Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”
“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”
“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.
Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”
Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pernikahan mereka.
Jantung Tiara berdegup kencang. Dia takut Rian akan membuka kotak itu. Keringat dingin mulai membasahi tangannya. Tiara terus menatap Rian yang masih diam di tempat yang sama. Tiba-tiba saja Rian berdiri lalu keluar kamar. Tidak menyentuh kotak itu sama sekali.
“Alhamdulillah,” ucap Tiara lega.
Tiara melipat semua pakaiannya selama satu jam. Menatanya kembali seperti semula. Pandangan Tiara tertuju pada kotak itu. Dia membuka kotak lalu mengambil album pernikahan. Tiara duduk di tepi tempat tidur. Membuka satu per satu foto yang menampilkan betapa bahagianya mereka sebagai pengantin baru. Di halaman terakhir adalah foto peringatan hari jadi pernikahan Rian dan Tiara yang kesembilan tahun.
Rian mengusulkan agar mereka memakai baju pernikahan yang berbeda. Tidak lupa mendadani Anggrek dan Lily dengan pakaian serupa. Mengambil foto bersama sebagai kado pernikahan kesembilan. Wajah mereka sangat ceria di foto itu. Sembilan tahun pernikahan yang sangat indah hingga sikap Rian tiba-tiba saja berubah.
Masih terekam dengan jelas dalam ingatan kejadian empat tahun lalu. Hari itu Tiara menemani Anggrek dan Lily menonton TV di lantai satu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Rian tidak kunjung pulang. Hingga jam menunjukkan pukul setengah sepuluh, tidak terdengar suara mobil suaminya. Saat itu Tiara sudah berada di kamar Anggrek dan Lily. Usia mereka baru delapan tahun dan tiga tahun.
“Kapan Ayah pulang Bu?” tanya Lily sambil memandang jarum jam yang terus bergerak.
“Mungkin tengah malam Dek. Tadi Ayah kirim pesan kalau harus lembur malam ini.” Tiara memegang lehernya bingung. Kebiasaannya jika berbohong.
“Tumben Ayah lembur Bu. Biasanya kalau ada pekerjaan dibawa pulang. Aku dan Lily sering bermain di ruangan Ayah kalau sedang bekerja di rumah.” Kening Anggrek mengkerut heran. Di usia delapan tahun, Anggrek termasuk anak yang kritis, peka dan banyak bertanya.
“Karena ada pergantian pimpinan Kak. Sederhananya bos Ayah diganti. Jadi Ayah terpaksa lembur.” Tiara terpaksa terus berbohong karena tidak ingin membuat anak-anak khawatir.
“Oh begitu.”
Saat anak-anak sudah tidur, Tiara turun ke lantai satu. Dia berjalan bolak-balik di ruang tengah sambil memegang ponsel. Terus menelepon Rian. Walaupun teleponnya tidak kunjung diangkat. Bahkan Rian menolak teleponnya. Membuat perasaan Tiara jadi tidak enak.
Tiara duduk di sofa. Dia tidak menyerah. Terus menghubungi Rian. Meski berulang kali ditolak. Puncaknya Rian tidak bisa dihubungi lagi. Karena tubuhnya juga sudah merasa lelah, Tiara berbaring di sofa. “Mudah-mudahan Mas Rian segera pulang.”
Tanpa sadar Tiara sudah tidur di sofa. Dia terbangun saat mendengar adzan subuh berkumandang. Wanita itu terlonjak kaget saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Dia segera bangun lalu berlari masuk ke kamar.
“Mas Rian.” Tiara membuka pintu sambil memanggil nama suaminya. Rian tidur dengan posisi terngkurap.
Ia menghela nafas lega melihat keberadaan sang suami. Tiara berjalan mendekat. Hendak membangunkan Rian untuk salat subuh berjamaah. Langkahnya terhenti karena mencium bau yang menyengat. Bau yang tidak pernah Tiara cium sebelumnya.
