Tiara membeku. Kejadian yang berlalu sangat cepat membuat Tiara tidak bisa berpikir. Tiba-tiba Rian menamparnya lalu menuduh sudah mengadu pada ibu mertuanya. Tiara tidak senekat itu karena mengetahui kondisi kesehatan ibu mertuanya. Karena Tiara juga sudah menganggap ibu Rian sebagai ibu kandungnya sendiri.
“Aku tidak pernah mengadu pada Ibu kalau kau akan menikah dengan Dina.” Tiara menatap Rian marah. Dia tidak gentar sama sekali dengan kemarahan sang suami.
“Jangan bohong. Dina sampai stres karena makian Ibu. Selain itu, kamu juga tidak memikirkan kondisi Ibu saat memberi tahu hubunganku dan Dina.” Rian mencengkram bahu Tiara semakin erat. Wanita itu berusaha menahan erangan sakitnya.
Dia memilih bertahan menerima perlakuan buruk ini, untuk mendapat bukti kekerasan fisik yang sudah dilakukan sang suami. Meski hatinya terasa sangat sakit, Tiara berusaha tegar. Matanya balas menatap tajam. “Aku berkata jujur. Kalau kau tidak percaya periksa saja ponselku. Buka semuanya. Mulai dari WA, sosial media hingga email.”
“Percuma aku membuka ponselmu. Kau pasti sudah menghapus semuanya.”
“Kalau kau masih tidak percaya, kita bisa pergi ke toko service ponsel. Semua data yang terhapus bisa dikembalikan dengan mudah.” Tantang Tiara membuat Rian terdiam.
“Kita bisa buktikan aku atau Dina yang berbohong.”
“Baik. Besok aku akan mengajak Dina ke toko service ponsel langgananku. Kita bertemu disana.”
Rian pergi begitu saja. Dia tidak pamit. Tiara menghela nafas. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Tiara tidak pernah tahu jika Rian sering pergi ke toko service ponsel. Untuk apa? Toh dia bisa membeli ponsel mahal dengan logo apel. Ponsel yang juga Rian berikan di hari jadi pernikahan mereka yang pertama. Tiba-tiba kenangan masa lalu seperti kaset yang berputar di kepalanya.
Tiga belas tahun berumah tangga membuat Rian berubah jadi pria yang tak acuh. Sikapnya tidak sehangat dulu saat mereka masih pacaran. Di awal pernikahan manisnya madu masih bisa ia teguk. Kehamilan Tiara tidak lama setelah mereka menikah membuat Rian sangat bahagia.
Masa pacaran yang singkat selama enam bulan sudah membuat Tiara tahu watak Rian yang keras, egois dan tidak suka dibantah. Namun Tiara tetap menyukainya karena Rian adalah pacar yang romantis dan mau mendengar keluh kesahnya. Dia mantap menerima pinangan sang kekasih karena orang tua Rian juga menyukainya.
Kelahiran anak pertama dan anak kedua mereka membuat Tiara mulai sibuk. Tidak bisa memberikan perhatian untuk suaminya lagi. Meski begitu, Rian tetap memberi perhatian sebagai suami dan ayah yang baik. Dia tidak segan membantu Tiara melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak-anak lalu melakukan deep talk atau percakapan antara suami istri sebelum tidur.
Sayangnya sebelum kehamilan anak ketiga empat tahun lalu, sikap Rian mulai berubah. Dia sering pulang malam dengan alasan lembur atau pergi ke rumah teman. Mengabaikan anak-anak yang membutuhkan perhatian ayah mereka. Sering keluar kota dengan alasan pekerjaan. Hingga pertengkaran demi pertengkaran tidak terelakkan lagi. Rasa cinta diantara mereka yang menggebu perlahan menipis hingga akhirnya hilang tak bersisa.
Tiara yang lelah menghadapi perubahan Rian, memilih mengabaikan suaminya. Dia terpaksa menjalani pernikahan ini demi ketiga buah hatinya yang masih kecil. Dalam setiap sujud, Tiara selalu berdoa agar Rian bisa berubah seperti dulu. Tidak perlu pulang tepat waktu, cukup memberi perhatian padanya dan anak-anak. Itu sudah lebih dari cukup untuknya.
