Mata Tiara membulat. Ia tidak menyangka Rian akan mengatakan hal itu. Setelah selama ini sang suami bersikap acuh pada anak mereka. Tiara berkata, “Hak asuh anak di bawah umur pasti jatuh pada pihak ibu. Aku yang akan memenangkan hak asuh setelah kita berpisah.”
Bibir Rian sedikit terangkat. Tersenyum sinis menatap istri yang dulu sangat ia cintai. Rian melipat tangannya di dada. Bersandar ke pintu yang sudah diketuk anak-anak mereka. Terus memanggil Tiara.
“Ibu buka pintunya. Aku takut,” kata anak keduanya.
“Ibuuuu,” teriak si bungsu.
Tiara merangsek maju hendak membuka pintu. Rian menahan tangannya. Pria itu mendorong Tiara hingga terjepit diantara dinding dan tubuhnya. Tangan Rian mencengkram bahu Tiara hingga membuat sang istri meringis kesakitan. Namun Rian tidak melepaskannya. Dia menatap tajam Tiara.
“Aku juga bisa mendapat hak asuh anak-anak karena bekerja dan punya penghasilan besar. Tidak seperti kau yang hanya ibu rumah tangga. Jika kita berpisah dengan membawa anak-anak pergi, memang apa yang akan kau lakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka? Kau sama sekali tidak punya uang Tiara. Orang tuamu juga tidak akan bisa membantu. Karena aku yang memberi uang jika keluargamu sedang kesulitan” Rian mengusap pipi Tiara lembut dengan senyum sinisnya. Perlahan tangan besar Rian mencengkram dagu Tiara erat.
“Pengadilan pasti mengabulkan gugatanku agar memenangkan hak asuh anak. Karena mereka memikirkan siapa orang tua yang punya banyak uang,” bisik Rian menakutkan.
Tubuh Tiara bergetar. Dia tidak memikirkan hal itu. Padahal Tiara sudah kerap melihat berita artis wanita yang kehilangan hak asuh anak mereka karena masalah uang. Rian melepas cengkramannya hingga tubuh Tiara luluh ke lantai. Pandangan Tiara kosong, pikirannya terasa buntu.
‘Apa yang harus kulakukan Ya Allah?’ batin Tiara menjerit pilu. Dia tidak mau dimadu. Keputusannya untuk berpisah murni karena Rian sudah berselingkuh hingga membawa wanita itu ke rumah ini.
Saat pengajuan gugatan cerai, Tiara akan menulis perselingkuhan Rian sebagai penyebab perpisahan mereka. Dengan begitu hak asuh anak akan jatuh ke tangannya. Tiara sama sekali tidak memikirkan tentang kondisinya yang tidak punya uang. Dia hanya ingin secepatnya berpisah dari Rian. Tinggal dengan ketiga anaknya lalu mencari pekerjaan. Suara dari kamar kembali menyadarkannya bahwa ada anak-anak disana.
“Cepat buat keputusan. Kau akan pergi tanpa membawa anak-anak atau menerima Dina sebagai adik madumu?” Tangan Rian terulur. Dia menunggu jawaban istrinya.
Tiara masih terdiam. Dia menatap uluran tangan sang suami. ‘Tidak ada pilihan lain. Aku harus bertahan sembari mencari cara mendapat uang dari rumah agar bisa berpisah dari Mas Rian.’
Setelah hatinya mantap, Tiara menggapai tangan Rian lalu berdiri. Pandangan suami istri itu bertemu. Ada berbagai rasa yang berkelindan dalam kepala mereka. Namun tidak ada rasa cinta sama sekali untuk satu sama lain. Hanya ada rasa sakit, cemburu dan marah. Bercampur menjadi satu.
“Baiklah aku terima kalau kau ingin menikah lagi dengan Dina, tetapi aku tidak mau tinggal satu atap dengannya.” Tiara melepas pegangan tangan mereka.
“Kau tidak perlu mengajukan syarat seperti itu. Cukup turuti perintahku untuk menerima Dina sebagai adik madumu.” Rian berdecih kesal.