“Bau apa ini?” tanya Tiara heran. Dia duduk disamping Rian lalu menggoyang tubuh suaminya.
“Bangun Mas. Salat subuh dulu,” kata Tiara mengingatkan. Dia ingin segera bertanya bau apa yang saat ini sedang bersarang di tubuh pria itu.
“Hnnng.” Rian mendorong tangan Tiara kesal.
“Pergi sana.”
“Tapi Mas.”
“Aku bilang pergi,” bentak Rian yang tiba-tiba bangun. Menatap Tiara dengan mata merah. Tiara semakin heran karena tiba-tiba saja pria itu marah padanya.
Tidak ingin ada keributan di pagi hari, Tiara mengalah. Dia bangkit lalu keluar dari kamar. Naik ke lantai dua untuk membangunkan anak-anak. Setelah salah subuh hanya dengan Anggrek dan Lily, Tiara memilih memasak bekal anak-anak dan suaminya.
Dia ingin bicara dengan Rian saat mereka akan sarapan. Setelah selesai memasak, Tiara masuk kamar utama. Hendak memberi tahu suaminya bahwa sarapan sudah siap. Betapa kagetnya Tiara saat melihat Rian sudah siap dengan baju kerjanya. Pria itu sudah menyisir rambut, memakai kaos kaki lalu menenteng tas kerja di punggung dan tangannya.
“Kamu mau langsung berangkat kerja Mas?” tanya Tiara heran.
Rian tidak menjawab pertanyaan sang istri. Dia pergi begitu saja tanpa berpamitan. Tidak ada sesi pamitan mesra seperti yang biasanya mereka lakukan. Biasanya Tiara akan menyalami tangan Rian yang dibalas dengan kecupan mesra di dahi dan pipi. Perubahan sikap Rian membuat Tiara bingung dan sedih.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mas Rian tiba-tiba marah padaku?” tanya wanita itu penasaran.
Tiara berjalan gontai ke dapur dimana anak-anak sudah menunggu. Tiara menarik kursi yang biasa ia tempati. Mengambil nasi dan lauk untuk Anggrek dan Lily. Baru mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Tiara dapat melihat tanda tanya di wajah kedua putrinya melihat ia datang sendiri ke dapur. Tidak ada Rian yang menyusul.
“Ayah belum bangun Bu?” Anggrek melongokan kepalanya. Berharap melihat Rian turun dari sudut tangga yang masih terlihat dari dapur.
“Kok Ayah nggak makan sama kita?” Lily ikut bertanya dengan suara yang menggemaskan. Tiara bingung harus menjawab apa. Dia masih terdiam. Memikirkan alasan kenapa Rian melewatkan sarapan bersama mereka.
“Ayah belum pulang. Tadi malam baru telepon kalau harus pergi keluar kota untuk menemani bosnya.”
“Yaaah,” seru Lily kecewa.
Hari itu bergulir cepat. Langit cerah berubah gelap. Tiara hendak bertanya pada Rian saat ia pulang ke rumah. Namun sama seperti hari sebelumnya, Rian tidak pulang hingga tengah malam. Tiara baru melihat keberadaan suaminya saat bangun hendak salat subuh. Rian juga tidak mau lagi salat berjamaah dengan keluarga kecilnya.
Perubahan sikap Rian juga dirasakan oleh anak-anak. Pria itu menjadi tak acuh pada Anggrek dan Lily. Hari demi hari sudah berlalu. Genap sebulan perubahan sikap Rian. Berulang kali, Tiara bertanya, pria itu memilih bungkam. Jika sebelumnya Rian akan menatap Tiara marah, Rian menjadi jadi mengabaikan keberadaan sang istri.
Meski sudah berubah, tetapi Rian tidak ingin orang tuanya tahu. Dua hari sebelum orang tuanya datang berkunjung, Rian menghampiri Tiara yang tengah melipat baju di depan TV. Melihat Rian mau duduk disampingnya lagi membuat Tiara tersenyum senang.