Siapa sangka jika Rian pulang membawa wanita lain. Mereka juga berani bermesraan dihadapannya. Namun satu hal yang masih membuat Tiara bingung. Apa alasan Rian mempertahankan rumah tangga mereka jika dia ingin menikah dengan Dina? Apa karena kondisi ibu mertuanya?
Pandangannya tertuju pada kamar tamu. Entah kenapa dia ingin sekali masuk kesana. Sudah sebulan lebih Tiara tidak membersihkan kamar yang sekarang dipakai Rian. Mereka memang sudah pisah ranjang sejak setahun yang lalu dengan alasan agar Rian tidak mengganggu tidur Tiara jika pria itu pulang malam. Rian hanya mendatanginya saat butuh pelampiasan hasrat.
Kakinya melangkah masuk. Membuka pintu yang tidak terkunci. Keningnya berkerut heran. Padahal setiap pergi Rian selalu mengunci kamar tamu. Tidak mengijinkan siapapun masuk tanpa seijinnya. Pria itu rela membersihkan kamarnya sendiri atau kalau dia meminta Tiara membersihkan kamarnya, maka Rian akan mengawasi sang istri.
Baru saja Tiara masuk, dia melihat ponsel dengan casing biru dongker di atas laci. Wanita itu duduk di tepi tempat tidur. Saat menekan layar, terlihat foto Rian dan Dina. “Ponsel siapa ini?”
Dia membuka kunci layar lalu membuka WA. Sayangnya ada pola yang membuatnya tidak bisa membuka aplikasi itu. Tiara memasukan ponsel itu ke saku. Dia akan membawanya saat pergi ke toko service ponsel bersama Rian dan Dina.
Ia membuka laci yang ada disamping tempat tidur. Ada map dengan logo rumah sakit dan departemen kandungan. Tiara mengambil map itu lalu membuka isinya. Terpampang hasil pemeriksaan dengan nama Dina beserta USG janin berusia tiga bulan. Tangan Tiara bergetar. Hasil USG ini membuktikan jika Dina sudah hamil di luar nikah.
“Jadi ini alasan mereka akan menikah?” Tangannya mencengkram foto USG hingga berkerut. Tiara menggigit bibirnya. Alasan Rian menikahi Dina hanya karena ingin punya anak laki-laki hanya bualan. Sang suami menutupi kesalahan yang ia buat hingga membuahkan janin di perut Dina.
Memikirkan hal itu membuat hati Tiara semakin perih. Dia tidak menyangka jika Rian tega berhianat di belakangnya. Tiara memukul dadanya. Tidak tahan dengan masalah rumah tangga yang kali ini hampir menghancurkan pernikahannya.
“Astaghfirullah.” Wanita itu mengucap kalimat istighfar berulang kali. Sembari menghela nafas hingga perasaannya tenang.
Tiara memegang kepalanya yang terasa berputar. Kenyataan demi kenyataan yang hadir hari ini membuat hati Tiara hancur berkeping-keping. Dia sudah tidak kuat lagi. Ingin rasanya pergi sekarang juga, tetapi wajah anak-anak yang membayang mengurungkan niatnya.
“Apa yang harus kulakukan Ya Allah? Tolong beri hamba petunjuk.” Wanita itu mengusap wajahnya gusar.
Semua pikiran itu berpilih seperti benang kusut. Tiara masih berpikir bagaimana caranya mencari pekerjaan dari rumah. Menutupi kenyataan jika Rian akan menikah dengan Dina dari anak-anak dan mertuanya. Apalagi kondisi kesehatan ibu mertuanya yang tidak baik.
Tiara mendongak. Menatap plafon kamar berwarna putih. Beralih pada lemari yang berisi semua pakaian Rian. Ada juga dua koper besar yang terletak di sudut jika Rian pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan. “Pasti saat itu Mas Rian pergi ke rumah Dina,” gumam Tiara sendu. Matanya kembali beralih pada laci yang masih terbuka.