“Aku tidak ingin anak-anak merasa bingung jika Dina tinggal bersama kita. Kalian pasti bermesraan di depan kami tanpa tahu tempat. Mereka sudah besar untuk bertanya kenapa kau menempel dengan wanita lain.”
“Cukup jelaskan jika sekarang mereka punya dua Ibu,” bantah Rian tidak mau kalah. Tiara balas tersenyum sinis.
“Kau memintaku untuk merahasikan pernikahan keduamu dari Ayah dan Ibu, tetapi ingin memberi tahu anak-anak. Apa kau waras Mas?” tanya Tiara sarkas. Rian melotot tajam mendengar hinaan sang istri.
“Anak-anak sangat dekat dengan Kakung dan Uti mereka. Namanya anak kecil tidak akan bisa menahan mulut untuk bercerita kalau kau sudah membawa wanita lain ke rumah ini. Apalagi dengan jelas mengatakan bahwa anak-anak punya ibu baru. Mereka pasti akan menceritakannya pada Ayah dan Ibu.” Tiara merasa di atas angin. Dia harus segera bernegosiasi agar bisa membukakan pintu untuk anak-anak.
“Baiklah. Aku tidak jadi membawa Dina tinggal di rumah ini.” Rian memberikan kunci kamar pada Tiara. Dengan cepat wanita itu membuka pintu lalu memeluk anak kedua dan ketiganya.
“Maafkan Ibu ya.” Tiara membawa kedua anaknya masuk ke kamar si sulung. Sedangkan Rian turun ke bawah.
Setelah berhasil menenangkan anak-anaknya lalu salat dhuhur bersama, Tiara duduk di tepi ranjang. Menatap kedua anaknya yang tengah tidur pulas. Sebentar lagi dia harus pergi untuk menjemput si sulung. Namun pikiran yang sedang rumit membuat tubuh Tiara sangat lemas.
“Aku tidak boleh lemah meski dipoligami. Apa yang harus kulakukan?” Tiara memijat keningnya bingung.
Pikirannya terasa buntu. Tiara tidak tahu harus melakukan apa untuk mencari kerja. Mengingat kembali kemesraan Rian dan Dina tadi membuat hatinya sakit. Jika terus begini, Tiara takut jika dia jadi gila. Hal itu akan berpengaruh pada anak-anak.
Lalu, bagaimana jika anak-anak tahu tentang pernikahan Rian dan Dina? Mereka pasti akan semakin sedih. Tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Tiara menekuk lutut. Menyembunyikan wajahnya disana. Dia menggigit bibir, menahan isak tangis agar tidak terdengar anak-anak.
“Keluar sekarang Ra. Ada yang mau aku bicarakan denganmu.” Suara Rian terdengar dari luar kamar. Tiara mendongak. Dia menghapus air matanya lalu turun dari tempat tidur. Berjalan untuk membuka pintu.
“Ada apa?” tanya Tiara tak acuh.
“Siapkan surat perjanjian yang harus kita tanda tangani. Asal kau tidak memberitahu orang tuaku tentang Dina.” Rian bersedekap. Wajahnya sangat serius. Mata Rian yang berbentuk almond menatapnya tajam. Tiba-tiba sebuah ide terlintas.
“Baik. Akan aku kirim lewat WA. Tolong urus dengan notaris jadi aku tinggal menandatanganinya.”
“Bagus. Aku harap kau menepati semua yang tertulis dalam surat perjanjian kita. Jika tidak aku yang akan menceraikanmu dan mengambil hak asuh anak-anak.” Ancam Rian dengan nada tajam. Tiara hanya tersenyum sinis.
“Tenang saja. Aku tidak akan memberi tahu Ayah dan Ibu. Namun jangan salahkan aku jika mereka tahu dari orang lain. Kalau sudah selesai, aku pamit mau menjemput Anggrek di sekolah,” kata Tiara menyebut nama anak sulungnya.
Rian masih berdiri mematung di depannya. Tanpa mempedulikan sang suami, Tiara menutup pintu. Dia mengambil ponsel lalu mengetikan sejumlah syarat untuk Rian. Baru setelah itu dia memakai sweeter dan masker untuk menjemput anak sulungnya di sekolah. Tiara keluar dari kamar lalu turun ke lantai satu. Dia tidak melihat lagi keberadaan Rian dan Dina. Wanita itu segera pergi ke garasi. Rupanya mobil Rian sudah tidak ada disana.
