Tiara hanya tersenyum. Ternyata Rian tidak berani membuktikan semua tuduhan Dina padanya. Mulai dari tuduhan Dina kalau dia sudah mengadu pada ibu mertua sampai tuduhan Dina tentang foto-foto tidak senonoh dengan wajahnya.
“Walau tanpa dirimu, aku akan membuktikannya sendiri Mas.” Tiara keluar dari kamar sambil menyimpan semua foto yang Rian kirim ke G****e Drive lalu membalas pesan Rian.
[Kalian memang pengecut karena tidak mau membuktikan semua tuduhan Dina padaku. Oh iya, selamat untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku akan membuktikan jika aku bukan barang bekas. Walau Dina itu barang baru, tetap saja murahan. Mana ada wanita berkelas yang menjadi pacar suami orang? Kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Pengecut dan murahan.]
Tiara memasukan ponselnya ke saku. Dia harus menjaga Nana yang bermain sendiri di ruang tengah. Pekerjaan rumah sudah selesai. Tiara duduk di sofa membuat bab baru untuk novel online. Sembari mengawasi Nana yang bermain boneka barbie. TV yang menyala tidak membuat konsentrasi Tiara terganggu.
Uang di dompet tinggal seratus ribu. Sejak kemarin Rian belum memberi uang lagi padahal pria itu sudah gajian. Justru pulang membawa wanita lain. Tiara harus memutar otak karena uang itu hanya cukup untuk dua atau tiga hari ke depan.
Meski sudah menekuni profesi sebagai penulis online sembari mengikuti kelas menulis, Tiara tidak bisa langsung mendapat gaji karena menunggu bab yang terkunci terbuka. Gajian akan dicairkan bulan depan setelah memenuhi saldo yang cukup. Dia meletakan ponsel setelah mengetik bab baru untuk novelnya.
“Bagaimana caraku mendapat uang untuk kebutuhan anak-anak?” gumam Tiara pusing.
Dering ponselnya membuat Tiara menoleh. Ada pesan masuk dari ibu mertuanya. Tiara mengambil ponsel itu lalu membuka pesannya.
[Ibu ada rejeki dari penjualan tanah Nduk. Separuhnya Ibu kirim ke rekeningmu, separuhnya sudah Ibu transfer ke rekening Riska.]
Mata Tiara membulat tidak percaya. Dia memang dekat dengan mertuanya. Ibu Rian juga kerap mengirim uang untuk Tiara dan Riska, adik iparnya, jika mendapat rejeki. Ia membuka aplikasi e-banking. Membaca nominal yang dikirim ibu mertuanya.
“Lima puluh juta.” Tiara tidak percaya. Ibu Rian tidak pernah mengirim uang sebanyak ini. Tangannya gemetar, masih menatap tidak percaya layar ponsel.
“Ibu kita pergi sekarang?” Nana bertanya dengan suara cadelnya. Gadis kecil itu berdiri di depan ibunya.
Tiara melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Waktunya menjemput Anggrek di sekolah. “Iya sebentar sayang. Ibu ambil jaketnya Nana dulu.”
Dia beranjak dari sofa, masuk ke kamar. Sebelum mengambil jaketnya dan Nana, Tiara membalas pesan ibu mertuanya.
[Ya Allah banyak banget Bu.]
[Tidak masalah Nduk. Namanya juga untuk mantu dan cucu-cucu Ibu. Ibu yakin kamu bisa menggunakan uang itu dengan baik. Maaf Ibu belum bisa datang minggu depan. Ada banyak orang yang punya hajatan, jadi Ibu harus rewang.]
[Iya Bu.Terima kasih banyak.]
Ia masih menatap saldo di rekening. Lima puluh juta adalah nominal yang sangat besar untuknya. Tiara berjanji akan menggunakan uang itu dengan baik. Dia tidak perlu lagi mengemis pada Rian.