“Tetaplah bersikap biasa saat orang tuaku datang. Jangan mengadu tentang masalah kita,” kata Rian dingin.
Senyum di bibir Tiara seketika luntur. Dia mengira Rian akhirnya mau bicara lagi dengannya. Ternyata untuk membahas kedatangan orang tua pria itu. Tiara menahan tangis. Dia kembali melipat pakaian. Memilih mendengarkan setiap ucapan Rian.
“Katakan juga pada anak-anak agar tidak mengadu pada kakung dan uti mereka. Aku tidak mau membuat penyakit ibu tambah parah,” ucap Rian lalu berdiri. Tiara segera menahan tangan suaminya.
“Apa salahku sampai kau berubah Mas? Jangan terus bersikap seperti ini.” Tiara menatap punggung lebar Rian yang berdiri tegak membelakanginya.
“Kau tidak perlu tahu.” Rian melepas pegangan Tiara lalu berjalan pergi.
Tiara menutup album foto lalu memasukannya lagi ke kotak. Masa lalu sudah tertinggal. Setelah empat tahun tidak tahu apapun tentang perubahan sikap suaminya, Tiara akhirnya tahu penyebabnya. “Besok aku harus mencari toko service agar bisa membuka layar ponsel yang kutemukan.”
Karena meras haus, Tiara berjalan keluar kamar. Dia mendengar suara Rian yang tengah bicara. Langkahnya terhenti, diam-diam Tiara menempelkan telinganya di pintu agar bisa mendengar suara Rian lebih jelas lagi.
“Kapan aku harus menceraikan Tiara? Aku sudah tidak tahan lagi sayang. Toh dia juga sudah tahu tentang hubungan kita.” Suara Rian yang pelan terdengar jelas di telinga Tiara, membuat wanita itu terkesiap kaget.
“Berarti aku harus menunggu sampai anak kita lahir baru membongkar kebusukan Tiara.” Perkataan Rian selanjutnya membuat badan Tiara semakin lemas.
‘Ternyata Mas Rian mempertahankan pernikahan ini bukan karena keinginannya, tetapi karena Dina.’ Batin Tiara menangis pilu.
Tiara menutup matanya. Air mata mengalir dari sela-sela jari. Dia tidak bisa lagi menahan tangis yang menyesakan dada. Masih terdengar suara Rian di kamar yang bicara dengan lembut untuk Dina. Berbeda saat pria itu bicara dengan Tiara dan anak-anak mereka. Datar dan dingin. Seolah mereka adalah orang asing untuk Rian.“Kamu pengertian sekali sayang. Padahal Ibu pernah berkata buruk padamu, tetapi kamu masih memikirkan kesehatan Ibu. Kamu benar. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar tidak membuat penyakit jantung Ibu semakin buruk. Beliau pasti sangat terkejut kalau aku memberi tahu Tiara sudah selingkuh dengan pria lain.” Rian kembali bicara tentang ibunya.Ibu mertua Tiara divonis mengidap penyakit jantung lima tahun lalu. Seluruh keluarga kompak menjaganya agar penyakit ibunya Rian tidak kambuh. Termasuk tidak memberi tahu berita buruk yang terjadi. Karena itulah Rian selalu berpura-pura mesra dihadapan orang tuanya. Agar ibu mertua Tiara tidak curiga ada masalah di rumah tangga
