Mata Tiara membulat. Ia tidak menyangka Rian akan mengatakan hal itu. Setelah selama ini sang suami bersikap acuh pada anak mereka. Tiara berkata, “Hak asuh anak di bawah umur pasti jatuh pada pihak ibu. Aku yang akan memenangkan hak asuh setelah kita berpisah.”
Bibir Rian sedikit terangkat. Tersenyum sinis menatap istri yang dulu sangat ia cintai. Rian melipat tangannya di dada. Bersandar ke pintu yang sudah diketuk anak-anak mereka. Terus memanggil Tiara.
“Ibu buka pintunya. Aku takut,” kata anak keduanya.
“Ibuuuu,” teriak si bungsu.
Tiara merangsek maju hendak membuka pintu. Rian menahan tangannya. Pria itu mendorong Tiara hingga terjepit diantara dinding dan tubuhnya. Tangan Rian mencengkram bahu Tiara hingga membuat sang istri meringis kesakitan. Namun Rian tidak melepaskannya. Dia menatap tajam Tiara.
“Aku juga bisa mendapat hak asuh anak-anak karena bekerja dan punya penghasilan besar. Tidak seperti kau yang hanya ibu rumah tangga. Jika kita berpisah dengan membawa anak-anak pergi, memang apa yang akan kau lakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka? Kau sama sekali tidak punya uang Tiara. Orang tuamu juga tidak akan bisa membantu. Karena aku yang memberi uang jika keluargamu sedang kesulitan” Rian mengusap pipi Tiara lembut dengan senyum sinisnya. Perlahan tangan besar Rian mencengkram dagu Tiara erat.
“Pengadilan pasti mengabulkan gugatanku agar memenangkan hak asuh anak. Karena mereka memikirkan siapa orang tua yang punya banyak uang,” bisik Rian menakutkan.
Tubuh Tiara bergetar. Dia tidak memikirkan hal itu. Padahal Tiara sudah kerap melihat berita artis wanita yang kehilangan hak asuh anak mereka karena masalah uang. Rian melepas cengkramannya hingga tubuh Tiara luluh ke lantai. Pandangan Tiara kosong, pikirannya terasa buntu.
‘Apa yang harus kulakukan Ya Allah?’ batin Tiara menjerit pilu. Dia tidak mau dimadu. Keputusannya untuk berpisah murni karena Rian sudah berselingkuh hingga membawa wanita itu ke rumah ini.
Saat pengajuan gugatan cerai, Tiara akan menulis perselingkuhan Rian sebagai penyebab perpisahan mereka. Dengan begitu hak asuh anak akan jatuh ke tangannya. Tiara sama sekali tidak memikirkan tentang kondisinya yang tidak punya uang. Dia hanya ingin secepatnya berpisah dari Rian. Tinggal dengan ketiga anaknya lalu mencari pekerjaan. Suara dari kamar kembali menyadarkannya bahwa ada anak-anak disana.
“Cepat buat keputusan. Kau akan pergi tanpa membawa anak-anak atau menerima Dina sebagai adik madumu?” Tangan Rian terulur. Dia menunggu jawaban istrinya.
Tiara masih terdiam. Dia menatap uluran tangan sang suami. ‘Tidak ada pilihan lain. Aku harus bertahan sembari mencari cara mendapat uang dari rumah agar bisa berpisah dari Mas Rian.’
Setelah hatinya mantap, Tiara menggapai tangan Rian lalu berdiri. Pandangan suami istri itu bertemu. Ada berbagai rasa yang berkelindan dalam kepala mereka. Namun tidak ada rasa cinta sama sekali untuk satu sama lain. Hanya ada rasa sakit, cemburu dan marah. Bercampur menjadi satu.
“Baiklah aku terima kalau kau ingin menikah lagi dengan Dina, tetapi aku tidak mau tinggal satu atap dengannya.” Tiara melepas pegangan tangan mereka.
“Kau tidak perlu mengajukan syarat seperti itu. Cukup turuti perintahku untuk menerima Dina sebagai adik madumu.” Rian berdecih kesal.
“Aku tidak ingin anak-anak merasa bingung jika Dina tinggal bersama kita. Kalian pasti bermesraan di depan kami tanpa tahu tempat. Mereka sudah besar untuk bertanya kenapa kau menempel dengan wanita lain.”