Tiara memakai jaketnya lalu mengambil jaket kecil Nana. Memakaikannya ke tubuh putrinya dan pergi ke sekolah. Di perjalanan pulang, pandangannya awas melihat ke sekitar. Meski Rian membatalkan rencana mereka pergi ke toko service ponsel, Tiara tetap mencari toko service terdekat. Dia harus mencari alternatif untuk membuktikan tentang foto tidak senonoh dengan wajahnya. Matanya tertuju ke toko service yang berjarak satu kilometer dari sekolah anak-anak. Di plan toko tertera jasa Pakar Telematika.
‘Mungkin aku bisa kesana besok.’
Kilas balik perubahan sikap Rian selama empat tahun hingga pertengkaran mereka kemarin terngiang di kepalanya. Cacian sang suami terdengar lagi di telinga. Hatinya sangat sakit mendapat tuduhan sebagai wanita murahan yang sudah berselingkuh. Dia tidak menyangka akan mendapat ujian seberat ini.
“Aku janji akan membuktikan kalau aku tidak bersalah. Aku akan membalas fitnah kalian,” gumam Tiara yang terbang terbawa hembusan angin.
***
Keesokan harinya, usai menjemput Anggrek dari sekolah Tiara mengajak ketiga putrinya jalan-jalan ke mall untuk memberi peralatan sekolah. Setelah itu mereka pergi ke toko service yang dilihat Tiara kemarin.
“Loh. Inikan tokonya guruku Bu.” Anggrek menunjuk toko di depannya.
“Punya siapa Kak?”
“Pak Haris. Wali kelasku saat kelas empat. Guruku yang seumuruan sama Om Heri. Masih muda dan ganteng.” Penjelasan Anggrek membuat Tiara mengingat sosok guru yang dimaksud.
“Pak Haris itu hebat banget Bu. Beliau cerita waktu kuliah lama karena ambil dua jurusan di dua kampus yang berbeda. Pertama jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar lalu setelah lulus Pak Haris kuliah lagi di jurusan Rekayasa Perangkat Lunak. Selain mengajar di sekolah, beliau juga membuka toko ini bersama istrinya.” Cerita Anggrek dengan binar mata kagum.
Anggrek sering bercerita tentang beberapa gurunya pada Tiara. Salah satunya adalah Haris. Mereka juga beberapa kali bertemu di sekolah saat Anggrek masih duduk di kelas empat.
Mereka masuk ke toko yang disambut satpam. Suasana toko terasa sejuk dengan AC yang menyala. Toko ini dilengkapi dengan sofa memanjang yang menempel di dinding. Serta meja jika ada pengunjung yang membeli minuman dingin di kulkas.
“Kak Anggrek tolong jaga adik-adiknya di sofa. Ibu mau menyervice ponsel dulu.”
“Iya Bu.”
Tiara berjalan ke konter. Menjelaskan maksud kedatangannya. Customer service mengambil gagang telepon. Bicara dengan seseorang. Tiara mendengar nama Haris disebut. CS itu mengangguk lalu meletakan gagang telepon.
“Ini nomor antrian anda. Silahkan naik ke lantai dua.” CS itu menangkupkan kedua tangan di dada.
“Baik. Terima kasih Mbak.” Tiara bangkit dari kursi. Memberi tanda pada ketiga putrinya akan naik ke lantai dua.
Sesampainya disana, suasana di lantai dua tidak berbeda dengan lantai satu. Ada dua orang yang menunggu dengan membawa amplop. Dada Tiara kembali berdebar. Dia mengeluarkan amplop berisi foto yang diberikan Rian. Saat nomor antriannya dipanggil, Tiara masuk ke ruangan Pakar Telematika. Matanya membulat saat bertatapan dengan Haris.
“Bu Tiara,” sapa Haris kaget.
“Selamat siang Pak Haris. Tadi Anggrek cerita kalau anda pemilik toko ini.” Tiara menyalami Haris.
