Rian turun dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dia menunaikan salat tahajud saat Tiara tengah sibuk mengetik novel dengan menggunakan ponselnya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengganggu kesibukan sang istri. Dia justru mengambil kitab suci lalu mengaji dengan suara pelan.Meskipun sedang menjalankan kegiatan masing-masing, bukan berarti Rian dan Tiara lupa akan keberadaan satu sama lain. Mereka tetap sadar tengah berada di ruangan yang sama. Hingga tidak terasa adzan subuh berkumandang dari masjid terdekat."Aku pergi ke masjid dulu Ra," kata Rian bangkit lalu memasukan kitab suci ke rak lemari paling atas."Iya Mas," jawab Tiara sangat pelan yang hampir serupa dengan bisikan. Walaupun begitu Rian masih bisa tetap mendengar suara sang istri.Rian melangkah keluar. Membuka dan menutup pintu dengan suara perlajan. Meskipun bunyi derit pintunya tetap terdengar. Setelah sosok sang suami hilang dibalik pintu, Tiara menghela nafas lega. Dari luar terdenga
Dada Rian berdetak semakin kencang. Mulutnya terbuka lebar dengan mata menganga. Dia masih menatap tidak percaya perkataan Tiara tadi. Sang istri setuju untuk mengikuti saran bapaknya? Rasanya Rian ingin berteriak kesenangan saat ini juga. Namun tubuhnya seperti kaku dan tidak bisa digerakan sama sekali. Seolah ia sudah berubah menjadi patung.“Kamu baik-baik saja Mas?” tanya Tiara khawatir melihat respon sang suami yang seperti ini. Wanita itu melambaikan tangan di depan Rian berulang kali.Rian menggeleng lalu mengangguk. Pria itu menepuk pipinya berulang kali agar bisa meyakinkan diri kalau semua yang terjadi di depannya memang nyata. Akhirnya Rian bisa bergerak. Dengan gerakan sangat cepat hingga hampir tidak tertangkap mata, Rian mendekap erat tubuh sang istri. Membawa Tiara dalam pelukannya yang hangat.“Terima kasih banyak sayang. Terima kasih banyak untuk kesempatan keduanya,” kata Rian terharu. Dia tidak bisa lagi membendung air matanya yang berdesakan ingin keluar. Rian mera
Tiara mengkerutkan kening heran. Mertuanya sudah tahu? Matanya mengerjap bingung. Wanita itu tidak tahu harus merespon bagaimana. “Ehm. Ibu tahu darimana?” tanya Tiara gugup bercampur malu.“Dari ibumu. Kemarin malam sebelum tidur beliau telepon bertanya apa kamu sudah bicara tentangy keputuasnmu setelah mendengar nasihat bapakmu. Ibumu juga menceritakan semuanya,” kata Bu Mirna menghentikan kegiatannya.Wanita paruh baya itu menatap sang menantu dalam. Penuh kasih sayang dan kelembutan. Setelah semua makanan tersaji di atas meja dan bekal untuk anak-anak siap, Bu Mirna meraih tangan Tiara dalam genggamannya.“Baik kamu berpisah dari Rian atau tidak, Ibu tetap menganggap kamu sebagai menantu dan anak Ibu sendiri. Namun dengan kamu memberi maaf pada Rian, entah kenapa membuat Ibu merasa sangat senang sekali. Karena kamu sudah mulai menghilangkan segala beban kebencian di hatimu,” kata Bu Mirna panjang kali lebar.Tiara mengangguk dengan air mata haru yang menggenang di pelupuk matanya.