Tiara hanya tersenyum. Ternyata Rian tidak berani membuktikan semua tuduhan Dina padanya. Mulai dari tuduhan Dina kalau dia sudah mengadu pada ibu mertua sampai tuduhan Dina tentang foto-foto tidak senonoh dengan wajahnya.“Walau tanpa dirimu, aku akan membuktikannya sendiri Mas.” Tiara keluar dari kamar sambil menyimpan semua foto yang Rian kirim ke G****e Drive lalu membalas pesan Rian.[Kalian memang pengecut karena tidak mau membuktikan semua tuduhan Dina padaku. Oh iya, selamat untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku akan membuktikan jika aku bukan barang bekas. Walau Dina itu barang baru, tetap saja murahan. Mana ada wanita berkelas yang menjadi pacar suami orang? Kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Pengecut dan murahan.]Tiara memasukan ponselnya ke saku. Dia harus menjaga Nana yang bermain sendiri di ruang tengah. Pekerjaan rumah sudah selesai. Tiara duduk di sofa membuat bab baru untuk novel online. Sembari mengawasi Nana yang bermain boneka barbie. TV yang menyala
“Alhamdulillah,” seru Tiara senang.“Saya bisa memberi pernyataan lisan tentang kepalsuan foto ini.” Haris memberikan ponsel dan foto yang yang sudah dicetak. Menjadi satu dengan foto yang dibawa Tiara. Pria itu tidak bertanya banyak hal. Hanya menjalankan pekerjaannya secara professional. Meski pekerjaan utamanya adalah guru.“Terima kasih banyak Pak. Berapa biaya yang harus saya bayar?”“Anda bisa membayar pada kasir yang berjaga di lantai satu. Saya sudah mengirim jasa konsultasi anda padanya,” jawab Haris ramah.Tiara diam. Dia ingat dengan ponsel rahasia Rian yang ia bawa di tas. Wanita itu mengambil ponsel Rian lalu memberikannya pada Haris. “Tolong buka kata sandi ponsel ini. Biayanya bisa digabung dengan jasa pemeriksaan foto.”Mata Haris terbelalak begitu layar ponsel menyala. Namun pria itu tidak bertanya apapun. Dia bisa membuka kode sandi ponsel dengan mudah lalu memberikannya lagi pada Tiara. “Sudah terbuka.”“Terima kasih Pak. Saya permisi dulu.”“Sama-sama Bu.”Hatinya s
“Assalamualaikum Nduk,” sapa ibu mertuanya yang bernama Bu Mirna.“Eh. Assalamualaikum Ayah, Ibu.” Tiara menyalami mertuanya.“Waalaikumsalam.”Mereka masuk ke rumah. Tiara mengunci pintunya lagi. Meski heran dengan kedatangan mertuanya yang mendadak, Tiara tetap bersikap tenang. Apalagi Bu Mirna baru mengirim pesan kalau dia baru bisa datang minggu depan karena harus rewang di rumah tetangga.“Bangunkan Rian Nduk. Ayah ingin berangkat salat di masjid dengannya. Kami naik dulu buat menata barang di kamar.”“Iya Yah.”Setelah memastikan mertuanya naik ke lantai dua, Tiara masuk ke kamar Rian. Dia memperhatikan Rian yang masih terlelap. Kilas balik kejadian beberapa tahun lalu seperti film yang terputar di kepalanya.Setelah Rian memperingatinya untuk tidak memberi tahu masalah mereka pada Pak Joko dan Bu Mirna, wanita itu memilih diam. Dua hari kemudian mertuanya datang ke rumah. Sikap Rian berubah seperti semula. Perhatian dan penyayang. Anak-anak sangat senang karena sikap ayah mereka
“Iya Bu,” jawab Tiara. Ia merasa heran karena ibu mertuanya terdengar membenci Dina saat membicarakan nama wanita itu.“Kenapa Rian bisa berubah Nduk? Apa yang sudah wanita itu lakukan hingga mempengaruhi Rian?” tanya Bu Mirna penasaran.Tiara menunjukkan foto dengan wajahnya dan pria asing. Dengan suara lirih, Dina menceritakan temuannya tentang foto-foto ini lalu membawanya ke pakar telematika. Tidak lupa wanita itu juga menunjukkan bukti yang diberikan Haris jika foto itu sudah diedit. Tiara bukan wanita yang ada dalam foto.“Dasar bodoh. Bisa-bisanya Rian lebih percaya dengan wanita itu tanpa menanyakannya lebih dulu padamu,” geram Bu Mirna tidak habis pikir.“Padahal dulu Rian sudah menuruti permintaan Ibu untuk menjauhi Dina. Kenapa sekarang dia lebih percaya dengan wanita itu.” Bu Mirna mengusap wajahnya kesal. Pandangannya tertuju pada tembok.“Mungkin Mas Rian memang tidak bisa melupakan Dina, Bu. Dia menikahiku hanya sebatas pelarian. Saat mantan pacarnya memberikan bukti pal
