Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.
Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.
“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.
Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika Anggrek percaya dengan foto itu, dia akan mengadu pada kedua mertuanya. Masalah ini akan jadi semakin rumit.
“Wanita di foto ini bukan Ibu.” Anggrek memegang tangan kanan Tiara lalu menyandingkannya dengan foto itu.
“Eh.” Tiara hanya bisa mengerjap bingung. Cepat sekali Anggrek tahu jika wanita di foto itu bukan dirinya. Padahal Tiara juga sudah melakukan hal yang sama sebelumnya. Mengamati salah satu foto dengan detail untuk mencari letak perbedaannya.
Anggrek menuntun Tiara agar duduk di tepi tempat tidur. Ia memperlihatkan foto itu lagi pada sang ibu. Foto yang berbeda dengan foto lain yang dilihat Tiara tadi. “Lihat Bu. Wanita di foto ini tidak punya tanda lahir di tangan kanannya. Tepat sebelum siku.”
Pandangan Tiara beralih pada tangannya sendiri. Dia memang punya tanda lahir berwarna merah seukuran koin besar yang bentuknya abstrak. Sedangkan wanita di foto itu tidak mempunyai tanda lahir yang sama. Tangan kanannya terlihat memeluk pria dalam foto sehingga Anggrek dan Tiara bisa melihat perbedaannya dengan jelas.
“Terima kasih sudah percaya pada Ibu, sayang.” Tiara memeluk Anggrek erat. Dia tidak bisa lagi menahan semua gejolak hati dari si sulung.
“Ibu yang sabar ya. Kalau ada masalah, Ibu bisa curhat sama aku.” Anggrek membalas pelukan ibunya. Untuk anak berumur dua belas tahun, sikap Anggrek memang sangat dewasa. Tiara melepas pelukannya.
“Insya allah. Anggrek juga harus cerita semua suka duka Anggrek pada Ibu,” ujar Tiara tidak ingin mematahkan perhatian yang Anggrek berikan untuknya.
“Apa karena foto ini Ayah berubah Bu?” tanya Anggrek pelan. Gadis remaja itu memberikan foto yang ia pegang pada Tiara.
Tiara segera memasukan semua foto ke amplop yang sama. Meletakannya sejenak di tempat tidur. Ia menggenggam erat tangan Anggrek. “Ibu tidak tahu, tetapi apapun yang terjadi Ibu harap Tiara terus berdoa untuk Ayah agar dia bisa percaya pada Ibu. Doakan juga Ayah kembali ke jalan yang benar.”
“Kenapa Ayah dan Ibu tidak berpisah saja? Aku akan membantu Ibu menjaga adik-adik setelah kita keluar dari rumah ini. Aku juga bisa berjualan seperti temanku untuk membantu Ibu,” usul Anggrek membuat Tiara terhenyak. Anggrek sudah berpikir sampai kesana. Si sulung tidak mengerti seandainya mereka merealisasikan hal itu, Rian akan mengambil hak asuh Anggrek dan kedua adiknya dari Tiara,
“Karena Ibu berharap Ayah bisa berubah. Dulu Ibu tidak tahu alasan sikap Ayah berubah pada kita. Setelah Ibu mengetahuinya, Ibu bisa mencari solusi untuk masalah kita. Jangan pikirkan masalah orang dewasa. Ibu sedang mencari pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Jadi kamu tidak perlu berpikir untuk membantu Ibu mencari uang.”
“Tapi Bu.”
“Sudah ya. Anggrek naik ke atas sekarang. Kasihan Lily dan Nana tidak ada yang menjaga. Ibu akan lanjut membersihkan kamar ini.” Pinta Tiara memutus percakapan mereka. Anggrek hanya mengangguk lalu keluar dari kamar.
Setelah Anggrek keluar, Tiara menjajarkan foto USG dan foto-foto tidak senonoh dengan wajah dirinya di tempat tidur. Memotretnya satu per satu dengan perasaan jijik. Ia menahan semuanya agar mendapat bukti. Lalu Tiara merapikan semuanya dan memasukan kedua map itu ke laci.