Saat Tiara hendak menutup laci, dia tidak sengaja melihat amplop berwarna coklat. Keningnya berkerut dalam. Sebelumnya Tiara tidak pernah melihat amplop itu ada di laci. Rasa penasarannya membumbung tinggi. Tiara meletakan map yang berisi hasil pemeriksaan Dina lalu mengambil map lain di laci.
Mata wanita itu kembali terbuka lebar. Kali ini matanya terasa berkundang-kunang saat dia bisa melihat dengan jelas ada sepuluh foto dengan dua pemeran. Satunya adalah seorang pria tinggi berwajah tampan dengan mata sipit. Sedangkan pemeran wanita memiliki wajah yang sama persis dengannya. Tangannya bergetar lagi. Kali ini lebih hebat. Dia tidak menyangka bisa menemukan foto yang membuat pernikahannya hampir hancur.
Hatinya menolak untuk melihat foto-foto itu lebih lama. Terlihat dengan jelas si pria berada disamping wanita itu. Tubuh mereka hanya tertutup selimut sampai ke dada, memperlihatkan bahu yang terbuka. Tiara berusaha mencari perbedaan yang mencolok, tetapi tidak bisa. Foto itu jelas seperti asli. Ia tidak bisa lagi mencari cara kecuali meminta bantuan orang lain. Namun, dalam hati kecilnya Tiara terlalu malu jika ada orang lain yang melihat foto tidak senonoh yang menampilkan wajahnya. Walaupun foto ini hanya editan semata.
“Siapa yang sudah menjebakku? Apakah foto ini perbuatan Dina?” Mata Tiara terasa berkunang-kunang. Dia sudah tidak kuat lagi menghadapi kenyataan bahwa perubahan sikap Rian selama ini hanya karena beberapa lembar foto. Karena terlalu fokus dengan foto yang ada di tangannya, wanita itu tidak menyadari saat putri sulungnya membuka pintu. Perlahan Anggrek menutup pintu lalu berjalan mendekat hingga Anggrek bisa melihat foto yang dipegang ibunya.
“Astagfirullah,” jeritan Anggrek membuat Tiara menoleh. Semua foto yang pegang jatuh ke lantai. Membuat Anggrek bisa melihat semuanya.
Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika
Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pe
Tiara menutup matanya. Air mata mengalir dari sela-sela jari. Dia tidak bisa lagi menahan tangis yang menyesakan dada. Masih terdengar suara Rian di kamar yang bicara dengan lembut untuk Dina. Berbeda saat pria itu bicara dengan Tiara dan anak-anak mereka. Datar dan dingin. Seolah mereka adalah orang asing untuk Rian.“Kamu pengertian sekali sayang. Padahal Ibu pernah berkata buruk padamu, tetapi kamu masih memikirkan kesehatan Ibu. Kamu benar. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar tidak membuat penyakit jantung Ibu semakin buruk. Beliau pasti sangat terkejut kalau aku memberi tahu Tiara sudah selingkuh dengan pria lain.” Rian kembali bicara tentang ibunya.Ibu mertua Tiara divonis mengidap penyakit jantung lima tahun lalu. Seluruh keluarga kompak menjaganya agar penyakit ibunya Rian tidak kambuh. Termasuk tidak memberi tahu berita buruk yang terjadi. Karena itulah Rian selalu berpura-pura mesra dihadapan orang tuanya. Agar ibu mertua Tiara tidak curiga ada masalah di rumah tangga