“Kapan mereka pergi?” gumam Tiara heran.
Tiara mengeluarkan motor dari garasi lalu melaju di tengah jalan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Hanya butuh waktu sepuluh menit hingga Tiara tiba di depan sekolah. Anak-anak kelas enam pulang setelah dhuhur karena harus mengikuti pelajaran tambahan menjelang ujian kelulusan. Meski sekarang sudah tidak ada Ujian Nasional lagi seperti saat Tiara masih sekolah dulu.
Ia menatap satu per satu siswa berseragam merah putih yang keluar dari gerbang. Tiara melambai begitu melihat keberadaan Anggrek. Putri kecilnya yang sudah beranjak remaja tingginya hampir sama dengan Tiara. Dengan rambut panjang yang diikat kuda, berkibar tertiup angin. Anggrek berlari menghampiri ibunya.
“Ibu,” sapa Anggrek riang. Anak itu menyalami tangan ibunya. Wajah Anggrek sangat mirip dengan Tiara saat masih kecil. Sedangkan perawakannya yang jangkung di usia dua belas tahun sangat mirip dengan Rian.
“Hai sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Tiara berusaha menyunggingkan senyum untuk si sulung. Tangannya mengangkat kacamata tanpa lensa yang bertengger di hidung. Kacamata yang selalu ia pakai jika naik motor.
“Alhamdulillah aku dapat nilai bagus Bu.” Anggrek memasang helm yang diberikan Tiara. Gadis kecil itu baru menyadari bahwa mata ibunya bengkak.
“Ibu menangis?” Anggrek yang peka segera bertanya. Tiara menggeleng. Walau tidak bisa menyembunyikan mata sembapnya, tetapi Tiara tidak ingin memberi tahu Anggrek sekarang.
“Nggak sayang. Hanya kelilipan. Ayo naik. Ibu takut adik-adikmu akan terbangun jika kita terlalu lama.”
“Iya Bu.”
***
Saat Tiara dan Anggrek sampai di rumah, Rian sudah duduk di ruang tengah. Wajah pria itu merah padam. Nafasnya cepat seolah Rian menahan amarahnya. Melihat kedatangan Tiara, Rian mendongak. Matanya menatap tajam dengan tangan yang terkepal erat di paha.
“Kamu naik dulu ya sayang. Ada yang mau Ibu bicarakan dengan Ayah.” Tiara mendorong tubuh anaknya agar naik ke lantai dua.
Setelah Anggrek tidak terlihat lagi, Rian berjalan dengan langkah lebar. Tangannya terayun, menampar Tiara hingga tubuh istrinyta terhuyung ke belakang. Rian mencengkram bahu Tiara erat.
“Bukankah sudah kubilang jangan mengadu pada Ayah dan Ibu hah? Karena kamu, Ibu menelepon Dina dan memaki-makinya.”