“Aku pastikan kamu akan menyesal karena lebih percaya dengan foto ini tanpa bertanya padaku dulu Mas.” Tiara menatap laci yang tertutup lalu merapikan seprai yang sedikit berantakan. Dia memastikan tidak ada jejak dirinya dan Anggrek di kamar ini.
***
Waktu bergulir cepat. Tanpa terasa siang sudah berganti malam. Jarum jam menunjuk angka sembilan. Tiara memastikan ketiga putrinya sudah tidur lalu turun ke bawah. Wanita itu masuk ke kamar utama. Suasana sepi menyambutnya. Tidak ada barang Rian yang tersisa di kamar ini. Pria itu sudah memindahkan semuanya ke kamar tamu.
Tiara duduk di tepi tempat tidur. Mengambil ponsel yang ia temukan di kamar tamu. Membuka galeri untuk melihat foto USG Dina yang ia ambil tadi. Sekali lagi, dunia Tiara terasa hancur berkeping-keping. Lebur menjadi serpihan kecil. Tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan dalam rumah tangga ini. Tiara kembali menangis. Meratapi nasib pernikahannya yang sudah di ujung tanduk. Dia teringat dengan pesan ibunya sebelum menikah.
“Jangan gampang berpikir untuk bercerai jika rumah tangga kalian terasa hambar Nduk. Selama Rian tidak selingkuh, melakukan KDRT dan masih memberi nafkah, maka pertahankan rumah tanggamu. Namun jika Rian melanggar salah satu dari tiga penyebab itu, carilah bukti yang akurat. Agar kamu tidak bernasib sama seperti mantan istri Pakdemu.”
Mengingat nasihat ibunya membuat Tiara jadi terbayang wajah teduh sang Ibu. Keluarga Tiara memang bukan orang berada seperti keluarga Rian. Ayahnya adalah seorang guru honorer yang hanya dibayar enam ratus ribu setiap bulan. Selain itu, ayahnya mengelola sepetak kebun. Sedangkan ibunya berprofesi sebagai buruh di salah satu laundry milik tetangga.
Saat Rian melamarnya di usia sembilan tahun, pria itu berjanji untuk memenuhi kebutuhan keluarga Tiara. Siap memberikan bantuan apapun yang terjadi. Tiara cukup menjadi ibu rumah tangga agar bisa menjaga anak-anak di rumah. Sesuai janjinya, Rian terus membantu keluarganya jika mengalami kesusahan. Meski hubungan mereka sudah renggang sejak empat tahun lalu. Namun ketergantungan Tiara pada Rian, membuat pria itu lebih mudah mengikatnya agar tidak bisa pergi begitu saja.
Tiara mengusap air matanya. Dia mengetikan pencarian untuk mencari pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Tanpa sengaja Tiara melihat sebuah iklan kelas menulis. Syarat bergabung hanya membayar seratus ribu rupiah dan seratus ribu untuk membeli buku jika sudah lulus kelas.
Tiara menyimpan nomor WA lalu menghubungi orang yang sudah mengiklankan. Bertanya beberapa hal. Dia mantap bergabung dengan kelas menulis online. Pekerjaan ini bisa ia lakukan dari rumah sembari mengurus rumah dan anak-anak. Rian tidak akan curiga. Tiara juga sudah punya pengalaman menulis karena dia bergabung dengan klub jurnalis saat sekolah.
“Apa aku harus meminjam uang pada Ibu untuk mendaftar?” tanya Tiara bingung. Dalam keheningan kamar wanita itu menghela nafas berat.
‘Mungkin aku memang harus meminjam uang pada Ibu. Mudah-mudahan beliau punya.’ Batin Tiara nelangsa memikirkan harus meminjam uang pada ibunya sendiri.
Sekali lagi, Tiara membaca keterangan yang tertulis serta testimony pada peserta. Ada beberapa orang yang mengaku bisa mendapat uang jutaan rupiah dalam waktu singkat. Ada juga yang perlu proses karena hanya mendapat seratus hingga lima ratus ribu per bulan.
“Apa aku bisa sukses dengan cara menulis?” gumam Tiara dalam keheningan kamar. Tiara tidak punya ide lagi.