“Silahkan duduk.” Haris mengulurkan tangannya ke kursi.
Tiara duduk lalu memberikan amplop berisi foto tidak senonoh dengan editan wajahnya. “Maaf jika saya membuat anda kaget. Saya mengira Pakar Telematika yang dimaksud adalah orang lain.”
“Saya sendiri yang menangani klien yang ingin memastikan kebenaran tentang foto atau video. Kebetulan hari ini saya hanya mengajar kelas satu. Jadi bisa pulang jam sepuluh pagi. Ada yang bisa saya bantu Bu?”
“Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah Pak Haris pernah menerima permintaan untuk menyelidiki foto-foto ini?” Tiara menyerahkan ponselnya.
Wajah Haris tetap tenang saat melihat Tiara di layar ponsel itu. Haris menggeleng. “Tidak pernah. Saya adalah satu-satunya Pakar Telematikan di toko ini.”
“Apakaha ada Pakar Telematika lain di kota kita selain anda?”
“Setahu saya tidak ada Bu. Kenapa?”
Dia menceritakan secara singkat tentang masalah rumah tangga mereka dan percakapannya dengan Rian tadi malam. “Saya bukan wanita di foto itu. Karena itulah saya ingin membuktikan jika saya sudah dijebak.”
Tiara menahan getar tangannya. Rasa marah, kecewa, sedih berbaur jadi satu mengingat perlakukan Rian selama ini.
“Baiklah. Saya akan membantu. Apakah anda punya foto atau video lain? Selain foto yang anda bawa.”
“Saya punya foto-foto yang lain. Sebentar Pak.” Tiara mengirim foto-foto yang ia potret dari foto yang dimilki Rian. Haris mengangguk setelah menerima file yang terkirim.
Tiara memperhatikan beberapa alat di meja. Tiara tidak tahu apa yang dilakukan Haris. Pria itu terus mengamati wajahnya lalu membandingkan dengan foto di ponsel yang ia pegang.
Suasana hening melingkupi ruangan ini. Hanya suara printer yang tengah mencetak kertas yang terdengar. Tiga puluh menit menunggu, Haris mengangguk lalu menandai foto-foto yang telah ia cetak dengan spidol.
“Wanita di foto ini memang bukan anda,” kata Haris yakin.
“Alhamdulillah,” seru Tiara senang.“Saya bisa memberi pernyataan lisan tentang kepalsuan foto ini.” Haris memberikan ponsel dan foto yang yang sudah dicetak. Menjadi satu dengan foto yang dibawa Tiara. Pria itu tidak bertanya banyak hal. Hanya menjalankan pekerjaannya secara professional. Meski pekerjaan utamanya adalah guru.“Terima kasih banyak Pak. Berapa biaya yang harus saya bayar?”“Anda bisa membayar pada kasir yang berjaga di lantai satu. Saya sudah mengirim jasa konsultasi anda padanya,” jawab Haris ramah.Tiara diam. Dia ingat dengan ponsel rahasia Rian yang ia bawa di tas. Wanita itu mengambil ponsel Rian lalu memberikannya pada Haris. “Tolong buka kata sandi ponsel ini. Biayanya bisa digabung dengan jasa pemeriksaan foto.”Mata Haris terbelalak begitu layar ponsel menyala. Namun pria itu tidak bertanya apapun. Dia bisa membuka kode sandi ponsel dengan mudah lalu memberikannya lagi pada Tiara. “Sudah terbuka.”“Terima kasih Pak. Saya permisi dulu.”“Sama-sama Bu.”Hatinya s