“Cukup jelaskan jika sekarang mereka punya dua Ibu,” bantah Rian tidak mau kalah. Tiara balas tersenyum sinis.
“Kau memintaku untuk merahasikan pernikahan keduamu dari Ayah dan Ibu, tetapi ingin memberi tahu anak-anak. Apa kau waras Mas?” tanya Tiara sarkas. Rian melotot tajam mendengar hinaan sang istri.
“Anak-anak sangat dekat dengan Kakung dan Uti mereka. Namanya anak kecil tidak akan bisa menahan mulut untuk bercerita kalau kau sudah membawa wanita lain ke rumah ini. Apalagi dengan jelas mengatakan bahwa anak-anak punya ibu baru. Mereka pasti akan menceritakannya pada Ayah dan Ibu.” Tiara merasa di atas angin. Dia harus segera bernegosiasi agar bisa membukakan pintu untuk anak-anak.
“Baiklah. Aku tidak jadi membawa Dina tinggal di rumah ini.” Rian memberikan kunci kamar pada Tiara. Dengan cepat wanita itu membuka pintu lalu memeluk anak kedua dan ketiganya.
“Maafkan Ibu ya.” Tiara membawa kedua anaknya masuk ke kamar si sulung. Sedangkan Rian turun ke bawah.
Setelah berhasil menenangkan anak-anaknya lalu salat dhuhur bersama, Tiara duduk di tepi ranjang. Menatap kedua anaknya yang tengah tidur pulas. Sebentar lagi dia harus pergi untuk menjemput si sulung. Namun pikiran yang sedang rumit membuat tubuh Tiara sangat lemas.
“Aku tidak boleh lemah meski dipoligami. Apa yang harus kulakukan?” Tiara memijat keningnya bingung.
Pikirannya terasa buntu. Tiara tidak tahu harus melakukan apa untuk mencari kerja. Mengingat kembali kemesraan Rian dan Dina tadi membuat hatinya sakit. Jika terus begini, Tiara takut jika dia jadi gila. Hal itu akan berpengaruh pada anak-anak.
Lalu, bagaimana jika anak-anak tahu tentang pernikahan Rian dan Dina? Mereka pasti akan semakin sedih. Tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Tiara menekuk lutut. Menyembunyikan wajahnya disana. Dia menggigit bibir, menahan isak tangis agar tidak terdengar anak-anak.
“Keluar sekarang Ra. Ada yang mau aku bicarakan denganmu.” Suara Rian terdengar dari luar kamar. Tiara mendongak. Dia menghapus air matanya lalu turun dari tempat tidur. Berjalan untuk membuka pintu.
“Ada apa?” tanya Tiara tak acuh.
“Siapkan surat perjanjian yang harus kita tanda tangani. Asal kau tidak memberitahu orang tuaku tentang Dina.” Rian bersedekap. Wajahnya sangat serius. Mata Rian yang berbentuk almond menatapnya tajam. Tiba-tiba sebuah ide terlintas.
“Baik. Akan aku kirim lewat WA. Tolong urus dengan notaris jadi aku tinggal menandatanganinya.”
“Bagus. Aku harap kau menepati semua yang tertulis dalam surat perjanjian kita. Jika tidak aku yang akan menceraikanmu dan mengambil hak asuh anak-anak.” Ancam Rian dengan nada tajam. Tiara hanya tersenyum sinis.
“Tenang saja. Aku tidak akan memberi tahu Ayah dan Ibu. Namun jangan salahkan aku jika mereka tahu dari orang lain. Kalau sudah selesai, aku pamit mau menjemput Anggrek di sekolah,” kata Tiara menyebut nama anak sulungnya.
Rian masih berdiri mematung di depannya. Tanpa mempedulikan sang suami, Tiara menutup pintu. Dia mengambil ponsel lalu mengetikan sejumlah syarat untuk Rian. Baru setelah itu dia memakai sweeter dan masker untuk menjemput anak sulungnya di sekolah. Tiara keluar dari kamar lalu turun ke lantai satu. Dia tidak melihat lagi keberadaan Rian dan Dina. Wanita itu segera pergi ke garasi. Rupanya mobil Rian sudah tidak ada disana.