Dia berbaring di tempat tidur. Melihat jarum jam yang terus bergerak. Tiara mendengar derap langkah Rian yang cepat. Pintu yang terbuka dan tertutup berdebam keras. Wanita itu bangkit. Tiara teringat dengan ponsel yang ia temukan di kamar tamu masih tergeletak di atas laci. Dia segera mengambil ponsel itu lalu berjalan membuka lemari. “Dimana aku harus menyembunyikan ponsel ini?”
Tiara memindai seisi lemari. Hingga matanya melihat kota beukuran sedang berisi album pernikahan. Dengan cepat Tiara mengambil kotak itu lalu menyembunyikan ponsel disana. Baru saja ia menutup lemari, pintu kamar terbuka dengan suara keras. Rian masuk ke kamar utama dengan wajah marah.
“Apa tadi kau masuk ke kamarku?” tanya Rian dengan nada menyeramkan.
Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pe
Tiara menutup matanya. Air mata mengalir dari sela-sela jari. Dia tidak bisa lagi menahan tangis yang menyesakan dada. Masih terdengar suara Rian di kamar yang bicara dengan lembut untuk Dina. Berbeda saat pria itu bicara dengan Tiara dan anak-anak mereka. Datar dan dingin. Seolah mereka adalah orang asing untuk Rian.“Kamu pengertian sekali sayang. Padahal Ibu pernah berkata buruk padamu, tetapi kamu masih memikirkan kesehatan Ibu. Kamu benar. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar tidak membuat penyakit jantung Ibu semakin buruk. Beliau pasti sangat terkejut kalau aku memberi tahu Tiara sudah selingkuh dengan pria lain.” Rian kembali bicara tentang ibunya.Ibu mertua Tiara divonis mengidap penyakit jantung lima tahun lalu. Seluruh keluarga kompak menjaganya agar penyakit ibunya Rian tidak kambuh. Termasuk tidak memberi tahu berita buruk yang terjadi. Karena itulah Rian selalu berpura-pura mesra dihadapan orang tuanya. Agar ibu mertua Tiara tidak curiga ada masalah di rumah tangga
Tiara hanya tersenyum. Ternyata Rian tidak berani membuktikan semua tuduhan Dina padanya. Mulai dari tuduhan Dina kalau dia sudah mengadu pada ibu mertua sampai tuduhan Dina tentang foto-foto tidak senonoh dengan wajahnya.“Walau tanpa dirimu, aku akan membuktikannya sendiri Mas.” Tiara keluar dari kamar sambil menyimpan semua foto yang Rian kirim ke G****e Drive lalu membalas pesan Rian.[Kalian memang pengecut karena tidak mau membuktikan semua tuduhan Dina padaku. Oh iya, selamat untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku akan membuktikan jika aku bukan barang bekas. Walau Dina itu barang baru, tetap saja murahan. Mana ada wanita berkelas yang menjadi pacar suami orang? Kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Pengecut dan murahan.]Tiara memasukan ponselnya ke saku. Dia harus menjaga Nana yang bermain sendiri di ruang tengah. Pekerjaan rumah sudah selesai. Tiara duduk di sofa membuat bab baru untuk novel online. Sembari mengawasi Nana yang bermain boneka barbie. TV yang menyala
“Alhamdulillah,” seru Tiara senang.“Saya bisa memberi pernyataan lisan tentang kepalsuan foto ini.” Haris memberikan ponsel dan foto yang yang sudah dicetak. Menjadi satu dengan foto yang dibawa Tiara. Pria itu tidak bertanya banyak hal. Hanya menjalankan pekerjaannya secara professional. Meski pekerjaan utamanya adalah guru.“Terima kasih banyak Pak. Berapa biaya yang harus saya bayar?”“Anda bisa membayar pada kasir yang berjaga di lantai satu. Saya sudah mengirim jasa konsultasi anda padanya,” jawab Haris ramah.Tiara diam. Dia ingat dengan ponsel rahasia Rian yang ia bawa di tas. Wanita itu mengambil ponsel Rian lalu memberikannya pada Haris. “Tolong buka kata sandi ponsel ini. Biayanya bisa digabung dengan jasa pemeriksaan foto.”Mata Haris terbelalak begitu layar ponsel menyala. Namun pria itu tidak bertanya apapun. Dia bisa membuka kode sandi ponsel dengan mudah lalu memberikannya lagi pada Tiara. “Sudah terbuka.”“Terima kasih Pak. Saya permisi dulu.”“Sama-sama Bu.”Hatinya s