“Assalamualaikum Nduk,” sapa ibu mertuanya yang bernama Bu Mirna.“Eh. Assalamualaikum Ayah, Ibu.” Tiara menyalami mertuanya.“Waalaikumsalam.”Mereka masuk ke rumah. Tiara mengunci pintunya lagi. Meski heran dengan kedatangan mertuanya yang mendadak, Tiara tetap bersikap tenang. Apalagi Bu Mirna baru mengirim pesan kalau dia baru bisa datang minggu depan karena harus rewang di rumah tetangga.“Bangunkan Rian Nduk. Ayah ingin berangkat salat di masjid dengannya. Kami naik dulu buat menata barang di kamar.”“Iya Yah.”Setelah memastikan mertuanya naik ke lantai dua, Tiara masuk ke kamar Rian. Dia memperhatikan Rian yang masih terlelap. Kilas balik kejadian beberapa tahun lalu seperti film yang terputar di kepalanya.Setelah Rian memperingatinya untuk tidak memberi tahu masalah mereka pada Pak Joko dan Bu Mirna, wanita itu memilih diam. Dua hari kemudian mertuanya datang ke rumah. Sikap Rian berubah seperti semula. Perhatian dan penyayang. Anak-anak sangat senang karena sikap ayah mereka
“Iya Bu,” jawab Tiara. Ia merasa heran karena ibu mertuanya terdengar membenci Dina saat membicarakan nama wanita itu.“Kenapa Rian bisa berubah Nduk? Apa yang sudah wanita itu lakukan hingga mempengaruhi Rian?” tanya Bu Mirna penasaran.Tiara menunjukkan foto dengan wajahnya dan pria asing. Dengan suara lirih, Dina menceritakan temuannya tentang foto-foto ini lalu membawanya ke pakar telematika. Tidak lupa wanita itu juga menunjukkan bukti yang diberikan Haris jika foto itu sudah diedit. Tiara bukan wanita yang ada dalam foto.“Dasar bodoh. Bisa-bisanya Rian lebih percaya dengan wanita itu tanpa menanyakannya lebih dulu padamu,” geram Bu Mirna tidak habis pikir.“Padahal dulu Rian sudah menuruti permintaan Ibu untuk menjauhi Dina. Kenapa sekarang dia lebih percaya dengan wanita itu.” Bu Mirna mengusap wajahnya kesal. Pandangannya tertuju pada tembok.“Mungkin Mas Rian memang tidak bisa melupakan Dina, Bu. Dia menikahiku hanya sebatas pelarian. Saat mantan pacarnya memberikan bukti pal
Tiara segera pergi saat Dina berbalik. Dia tidak tahu apa minuman yang ingin diberikan Dina pada mertuanya, tetapi ia punya firasat buruk jika minuman itu mengandung racun. Wanita itu duduk disamping Bu Mirna lalu berbisik, “Aku melihat Dina memasukan sesuatu ke botol air Bu. Sepertinya ada yang aneh.” “Wanita itu memang gila. Kamu jangan minum air yang Dina berikan Nduk,” bisik Bu Mirna. Tidak lama kemudian Dina datang. Ia meletakan empat botol air di meja. “Maaf kalau saya mengganggu. Sebagai permintaan maaf, saya hanya bisa memberikan botol air.” “Tidak perlu. Kita langsung bicara pada intinya. Apa yang hendak kalian lakukan dengan pria ini?” sela Pak Joko menunjuk pria misterius yang duduk di bawah. “Setidaknya berterima kasihlah pada Dina, Yah,” ujar Rian tidak terima pacarnya diabaikan. Rian seperti buta karena cinta hingga terus membela Dina. “Jangan bertele-tele. Apa yang sedang kalian rencanakan?” Pak Joko tidak peduli dengan keluhan Rian. Tiara tersenyum sinis menatap