Tiara hanya tersenyum. Ternyata Rian tidak berani membuktikan semua tuduhan Dina padanya. Mulai dari tuduhan Dina kalau dia sudah mengadu pada ibu mertua sampai tuduhan Dina tentang foto-foto tidak senonoh dengan wajahnya.“Walau tanpa dirimu, aku akan membuktikannya sendiri Mas.” Tiara keluar dari kamar sambil menyimpan semua foto yang Rian kirim ke G****e Drive lalu membalas pesan Rian.[Kalian memang pengecut karena tidak mau membuktikan semua tuduhan Dina padaku. Oh iya, selamat untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku akan membuktikan jika aku bukan barang bekas. Walau Dina itu barang baru, tetap saja murahan. Mana ada wanita berkelas yang menjadi pacar suami orang? Kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Pengecut dan murahan.]Tiara memasukan ponselnya ke saku. Dia harus menjaga Nana yang bermain sendiri di ruang tengah. Pekerjaan rumah sudah selesai. Tiara duduk di sofa membuat bab baru untuk novel online. Sembari mengawasi Nana yang bermain boneka barbie. TV yang menyala
“Alhamdulillah,” seru Tiara senang.“Saya bisa memberi pernyataan lisan tentang kepalsuan foto ini.” Haris memberikan ponsel dan foto yang yang sudah dicetak. Menjadi satu dengan foto yang dibawa Tiara. Pria itu tidak bertanya banyak hal. Hanya menjalankan pekerjaannya secara professional. Meski pekerjaan utamanya adalah guru.“Terima kasih banyak Pak. Berapa biaya yang harus saya bayar?”“Anda bisa membayar pada kasir yang berjaga di lantai satu. Saya sudah mengirim jasa konsultasi anda padanya,” jawab Haris ramah.Tiara diam. Dia ingat dengan ponsel rahasia Rian yang ia bawa di tas. Wanita itu mengambil ponsel Rian lalu memberikannya pada Haris. “Tolong buka kata sandi ponsel ini. Biayanya bisa digabung dengan jasa pemeriksaan foto.”Mata Haris terbelalak begitu layar ponsel menyala. Namun pria itu tidak bertanya apapun. Dia bisa membuka kode sandi ponsel dengan mudah lalu memberikannya lagi pada Tiara. “Sudah terbuka.”“Terima kasih Pak. Saya permisi dulu.”“Sama-sama Bu.”Hatinya s
“Assalamualaikum Nduk,” sapa ibu mertuanya yang bernama Bu Mirna.“Eh. Assalamualaikum Ayah, Ibu.” Tiara menyalami mertuanya.“Waalaikumsalam.”Mereka masuk ke rumah. Tiara mengunci pintunya lagi. Meski heran dengan kedatangan mertuanya yang mendadak, Tiara tetap bersikap tenang. Apalagi Bu Mirna baru mengirim pesan kalau dia baru bisa datang minggu depan karena harus rewang di rumah tetangga.“Bangunkan Rian Nduk. Ayah ingin berangkat salat di masjid dengannya. Kami naik dulu buat menata barang di kamar.”“Iya Yah.”Setelah memastikan mertuanya naik ke lantai dua, Tiara masuk ke kamar Rian. Dia memperhatikan Rian yang masih terlelap. Kilas balik kejadian beberapa tahun lalu seperti film yang terputar di kepalanya.Setelah Rian memperingatinya untuk tidak memberi tahu masalah mereka pada Pak Joko dan Bu Mirna, wanita itu memilih diam. Dua hari kemudian mertuanya datang ke rumah. Sikap Rian berubah seperti semula. Perhatian dan penyayang. Anak-anak sangat senang karena sikap ayah mereka
“Iya Bu,” jawab Tiara. Ia merasa heran karena ibu mertuanya terdengar membenci Dina saat membicarakan nama wanita itu.“Kenapa Rian bisa berubah Nduk? Apa yang sudah wanita itu lakukan hingga mempengaruhi Rian?” tanya Bu Mirna penasaran.Tiara menunjukkan foto dengan wajahnya dan pria asing. Dengan suara lirih, Dina menceritakan temuannya tentang foto-foto ini lalu membawanya ke pakar telematika. Tidak lupa wanita itu juga menunjukkan bukti yang diberikan Haris jika foto itu sudah diedit. Tiara bukan wanita yang ada dalam foto.“Dasar bodoh. Bisa-bisanya Rian lebih percaya dengan wanita itu tanpa menanyakannya lebih dulu padamu,” geram Bu Mirna tidak habis pikir.“Padahal dulu Rian sudah menuruti permintaan Ibu untuk menjauhi Dina. Kenapa sekarang dia lebih percaya dengan wanita itu.” Bu Mirna mengusap wajahnya kesal. Pandangannya tertuju pada tembok.“Mungkin Mas Rian memang tidak bisa melupakan Dina, Bu. Dia menikahiku hanya sebatas pelarian. Saat mantan pacarnya memberikan bukti pal
