Kembali ke masa empat tahun lalu. Saat Dina pertama kali bertemu dengan Rian setelah sepuluh tahun berpisah. Dia dipindah tugaskan dari kantor utama yang ada di Jakarta karena perselingkuhannya dengan bos besar sudah terendus banyak orang. Bos besar yang merupakan pemilik perusahaan, takut kalau istrinya akan tahu. Maka Dina dipindahkan ke Yogykarta.“Carilah pria lain untuk kamu pacari. Terserah. Mau sudah punya istri atau lajang. Asal kau tetap sedia setiap kali aku panggil,” kata bos besar. Seorang pria berumur lima puluh tahun. Seumuran dengan bapaknya.“Baik Pak.”Sejak dipindahkan, Dina menjadi sekretaris Rian. Kebetulan yang sangat membuatnya senang karena bisa bertemu dengan pujaan hati. Diantara semua mantan pacarnya, Dina hanya jatuh hati dengan Rian. Siapa wanita yang tidak suka dengan pria itu? Tinggi, tampan, baik, loyal, kaya serta dari keluarga terpandang. Karena ayah Rian juga bekerja di perusahaan sebagai Direktur.Sayangnya Rian hanya menanganggapnya rekan kerja. Dia
“Ya ampun menjijikan sekali,” teriak Dina membuang botol itu keluar jendela. Dia mengambil tisu untuk mengusap wajahnya yang terasa kotor.Sadar sudah meminum air itu, Dina keluar. Dia berusaha memuntahkan air yang sudah tertelan. Sebenarnya tidak ada efek apapun untuk Dina. Hanya saja dia merasa jijik karena air yang akan ia berikan pada Bu Mirna kotor dengan darhnya sendiri.“Kenapa kamu muntah Din? Inikan hanya air putih?” Tiara menyodorkan botol air itu padanya. Botol air stainless yang harganya mahal. Biasanya Dina membawa botol itu untuk diberi pada Rian. Jika suaminya tidak membeli botol air sendiri.Dina terkesiap. Lupa kalau sedang berada di mobil yang sama dengan kakak madu dan ibu mertuanya. Dia menoleh pada Tiara dengan tatapan horror. “A—aku hanya mual. Tiba-tiba saja ingin muntah. Mungkin efek hamil Mbak.”“Ya sudah. Kita harus segera masuk mobil. Ada barang Ibu yang ketinggalan di rumah.” Tiara berbalik. Masuk lebih dulu ke mobil lalu duduk di depan.Rian dan Bu Mirna m
“Eh itu bukan Ayah sayang. Itu temannya Ayah.” Tiara berusaha berkelit. Dia tidak ingin anak-anak tahu kebejatan Rian dan Dina. Salahnya juga yang membuka pesan Dina saat masih bersama anak-anak.“Oh begitu. Aku dan Nana mau main diatas Bu. Kita naik yuk.” Lily menarik tangannya.“Nggak makan dulu?”“Nanti saja setelah Kak Anggrek pulang.” Lily menggandeng tangannya. Mereka naik ke lantai dua.Tempat yang terasa aman untuk anak-anak. Karena mereka tidak nyaman berada di ruangan yang sama dengan Rian. Sejak hari ini, Tiara tidak perlu menjemput Anggrek ke sekolah. Karena Pak Joko sudah mendaftarkan si sulung untuk ikut bus antar jemput. Setelah membayar selama sebulan.Perhatian anak-anak yang cepat teralih membuat Tiara bisa fokus lagi membuat novelnya. Kali ini dia mengedit satu bab untuk membuat promosi di fb dan tiktik. Tiara sibuk mengedit dan mengirim novelnya pada penulis jasprom yang sudah ia bayar. Dia juga melihat performa novelnya saat diunggah di akun sosial medianya sendir
Di lantai dua, ada sebuah ruangan yang Tiara ubah sebagai musala. Ruangan yang berada di pojok paling kiri. Berhadapan dengan dapur mini. Satu ruangan di pojok kanan adalah kamar Anggrek. Ruangan disebelahnya adalah kamar Lily dan Nana serta satu ruangan lagi masih kosong. Hanya dijadikan tempat barang-barang Lily dan Nana jika kamar mereka tidak muat. Rencananya Tiara hendak mengubah ruang kosong itu sebagai kamar Nana jika si bungsu sudah beradai tidur sendiri.Setelah salat subuh berjamaah di musola, anak-anak kembali ke kamar. Anggrek dan Lily mempersiapkan peralatan sekolah mereka. Nana ikut bersamanya turun ke bawah. Tiara hendak membuat sarapan dan bekal untuk suami dan anak-anaknya. Baru mengerjapakan pekerjaan rumah yang lain.“Nana tunggu di dapur ya. Ibu mau menggantung mukena di kamar dulu.”“Iya Bu.”Tiara masuk ke kamarnya. Dia melihat Rian duduk di tempat tidur dengan baju rapi. Wajah pria itu juga tampak segar. Tiara tidak mengatakan apapun. Dia terlalu malas bertegur