“Tidak mungkin Bu. Untuk apa Dina memberikan guna-guna,” bantah Tiara tidak percaya.“Ibu sudah mengira jika kamu tidak bisa percaya begitu saja. Namun ini kenyataannya Nduk. Lima belas tahun lalu Dina pernah membuat Rian kabur dari rumah karena kami tidak setuju dengan hubungan mereka. Ibu mencari tahu siapa Dina. Orang tuanya bekerja di sawah milik dukun.”“Hanya itu Bu?” tanya Tiara skeptis.“Setelah kami cari tahu, orang tua Dina juga suka berhutang. Banyak rentenir dan orang bank yang menunggu di depan rumah. Ibu tidak ingin Dina menikah dengan Rian karena takut wanita itu hanya memaanfaatkan kekayaan kami. Sehari setelah kami menolak hubungan mereka, Rian kabur dari rumah. Kami membiarkan untuk memberi pelajaran bahwa tidak semua keinginan anak harus dituruti,Meski begitu, Ayah tetap meminta bantuan pada saudara yang menjadi polisi untuk melacak keberadaan Rian. Belum sempat kami melakukan pencarian, dia pulang ke rumah. Minta maaf dan memohon restu untuk hubungan mereka. Ibu t
Pandangan Tiara berkunang-kunang, kepalanya pusing, perlahan pandangannya gelap. Rian yang melihat Tiara pingsan hanya bisa terpaku. Dia tidak menyangka bisa menampar sang istri seperti tadi. Di belakang Rian, Dina tersenyum puas. Tidak ada belas kasihan di wajah bengisnya.“Ibu.” Teriakan Lily dan Nana membuat Rian mundur. Tubuhnya bergetar ketakutan. Begitu juga Dina yang tidak menyangka ada saksi yang melihat. Belum sempat Rian bereaksi, ia melihat Anggrek berlari keluar.“Tolooooong. Tolong Ibu saya,” teriak Anggrek membuat banyak warga datang ke rumah mereka.Dina berlari, sembunyi di kamar Rian. Sedangkan Rian segera menggotong tubuh Tiara. “Tolong saya Pak. Kita bawa Tiara ke Puskesmas sekarang.”Hatinya benar-benar cemas. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Rian akan membuat Tiara celaka. Syukurlah Tiara sadar begitu mereka tiba di IGD. Jarak rumah ke Puskesmas yang cukup dekat membuat Tiara cepat tertolong. Wanita itu sudah sadar saat kepalanya diobati. Kain kasa menempel di
“Biar aku pesan taksi online Bu.” Suara Anggrek memecah keheningan yang dingin. Tiara menghela nafas.‘Seharusnya aku tidak minta tolong pada Mas Rian,’ batin wanita itu pilu.Anak-anak melihat kekejaman ayah mereka lagi. Hati Tiara semakin nelangsa. Pikirannya kalut. Badan Nana sangat panas, tetapi Rian tidak mau mengantar putrinya ke rumah sakit hanya karena ingin bulan madu dengan Dina. Tidak lama kemudian taksi yang dipesan Anggrek datang.“Itu mobilnya.”“Cepat banget Kak.”“Iya Bu. Untung ada sopir paling dekat yang mengambil pesanan kita.” Anggrek menggandeng tangan Lily. Mereka masuk ke kursi belakang.Tiara menyebut nama rumah sakit terdekat agar Nana segera ditangani. Saat mobil berhenti di lampu merah, Tiara melihat mobil Rian yang berhenti disampingnya. Wanita itu mengalihkan wajah saat mendengar Rian menyebut nama Dina di telepon.“Kak Anggrek tolong hubungi Tante Riska dan Uti. Ibu butuh bantuan mereka.”“Iya Bu.” Anggrek mengirim pesan pada tante dan utinya.Ia menghela
“Kami masih akan memantaunya. Kalau begitu kami permisi dulu.” Dokter dan suster keluar ruangan.Tiara berdiri disamping Nana. Mengusap rambut si bungsu. Wajah Nana pucat, badannya panas dan bibirnya membiru. Bagaimana mungkin tidak ada yang salah dengan Nana?‘Ya Allah tolong beri kesembuhan untuk putri hamba.’ Ia melangitkan doa.“Ayah kemana Bu?” tanya Tiara saat menoleh pada Bu Mirna yang duduk termenung.“Menemui seseorang Nduk. Kita akan pakai cara lain agar Nana sembuh.”“Cara lain? Menggunakan pengobatan tradisional?” Keningnya berkerut bingung.“Tidak Nduk. Kamu akan tahu nanti.”Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Pak Joko masuk dengan seorang pria tinggi berwajah bersih. Tiara pernah melihatnya di TV. Pria itu memakai peci dan celana Panjang berwarna putih. Ia ingat kalau pria itu adalah ustad terkenal yang biasanya melakukan proses ruqyah. Tiara tidak tahu apa yang terjadi. Setelah ustad itu mendoakan Nana, badan putrinya tidak panas lagi. Nana membuka mata.“Ibu.” Lirih s