“Kapan mereka pergi?” gumam Tiara heran.
Tiara mengeluarkan motor dari garasi lalu melaju di tengah jalan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Hanya butuh waktu sepuluh menit hingga Tiara tiba di depan sekolah. Anak-anak kelas enam pulang setelah dhuhur karena harus mengikuti pelajaran tambahan menjelang ujian kelulusan. Meski sekarang sudah tidak ada Ujian Nasional lagi seperti saat Tiara masih sekolah dulu.
Ia menatap satu per satu siswa berseragam merah putih yang keluar dari gerbang. Tiara melambai begitu melihat keberadaan Anggrek. Putri kecilnya yang sudah beranjak remaja tingginya hampir sama dengan Tiara. Dengan rambut panjang yang diikat kuda, berkibar tertiup angin. Anggrek berlari menghampiri ibunya.
“Ibu,” sapa Anggrek riang. Anak itu menyalami tangan ibunya. Wajah Anggrek sangat mirip dengan Tiara saat masih kecil. Sedangkan perawakannya yang jangkung di usia dua belas tahun sangat mirip dengan Rian.
“Hai sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Tiara berusaha menyunggingkan senyum untuk si sulung. Tangannya mengangkat kacamata tanpa lensa yang bertengger di hidung. Kacamata yang selalu ia pakai jika naik motor.
“Alhamdulillah aku dapat nilai bagus Bu.” Anggrek memasang helm yang diberikan Tiara. Gadis kecil itu baru menyadari bahwa mata ibunya bengkak.
“Ibu menangis?” Anggrek yang peka segera bertanya. Tiara menggeleng. Walau tidak bisa menyembunyikan mata sembapnya, tetapi Tiara tidak ingin memberi tahu Anggrek sekarang.
“Nggak sayang. Hanya kelilipan. Ayo naik. Ibu takut adik-adikmu akan terbangun jika kita terlalu lama.”
“Iya Bu.”
***
Saat Tiara dan Anggrek sampai di rumah, Rian sudah duduk di ruang tengah. Wajah pria itu merah padam. Nafasnya cepat seolah Rian menahan amarahnya. Melihat kedatangan Tiara, Rian mendongak. Matanya menatap tajam dengan tangan yang terkepal erat di paha.
“Kamu naik dulu ya sayang. Ada yang mau Ibu bicarakan dengan Ayah.” Tiara mendorong tubuh anaknya agar naik ke lantai dua.
Setelah Anggrek tidak terlihat lagi, Rian berjalan dengan langkah lebar. Tangannya terayun, menampar Tiara hingga tubuh istrinyta terhuyung ke belakang. Rian mencengkram bahu Tiara erat.
“Bukankah sudah kubilang jangan mengadu pada Ayah dan Ibu hah? Karena kamu, Ibu menelepon Dina dan memaki-makinya.”
Tiara membeku. Kejadian yang berlalu sangat cepat membuat Tiara tidak bisa berpikir. Tiba-tiba Rian menamparnya lalu menuduh sudah mengadu pada ibu mertuanya. Tiara tidak senekat itu karena mengetahui kondisi kesehatan ibu mertuanya. Karena Tiara juga sudah menganggap ibu Rian sebagai ibu kandungnya sendiri.“Aku tidak pernah mengadu pada Ibu kalau kau akan menikah dengan Dina.” Tiara menatap Rian marah. Dia tidak gentar sama sekali dengan kemarahan sang suami.“Jangan bohong. Dina sampai stres karena makian Ibu. Selain itu, kamu juga tidak memikirkan kondisi Ibu saat memberi tahu hubunganku dan Dina.” Rian mencengkram bahu Tiara semakin erat. Wanita itu berusaha menahan erangan sakitnya.Dia memilih bertahan menerima perlakuan buruk ini, untuk mendapat bukti kekerasan fisik yang sudah dilakukan sang suami. Meski hatinya terasa sangat sakit, Tiara berusaha tegar. Matanya balas menatap tajam. “Aku berkata jujur. Kalau kau tidak percaya periksa saja ponselku. Buka semuanya. Mulai dari W
Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika
Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pe