Tiara segera pergi saat Dina berbalik. Dia tidak tahu apa minuman yang ingin diberikan Dina pada mertuanya, tetapi ia punya firasat buruk jika minuman itu mengandung racun. Wanita itu duduk disamping Bu Mirna lalu berbisik, “Aku melihat Dina memasukan sesuatu ke botol air Bu. Sepertinya ada yang aneh.” “Wanita itu memang gila. Kamu jangan minum air yang Dina berikan Nduk,” bisik Bu Mirna. Tidak lama kemudian Dina datang. Ia meletakan empat botol air di meja. “Maaf kalau saya mengganggu. Sebagai permintaan maaf, saya hanya bisa memberikan botol air.” “Tidak perlu. Kita langsung bicara pada intinya. Apa yang hendak kalian lakukan dengan pria ini?” sela Pak Joko menunjuk pria misterius yang duduk di bawah. “Setidaknya berterima kasihlah pada Dina, Yah,” ujar Rian tidak terima pacarnya diabaikan. Rian seperti buta karena cinta hingga terus membela Dina. “Jangan bertele-tele. Apa yang sedang kalian rencanakan?” Pak Joko tidak peduli dengan keluhan Rian. Tiara tersenyum sinis menatap
“Lalu sekarang Rian masih bertahan dengan Dina?” tanya bapak Tiara tenang.Wajah tuanya terlihat berpikir. Pikiran orang tua mana yang tidak bercabang kalau mendengar cerita rumah tangga sang putri yang berada diambang kehancuran. Meskipun itu semua karena ulah orang ketiga. Dulu saat Rian meminta Tiara baik-baik padanya, bapak Tiara percaya Rian bisa menjaga dan mencintai sang putri sepenuh hati. Sayangnya harapan bapak Tiara musnah karena kehadiran Dina yang memberikan guna-guna pada Rian.Begitu juga dengan ibu Tiara. Wanita paruh baya itu merasa sangat sedih dengan takdir yang menimpa anak perempuannya. Namun di sisi lain bapak dan ibu Tiara tidak bisa marah pada sang menantu. Semua ini diluar rencana mereka karena Rian terkena guna-guna dari Dina.Tiara menghela nafasnya sejenak. Dia menatap wajah sang bapak yakin. “Mas Rian sudah berpisah dari Dina. Rencana pernikahan mereka yang tinggal beberapa hari lagi dibatalkan,” jawab Tiara yakin.“Maksudnya apa Nduk? Sekarang mereka suda
Tubuh bapak dan ibu Tiara terasa membeku. Mereka berpandangan satu sama lain. Tidak menyangka kata cerai akan muncul dari bibir Tiara. Melihat wajah sang ibu yang sangat kaget dan bapaknya yang menatap tajam, Tiara hanya bisa menunduk. Dia tidak kuasa menghadapi kekecewaan di mata orang tuanya.“Tapi kenapa Nduk? Bukankah selama ini rumah tanggamu dan Rian baik-baik saja?” tanya ibunya heran.Wanita paruh baya itu bangkit. Berjalan menelilingi meja lalu duduk disamping Tiara. Tangannya menggenggam tangaan sang putri erat. Apalagi melihat air mata yang menggenang di kelopak mata indah sang putri. Ibu Tiara juga tidak tega melihat anaknya sesedih ini.“Perceraian bukan keputusan yang bisa diambil secara gampang Nduk. Harus dipikirkan pertimbangan yang masak. Terlebih kamu adalah perempuan. Tidak bisa menggugat suami begitu saja. Kamu baru bisa berpisah dari Rian jika dia melakukan kekerasan dalam rumah tangga atau selingkuh,” kata bapaknya tanpa tahu apa yang terjadi.Wanita itu sudah m