“Assalamualaikum Nduk,” sapa ibu mertuanya yang bernama Bu Mirna.“Eh. Assalamualaikum Ayah, Ibu.” Tiara menyalami mertuanya.“Waalaikumsalam.”Mereka masuk ke rumah. Tiara mengunci pintunya lagi. Meski heran dengan kedatangan mertuanya yang mendadak, Tiara tetap bersikap tenang. Apalagi Bu Mirna baru mengirim pesan kalau dia baru bisa datang minggu depan karena harus rewang di rumah tetangga.“Bangunkan Rian Nduk. Ayah ingin berangkat salat di masjid dengannya. Kami naik dulu buat menata barang di kamar.”“Iya Yah.”Setelah memastikan mertuanya naik ke lantai dua, Tiara masuk ke kamar Rian. Dia memperhatikan Rian yang masih terlelap. Kilas balik kejadian beberapa tahun lalu seperti film yang terputar di kepalanya.Setelah Rian memperingatinya untuk tidak memberi tahu masalah mereka pada Pak Joko dan Bu Mirna, wanita itu memilih diam. Dua hari kemudian mertuanya datang ke rumah. Sikap Rian berubah seperti semula. Perhatian dan penyayang. Anak-anak sangat senang karena sikap ayah mereka
“Iya Bu,” jawab Tiara. Ia merasa heran karena ibu mertuanya terdengar membenci Dina saat membicarakan nama wanita itu.“Kenapa Rian bisa berubah Nduk? Apa yang sudah wanita itu lakukan hingga mempengaruhi Rian?” tanya Bu Mirna penasaran.Tiara menunjukkan foto dengan wajahnya dan pria asing. Dengan suara lirih, Dina menceritakan temuannya tentang foto-foto ini lalu membawanya ke pakar telematika. Tidak lupa wanita itu juga menunjukkan bukti yang diberikan Haris jika foto itu sudah diedit. Tiara bukan wanita yang ada dalam foto.“Dasar bodoh. Bisa-bisanya Rian lebih percaya dengan wanita itu tanpa menanyakannya lebih dulu padamu,” geram Bu Mirna tidak habis pikir.“Padahal dulu Rian sudah menuruti permintaan Ibu untuk menjauhi Dina. Kenapa sekarang dia lebih percaya dengan wanita itu.” Bu Mirna mengusap wajahnya kesal. Pandangannya tertuju pada tembok.“Mungkin Mas Rian memang tidak bisa melupakan Dina, Bu. Dia menikahiku hanya sebatas pelarian. Saat mantan pacarnya memberikan bukti pal
Tiara segera pergi saat Dina berbalik. Dia tidak tahu apa minuman yang ingin diberikan Dina pada mertuanya, tetapi ia punya firasat buruk jika minuman itu mengandung racun. Wanita itu duduk disamping Bu Mirna lalu berbisik, “Aku melihat Dina memasukan sesuatu ke botol air Bu. Sepertinya ada yang aneh.” “Wanita itu memang gila. Kamu jangan minum air yang Dina berikan Nduk,” bisik Bu Mirna. Tidak lama kemudian Dina datang. Ia meletakan empat botol air di meja. “Maaf kalau saya mengganggu. Sebagai permintaan maaf, saya hanya bisa memberikan botol air.” “Tidak perlu. Kita langsung bicara pada intinya. Apa yang hendak kalian lakukan dengan pria ini?” sela Pak Joko menunjuk pria misterius yang duduk di bawah. “Setidaknya berterima kasihlah pada Dina, Yah,” ujar Rian tidak terima pacarnya diabaikan. Rian seperti buta karena cinta hingga terus membela Dina. “Jangan bertele-tele. Apa yang sedang kalian rencanakan?” Pak Joko tidak peduli dengan keluhan Rian. Tiara tersenyum sinis menatap
