Pandangan Tiara berkunang-kunang, kepalanya pusing, perlahan pandangannya gelap. Rian yang melihat Tiara pingsan hanya bisa terpaku. Dia tidak menyangka bisa menampar sang istri seperti tadi. Di belakang Rian, Dina tersenyum puas. Tidak ada belas kasihan di wajah bengisnya.“Ibu.” Teriakan Lily dan Nana membuat Rian mundur. Tubuhnya bergetar ketakutan. Begitu juga Dina yang tidak menyangka ada saksi yang melihat. Belum sempat Rian bereaksi, ia melihat Anggrek berlari keluar.“Tolooooong. Tolong Ibu saya,” teriak Anggrek membuat banyak warga datang ke rumah mereka.Dina berlari, sembunyi di kamar Rian. Sedangkan Rian segera menggotong tubuh Tiara. “Tolong saya Pak. Kita bawa Tiara ke Puskesmas sekarang.”Hatinya benar-benar cemas. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Rian akan membuat Tiara celaka. Syukurlah Tiara sadar begitu mereka tiba di IGD. Jarak rumah ke Puskesmas yang cukup dekat membuat Tiara cepat tertolong. Wanita itu sudah sadar saat kepalanya diobati. Kain kasa menempel di
“Biar aku pesan taksi online Bu.” Suara Anggrek memecah keheningan yang dingin. Tiara menghela nafas.‘Seharusnya aku tidak minta tolong pada Mas Rian,’ batin wanita itu pilu.Anak-anak melihat kekejaman ayah mereka lagi. Hati Tiara semakin nelangsa. Pikirannya kalut. Badan Nana sangat panas, tetapi Rian tidak mau mengantar putrinya ke rumah sakit hanya karena ingin bulan madu dengan Dina. Tidak lama kemudian taksi yang dipesan Anggrek datang.“Itu mobilnya.”“Cepat banget Kak.”“Iya Bu. Untung ada sopir paling dekat yang mengambil pesanan kita.” Anggrek menggandeng tangan Lily. Mereka masuk ke kursi belakang.Tiara menyebut nama rumah sakit terdekat agar Nana segera ditangani. Saat mobil berhenti di lampu merah, Tiara melihat mobil Rian yang berhenti disampingnya. Wanita itu mengalihkan wajah saat mendengar Rian menyebut nama Dina di telepon.“Kak Anggrek tolong hubungi Tante Riska dan Uti. Ibu butuh bantuan mereka.”“Iya Bu.” Anggrek mengirim pesan pada tante dan utinya.Ia menghela
“Kami masih akan memantaunya. Kalau begitu kami permisi dulu.” Dokter dan suster keluar ruangan.Tiara berdiri disamping Nana. Mengusap rambut si bungsu. Wajah Nana pucat, badannya panas dan bibirnya membiru. Bagaimana mungkin tidak ada yang salah dengan Nana?‘Ya Allah tolong beri kesembuhan untuk putri hamba.’ Ia melangitkan doa.“Ayah kemana Bu?” tanya Tiara saat menoleh pada Bu Mirna yang duduk termenung.“Menemui seseorang Nduk. Kita akan pakai cara lain agar Nana sembuh.”“Cara lain? Menggunakan pengobatan tradisional?” Keningnya berkerut bingung.“Tidak Nduk. Kamu akan tahu nanti.”Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Pak Joko masuk dengan seorang pria tinggi berwajah bersih. Tiara pernah melihatnya di TV. Pria itu memakai peci dan celana Panjang berwarna putih. Ia ingat kalau pria itu adalah ustad terkenal yang biasanya melakukan proses ruqyah. Tiara tidak tahu apa yang terjadi. Setelah ustad itu mendoakan Nana, badan putrinya tidak panas lagi. Nana membuka mata.“Ibu.” Lirih s
Rian menggaruk rambutnya salah tingkah. Mengingat dia pergi saat orang tuanya masih disini. Pria itu berharap Tiara masih menutupi semuanya tanpa mengetahui kalau Pak Joko dan Bu Mirna sudah tahu tentang hubungan keduanya dengan Dina.Tiara menatap kesal suaminya yang tidak merasa bersalah. Ia heran. Padahal beberapa hari lalu sudah jelas terungkap kalau dia tidak berbuat zina seperti yang dituduhkan Rian. Pria yang mereka bawa sebagai selingkuhannya juga sudah dilaporkan ke polisi. Pria itu pingsan karena tidak kuat menanggung fakta. Tiba-tiba kabur saat tidak ada orang yang berjaga.‘Apa kemarin Mas Rian pura-pura pingsan karena malu,’ batinnya bertanya-tanya.“Masih ingat pulang kamu.”“Ada berkas yang ketinggalan Yah. Sekalian mau ganti kemeja baru karena harus meeting dengan klien penting. Nanti aku jelaskan setelah pulang dari kantor.” Tangan pria itu masih menggaruk rambutnya. Gugup dan bingung bercampur menjadi satu.Karena tidak ingin Pak Joko bertanya lebih banyak, Rian berb