Tiara berdandan di depan meja riasnya. Menutup matanya yang gelap karena sering bangun pagi untuk mengetik novel. Dia memakai pelembap, sunscreen, foundation baru yang terakhir bedak. Setidaknya wanita itu ingin menunjukkan pada orang tuanya kalau kondisinya sekarang sudah baik-baik saja. Terlepas dari prahara yang sempat membuat emosinya naik turun selama beberapa tahun terakhir.Wanita itu memakai gamis berwarna biru muda yang dipadukan dengan jilbab berwarna abu-abu. Tidak lupa ia memakai sandal tinggi untuk menunjang penampilannya dalam hal tinggi badan. Dia mengambil tas, memasukan dompet dan ponselnya kesana. Tidak lupa mengambil kunci motor dari laci.Saat keluar dari kamarnya, suasana ruang tengah terasa sepi. Tidak terdengar celoteh anak-anak karena Angggrek dan Lily sedang sekolah. Hanya Nana sendiri di lantai dua bermain ditemani kakung dan utinya. Wanita itu memutuskan untuk naik ke lantai dua guna berpamitan pada putri bungsu dan kedua mertuanya.Benar saja tebakan Tiara,
Aktivitas Tiara pagi ini berjalan seperti biasa. Sebelum subuh dia sudah menyelesaikan dua bab novel dan mengedit bab sebelumnya. Lalu keluar kamar untuk salat subuh. Saat bertemu dengan Rian tadi, hati Tiara sempat berdebar sebentar. Entah apa penyebabnya. Mas Rian mengatakan kalau dia akan tinggal disini selama rumah kontrakan itu belum dibersihkan.Ada yang berdenyut nyeri dalam sudut hatinya saat Rian mengatakan kalau dia akan tinggal disana selama menunggu keputusan Tiara. Rian tidak ingin membuat Tiara merasa tersiksa dengan keegoisannya. Padahal Rian sudah ikhlas melepasnya setelah tahun-tahun menyakitkan yang harus ia lalui. Namun kenapa Tiara justru merasa sedih.“Kamu jadi pergi ke rumah orang tuamu Nduk?” tanya Bu Mirna saat mereka tengah membuat sarapan bersama. Tiara tidak perlu khawatir dengan anak-anak karena mereka bermain di lantai dua bersama Pak Joko. Persiapan sekolah Anggrek dan Lily juga sudah disiapkan. Jadi dia bisa memasak dengan tenang bersama Bu Mirna.“Jadi
Dina akhirnya dibawa pergi bersama orang tuanya. Rian berjalan mengikuti di belakang mereka. Tidak ada perawat atau dokter jaga yang menghentikan mereka. Rian hanya mengamati dalam diam. Aurel berhenti di ruang tunggu IGD. Pria itu memilih berdiri di belakang mantan atasannya itu.“Kita bisa bicara disini,” kata Aurel lalu duduk di kursi paling belakang.Rian mengikuti lalu duduk disampingnya. Suasana hening tidak membuat kecanggungan diantara mereka. Rian mengeluarkan sebotol air dari tasnya lalu memberikan botol itu pada Aurel.“Minum dulu Bu,” ucap Rian perhatian.Aurel mengangguk. Dia menerima botol pemberian Rian lalu berkata, “Terima kasih.”“Maaf aku menggagalkan pernikahanmu,” kata Aurel setelah hening yang cukup lama.“Tidak masalah Bu. Sebenarnya saya juga yang menyebabkan orang tua Dina sakit. Seandainya saya tidak punya niat pergi ke rumah keluarga adik saya, mungkin rencana orang tua Dina bisa berjalan mulus dan kami terpaksa tetap melangsungkan pernikahan,” kata Rian ten
Apakah Dina sedih dengan kenyataan kalau dia akan berpisah dari Rian? Tentu saja sangat sedih. Namun Dina tidak bisa melakukan apapun. Setelah bicara seperti itu, Aurel justru diam saja. Dia bangkit dari kursinya lalu berbalik mendekati ranjang bapak Dina. Mata mengintimidasinya sudah sirna, berganti dengan kebencian yang mengendap setelah mengetahui semua dalang kerusuhan orang tuanya bulan lalu. Itulah bapak Dina.“Pindahkan mereka ke panti jompo milik Luna. Bawa sekalian wanita ini,” kata Aurel memberi perintah.“Baik Bu,” jawab pengawal dibelakangnya.Dina mendongak. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Tubuhnya yang sudah membaik kembali gemetar hebat. Mulutnya terbuka dan tertutup. Ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada satu patah katapun yang keluar. Bibirnya hanya bergerak seperti ikan koi. Tenaga Dina yang masih lemas juga belum kembali saat ada beberapa orang berbaju hitam masuk. Dua wanita yang memakai baju yang sama dengan rambut disanggul membantu Dina ber