Tiara segera pergi saat Dina berbalik. Dia tidak tahu apa minuman yang ingin diberikan Dina pada mertuanya, tetapi ia punya firasat buruk jika minuman itu mengandung racun. Wanita itu duduk disamping Bu Mirna lalu berbisik, “Aku melihat Dina memasukan sesuatu ke botol air Bu. Sepertinya ada yang aneh.” “Wanita itu memang gila. Kamu jangan minum air yang Dina berikan Nduk,” bisik Bu Mirna. Tidak lama kemudian Dina datang. Ia meletakan empat botol air di meja. “Maaf kalau saya mengganggu. Sebagai permintaan maaf, saya hanya bisa memberikan botol air.” “Tidak perlu. Kita langsung bicara pada intinya. Apa yang hendak kalian lakukan dengan pria ini?” sela Pak Joko menunjuk pria misterius yang duduk di bawah. “Setidaknya berterima kasihlah pada Dina, Yah,” ujar Rian tidak terima pacarnya diabaikan. Rian seperti buta karena cinta hingga terus membela Dina. “Jangan bertele-tele. Apa yang sedang kalian rencanakan?” Pak Joko tidak peduli dengan keluhan Rian. Tiara tersenyum sinis menatap
“Tidak mungkin Bu. Untuk apa Dina memberikan guna-guna,” bantah Tiara tidak percaya.“Ibu sudah mengira jika kamu tidak bisa percaya begitu saja. Namun ini kenyataannya Nduk. Lima belas tahun lalu Dina pernah membuat Rian kabur dari rumah karena kami tidak setuju dengan hubungan mereka. Ibu mencari tahu siapa Dina. Orang tuanya bekerja di sawah milik dukun.”“Hanya itu Bu?” tanya Tiara skeptis.“Setelah kami cari tahu, orang tua Dina juga suka berhutang. Banyak rentenir dan orang bank yang menunggu di depan rumah. Ibu tidak ingin Dina menikah dengan Rian karena takut wanita itu hanya memaanfaatkan kekayaan kami. Sehari setelah kami menolak hubungan mereka, Rian kabur dari rumah. Kami membiarkan untuk memberi pelajaran bahwa tidak semua keinginan anak harus dituruti,Meski begitu, Ayah tetap meminta bantuan pada saudara yang menjadi polisi untuk melacak keberadaan Rian. Belum sempat kami melakukan pencarian, dia pulang ke rumah. Minta maaf dan memohon restu untuk hubungan mereka. Ibu t
Pandangan Tiara berkunang-kunang, kepalanya pusing, perlahan pandangannya gelap. Rian yang melihat Tiara pingsan hanya bisa terpaku. Dia tidak menyangka bisa menampar sang istri seperti tadi. Di belakang Rian, Dina tersenyum puas. Tidak ada belas kasihan di wajah bengisnya.“Ibu.” Teriakan Lily dan Nana membuat Rian mundur. Tubuhnya bergetar ketakutan. Begitu juga Dina yang tidak menyangka ada saksi yang melihat. Belum sempat Rian bereaksi, ia melihat Anggrek berlari keluar.“Tolooooong. Tolong Ibu saya,” teriak Anggrek membuat banyak warga datang ke rumah mereka.Dina berlari, sembunyi di kamar Rian. Sedangkan Rian segera menggotong tubuh Tiara. “Tolong saya Pak. Kita bawa Tiara ke Puskesmas sekarang.”Hatinya benar-benar cemas. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Rian akan membuat Tiara celaka. Syukurlah Tiara sadar begitu mereka tiba di IGD. Jarak rumah ke Puskesmas yang cukup dekat membuat Tiara cepat tertolong. Wanita itu sudah sadar saat kepalanya diobati. Kain kasa menempel di