Tiara membeku. Kejadian yang berlalu sangat cepat membuat Tiara tidak bisa berpikir. Tiba-tiba Rian menamparnya lalu menuduh sudah mengadu pada ibu mertuanya. Tiara tidak senekat itu karena mengetahui kondisi kesehatan ibu mertuanya. Karena Tiara juga sudah menganggap ibu Rian sebagai ibu kandungnya sendiri.“Aku tidak pernah mengadu pada Ibu kalau kau akan menikah dengan Dina.” Tiara menatap Rian marah. Dia tidak gentar sama sekali dengan kemarahan sang suami.“Jangan bohong. Dina sampai stres karena makian Ibu. Selain itu, kamu juga tidak memikirkan kondisi Ibu saat memberi tahu hubunganku dan Dina.” Rian mencengkram bahu Tiara semakin erat. Wanita itu berusaha menahan erangan sakitnya.Dia memilih bertahan menerima perlakuan buruk ini, untuk mendapat bukti kekerasan fisik yang sudah dilakukan sang suami. Meski hatinya terasa sangat sakit, Tiara berusaha tegar. Matanya balas menatap tajam. “Aku berkata jujur. Kalau kau tidak percaya periksa saja ponselku. Buka semuanya. Mulai dari W
Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika
Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pe
Tiara menutup matanya. Air mata mengalir dari sela-sela jari. Dia tidak bisa lagi menahan tangis yang menyesakan dada. Masih terdengar suara Rian di kamar yang bicara dengan lembut untuk Dina. Berbeda saat pria itu bicara dengan Tiara dan anak-anak mereka. Datar dan dingin. Seolah mereka adalah orang asing untuk Rian.“Kamu pengertian sekali sayang. Padahal Ibu pernah berkata buruk padamu, tetapi kamu masih memikirkan kesehatan Ibu. Kamu benar. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar tidak membuat penyakit jantung Ibu semakin buruk. Beliau pasti sangat terkejut kalau aku memberi tahu Tiara sudah selingkuh dengan pria lain.” Rian kembali bicara tentang ibunya.Ibu mertua Tiara divonis mengidap penyakit jantung lima tahun lalu. Seluruh keluarga kompak menjaganya agar penyakit ibunya Rian tidak kambuh. Termasuk tidak memberi tahu berita buruk yang terjadi. Karena itulah Rian selalu berpura-pura mesra dihadapan orang tuanya. Agar ibu mertua Tiara tidak curiga ada masalah di rumah tangga
Tiara hanya tersenyum. Ternyata Rian tidak berani membuktikan semua tuduhan Dina padanya. Mulai dari tuduhan Dina kalau dia sudah mengadu pada ibu mertua sampai tuduhan Dina tentang foto-foto tidak senonoh dengan wajahnya.“Walau tanpa dirimu, aku akan membuktikannya sendiri Mas.” Tiara keluar dari kamar sambil menyimpan semua foto yang Rian kirim ke G****e Drive lalu membalas pesan Rian.[Kalian memang pengecut karena tidak mau membuktikan semua tuduhan Dina padaku. Oh iya, selamat untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku akan membuktikan jika aku bukan barang bekas. Walau Dina itu barang baru, tetap saja murahan. Mana ada wanita berkelas yang menjadi pacar suami orang? Kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Pengecut dan murahan.]Tiara memasukan ponselnya ke saku. Dia harus menjaga Nana yang bermain sendiri di ruang tengah. Pekerjaan rumah sudah selesai. Tiara duduk di sofa membuat bab baru untuk novel online. Sembari mengawasi Nana yang bermain boneka barbie. TV yang menyala
“Alhamdulillah,” seru Tiara senang.“Saya bisa memberi pernyataan lisan tentang kepalsuan foto ini.” Haris memberikan ponsel dan foto yang yang sudah dicetak. Menjadi satu dengan foto yang dibawa Tiara. Pria itu tidak bertanya banyak hal. Hanya menjalankan pekerjaannya secara professional. Meski pekerjaan utamanya adalah guru.“Terima kasih banyak Pak. Berapa biaya yang harus saya bayar?”“Anda bisa membayar pada kasir yang berjaga di lantai satu. Saya sudah mengirim jasa konsultasi anda padanya,” jawab Haris ramah.Tiara diam. Dia ingat dengan ponsel rahasia Rian yang ia bawa di tas. Wanita itu mengambil ponsel Rian lalu memberikannya pada Haris. “Tolong buka kata sandi ponsel ini. Biayanya bisa digabung dengan jasa pemeriksaan foto.”Mata Haris terbelalak begitu layar ponsel menyala. Namun pria itu tidak bertanya apapun. Dia bisa membuka kode sandi ponsel dengan mudah lalu memberikannya lagi pada Tiara. “Sudah terbuka.”“Terima kasih Pak. Saya permisi dulu.”“Sama-sama Bu.”Hatinya s