Tubuh Dina bergetar. Wanita yang berdiri di hadapannya benar-benar mengintimidasi. Tubuh Dina terasa lemah hingga ke tulang. Saat berusaha berdiri, ia justru terjatuh. Bersimpuh di kaki Aurel yang mengenal high heels tinggi untuk menunjang penampilannya.“Kenapa kau ketakutan seperti itu? Apakah wajahku terlihat sangat menyeramkan?” tanya Aurel dengan nada manis.Seorang pria botak bertubuh tinggi dengan badan kekar dan kacamata yang menutup matanya, mengambil kursi yang tadi ditempati oleh Dina. Aurel duduk di kursi itu. Menyilangkan kaki jenjangnya tepat di hadapan Dina. Dia menunjuk tirai yang akan menutup bed tiga dan empat di sebrang. Untunglah para keluarga yang berjaga masih tidur.Jadi mereka tidak bisa mendengar keributan di ruangan yang sama. Setidaknya Dina tidak akan merasa malu karena diperhatikan banyak orang. Dalam hatinya, wanita itu bersyukur karena Rian tidak ada disana. Jadi sang suami tidak perlu melihatnya dalam keadaan seperti ini.Dina memperbaiki posisi dudukny
Dua jam sebelumnya saat Rian baru sampai di rumah Tiara, Dina mengikuti para perawat yang membawa orang tuanya ke ruang perawatan lantai dua. Ia sibuk berkirim pesan dengan staff panti jompo.[Saya tidak pernah membatalkan reservasi saya. Hanya ini nomor saya satu-satunya yang bisa menghubungi anda. Jadi tidak mungkin saya yang membatalkan pesanan reservasi.]Tidak membutuhkan waktu lama saat pesannya dibalas. Sambil bersandar ke dinding lift, Dina fokus menatap layar ponselnya.[Maaf Bu. Saya juga sudah mengatakan hal itu pada kepala yayasan. Selama ini pembatalan reservasi selalu lewat staff. Say sendiri tidak bisa menolak keputusan kepala yayasan. Sekali lagi saya minta maaf.]Pesan balasan dari staff disana membuat kepala Dina terasa semakin berdenyut. Langkahnya terasa melayang saat ranjang orang tuanya keluar dari dua lift yang berbeda. Mereka masuk ke ruang melati nomor satu. Sudah ada dua pasien lain yang lebih dulu menempati ruang rawat itu. Ranjang bapak dan Ibu Dina diletak
Selepas kepergian Rian, Tiara merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sayangnya walaupun sudah berbaring, matanya tidak bisa kunjung terpejam. Tiara masih memikirkan perkataan Rian tadi.Padahal dia harus bangun dua jam kemudian agar bisa mengetik novel. Walaupun Rian sudah tahu tentang pekerjaannya, tapi pria itu tidak menanyakan berapa yang didapat Rian sekarang. Tiara juga tidak cerita. Jadi dia tidak memberi tahu berapa penghasilannya sekarang.Karena tidak bisa tidur, Tiara justru ingin buang air kecil. Dia turun dari kasur lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka. Setelah menyelesakan urusannya, Tiara langsung kembali ke tempat tidur. Dia justru berdiri didepan nakas kecil yang berjejer dua foto. Foto pertama adalah foto orang tuanya dan yang kedua adalah foto keluarga kecil mereka. Foto yang penuh kepalsuan. Karena saat itu Rian masih bersikap tidak acuh pada mereka. Saat itu Tiara merasa sangat senang karena Rian mau melakukan foto keluarga lengkap sejak N