Rian membeku. Dia berbalik, hendak berjalan pergi menghindari istri pertamanya. Ia menyesal kenapa langsung menghardik tanpa melihat dulu siapa orangnya. Belum sempait Rian pergi, Tiara mencegahnya dengan berdiri di depan mereka.“Tunggu suami dan adik maduku, kita perlu bicara.” Perkataan Tiara menarik perhatian orang di pasar. Banyak orang berhenti belanja untuk melihat tontonan gratis.Mereka menjadi pusat perhatian. Dina yang juga memakai masker mendelik kesal. Dia tidak menyangka akan bertabrakan dengan Tiara. Begitu juga dengan Rian yang menyesal sudah mengomel pada istri pertamanya. Kalau tahu Tiara yang tidak sengaja menabrak Dina, dia akan langsung membawa Dina pergi.Diam-diam Rian menyesal menuruti permintaan Dina mencari buah di pasar ini karena alasan mengidam. Padahal ada buah yang sama di pasar dekat apartemen mereka.Rian menarik tangan Dina, hendak berlari saat lagi-lagi Tiara memegang tangannya. “Jangan pergi. Kita harus menyelesaikan masalah ini sekarang juga.”“Tid
“Assalamualaikum Bu.” Dina hendak menyalami tangan Bu Mirna, tapi ditepis. Wajahnya sempat marah, sedetik kemudian Dina kembali tersenyum. Tiara bisa melihat semuanya dari belakang Bu Mirna.“Waalaikumsalam. Tidak perlu salaman. Kalian duduk di ruang tamu. Aku tidak mau cucu-cucuku melihat keberadaanmu,” ujar Bu Mirna ketus. Kentara sekali tidak suka dengan Dina.“Tolong sambut Dina dengan hangat Bu. Dia juga menantu Ibu. Sama seperti Tiara. Dina sudah memberanikan diri datang kesini untuk menyapa Ayah dan Ibu.” Rian merangkul Dina erat. Mengusap bahu istri mudanya untuk memberi kekuatan.Tiara menatap datar pemandangan didepannya. Diam-diam menghela nafas. Meredakan rasa sakit yang kembali muncul melihat kemesraan suami dan adik madunya. Kemesraan yang tidak pernah Rian lakukan padanya sejak empat tahun lalu.“Menyapa dengan pakaian seperti itu. Sepertinya habis pergi ke pasar.”“Kami memang bertemu di pasar Bu. Aku tidak sengaja menyenggol Dina dan Mas Rian marah-marah padaku. Yah w
“Benarkan dia wanita matre. Buktinya Dina tidak mau tinggal di rumah sederhana seperti Tiara.” Bu Mirna terkekeh sambil menatap Dina sinis.Rian menghela nafas. Pria itu menggenggam tangan istri mudanya. Memberi kode lewat mata agar Dina tidak melawan ibunya lagi.“Aku juga istri Mas Rian. Sudah seharusnya Mas Rian memberikan rumah yang layak untukku. Sama seperti Mbak Tiara.”“Aku yakin kamu sudah menikmati uang Rian sejak kalian pacaran. Tiara saja tidak pernah dibelikan tas semahal itu. Sepertinya kamu juga membawa tas yang sama saat kita bertemu lagi setelah lima belas tahun.” Tunjuk Bu Mirna pada tas yang dibawa Dina.“Ehem. Aku membelikannya sebagai hadiah pernikahan Bu,” kilah Rian.“Hadiah? Dulu kamu setuju hidup sederhana dengan Tiara sampai tidak bisa membelikan hadiah yang bagus. Sekarang kamu sudah mapan malah memberikan hadiah untuk orang lain.”“Aku juga istri Mas Rian,” sela Dina tidak terima.“Saat itu kalian hanya pasangan selingkuh,” hardik Bu Mirna dengan suara rend
“Warisan Kakek?” tanya Tiara heran.Kakek Rian meninggal di tahun kelima pernikahan mereka. Saat hubungan Rian dan Tiara masih harmonis. Kakek adalah mantan Direktur Keuangan di perusakaan ternama. Sama seperti Pak Joko. Hartanya tersebar dimana-mana. Mulai dari dua rumah kontrakan, rumah kos enam pintu, sawah yang sangat luas di dua desa, dan rumah utama yang kini ditempati paman tertua Rian.Keluarga Rian membagi semua warisan itu sesuai hukum Islam yang berlaku untuk empat anak laki-laki dan dua anak perempuan. Sebagai anak laki-laki, Pak Joko mendapat bagian yang cukup besar. Termasuk tanah senilai dua miliyar. Hanya itu informasi terakhir yang Tiara tahu. Sebagai menantu dia hanya bisa melihat. Tidak berani ikut campur meski keluarga Rian sangat baik padanya. Tiara selalu berterima kasih jika mertuanya membagikan rejeki untuk keluarga kecilnya lewat Tiara. Termasuk uang kiriman lima puluh juta dari penjualan tanah kemarin.“Iya Nduk. Kami baru membahasnya empat tahun lalu. Ibu di
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah
Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama
Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten
Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.
Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu
Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku
Aurel menghela nafas. Dia menyiapkan jawaban terbaik yang akan ia kirimkan pada Tiara. Meskipun wanita itu sudah disakiti sedemikian rupa, bahkan hampir menghancurkan rumah tangganya, tapi Tiara adalah sosok yang sangat mengagumkan karena mau mengirim pesan untuk mencari tahu keadaan Dina saat ini.[Mimpi anda memang benar Bu Tiara. Telah terjadi hal buruk di rumah saya karena Dina menggunakan ilmu hitam disana. Saya mengirimnya ke rumah sakit jiwa, khusus di ruang isolasi agar Dina tidak bisa menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.Maaf tidak bisa menceritakan semuanya secara detail karena sekarang saya sedang menemani seorang ustad kenalan keluarga yang sedang meruqyah Dina. Jika anda ingin tahu lebih banyak, kita bisa bertemu di lain kesemapatan.]Aurel menekan tombol kirim. Belum ada balasan dari Tiara. Aurel juga tidak menunggu karena ia paham jika setiap orang punya kesibukan masing-masing.Wanita itu lalu menekan nomor sang suami, Hendra. Karena tujuan awalnya membuka aplikas
Aurel menundukan kepalanya dengan cara yang sangat amat sopan pada Ustad Soleh. Begitu juga dengan semua muridnya yang sebagian besar sudah bergelar ustad dan ustadzah."Selamat siang Pak Ustad. Mari kita masuk," kata Aurel meluruskan tangan kanannya dengan gestur sopan"Baik Bu Aurel," jawab Ustad Soleh tidak kalah sopannyaDua orang dengan tampilan berbeda itu berjalan bersisian. Meskipun ada jarak yang membentang di antara mereka. Bagaimanapun juga Ustad Soleh adalah seorang pemuka agama yang harus dihormati. Begitu juga dengan dua pengawal Aurel yang berjalan di belakang. Mereka berjalan bersisian dengan murid laki-laki Ustad Soleh.Mereka pergi ke meja depan. Melakukan pendaftaran untuk menjenguk Dina lalu diantar salah satu perawat menuju sel isolasi. Aurel yang sudah hafal dengan desain rumah sakit ini berjalan mantap melewati dua gedung berbeda tempat pasien dirawat.Perawat memilik rute jalur lorong. Dimana mereka hanya melewati setiap kamar yang tertutup. Tidak ada pasien ya
Tidak ada yang dapat membayangkan betapa leganya Aurel sekarang. Kondisi rumahnya sudah kembali seperti semula. Semua asisten rumah tangga dan pengawal tidak berada di bawah kendali Dina. Bu Jumi juga tidak akan diganggu lagi oleh sosok kiriman Dina. Namun masih ada satu hal lagi yang harus Dina lakukan sekarang yaitu pergi ke rumah sakit jiwa bersama Ustad Soleh dan para santrinya untuk menghapus ilmu hitam yang sempat mengikat Dina.Aurel berdiri di depan cermin kamarnya yang besar. Dia menatap pantulan dirinya yang memakai kemeja berwarna kuning. Selarang dengan kulitnya yang putih. Dipadu dengan celana hitam panjang dan blazer berwarna abu-abu. Menambah kesan mewan dari kalangan orang kaya lama. Meskipun Aurel hanya memakai sepatu murah seharga dua ratus ribu dan jam seharga lima ratus ribu.Wanita itu tidak suka menggunakan perhiasan atau barang mewah jika hanya untuk bekerja. Bukan bermaksud untuk merendah di tengah kehidupannya sebagai keluarga konglomerat. Baginya bekerja cuku