Tiara menutup matanya. Air mata mengalir dari sela-sela jari. Dia tidak bisa lagi menahan tangis yang menyesakan dada. Masih terdengar suara Rian di kamar yang bicara dengan lembut untuk Dina. Berbeda saat pria itu bicara dengan Tiara dan anak-anak mereka. Datar dan dingin. Seolah mereka adalah orang asing untuk Rian.“Kamu pengertian sekali sayang. Padahal Ibu pernah berkata buruk padamu, tetapi kamu masih memikirkan kesehatan Ibu. Kamu benar. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar tidak membuat penyakit jantung Ibu semakin buruk. Beliau pasti sangat terkejut kalau aku memberi tahu Tiara sudah selingkuh dengan pria lain.” Rian kembali bicara tentang ibunya.Ibu mertua Tiara divonis mengidap penyakit jantung lima tahun lalu. Seluruh keluarga kompak menjaganya agar penyakit ibunya Rian tidak kambuh. Termasuk tidak memberi tahu berita buruk yang terjadi. Karena itulah Rian selalu berpura-pura mesra dihadapan orang tuanya. Agar ibu mertua Tiara tidak curiga ada masalah di rumah tangga
Tiara hanya tersenyum. Ternyata Rian tidak berani membuktikan semua tuduhan Dina padanya. Mulai dari tuduhan Dina kalau dia sudah mengadu pada ibu mertua sampai tuduhan Dina tentang foto-foto tidak senonoh dengan wajahnya.“Walau tanpa dirimu, aku akan membuktikannya sendiri Mas.” Tiara keluar dari kamar sambil menyimpan semua foto yang Rian kirim ke G****e Drive lalu membalas pesan Rian.[Kalian memang pengecut karena tidak mau membuktikan semua tuduhan Dina padaku. Oh iya, selamat untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku akan membuktikan jika aku bukan barang bekas. Walau Dina itu barang baru, tetap saja murahan. Mana ada wanita berkelas yang menjadi pacar suami orang? Kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Pengecut dan murahan.]Tiara memasukan ponselnya ke saku. Dia harus menjaga Nana yang bermain sendiri di ruang tengah. Pekerjaan rumah sudah selesai. Tiara duduk di sofa membuat bab baru untuk novel online. Sembari mengawasi Nana yang bermain boneka barbie. TV yang menyala
“Alhamdulillah,” seru Tiara senang.“Saya bisa memberi pernyataan lisan tentang kepalsuan foto ini.” Haris memberikan ponsel dan foto yang yang sudah dicetak. Menjadi satu dengan foto yang dibawa Tiara. Pria itu tidak bertanya banyak hal. Hanya menjalankan pekerjaannya secara professional. Meski pekerjaan utamanya adalah guru.“Terima kasih banyak Pak. Berapa biaya yang harus saya bayar?”“Anda bisa membayar pada kasir yang berjaga di lantai satu. Saya sudah mengirim jasa konsultasi anda padanya,” jawab Haris ramah.Tiara diam. Dia ingat dengan ponsel rahasia Rian yang ia bawa di tas. Wanita itu mengambil ponsel Rian lalu memberikannya pada Haris. “Tolong buka kata sandi ponsel ini. Biayanya bisa digabung dengan jasa pemeriksaan foto.”Mata Haris terbelalak begitu layar ponsel menyala. Namun pria itu tidak bertanya apapun. Dia bisa membuka kode sandi ponsel dengan mudah lalu memberikannya lagi pada Tiara. “Sudah terbuka.”“Terima kasih Pak. Saya permisi dulu.”“Sama-sama Bu.”Hatinya s
“Assalamualaikum Nduk,” sapa ibu mertuanya yang bernama Bu Mirna.“Eh. Assalamualaikum Ayah, Ibu.” Tiara menyalami mertuanya.“Waalaikumsalam.”Mereka masuk ke rumah. Tiara mengunci pintunya lagi. Meski heran dengan kedatangan mertuanya yang mendadak, Tiara tetap bersikap tenang. Apalagi Bu Mirna baru mengirim pesan kalau dia baru bisa datang minggu depan karena harus rewang di rumah tetangga.“Bangunkan Rian Nduk. Ayah ingin berangkat salat di masjid dengannya. Kami naik dulu buat menata barang di kamar.”“Iya Yah.”Setelah memastikan mertuanya naik ke lantai dua, Tiara masuk ke kamar Rian. Dia memperhatikan Rian yang masih terlelap. Kilas balik kejadian beberapa tahun lalu seperti film yang terputar di kepalanya.Setelah Rian memperingatinya untuk tidak memberi tahu masalah mereka pada Pak Joko dan Bu Mirna, wanita itu memilih diam. Dua hari kemudian mertuanya datang ke rumah. Sikap Rian berubah seperti semula. Perhatian dan penyayang. Anak-anak sangat senang karena sikap ayah mereka