Tiara baru saja memberi tahu Bu Mirna tentang kejadian yang ia lihat beberapa waktu lalu. Bu Mirna sampai mengelus dadanya dengan wajah tidak percaya. Terlihat kemarahan di kedua bola matanya.“Sampai hati Dina terus melakukan jal itu. Dia memang benar-bennar tidak punya hati,” kata ibu mertua Tiara itu merutuk kesal.Lily dan Nana masih sibuk menonton tayangan TV. Bahkan Nana sampai berdiri untuk berjoget. Jadi mereka tidak mendengar apa yang dikatakan Bu Mirna tadi. Tiara lalu mengusap bahu sang menantu.“Sudahlah Bu. Alhamdulillah Ustad Aba dan Ustdi Abi peka sehingga meminta Pak Anwar bekerja disini,” kata Tiara lagi berusaha menenangkan sang mertua.“Benar juga sih Nduk, tapi Ibu tetap merasa sebal dengan Dina. Awas saja kalau kami bertemu. Ibu akan memberi pelajaran padanya,” ucap Bu Mirna berapi-api.Tiara hanya bisa terkekeh melihat tingkah sang mertua yang seperti ini. Mereka lalu membicarakan hal lain. Membiarkan anak-anak dengan kesibikan mereka dan ibu-ibu yang sibuk berbi
“Iya. Ayah sengaja menyewa tukang kebun untuk membersihkan halaman rumah kalian. Beliau juga punya tugas khusus untuk memeriksa semua rekaman CCTV dan mengambil barang aneh jika ada yang menanam. Seperti yang dilakukan Dina hari ini,” kata Pak Joko menjelaskan hal ini pada menantunya.“Maaf jika Ayah belum memberi tahumu. Namun tadi Rian sudah tahu rencana ini. Apa kalian belum bertemu jadi dia tidak memberi tahumu?” tanya Pak Joko kali ini dengan raut wajah keheranan.Tiara menggeleng. Dia memang bertemu dengan Rian dan bahkan mereka berangkat ke tujuan masing-masing dengan mobil yang sama, tapi Rian sama sekali tidak menceritakan hal ini padanya. Wanita itu lalu berkata, “Tadi kami pergi bersama naik mobil Yah, tapi Mas Rian tidak bercerita apapun. Mungkin dia lupa. Sekarang dimana tukang kebunnya Yah?” tanya Tiara penasaran. Melongok ke belakang tubuh sang auah mertua untuk melihat tukang kebun yang dimaksud. Namun tidak ada siapapun disana. Pak Joko hanya sendiri berdiri di hadapa
Mendengar jawaban Tiara, Eni tidak berani bertanya lagi. Begitu juga dengan tetangga lain. Mia langsung mengalihkan percakapan tentang anak-anak. Membuat wanita itu menghela nafas lega karena tidak pernah menceritakan aib rumah tangga pada banyak orang. Sehingga mereka mencecarnya hanya untuk mendapat gosip terbaru.Untungnya tidak lama kemudian nama Eni dipanggil petugas puskesmas. Jadi wanita itu tidak lagi bisa mengatakan hal-hal jelek tentang Tiara dan keluarganya. Tidak lama kemudian nama Mia dan ibu-ibu paruh haya juga dipanggil dokter jaga yang berbeda. Tinggal Tiara sendiri disana. Wanita itu menghela nafas lega.Ia masih harus menunggu setengah jam lagi sampai namanya dipanggil hingga Tiara bisa mendapatkan surat rujukan ke rumah sakit terdekat dimana Psikiater bertugas disana.Sesuai dengan perkataannya pada Rian tadi, Tiara mampir ke minimarket terdekat untuk membeli stok cemilan untuk anak-anaknya. Dia dengan santai melangkah menyusuri trotoar menuju minimarket karena jara
