja dia bisa memprediksi hal semacam ini akan terjadi dan langsung datang bersama jalan keluar yang ampuh—yang kumaksud adalah Pak Camat.“Saya seorang calon ASN di salah satu sekolah di daerah yang Bapak
Segala yang terjadi menjadi tontonan sebagian warga yang berkerumun di depan rumah kami. Beberapa bahkan ada yang merekam. Beberapa lainnya mulai bersorak tak sabar menantikan keputusan Pak Camat atas nasib si kepala desa. Aku pun menantikan hal yang sama. Di sebelahku, Rati sudah tidak lagi menggenggam tanganku. Dia menatap lurus ke arah Atmi seraya mengembuskan napasnya keras-keras. “Kau tidak tega melihatnya seperti itu?” Rati langsung melirikku dengan sengit. “Aku tidak merasakan apa pun saat ini selain lega.” Sebelum aku sempat menyinggung ekspresi aneh di wajahnya, Rati langsung menarik tanganku untuk digenggam lagi olehnya. Aku menolak. Tidak akan kubiarkan dia memainkan sandiwaranya lagi dan memanfaatkan aku untuk ikut serta di dalamnya. Setelah beberapa saat, Pak Camat akhirnya mengumumkan keputusannya. “Untuk saudara Atmi, saya pikir urusannya kembali kepada Pak Sekretaris Camat dan saudara Owen untuk kelanjutan kasusnya. Apakah diperpanjang
Tubuhku kelelahan, tapi tidak mungkin aku mengucapkan pamit lebih dulu. Aku yakin jika aku melakukannya mereka pasti akan tersinggung dan aku pun akhirnya bertahan sekalipun mataku sudah amat pedih menahan kantuk. Menjelang tengah malam, semua orang akhirnya berpamitan pulang. Keramaian di teras akhirnya membubarkan diri dan aku bisa masuk ke rumah. Aku menguap setelah mengunci pintu dan nyaris menginjak Xai yang sudah berbaring di matras tidurnya yang biasa. Dia bergumul di balik selimut dan tampak sangat kelelahan karena aku mendengar suara dengkurnya. Langkahku berjingkat melewati Xai lalu menyelinap masuk ke kamar. Rati rupanya belum tidur. Dia memandangi langit-langit dan tampak tidak terkejut ketika aku duduk lalu rebah di sisinya di ranjang. Dia seperti sudah menantikanku. “Semua yang terjadi ini adalah hukuman atas kesalahanku di masa lalu kepadamu. Apa menurutmu sebaiknya aku diam saja dan menerima?” “Lakukan sebagaimana kau mau. Kalau kau me
Setelah memutuskan panggilan dari Roya, telepon genggamku berbunyi sekali lagi. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku mengangkatnya dan ternyata yang menghubungiku adalah Pak Camat.“Saya menelepon untuk memberitahukan, ada tawaran damai dari Pak Kades dan keluarganya. Kalau saya pribadi tidak sebaiknya ikut campur karena ini urusan kalian sebagai warga, tapi berhubung keluarga mereka ini adalah keluarga yang terpandang di lingkungan kita, saya mau memberi saran....”“Damai?”“Nah, itu Pak Owen langsung paham yang saya maksud. Bicara sama orang kota rupanya jauh lebih mudah dari yang saya bayangkan.”“Bapak dapat berapa dari mereka?”Pak Camat terdiam cukup lama. “Apa maksudmu?”“Pendapat Bapak berubah drastis dari yang Bapak sampaikan semalam. Saya yakin warga tidak akan senang dengan apa yang saya dengar sekarang. Saya tidak ingin berdamai dan tidak menerima uang atau