Rian seperti baru bangun dari tidur yang panjang. Dia melihat sisi tempat tidur dimana seharusnya Dina berbaring kosong. Sinar matahari menembus korden jendela. Dia duduk sambil mengucek matanya "Apa yang terjadi kemarin?" gumamnya bingung. Ingatan terakhir Rian adalah saat dia bicara dengan Dina di taman samping rumah. Ia minum air yang dibawakan Dina. Rian berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Namun kepalanya mendadak pusing. "Kenapa aku tiba-tiba mengantuk?" Ia teringat perkataannya sendiri. "Kalau begitu ayo kita istirahat di kamar Mas." Dina menariknya agar berdiri. Dengan langkah tertatih, mereka masuk rumah. Rian melihat Dukun Deri duduk di sofa ruang tengah bersama orang tua Dina. Mereka berbincang akrab. "Apakah Rian tidak akan mengingat apapun?" Suara bapak Dina bertanya. "Tentu saja. Kita mempertahankannya sebagai tameng. Toh tidak ada lagi yang bisa diambil dari pria itu " Rian terlonjak kaget saat pintu kamar terbuka. Ingatannya tentang kejadian kemasin bu
Rian mengepalkan tangannya kesal. Dia tidak terima Dina yang sudah sah menjadi istri keduanya berlaku kemudian. Dengan emosi yang memuncak, Dima hendak mengetuk jendela saat Dina sudah berhenti berfoto. Ada pesan masuk yang segera wanita itu angkat. Tanpa melihat Rian yang berada dibalik jendela, Dina masuk ke kamar mandi.“Siapa yang menelpon Dina?” Rian meraup wajahnya kasar. Dia tidak menyangka akan mendapati sang istri berkelakuan aneh seperti itu.Rasa sesal menyelimuti hatinya. Wajah teduh Tiara dan tangisannya silih berganti memenuhi pikiran Rian. Betapa pria itu sudah menyesal menduakan wanita yang menemani perjuangannya. Wanita yang sangat disayang orang tuanya yang selektif dalam memilih pasangan.Ia terduduk di kursi taman. Hijaunya tanaman tidak bisa menutupi kegundahan hati Rian. Meski sudah mengetahui sedikit sikap Dina yang sebenarnya, entah kenapa hati kecil Rian tidak bisa melepaskan wanita itu. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka agar tidak bisa berpi
Lia masuk ke ruangan Rian. Mengamati bosnya dan teman mereka dengan seksama. Matanya melirik ponsel Dina yang ada di meja Rian. Dia bisa mengamatinya dengan mudah karena sekarang mereka duduk di sofa. Ia berusaha fokus mendengar penjelasan Rian. Rasa penasarannya tidak boleh menurunkan performa kerjanya.Jam sepuluh pagi mereka bertiga turun bersama beberapa karyawan dari divisi lain. Mereka akan naik bus yang sudah disediakan perusahaan. Karena ada sepuluh karyawan yang berangkat. Seperti biasa, Rian bergabung dengan dua manajer yang ikut bersamanya. Dina duduk bersama karyawan lain di kursi belakang Rian. Sedangkan Lia memilih duduk di kursi panjang paling belakang.Menceritakan penemuan yang ia lihat tadi. Ditambah Rian dan Dina memasukan barang yang bukan ponsel mereka ke tas masing-masing. Kursi paling belakang tidak hanya ramai dengan cerita empatg orang. Bahkan karyawan yang duduk di kursi depan juga tertarik untuk mendengar.“Jadi Dina tidak selingkuh dengan Pak Hermawan, tapi