“Dek. Bagaimana? Apa kamu setuju?” tanya Rian sambil melambaikan tangannya di depan wajah sang istri.Tiara gelagapan melihat jarak mereka yang sudah cukup dekat. Wanita itu seolah tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Mereka berada di posisi itu sampai akhirnya Tiara mengangguk. Rian lalu memundurkjan tubuhnya. Tiara menghela nafas lega walaupun dadanya masih berdebar dengan gemuruh yang menyenangkan.“Oke. Aku setuju Mas,” jawab Tiara pelan lalu menangguk.Mereka berpamitan pada Bu Mirna dan ketiga anak mereka lalu berjalan menuju pintu keluar. Rian masuk ke mobilnya lebih dulu. Sedangkan Tiara yang membukakan pagar. Setelah itu, Tiara harus menutup pagar tinggi itu baru masuk ke mobil Rian. Selama di perjalanan suasana sempat hening sesaat. Ada nuansa kecanggungan yang dapat Rian rasakan dari sang istri.Pria itu sadar tidak mudah mengembalikan hubungan mereka seperti dulu. Meskipun Tiara sudah memaafkannya, mereka harus membangun kemistri sebagai pasangan suami istri lebih dulu d
Sarapan pagi itu di rumah Tiara berjalan dengan penuh canda tawa. Hal yang sudah tidak pernah mereka lakukan sejak lama. Sejak perubahan sikap Rian karena pengaruh guna-guna Dina pada pria itu yang membuat keluarga mereka hampir hancur berantakan.Seperti kemarin, Rian yang mengantar Anggrek pergi ke sekolah. Tiara sibuk membersihkan rumah. Dia tidak ingin Bu Mirna kelelahan. Jadilah sang mertua berdiam diri di lantai dua menemani Lily dan Nana membaca buku cerita yang baru dibelikan Rian kemarin.Jam setengah delapan pagi Tiara bisa menyelesaikan semua pekerjaannya. Rian pulang terlambar karena harus belanja semua barang yang habis sesuai daftar belanja yang diberikan Bu Mirna tadi.“Kamu sudah belanja Mas?” tanya Tiara heran. Tidak mengetahui hal tersebut.“Sudah. Ibu yang menyuruhku tadi. Sekalian belajar bagaimana dinamika pasar pada produk kita,” jawab Rian sedikit ambigu karena Tiara tidak memahami semua perkataanya. Walaupun Tiara tau kalau hal itu berhubungan dengan usaha yang
Tiara mengkerutkan kening heran. Mertuanya sudah tahu? Matanya mengerjap bingung. Wanita itu tidak tahu harus merespon bagaimana. “Ehm. Ibu tahu darimana?” tanya Tiara gugup bercampur malu.“Dari ibumu. Kemarin malam sebelum tidur beliau telepon bertanya apa kamu sudah bicara tentangy keputuasnmu setelah mendengar nasihat bapakmu. Ibumu juga menceritakan semuanya,” kata Bu Mirna menghentikan kegiatannya.Wanita paruh baya itu menatap sang menantu dalam. Penuh kasih sayang dan kelembutan. Setelah semua makanan tersaji di atas meja dan bekal untuk anak-anak siap, Bu Mirna meraih tangan Tiara dalam genggamannya.“Baik kamu berpisah dari Rian atau tidak, Ibu tetap menganggap kamu sebagai menantu dan anak Ibu sendiri. Namun dengan kamu memberi maaf pada Rian, entah kenapa membuat Ibu merasa sangat senang sekali. Karena kamu sudah mulai menghilangkan segala beban kebencian di hatimu,” kata Bu Mirna panjang kali lebar.Tiara mengangguk dengan air mata haru yang menggenang di pelupuk matanya.