“Iya Bu,” jawab Tiara. Ia merasa heran karena ibu mertuanya terdengar membenci Dina saat membicarakan nama wanita itu.“Kenapa Rian bisa berubah Nduk? Apa yang sudah wanita itu lakukan hingga mempengaruhi Rian?” tanya Bu Mirna penasaran.Tiara menunjukkan foto dengan wajahnya dan pria asing. Dengan suara lirih, Dina menceritakan temuannya tentang foto-foto ini lalu membawanya ke pakar telematika. Tidak lupa wanita itu juga menunjukkan bukti yang diberikan Haris jika foto itu sudah diedit. Tiara bukan wanita yang ada dalam foto.“Dasar bodoh. Bisa-bisanya Rian lebih percaya dengan wanita itu tanpa menanyakannya lebih dulu padamu,” geram Bu Mirna tidak habis pikir.“Padahal dulu Rian sudah menuruti permintaan Ibu untuk menjauhi Dina. Kenapa sekarang dia lebih percaya dengan wanita itu.” Bu Mirna mengusap wajahnya kesal. Pandangannya tertuju pada tembok.“Mungkin Mas Rian memang tidak bisa melupakan Dina, Bu. Dia menikahiku hanya sebatas pelarian. Saat mantan pacarnya memberikan bukti pal
Tiara berdandan di depan meja riasnya. Menutup matanya yang gelap karena sering bangun pagi untuk mengetik novel. Dia memakai pelembap, sunscreen, foundation baru yang terakhir bedak. Setidaknya wanita itu ingin menunjukkan pada orang tuanya kalau kondisinya sekarang sudah baik-baik saja. Terlepas dari prahara yang sempat membuat emosinya naik turun selama beberapa tahun terakhir.Wanita itu memakai gamis berwarna biru muda yang dipadukan dengan jilbab berwarna abu-abu. Tidak lupa ia memakai sandal tinggi untuk menunjang penampilannya dalam hal tinggi badan. Dia mengambil tas, memasukan dompet dan ponselnya kesana. Tidak lupa mengambil kunci motor dari laci.Saat keluar dari kamarnya, suasana ruang tengah terasa sepi. Tidak terdengar celoteh anak-anak karena Angggrek dan Lily sedang sekolah. Hanya Nana sendiri di lantai dua bermain ditemani kakung dan utinya. Wanita itu memutuskan untuk naik ke lantai dua guna berpamitan pada putri bungsu dan kedua mertuanya.Benar saja tebakan Tiara,
Aktivitas Tiara pagi ini berjalan seperti biasa. Sebelum subuh dia sudah menyelesaikan dua bab novel dan mengedit bab sebelumnya. Lalu keluar kamar untuk salat subuh. Saat bertemu dengan Rian tadi, hati Tiara sempat berdebar sebentar. Entah apa penyebabnya. Mas Rian mengatakan kalau dia akan tinggal disini selama rumah kontrakan itu belum dibersihkan.Ada yang berdenyut nyeri dalam sudut hatinya saat Rian mengatakan kalau dia akan tinggal disana selama menunggu keputusan Tiara. Rian tidak ingin membuat Tiara merasa tersiksa dengan keegoisannya. Padahal Rian sudah ikhlas melepasnya setelah tahun-tahun menyakitkan yang harus ia lalui. Namun kenapa Tiara justru merasa sedih.“Kamu jadi pergi ke rumah orang tuamu Nduk?” tanya Bu Mirna saat mereka tengah membuat sarapan bersama. Tiara tidak perlu khawatir dengan anak-anak karena mereka bermain di lantai dua bersama Pak Joko. Persiapan sekolah Anggrek dan Lily juga sudah disiapkan. Jadi dia bisa memasak dengan tenang bersama Bu Mirna.“Jadi