Tiga hari berlalu tanpa terasa. Hari ini adalah hari terakhi Rian menginap di rumah Dina. Pagi itu ia bangun lebih pagi dari sang istri. Biasanya di rumah Tiara, istri tuanya bangun lebih dulu lalu menyiapkan segala keperluannya pagi itu. Berbanding terbalik dengan Dina yang masih asyik tidur hingga jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Karena Dina baru akan berangkat ke kantor jam sembilan pagi. Kesalahan yang ia toleransi sejak mereka pacaran.Rian meraih salah satu ponsel diatas meja. Dia terlalu sibuk membaca berkas hingga tidak memperhatikan ponsel mana yang ia ambil. Padahal dua ponsel yang ada diatas laci memiliki merk yang berbeda. Tanpa memeriksa ponsel yang ia pegang, Rian memasukan barang itu ke tasnya. Dia keluar dari kamar. Memeriksa di dapur apakah ada makanan tersisa atau tidak. Kalau ada makanan yang bisa dihangatkan, dia bisa makan di rumah. Namun jika tidak ada Rian terpaksa membeli makanan diluar.Saat tudung saji tersingkap, tidak ada makanan yang diharapkan. Ria
Rencana untuk menginap di rumah Riska dan Heri batal. Saat melihat rekaman kamera CCTV dan mendengar penjelasan Riska lewat telepon, Bu Mirna memutuskan kembali tinggal di rumah Tiara. Urusan pekerjaan Pak Joko sudah diserahkan pada asisten kepercayaan selama puluhan tahun. Jadi saat Rian pergi ke rumah Dina keesokan harinya, Tiara bisa tenang. Tidak perlu memusingkan kedatangan dukun dan asistennya. Walau mereka sudah menandatangani surat perjanjian dengan Rian di kantor polisi.Tidak banyak yang bisa ia lakukan karena Bu Mirna membantu sebagian besar pekerjaannya. Anak-anak bermain bersama Pak Joko saat waktu luang. Melihat tukang yang mengganti pagar. Bu Mirna istirahat di lantai dua. Membiarkan Tiara menyelesaikan novelnya.Tiara tengah berada di kamar utama. Bersandar ke dinding. Meletakan ponselnya diatas nakas. Dia memijat pangkal keningnya yang sedikit pusing. Ternyata menjadi penulis tidak mudah. Ia cukup beruntung mendapat sedikit penghasilan, dari cuitan di grup masih belum
Benar saja. Bos besarnya yang bernama Pak Hendra turun dari mobil. Wajah tuanya yang cekung sempat tertuju pada mobil Pak RT. Dia melenggang ke rumah Dina. Rian masih ingin mengawasi semuanya. Namun dia tidak enak pada Pak RT. Jadi Rian segera melajukan mobil itu.Sudah ada satu orang yang lebih dulu tahu tentang keberadaan Dina. Walaupun Pak RT tidak bertanya atau dia tidak memberi tahu, kalau Dina adalah istri keduanya. Di mobil mereka berbincang seperti biasa. Kesibukan Rian tidak membuatnya kaku dalam urusan para tetangga.“Saran saya lebih baik pagar rumah anda diganti lebih tinggi. Lalu semua tembok pembatas diberi beling.” Pak RT menjelaskan usul dari perangkat desa untuk semua warganya.“Iya. Terima kasih Pak RT.”Mobil berhenti di depan rumah Pak RT. Rian pamit lalu berjalan menuju rumahnya yang hanya berjarak satu kilometer dari rumah perangkat desa itu. Dia memperhatikan pagar rumahnya yang memang pendek. Dulu Rian merasa aman membangun rumah di wilayan ini. Karena itulah d