Sarapan pagi itu di rumah Tiara berjalan dengan penuh canda tawa. Hal yang sudah tidak pernah mereka lakukan sejak lama. Sejak perubahan sikap Rian karena pengaruh guna-guna Dina pada pria itu yang membuat keluarga mereka hampir hancur berantakan.Seperti kemarin, Rian yang mengantar Anggrek pergi ke sekolah. Tiara sibuk membersihkan rumah. Dia tidak ingin Bu Mirna kelelahan. Jadilah sang mertua berdiam diri di lantai dua menemani Lily dan Nana membaca buku cerita yang baru dibelikan Rian kemarin.Jam setengah delapan pagi Tiara bisa menyelesaikan semua pekerjaannya. Rian pulang terlambar karena harus belanja semua barang yang habis sesuai daftar belanja yang diberikan Bu Mirna tadi.“Kamu sudah belanja Mas?” tanya Tiara heran. Tidak mengetahui hal tersebut.“Sudah. Ibu yang menyuruhku tadi. Sekalian belajar bagaimana dinamika pasar pada produk kita,” jawab Rian sedikit ambigu karena Tiara tidak memahami semua perkataanya. Walaupun Tiara tau kalau hal itu berhubungan dengan usaha yang
“Dek. Bagaimana? Apa kamu setuju?” tanya Rian sambil melambaikan tangannya di depan wajah sang istri.Tiara gelagapan melihat jarak mereka yang sudah cukup dekat. Wanita itu seolah tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Mereka berada di posisi itu sampai akhirnya Tiara mengangguk. Rian lalu memundurkjan tubuhnya. Tiara menghela nafas lega walaupun dadanya masih berdebar dengan gemuruh yang menyenangkan.“Oke. Aku setuju Mas,” jawab Tiara pelan lalu menangguk.Mereka berpamitan pada Bu Mirna dan ketiga anak mereka lalu berjalan menuju pintu keluar. Rian masuk ke mobilnya lebih dulu. Sedangkan Tiara yang membukakan pagar. Setelah itu, Tiara harus menutup pagar tinggi itu baru masuk ke mobil Rian. Selama di perjalanan suasana sempat hening sesaat. Ada nuansa kecanggungan yang dapat Rian rasakan dari sang istri.Pria itu sadar tidak mudah mengembalikan hubungan mereka seperti dulu. Meskipun Tiara sudah memaafkannya, mereka harus membangun kemistri sebagai pasangan suami istri lebih dulu d
Mendengar jawaban Tiara, Eni tidak berani bertanya lagi. Begitu juga dengan tetangga lain. Mia langsung mengalihkan percakapan tentang anak-anak. Membuat wanita itu menghela nafas lega karena tidak pernah menceritakan aib rumah tangga pada banyak orang. Sehingga mereka mencecarnya hanya untuk mendapat gosip terbaru.Untungnya tidak lama kemudian nama Eni dipanggil petugas puskesmas. Jadi wanita itu tidak lagi bisa mengatakan hal-hal jelek tentang Tiara dan keluarganya. Tidak lama kemudian nama Mia dan ibu-ibu paruh haya juga dipanggil dokter jaga yang berbeda. Tinggal Tiara sendiri disana. Wanita itu menghela nafas lega.Ia masih harus menunggu setengah jam lagi sampai namanya dipanggil hingga Tiara bisa mendapatkan surat rujukan ke rumah sakit terdekat dimana Psikiater bertugas disana.Sesuai dengan perkataannya pada Rian tadi, Tiara mampir ke minimarket terdekat untuk membeli stok cemilan untuk anak-anaknya. Dia dengan santai melangkah menyusuri trotoar menuju minimarket karena jara
“Iya. Ayah sengaja menyewa tukang kebun untuk membersihkan halaman rumah kalian. Beliau juga punya tugas khusus untuk memeriksa semua rekaman CCTV dan mengambil barang aneh jika ada yang menanam. Seperti yang dilakukan Dina hari ini,” kata Pak Joko menjelaskan hal ini pada menantunya.“Maaf jika Ayah belum memberi tahumu. Namun tadi Rian sudah tahu rencana ini. Apa kalian belum bertemu jadi dia tidak memberi tahumu?” tanya Pak Joko kali ini dengan raut wajah keheranan.Tiara menggeleng. Dia memang bertemu dengan Rian dan bahkan mereka berangkat ke tujuan masing-masing dengan mobil yang sama, tapi Rian sama sekali tidak menceritakan hal ini padanya. Wanita itu lalu berkata, “Tadi kami pergi bersama naik mobil Yah, tapi Mas Rian tidak bercerita apapun. Mungkin dia lupa. Sekarang dimana tukang kebunnya Yah?” tanya Tiara penasaran. Melongok ke belakang tubuh sang auah mertua untuk melihat tukang kebun yang dimaksud. Namun tidak ada siapapun disana. Pak Joko hanya sendiri berdiri di hadapa
Tiara baru saja memberi tahu Bu Mirna tentang kejadian yang ia lihat beberapa waktu lalu. Bu Mirna sampai mengelus dadanya dengan wajah tidak percaya. Terlihat kemarahan di kedua bola matanya.“Sampai hati Dina terus melakukan jal itu. Dia memang benar-bennar tidak punya hati,” kata ibu mertua Tiara itu merutuk kesal.Lily dan Nana masih sibuk menonton tayangan TV. Bahkan Nana sampai berdiri untuk berjoget. Jadi mereka tidak mendengar apa yang dikatakan Bu Mirna tadi. Tiara lalu mengusap bahu sang menantu.“Sudahlah Bu. Alhamdulillah Ustad Aba dan Ustdi Abi peka sehingga meminta Pak Anwar bekerja disini,” kata Tiara lagi berusaha menenangkan sang mertua.“Benar juga sih Nduk, tapi Ibu tetap merasa sebal dengan Dina. Awas saja kalau kami bertemu. Ibu akan memberi pelajaran padanya,” ucap Bu Mirna berapi-api.Tiara hanya bisa terkekeh melihat tingkah sang mertua yang seperti ini. Mereka lalu membicarakan hal lain. Membiarkan anak-anak dengan kesibikan mereka dan ibu-ibu yang sibuk berbi
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah
Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama
Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten
Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.
Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu
Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku
Aurel menghela nafas. Dia menyiapkan jawaban terbaik yang akan ia kirimkan pada Tiara. Meskipun wanita itu sudah disakiti sedemikian rupa, bahkan hampir menghancurkan rumah tangganya, tapi Tiara adalah sosok yang sangat mengagumkan karena mau mengirim pesan untuk mencari tahu keadaan Dina saat ini.[Mimpi anda memang benar Bu Tiara. Telah terjadi hal buruk di rumah saya karena Dina menggunakan ilmu hitam disana. Saya mengirimnya ke rumah sakit jiwa, khusus di ruang isolasi agar Dina tidak bisa menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.Maaf tidak bisa menceritakan semuanya secara detail karena sekarang saya sedang menemani seorang ustad kenalan keluarga yang sedang meruqyah Dina. Jika anda ingin tahu lebih banyak, kita bisa bertemu di lain kesemapatan.]Aurel menekan tombol kirim. Belum ada balasan dari Tiara. Aurel juga tidak menunggu karena ia paham jika setiap orang punya kesibukan masing-masing.Wanita itu lalu menekan nomor sang suami, Hendra. Karena tujuan awalnya membuka aplikas
Aurel menundukan kepalanya dengan cara yang sangat amat sopan pada Ustad Soleh. Begitu juga dengan semua muridnya yang sebagian besar sudah bergelar ustad dan ustadzah."Selamat siang Pak Ustad. Mari kita masuk," kata Aurel meluruskan tangan kanannya dengan gestur sopan"Baik Bu Aurel," jawab Ustad Soleh tidak kalah sopannyaDua orang dengan tampilan berbeda itu berjalan bersisian. Meskipun ada jarak yang membentang di antara mereka. Bagaimanapun juga Ustad Soleh adalah seorang pemuka agama yang harus dihormati. Begitu juga dengan dua pengawal Aurel yang berjalan di belakang. Mereka berjalan bersisian dengan murid laki-laki Ustad Soleh.Mereka pergi ke meja depan. Melakukan pendaftaran untuk menjenguk Dina lalu diantar salah satu perawat menuju sel isolasi. Aurel yang sudah hafal dengan desain rumah sakit ini berjalan mantap melewati dua gedung berbeda tempat pasien dirawat.Perawat memilik rute jalur lorong. Dimana mereka hanya melewati setiap kamar yang tertutup. Tidak ada pasien ya
Tidak ada yang dapat membayangkan betapa leganya Aurel sekarang. Kondisi rumahnya sudah kembali seperti semula. Semua asisten rumah tangga dan pengawal tidak berada di bawah kendali Dina. Bu Jumi juga tidak akan diganggu lagi oleh sosok kiriman Dina. Namun masih ada satu hal lagi yang harus Dina lakukan sekarang yaitu pergi ke rumah sakit jiwa bersama Ustad Soleh dan para santrinya untuk menghapus ilmu hitam yang sempat mengikat Dina.Aurel berdiri di depan cermin kamarnya yang besar. Dia menatap pantulan dirinya yang memakai kemeja berwarna kuning. Selarang dengan kulitnya yang putih. Dipadu dengan celana hitam panjang dan blazer berwarna abu-abu. Menambah kesan mewan dari kalangan orang kaya lama. Meskipun Aurel hanya memakai sepatu murah seharga dua ratus ribu dan jam seharga lima ratus ribu.Wanita itu tidak suka menggunakan perhiasan atau barang mewah jika hanya untuk bekerja. Bukan bermaksud untuk merendah di tengah kehidupannya sebagai keluarga konglomerat. Baginya bekerja cuku