Dina akhirnya dibawa pergi bersama orang tuanya. Rian berjalan mengikuti di belakang mereka. Tidak ada perawat atau dokter jaga yang menghentikan mereka. Rian hanya mengamati dalam diam. Aurel berhenti di ruang tunggu IGD. Pria itu memilih berdiri di belakang mantan atasannya itu.“Kita bisa bicara disini,” kata Aurel lalu duduk di kursi paling belakang.Rian mengikuti lalu duduk disampingnya. Suasana hening tidak membuat kecanggungan diantara mereka. Rian mengeluarkan sebotol air dari tasnya lalu memberikan botol itu pada Aurel.“Minum dulu Bu,” ucap Rian perhatian.Aurel mengangguk. Dia menerima botol pemberian Rian lalu berkata, “Terima kasih.”“Maaf aku menggagalkan pernikahanmu,” kata Aurel setelah hening yang cukup lama.“Tidak masalah Bu. Sebenarnya saya juga yang menyebabkan orang tua Dina sakit. Seandainya saya tidak punya niat pergi ke rumah keluarga adik saya, mungkin rencana orang tua Dina bisa berjalan mulus dan kami terpaksa tetap melangsungkan pernikahan,” kata Rian ten
Apakah Dina sedih dengan kenyataan kalau dia akan berpisah dari Rian? Tentu saja sangat sedih. Namun Dina tidak bisa melakukan apapun. Setelah bicara seperti itu, Aurel justru diam saja. Dia bangkit dari kursinya lalu berbalik mendekati ranjang bapak Dina. Mata mengintimidasinya sudah sirna, berganti dengan kebencian yang mengendap setelah mengetahui semua dalang kerusuhan orang tuanya bulan lalu. Itulah bapak Dina.“Pindahkan mereka ke panti jompo milik Luna. Bawa sekalian wanita ini,” kata Aurel memberi perintah.“Baik Bu,” jawab pengawal dibelakangnya.Dina mendongak. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Tubuhnya yang sudah membaik kembali gemetar hebat. Mulutnya terbuka dan tertutup. Ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada satu patah katapun yang keluar. Bibirnya hanya bergerak seperti ikan koi. Tenaga Dina yang masih lemas juga belum kembali saat ada beberapa orang berbaju hitam masuk. Dua wanita yang memakai baju yang sama dengan rambut disanggul membantu Dina ber
Tubuh Dina bergetar. Wanita yang berdiri di hadapannya benar-benar mengintimidasi. Tubuh Dina terasa lemah hingga ke tulang. Saat berusaha berdiri, ia justru terjatuh. Bersimpuh di kaki Aurel yang mengenal high heels tinggi untuk menunjang penampilannya.“Kenapa kau ketakutan seperti itu? Apakah wajahku terlihat sangat menyeramkan?” tanya Aurel dengan nada manis.Seorang pria botak bertubuh tinggi dengan badan kekar dan kacamata yang menutup matanya, mengambil kursi yang tadi ditempati oleh Dina. Aurel duduk di kursi itu. Menyilangkan kaki jenjangnya tepat di hadapan Dina. Dia menunjuk tirai yang akan menutup bed tiga dan empat di sebrang. Untunglah para keluarga yang berjaga masih tidur.Jadi mereka tidak bisa mendengar keributan di ruangan yang sama. Setidaknya Dina tidak akan merasa malu karena diperhatikan banyak orang. Dalam hatinya, wanita itu bersyukur karena Rian tidak ada disana. Jadi sang suami tidak perlu melihatnya dalam keadaan seperti ini.Dina memperbaiki posisi dudukny
Dua jam sebelumnya saat Rian baru sampai di rumah Tiara, Dina mengikuti para perawat yang membawa orang tuanya ke ruang perawatan lantai dua. Ia sibuk berkirim pesan dengan staff panti jompo.[Saya tidak pernah membatalkan reservasi saya. Hanya ini nomor saya satu-satunya yang bisa menghubungi anda. Jadi tidak mungkin saya yang membatalkan pesanan reservasi.]Tidak membutuhkan waktu lama saat pesannya dibalas. Sambil bersandar ke dinding lift, Dina fokus menatap layar ponselnya.[Maaf Bu. Saya juga sudah mengatakan hal itu pada kepala yayasan. Selama ini pembatalan reservasi selalu lewat staff. Say sendiri tidak bisa menolak keputusan kepala yayasan. Sekali lagi saya minta maaf.]Pesan balasan dari staff disana membuat kepala Dina terasa semakin berdenyut. Langkahnya terasa melayang saat ranjang orang tuanya keluar dari dua lift yang berbeda. Mereka masuk ke ruang melati nomor satu. Sudah ada dua pasien lain yang lebih dulu menempati ruang rawat itu. Ranjang bapak dan Ibu Dina diletak