Dada Rian berdetak semakin kencang. Mulutnya terbuka lebar dengan mata menganga. Dia masih menatap tidak percaya perkataan Tiara tadi. Sang istri setuju untuk mengikuti saran bapaknya? Rasanya Rian ingin berteriak kesenangan saat ini juga. Namun tubuhnya seperti kaku dan tidak bisa digerakan sama sekali. Seolah ia sudah berubah menjadi patung.“Kamu baik-baik saja Mas?” tanya Tiara khawatir melihat respon sang suami yang seperti ini. Wanita itu melambaikan tangan di depan Rian berulang kali.Rian menggeleng lalu mengangguk. Pria itu menepuk pipinya berulang kali agar bisa meyakinkan diri kalau semua yang terjadi di depannya memang nyata. Akhirnya Rian bisa bergerak. Dengan gerakan sangat cepat hingga hampir tidak tertangkap mata, Rian mendekap erat tubuh sang istri. Membawa Tiara dalam pelukannya yang hangat.“Terima kasih banyak sayang. Terima kasih banyak untuk kesempatan keduanya,” kata Rian terharu. Dia tidak bisa lagi membendung air matanya yang berdesakan ingin keluar. Rian mera
Rian turun dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dia menunaikan salat tahajud saat Tiara tengah sibuk mengetik novel dengan menggunakan ponselnya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengganggu kesibukan sang istri. Dia justru mengambil kitab suci lalu mengaji dengan suara pelan.Meskipun sedang menjalankan kegiatan masing-masing, bukan berarti Rian dan Tiara lupa akan keberadaan satu sama lain. Mereka tetap sadar tengah berada di ruangan yang sama. Hingga tidak terasa adzan subuh berkumandang dari masjid terdekat."Aku pergi ke masjid dulu Ra," kata Rian bangkit lalu memasukan kitab suci ke rak lemari paling atas."Iya Mas," jawab Tiara sangat pelan yang hampir serupa dengan bisikan. Walaupun begitu Rian masih bisa tetap mendengar suara sang istri.Rian melangkah keluar. Membuka dan menutup pintu dengan suara perlajan. Meskipun bunyi derit pintunya tetap terdengar. Setelah sosok sang suami hilang dibalik pintu, Tiara menghela nafas lega. Dari luar terdenga
“Ba—bagaimana bisa? Siang ini saya tidak sengaja bertemu dengan Dina di dalam sebuah mobil mewah yang kemungkinan besar milik Bu Aurel. Saat mata kami tidak sengaja berpandangan, dia terus memanggil namaku,” ucap Tiara tidak percaya.Rian, Pak Joko dan Bu Mirna hanya diam mendengarkan. Mereka ingin mendengar balasan Ustad Aba dan Ustad Abi tentang masalah ini. Pasalahnya menurut Rian, dia juga yakin Dina tidak akan bisa melakukan apapun dibawah pengawasan Aurel yang akan balas dendam padanya.“Benar. Itu bisa saja terjadi. Seperti yang saya katakan tadi kalau Bu Dina bisa mengganggu anda karena rumah ini memang pernah diganggu. Namun untuk masalah dia tidak bisa kabur dari orang yang mengurungnya, saya rasa ada hal lain yang anda semua tidak tahu. Dan saya rasa anda semua memang tidak perlu tahu kenapa Bu Dina tidak bisa kabur dari sana. Lebih banyak tidak tahu akan lebih baik untuk kita,” jawab Ustad Abi berteka-teki.Entah kenapa Rian dan Tiara seketika punya pikiran yang sama. Jika