“Assalamualaikum Nduk,” sapa ibu mertuanya yang bernama Bu Mirna.“Eh. Assalamualaikum Ayah, Ibu.” Tiara menyalami mertuanya.“Waalaikumsalam.”Mereka masuk ke rumah. Tiara mengunci pintunya lagi. Meski heran dengan kedatangan mertuanya yang mendadak, Tiara tetap bersikap tenang. Apalagi Bu Mirna baru mengirim pesan kalau dia baru bisa datang minggu depan karena harus rewang di rumah tetangga.“Bangunkan Rian Nduk. Ayah ingin berangkat salat di masjid dengannya. Kami naik dulu buat menata barang di kamar.”“Iya Yah.”Setelah memastikan mertuanya naik ke lantai dua, Tiara masuk ke kamar Rian. Dia memperhatikan Rian yang masih terlelap. Kilas balik kejadian beberapa tahun lalu seperti film yang terputar di kepalanya.Setelah Rian memperingatinya untuk tidak memberi tahu masalah mereka pada Pak Joko dan Bu Mirna, wanita itu memilih diam. Dua hari kemudian mertuanya datang ke rumah. Sikap Rian berubah seperti semula. Perhatian dan penyayang. Anak-anak sangat senang karena sikap ayah mereka
“Iya Bu,” jawab Tiara. Ia merasa heran karena ibu mertuanya terdengar membenci Dina saat membicarakan nama wanita itu.“Kenapa Rian bisa berubah Nduk? Apa yang sudah wanita itu lakukan hingga mempengaruhi Rian?” tanya Bu Mirna penasaran.Tiara menunjukkan foto dengan wajahnya dan pria asing. Dengan suara lirih, Dina menceritakan temuannya tentang foto-foto ini lalu membawanya ke pakar telematika. Tidak lupa wanita itu juga menunjukkan bukti yang diberikan Haris jika foto itu sudah diedit. Tiara bukan wanita yang ada dalam foto.“Dasar bodoh. Bisa-bisanya Rian lebih percaya dengan wanita itu tanpa menanyakannya lebih dulu padamu,” geram Bu Mirna tidak habis pikir.“Padahal dulu Rian sudah menuruti permintaan Ibu untuk menjauhi Dina. Kenapa sekarang dia lebih percaya dengan wanita itu.” Bu Mirna mengusap wajahnya kesal. Pandangannya tertuju pada tembok.“Mungkin Mas Rian memang tidak bisa melupakan Dina, Bu. Dia menikahiku hanya sebatas pelarian. Saat mantan pacarnya memberikan bukti pal
“Mas Rian bangun dong.” Ketukan di pintu ruang kerjanya dan panggilan Dina kembali membuyarkan lamunan Rian tentang masa lalu.Pria itu menghela nafas kesal. Padahal dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi lima tahun lalu. Saat Rian pertama kali bertemu dengan Dina. Entah kenapa Rian ingin sekali mengingatnya. Seolah ada jawaban atas semua misteri di masa lalu.“Aneh sekali. Biasanya Mas Rian adalah tipe orang yang gampang terbangun. Apa dia membawa semua pekerjaan ke rumah lalu tertidur karena kelelahan?” Dina bermonolog sendiri lagi.“Ya ampun Dina. Kamu belum tidur?” Suara ibu mertuanya terdengar dari kejauhan. Mungkin Ibu Dina bicara dari lantai dua.“Belum Ma. Aku harus memberikan minuman ini pada Mas Rian malam ini juga karena Pak Hermawan besok akan datang berkunjung.” Perkataan Dina seketika membuat Rian bangkit.Seingat Rian, Aurel mengatakan kalau Pak Hermawan sedang berada diluar negeri. Bagaimana bisa direktur utamanya tiba-tiba pulang dan terbang ke Yogykarta? Tidak