“Tidak mungkin Bu. Untuk apa Dina memberikan guna-guna,” bantah Tiara tidak percaya.“Ibu sudah mengira jika kamu tidak bisa percaya begitu saja. Namun ini kenyataannya Nduk. Lima belas tahun lalu Dina pernah membuat Rian kabur dari rumah karena kami tidak setuju dengan hubungan mereka. Ibu mencari tahu siapa Dina. Orang tuanya bekerja di sawah milik dukun.”“Hanya itu Bu?” tanya Tiara skeptis.“Setelah kami cari tahu, orang tua Dina juga suka berhutang. Banyak rentenir dan orang bank yang menunggu di depan rumah. Ibu tidak ingin Dina menikah dengan Rian karena takut wanita itu hanya memaanfaatkan kekayaan kami. Sehari setelah kami menolak hubungan mereka, Rian kabur dari rumah. Kami membiarkan untuk memberi pelajaran bahwa tidak semua keinginan anak harus dituruti,Meski begitu, Ayah tetap meminta bantuan pada saudara yang menjadi polisi untuk melacak keberadaan Rian. Belum sempat kami melakukan pencarian, dia pulang ke rumah. Minta maaf dan memohon restu untuk hubungan mereka. Ibu t
Semua teka-teki akhirnya terjawab. Rian menghela nafas. Menutup matanya dengan punggung tangan. Satu hal yang mengganjal harus segera ia tanyakan pada Aurel. Karena Rian tidak mungkin menjaga Dina dan orang tuanya selama dua puluh empat jam sampai Aurel berhasil melakukan rencananya.Rian kembali mengetikan pesan yang menjadi keresahannya saat ini. Setidaknya dia bisa mendapat bantuan dari Aurel.[Maaf jika saya bertanya seperti ini padahal anda sudah memercayakan saya untuk menjaga Dina dan kedua orang tuanya. Saya tidak hanya ingin bertanya, apakah ad acara lain saya menjaga Dina? Karena tidak mungkin saya mengawasinya selama dua puluh empat jam per minggu.]Tidak membutuhkah waktu lama untuk Aurelmembalas pesannya. Sepertinya wanita itu sedang memegang ponsel hingga bisa membalas pesan Rian dengan lebih leluasa.[Tenang saja. Aku sudah menempatkan orang suruhan untuk mengawasi gerak-gerik Dina dan orang tuanya. Kamu cukup menjaganya tetap disisimu sebagai pasangan suami istri. Dina
Rian menghubungkan semua percakapannya dengan Aurel. Termasuk rencana atasannya untuk menahan Dina agar tetap di kota ini. Aurel selalu menjelaskan sepotong demi sepotong. Seolah ia ingin Rian memecahkan teka-teki yang sudah ia susun. Kali ini teka-teki itu adalah tentang dompet Aurel yang berada di kamarnya dan Dina.Hanya ada kartu KTP dan kertas-ketas nota berisi pengambilan uang yang kosong. Rian merasa aneh karena Dina bisa menguras semua uang di kartu-kartu ini. Tidak mungkin Aurel teledor membiarkan orang lain tahu kartu pinnya.“Kecuali kalau ini adalah jebakan,” gumam Rian yang baru menyadari rencana Aurel.Pria itu meletakan dompet Aurel di tempatnya semula. Dia keluar dari kamar dan kembali ke ruang kerjanya. Pria itu merasa perlu menghubungi atasannya. Bagaimanapun juga dia harus tahu detail rencana Aurel.Dia mengirim pesan pada Aurel. Tanpa mereka sadari hubungan atasan dan bawahan sudah berubah selayaknya rekan kerja setara. Sejujurnya Rian merasa Aurel adalah orang yan