Sindiran Gina membuatku nekat menyewa satu kamar di indekos khusus untuk menjadi tempat pertemuanku dan Roya. Selama waktu makan siang, aku mendatangi tempat itu untuk membayarkan uang sewa untuk tiga bulan dan membeli beberapa perlengkapan yang sekiranya akan kubutuhkan seperti peralatan mandi dan makan. Yang sederhana saja, yang berukuran kecil dan seadanya. Toh, tempat itu tidak akan kutinggali secara penuh waktu.Setelah kurasa cukup, kuhubungi Roya dan mengirimkan alamat indekos baruku ini. Kurang dari setengah jam Roya mengetuk pintu dan aku mempersilakannya masuk. Dia melirik ke meja di samping tempat tidur dan menemukan sekotak penuh pengaman dan suplemen yang sengaja kusiapkan. Aku tidak membuang waktu dengan berbasa-basi. Kubungkus tubuhnya dalam pelukan dan langsung kulahap bibirnya yang menggoda. Roya langsung mengerang tak berdaya ketika aku meremas dadanya yang seperti hampir tumpah di balik setelan olahraganya. Kuharap dinding kamar indekos ini cukup tebal dan
“Eh! Sejak kapan kamu yang menyetir, Xai! Cepat bertukar posisi! Ibuk belum mau mati muda karena kamu nekat membawa mobil begini.”Kecemasan di yang tampak jelas di wajah Rati membuat kantuk segera lenyap dari diriku. Aku dan Xai menertawai sikapnya yang berlebihan. Selain memasang sabuk pengaman, Rati juga berpegangan pada kursi pengemudi yang ditempati Xai. Tangannya mencengkram kursi itu sampai buku-buku jarinya memutih.“Temanmu apa kabar, Xai? Enggak ada yang luka atau patah?”“Jangan ajak dia bicara! Nanti perhatiannya bisa terbagi dan kita bisa menabrak kalau dia tidak fokus ke jalan! Aku belum mau mati, demi Tuhan!”Xai mengabaikan Ibuknya dan menjawab pertanyaanku sambil tetap menyetir dengan baik. Dia tidak kehilangan fokus seperti yang ditakutkan oleh Rati. “Dia baik-baik saja, Yah. Tadi masuk sekolah seperti biasa.”“Dia teman sekelasmu? Atau teman main saja?”Xai bingun
Pertanyaan dari Xai membuatku terdiam. Aku sampai lupa mematikan keran air yang kugunakan untuk membasuh sabun dari tangan. Xai berinisiatif mematikan keran itu untukku dan dia menadahkan tangannya di bawah pengering otomatis. “Tebakanku benar, kan?”“Kamu tahu dari mana?”“Semuanya terlihat jelas, Yah. Tante itu bermesraan dengan suaminya, seolah ingin memanas-manasi Ayah. Tapi Ayah diam saja dan tidak melakukan hal yang sama dengan Ibuk. Aku jadi mengira kalau Ayah benar-benar suka sama tante itu. Muka Ayah sampai merah karena kesal selama kita makan.”“Ayah cuma kepedasan,” kilahku.Xai terkekeh saja dan lalu berjalan meninggalkan aku yang masih terlalu terkejut karena kartuku kini dipegang oleh anakku sendiri. Apa memang semudah itu baginya untuk menyadari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi? Jangan-jangan Xai memang sudah belajar banyak dari perselingkuhan di antara Ibuknya dan anak Pak Rajesh dulu?
Aku memutuskan untuk pulang saja. Sesampainya di rumah, Rati tidak menolak ketika aku meminta. Dia membuka kakinya dengan pasrah dan tanpa protes. Kami melakukannya dua kali dan kedua-duanya aku melepaskan benihku di dalam dirinya. Rati tidak pernah protes setiap kali aku melakukan hal itu. Entah karena dia memang menginginkan anak lagi dariku atau memang tidak mau pusing dengan menyuarakan protes yang sudah pasti akan kubantah.Tidak ada hal aneh dan tak biasa yang terjadi sepanjang sisa hari itu. Namun, setelah hari berganti dan aku harus bekerja lagi, aku tidak melakukannya dengan semangat penuh. Hari ini tidak ada jadwal untuk melatih Roya. Aku hanya perlu berurusan dengan klien tiga perempuan bersaudara yang cerewetnya mengalahkan orang satu kampung. Mereka tidak pernah melewatkan kesempatan satu detik pun untuk menjamah tubuhku sekalipun tujuannya hanya sekadar untuk menanyakan hal remeh atau bahkan mengulangi pertanyaan yang sebelumnya sudah pernah diajukan. Setelah sa