Selepas kepergian Rian, Tiara merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sayangnya walaupun sudah berbaring, matanya tidak bisa kunjung terpejam. Tiara masih memikirkan perkataan Rian tadi.Padahal dia harus bangun dua jam kemudian agar bisa mengetik novel. Walaupun Rian sudah tahu tentang pekerjaannya, tapi pria itu tidak menanyakan berapa yang didapat Rian sekarang. Tiara juga tidak cerita. Jadi dia tidak memberi tahu berapa penghasilannya sekarang.Karena tidak bisa tidur, Tiara justru ingin buang air kecil. Dia turun dari kasur lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka. Setelah menyelesakan urusannya, Tiara langsung kembali ke tempat tidur. Dia justru berdiri didepan nakas kecil yang berjejer dua foto. Foto pertama adalah foto orang tuanya dan yang kedua adalah foto keluarga kecil mereka. Foto yang penuh kepalsuan. Karena saat itu Rian masih bersikap tidak acuh pada mereka. Saat itu Tiara merasa sangat senang karena Rian mau melakukan foto keluarga lengkap sejak N
Tiara menulis apa saja yang disukai ketiga buah hatinya dan apa saja yang tidak mereka sukai. Meskipun hatinya sudah mantap untuk berpisah dari Rian, tapi Tiara tetap menyambut baik niat sang suami untuk memperbaiki hubungan dengan anak-anak mereka. Wanita itu bisa merasakan jika sejak tadi Rian terus memandang wajahnya.Kini tidak ada lagi beban di hati Tiara. Dia tidak tahu apakah masih ada cinta atau tidak dalam hatinya. Namun untuk sekarang Tiara hanya ingin menjauh dari Rian. Dia tidak ingin memberi harapan pada sang suami kalau rumah tangga mereka akan kembali seperti dulu lagi.Bagi Tiara saat ini dia sudah tidak ada beban yang mengganjal di hatinya karena sudah mendapat permintaan maaf yang tulus dari Rian. Yang teprenting saat ini adalah kebahagiaan Anggrek, Lily dan Nana yang akan mendapat kasih sayang mereka kembali setelah beberapa tahun berlalu.“Ini barang-barang yang merkea sukai. Sudah aku lingkari. Sedangkan kertas yang satu lagi adalah barang-barang serta makanan yan
Tiara terdiam. Dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu keluar dari mulut Rian saat ini juga. Walaupun dia sudah menyangka kalau sang suami akan menebak keptusannya ini setelah mengetahui kalau Tiara sudah menjadi penulis online. Walaupun Rian belum tahu detail pekerjaan dan berapa gajinya per bulan.“Kamu sudah bisa menebaknya Mas,” jawab Tiara lirih.Entah kenapa dia tidak kuasa melihat wajah sang suami yang sedih. Padahal sebelumnya Tiara benar-benar bersikap apatis pada sang suami. Namun perasaan itu hanya melingkup hatinya selama beberapa saat. Karena sedetik kemudian hati Tiara kembali membeku. Melindungi pertahanan dirinya agar tidak terluka untuk yang kesekian kalinya.“Memang. Aku sudah bisa menebaknya,” jawaban Rian kian lirih. Hampir tidak terdengar dan terbang terbawa desau angin. Seandainya keheningan mala mini tercemar suara berisik, Tiara tidaka akan bisa mendengar perkataan sang suami.“Lalu apa yang kau bicarkan lagi jika sudah tahu semuanya Mas?” tanya Tiara