Rian bisa masuk ke ruang kerjanya dengan mudah. Menyembunyikan botol air dan makanan ke lemari berisi dokumen. Rian juga tidak menyingkirkan semua dokumen itu meski dia sudah resign. Setelah memasukan semua cemilan ke lemari, dia menguncinya dua kali lalu mencabut kunci yang sudah jadi satu dengan kunci mobil dan rumah.Jam tujuh tepat, Dina mengetuk pintu. Waktunya makan malam. Rian pura-pura tidur. Dia masih harus mencari banyak cara agar tidak memakan makanan yang mereka berikan. Karena tidak ada sahutan dari sang suami, Dina membuka pintu. Melihat Rian yang kepalanya rebah di atas meja.“Yah. Mas Rian ketiduran.” Suara Dina terdengar semakin jelas saat masuk ke ruangannya.Tidak lama kemudian Dina keluar. Rian masih bertahan dengan posisinya. Dina masuk lagi lalu meletakan makanan yang sudah ibunya masak di atas nakas. “Aku harap kau mau melunak pada kami Mas,” gumam Dina di telinga Rian. Dia tidak sadar kalau Rian tidak terlelap. Pria itu bisa mendengar dengan jelas perkataan ist
“Bapak yakin cara ini akan manjur?” tanya Dina heran. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Rian segera sembunyi dibalik tembok. Tidak ingin ketahuan sedang mengintip kegiatan istri muda dan orang tuanya.“Kita coba saja dulu. Toh foto yang kamu berikan bukan milik mereka. Kita sudah memotret Rian, Tiara dan keluarganya diam—diam lalu menceoatmk foto itu sendiri,” jawab bapak Dina menjelaskan semuanya.“Kenapa kita harus melakukan hal ini Pak? Toh kita juga akan pindah ke Lombok.”“Kamu kira bisa pergi dengan bebas saat kamu masih menikah dengan Rian? Kamu itu sadar atau tidak sih Din kalau itu sudah diawasi sejak pindah kesini sama mertuamu. Bapak baru tahu kalau ada kamera CCTV tersembunyi di rumah. Semua pergerakan kita akan ketahuan.” Bapak Dina menoleh sejenak. Rian bisa melihat dengan jelas wajahnya yang cemong dengan asap pembakaran.Bau menyengat yang semakin menusuk membuat Rian menutup hidungnya. Dia baru sadar kalau ini adalah bau kemenyan. Tiba-tiba bulu kuduknya bergidi
Rian bisa bekerja dengan tenang. Dia melajutkan pekerjaannya. Membuat rekap selama setahun terakhir, termasuk menyertakan kesalahan yang sempat ia perbuat. Walau menurut Aurel penggantinya sudah dipersiapkan untuk menjaga rahasia mereka. Namun dia tidak mau orang baru itu menghubunginya hanya untuk menanyakan tentang masa lalu yang hampir menjebloskannya ke penjara.Sore harinya pekerjaan sudah selesai. Lia membuka pintu. Sudah memakai jaket dan maskernya. Bersiap hendak pulang. Seperti biasa wanita itu hendak pamit pada atasannya jika beluk keluar dari ruangan.“Pak Rian mau lembur ya?” tanyanya memastikan. Di belakang Lia, Dina melongok ke dalam. Memastikan sang suami nanti bisa pulang bersamanya.“Iya. Kamu bisa tolong saya sebentar Lia. Soalnya tadi pagi kamu yang memegang pekerjaan ini,” pinta Rian menunjukkan berkas yang diletakan Lia di mejanya sebagai alasan.“Baiklah,” jawab Lia ringan. Sudah biasa baginya jika ada pekerjaan tambahan.“Kalau begitu saya duluan Pak,” pamit Di
“Apa?” Danu hampir menyemburkan makanannya. Untung saja pria itu bisa menelan smeuanya hingga tandas.“Kamu bencanda Yan?” tanya Danu tidak percaya. Rian menggeleng. Wajahnya masih serius seperti tadi.“Aku nggak bercanda Dan. Aku serius.” Rian menghela nafas lalu menceritakan semuyanya pada Danu.Dia tidak perduli jika Danu tidak percaya dengan ceritanya. Karena satu-satunya orang yang bisa ia percaya di kantor hanya Danu. Apalagi Danu juga bekerja untuk Aurel. Di titik dimana Rian sadar hari ini kalau sudah mendapat guna-guna dari Dina.Ia ingin berpisah dari Dina sekarang juga atau mencampakan istri mudanya di hari pernikahan mereka. Namun perjanjiannya dengan Aurel membuat Rian tidak bisa mewujudkan keinginannya.“Aku masih harus menjaga Dina untuk satu bulan ke depan. Sampai Bu Aurel selesai melakukan pekerjaannya yang entah aku tidak tahu apa. Aku bingung Dan. Bagaimana caraku membohongi Dina?”Danu masih diam. Tangannya bertumpu di atas meja. Dia tidak bisa banyak berkomentar d