“Ayo kita duduk di taman Bu.” Lily menunjuk meja yang ada di tengah taman. Dengan hamparan rumput sintetis dan batu yang ditanam sejajar. Ada empat meja makan kecil dekat dengan dinding yang sudah dihias dengan tanaman menjulur. Serta tiga meja berukuran sedang di dekat bangunan utama.Letak meja yang ditunjuk Lily sangat jauh dari meja Rian dan Dina. Anak-anak tidak akan melihat keberadaan ayah mereka. Tiara ingin memberi pelajaran pada Rian dan Han. Namun tidak ingin anak-anak melihat kebersamaan Rian dengan istri keduanya. Dia memikirkan cara yang tepat.“Iya sayang.” Tiara menggandeng tangan putrinya duduk di meja itu.“Kak Lily jaga Adek ya. Ibu mau pesan makanan untuk kita. Setelah pesan, Ibu akan ke toilet sebentar. Ingat. Jangan pergi sama orang asing.”“Oke Bu.”Tiara memesan makanan di kasir. Mencatat menu yang disukai anak-anaknya. Tiara memesan dua ayam crispy dan satu ayam geprek level dua untuk dirinya sendiri. Tiga lupa tiga gelas es teh untuk diminum di siang hari yang
Matanya memandang pesan itu nanar. Tidak bisa dipungkiri hatinya tercubit. Walau tidak ada lagi rasa cinta untuk Rian, tetapi Tiara memikirkan anak-anaknya yang harus kalah dengan Dina.Belum sempat Tiara membalas, Rian mengirim pesan.[Maaf Tiara. Aku tidak bisa makan malam bersamamu dan anak-anak. Sedang ada acara kantor. Kami makan malam bersama Direktur yang baru dilantik.]Rian juga menyertakan fotonya bersama tiga orang pria. Dia mengenal dua diantaranya karena sering bertemu di acara family gathering perusahaan. Sang suami juga mengirim tiga foto lain. Termasuk foto bos baru yang wajahnya sudah disamarkan. Suasana reastaurant terasa ramai dari foto itu dengan banyak karyawan yang datang.[Tidak masalah Mas. Terima kasih sudah memberiku kabar.][Kau dan anak-anak sudah makan?] Rian kembali mengirim pesan. Lagi-lagi Rian menunjukkan perhatiannya. Sama seperti sebelumnya, tidak ada rasa senang di hati atas perhatian suami yang sudah lama Tiara harapkan. Dia merasa perhatian Rian ha
“Untuk apa kamu datang kesini?” tanya Tiara tanpa basa-basi. Dia melipat tangan di dada. Bersandar ke pintu.“Aku mau mengajak Mas Rian berangkat bersama. Tolong panggilkan suami kita. Aku menunggu di teras.” Dina menekankan kata suami.Melihat adik madunya yang tidak tahu malu., Tiara tidak merasa gentar. Tidak ada lagi sakit hati. Ia tidak akan terlihat lemah seperti saat Dina pertama kali datang ke rumah ini.“Jangan datang ke rumahku saat jatah Mas Rian disini.”“Kenapa? Aku hanya ingin berangkat bersama. Kalau anak-anak lihat, tinggal cari alasan kalau aku hanya teman ayah mereka.”“Tetap tidak boleh. Pergi sekarang juga sebelum aku memanggil para tetangga untuk meminta bantuan.” Tiara menatap tajam tidak main-main.Dina melotot mendengar ancaman kakak madunya. Dia mendengkus lalu tertawa. Tawa yang sangat meremehkan. “Memang kamu berani Mbak? Setelah memanggil para tetangga, mereka akan menggunjingmu.”“Kenapa tidak? Aku tidak peduli dengan omongan tetangga. Asal bisa mengusirmu
“Sudah kuduga,” desis Tiara kesal. Tidak mungkin Dina mau berdamai dengannya. Tujuan utama wanita itu adalah ingin menyingkirkan Tiara hingga berhasil membuat nama baiknya jelek di depan sang suami.Dia meletakan ponsel Rian lalu meraih ponselnya sendiri. Mertuanya meminta Tiara menyambungkan rekaman kamera CCTV di rumah Dina dengan ponselnya. Dia harus belajar dari Heri. Syukurlah Tiara bisa melakukannya sekarang. Tampak Dina menerima plastik berisi martabak. Dina membawa martabak itu ke dapur lalu menuangkan isinya dengan botol kecil berwarna putih. Botol yang selalu dibawa Dina. Entah dengan tujuan apa. Teringat dengan pesan Bu Mirna.“Jangan minum apa makanan semua makanan yang diberi Dina. Bahaya. Kamu harus tetap waspada dengan rutin melihat rekaman CCTV di rumahmu sendiri dan rumah Dina. Untuk berjaga-jaga jika Dina melakukan sesuatu.”Tiara memesan martabak manis dan martabak telur dari penjual martabak langganannya. Dia akan menukar martabak yang dibeli Dina dengan makanan ba
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah
Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama
Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten
Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.
Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu
Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku
Aurel menghela nafas. Dia menyiapkan jawaban terbaik yang akan ia kirimkan pada Tiara. Meskipun wanita itu sudah disakiti sedemikian rupa, bahkan hampir menghancurkan rumah tangganya, tapi Tiara adalah sosok yang sangat mengagumkan karena mau mengirim pesan untuk mencari tahu keadaan Dina saat ini.[Mimpi anda memang benar Bu Tiara. Telah terjadi hal buruk di rumah saya karena Dina menggunakan ilmu hitam disana. Saya mengirimnya ke rumah sakit jiwa, khusus di ruang isolasi agar Dina tidak bisa menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.Maaf tidak bisa menceritakan semuanya secara detail karena sekarang saya sedang menemani seorang ustad kenalan keluarga yang sedang meruqyah Dina. Jika anda ingin tahu lebih banyak, kita bisa bertemu di lain kesemapatan.]Aurel menekan tombol kirim. Belum ada balasan dari Tiara. Aurel juga tidak menunggu karena ia paham jika setiap orang punya kesibukan masing-masing.Wanita itu lalu menekan nomor sang suami, Hendra. Karena tujuan awalnya membuka aplikas
Aurel menundukan kepalanya dengan cara yang sangat amat sopan pada Ustad Soleh. Begitu juga dengan semua muridnya yang sebagian besar sudah bergelar ustad dan ustadzah."Selamat siang Pak Ustad. Mari kita masuk," kata Aurel meluruskan tangan kanannya dengan gestur sopan"Baik Bu Aurel," jawab Ustad Soleh tidak kalah sopannyaDua orang dengan tampilan berbeda itu berjalan bersisian. Meskipun ada jarak yang membentang di antara mereka. Bagaimanapun juga Ustad Soleh adalah seorang pemuka agama yang harus dihormati. Begitu juga dengan dua pengawal Aurel yang berjalan di belakang. Mereka berjalan bersisian dengan murid laki-laki Ustad Soleh.Mereka pergi ke meja depan. Melakukan pendaftaran untuk menjenguk Dina lalu diantar salah satu perawat menuju sel isolasi. Aurel yang sudah hafal dengan desain rumah sakit ini berjalan mantap melewati dua gedung berbeda tempat pasien dirawat.Perawat memilik rute jalur lorong. Dimana mereka hanya melewati setiap kamar yang tertutup. Tidak ada pasien ya
Tidak ada yang dapat membayangkan betapa leganya Aurel sekarang. Kondisi rumahnya sudah kembali seperti semula. Semua asisten rumah tangga dan pengawal tidak berada di bawah kendali Dina. Bu Jumi juga tidak akan diganggu lagi oleh sosok kiriman Dina. Namun masih ada satu hal lagi yang harus Dina lakukan sekarang yaitu pergi ke rumah sakit jiwa bersama Ustad Soleh dan para santrinya untuk menghapus ilmu hitam yang sempat mengikat Dina.Aurel berdiri di depan cermin kamarnya yang besar. Dia menatap pantulan dirinya yang memakai kemeja berwarna kuning. Selarang dengan kulitnya yang putih. Dipadu dengan celana hitam panjang dan blazer berwarna abu-abu. Menambah kesan mewan dari kalangan orang kaya lama. Meskipun Aurel hanya memakai sepatu murah seharga dua ratus ribu dan jam seharga lima ratus ribu.Wanita itu tidak suka menggunakan perhiasan atau barang mewah jika hanya untuk bekerja. Bukan bermaksud untuk merendah di tengah kehidupannya sebagai keluarga konglomerat. Baginya bekerja cuku