Di rumah Dina, wanita itu baru saja pulang dari apartemen direkturnya yang sedang berkunjung ke Yogyakarta. Selain memuaskan nafsu si pria tua, mereka juga membicarakan korupsi yang dilakukan Rian. Dina mengakui kalau dia yang membuat Rian melakukan semua itu karena ingin dapat banyak uang. Awalnya Dina merasa tenang karena yakin tidak aka nada masalah. Bukannya dibela, dia justru dimaki habis-habisan.“Apa yang kamu pikirkan sampai membuat perusahaanku rugi? Kalau mau uang banyak, tinggal minta transfer dariku,” hardik pria tua itu marah.“Maaf Pak. Saya hanya menuruti keinginan orang tua.” Dina menunduk. Seumur-umur melayani bosnya, baru kali ini Dina dibentak sedemikian rupa. Padahal bosnya selalu menuruti apapun keinginan Dina. Bahkan tanpa air merah itu.Dia mengira semua aksinya akan aman karena Rian berhubungan dengannya. Siapa sangka bosnya akan murka. Dina masih menunduk. Dia berlutut di depan si pria tua yang berkacak pinggang.“Sekarang kerugian perusahaan sudah mencapai ra
“Memangnya mobil Heri kenapa Ris?” tanya Rian penasaran. Pria itu membuka kaca jendela mobilnya. Melongok dari dalam agar bisa bicara dengan adiknya.“Nggak tahu Mas. Kata Mas Heri mobilnya agak bermasalah. Jadi kami bawa ke bengkel dekat sini. Kalian mau pergi kemana?” Riska bertanya seolah-olah dia tidak tahu.“Mau liburan ke kebun binatang Nte. Ayo Tante dan Dedek pergi sama kita,” ajak Nana semangat.“Kalau liburan, keluarga intinya Kak Nana dulu. Kan sudah lama nggak keluar bareng. Biar Tante dan Dedek tunggu disini. Kasihan Dedek juga sudah mengantuk karena ikut kondangan tadi.” Riska menunjuk putranya yang menguap di gendongan.“Ya sudah kalian masuk dulu. Ini kuncinya Ris.” Tiara menyerahkan kunci rumah.Mereka masuk ke mobil. Melambai pada Riska yang menunggu di depan gerbang. Tiara terus mengawasi dari kaca spion. Dia baru bisa menghela nafas lega saat Heri datang dan mereka masuk ke rumah. Menutup gerbang rapat. Setidaknya ada Heri sebagai laki-laki yang akan menjaga rumah
Kembali ke masa SMA Tiara enam belas tahun silam. Saat dia sudah duduk di bangku kelas tiga SMA. Semua murid sibuk mempersiapkan ujian akhir sekolah dan ujian nasional. Walau begitu masih ada beberapa siswa yang punya waktu untuk berpacaran. Salah satu diantaranya adalah Tiara dan Bara.Siapa yang tidak tahu couple goals di sekolah mereka. Sejak kelas satu, Tiara terkenal sebagai siswi yang paling cantik. Wajahnya tirus dengan mata bulat. Rambut lurus dan lebat yang panjang. Belum dengan hidung mancung dan bibir tipisnya. Walau tubuhnya mungil, siapapun akan mengakui kecantikan Tiara.Begitu juga dengan Bara yang menjadi siswa favorit para siswi. Dia tinggi, kulitnya bersih, rambut cepak yang digaya ala anak muda jaman itu, wajah tampan dengan hidung mancng dan bentuk rahang yang kecil. Alisnya yang tebal semakin menambah pesona seorang Bara. Meski dikelilingi banyak perempuan, tapi hati Bara hanya tertuju pada Tiara.Satu tahun mendekati Tiara, belum juga membuahkan hasil. Padahal mer