Rian memandang lurus ke depan. Dina melambaikan tangan di depan wajah suaminya. Wanita itu belum menyadari apa yang terjadi. Dia mengambil botol yang sudah ia campur dengan air merah lalu memberikannya pada Rian.“Minum dulu Mas.” Dina mengulurkan botol air itu tepat di depan wajah sang suami.“Terima kasih Din,” jawab Rian tanpa menoleh.Pria itu berusaha menata pikirannya. Dia mengatur ekspresi sedemikian rupa agar Dina tidak curiga. Saat menoleh, Rian bisa menampilkan senyum palsu yang tampak normal di mata Dina.“Maaf aku injak rem mendadak. Tadi ada anak kecil lewat. Kamu tidak lihat?” tanya Rian memastikan. Dina menggeleng.“Tidak. Aku sibuk berkirim pesan dengan tukang dekor. Ya sudah jalankan lagi mobilnya. Kita harus sampai di kantor tepat waktu.” Dina mengembalikan botol air ke tempatnya.“Oke.”Seperti biasa, Dina akan turun di halte yang jaraknya cukup jauh dari kantor. Rian melanjutkan perjalanan seorang diri. Di mobil, pria itu berpikir bagaimana cara membohongi Dina ten
Dina berhasil menemukan dua gaun yang ia sukai. Setelah urusan baju pengantin selesai, Dina mengajak Rian pergi ke MUA langganannya. Seorang MUA yang terkenal di kalangan selebgram.“Aku sudah lama akrab dengannya. Dia tidak menuntut kliennya memakai gaun pengantin di butiknya. Jadi, tidak akan masalah kalau kita hanya memakai jasa riasnya saja.” Cerita Dina semangat. Dia tidak sabar menantikan seperti apa penampilannya di hari pernikahan resminya dengan Rian.Meskipun Dina tidak bisa membayangkan reaksi teman-teman sekantornya saat melihat ia berdampingan dengab Rian di atas pelaminan. Wanita itu tidak tahu kalau kemungkinan besar mereka tidak jadi mengundang teman-teman kantor karena Rian sudah resign lebih dulu.Kemarin Rian sudah membicarakan hal ini dengan orang tua dan istri pertamanya. Karena Rian diam-diam keluar dari perusahaan berkat bantuan Aurel, akan menjadi banyak tanda tanya untuk karyawan yang lain.“Bagaimana kalau aku batal mengundang teman-teman kantorku? Aku tidak
Dina bergaya di depan cermin. Disaat Tiara masih menikmati waktu dengan Rian di rumah mereka. Hari ini dia senang sekali bisa pergi dengan Rian setelah sekian lama bersembunyi. Dina juga tidak perlu takut ada yang memergoki mereka karena statusnya yang sudah sah jadi istri siri Rian. Apalagi mereka akan meresmikan pernikahan secara sah dimata hukum.Wanita itu tidak mengetahui jika besok adalah hari terakhir Rian bekerja. Berkat bantuan Aurel tidak ada satu orangpun yang tahu tentang alasan pengunduruan diri Rian dan Dian. Itu berarti Dina akan bekerja beberapa hari tanpa Rian.Jam sembilan pagi, terdengar mobil yang berhenti di depan rumahnya. Dina memasukan ponsel dan dompet ke tas lalu berjalan keluar. Dia memakai kemeja kerja dan rok selutut seperti biasa. Karena setelah dari butik mereka akan langsung pergi ke kantor untuk bekerja.Sebelum keluar, Dina mengintip dari jendela. Dia hanya ingin berjaga-jaga jika Dukun Deri atau Pak Hermawan yang datang. Memang benar jika mobil Rian