Semua teka-teki akhirnya terjawab. Rian menghela nafas. Menutup matanya dengan punggung tangan. Satu hal yang mengganjal harus segera ia tanyakan pada Aurel. Karena Rian tidak mungkin menjaga Dina dan orang tuanya selama dua puluh empat jam sampai Aurel berhasil melakukan rencananya.Rian kembali mengetikan pesan yang menjadi keresahannya saat ini. Setidaknya dia bisa mendapat bantuan dari Aurel.[Maaf jika saya bertanya seperti ini padahal anda sudah memercayakan saya untuk menjaga Dina dan kedua orang tuanya. Saya tidak hanya ingin bertanya, apakah ad acara lain saya menjaga Dina? Karena tidak mungkin saya mengawasinya selama dua puluh empat jam per minggu.]Tidak membutuhkah waktu lama untuk Aurelmembalas pesannya. Sepertinya wanita itu sedang memegang ponsel hingga bisa membalas pesan Rian dengan lebih leluasa.[Tenang saja. Aku sudah menempatkan orang suruhan untuk mengawasi gerak-gerik Dina dan orang tuanya. Kamu cukup menjaganya tetap disisimu sebagai pasangan suami istri. Dina
Rian menghubungkan semua percakapannya dengan Aurel. Termasuk rencana atasannya untuk menahan Dina agar tetap di kota ini. Aurel selalu menjelaskan sepotong demi sepotong. Seolah ia ingin Rian memecahkan teka-teki yang sudah ia susun. Kali ini teka-teki itu adalah tentang dompet Aurel yang berada di kamarnya dan Dina.Hanya ada kartu KTP dan kertas-ketas nota berisi pengambilan uang yang kosong. Rian merasa aneh karena Dina bisa menguras semua uang di kartu-kartu ini. Tidak mungkin Aurel teledor membiarkan orang lain tahu kartu pinnya.“Kecuali kalau ini adalah jebakan,” gumam Rian yang baru menyadari rencana Aurel.Pria itu meletakan dompet Aurel di tempatnya semula. Dia keluar dari kamar dan kembali ke ruang kerjanya. Pria itu merasa perlu menghubungi atasannya. Bagaimanapun juga dia harus tahu detail rencana Aurel.Dia mengirim pesan pada Aurel. Tanpa mereka sadari hubungan atasan dan bawahan sudah berubah selayaknya rekan kerja setara. Sejujurnya Rian merasa Aurel adalah orang yan
Rian bisa masuk ke ruang kerjanya dengan mudah. Menyembunyikan botol air dan makanan ke lemari berisi dokumen. Rian juga tidak menyingkirkan semua dokumen itu meski dia sudah resign. Setelah memasukan semua cemilan ke lemari, dia menguncinya dua kali lalu mencabut kunci yang sudah jadi satu dengan kunci mobil dan rumah.Jam tujuh tepat, Dina mengetuk pintu. Waktunya makan malam. Rian pura-pura tidur. Dia masih harus mencari banyak cara agar tidak memakan makanan yang mereka berikan. Karena tidak ada sahutan dari sang suami, Dina membuka pintu. Melihat Rian yang kepalanya rebah di atas meja.“Yah. Mas Rian ketiduran.” Suara Dina terdengar semakin jelas saat masuk ke ruangannya.Tidak lama kemudian Dina keluar. Rian masih bertahan dengan posisinya. Dina masuk lagi lalu meletakan makanan yang sudah ibunya masak di atas nakas. “Aku harap kau mau melunak pada kami Mas,” gumam Dina di telinga Rian. Dia tidak sadar kalau Rian tidak terlelap. Pria itu bisa mendengar dengan jelas perkataan ist
“Bapak yakin cara ini akan manjur?” tanya Dina heran. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Rian segera sembunyi dibalik tembok. Tidak ingin ketahuan sedang mengintip kegiatan istri muda dan orang tuanya.“Kita coba saja dulu. Toh foto yang kamu berikan bukan milik mereka. Kita sudah memotret Rian, Tiara dan keluarganya diam—diam lalu menceoatmk foto itu sendiri,” jawab bapak Dina menjelaskan semuanya.“Kenapa kita harus melakukan hal ini Pak? Toh kita juga akan pindah ke Lombok.”“Kamu kira bisa pergi dengan bebas saat kamu masih menikah dengan Rian? Kamu itu sadar atau tidak sih Din kalau itu sudah diawasi sejak pindah kesini sama mertuamu. Bapak baru tahu kalau ada kamera CCTV tersembunyi di rumah. Semua pergerakan kita akan ketahuan.” Bapak Dina menoleh sejenak. Rian bisa melihat dengan jelas wajahnya yang cemong dengan asap pembakaran.Bau menyengat yang semakin menusuk membuat Rian menutup hidungnya. Dia baru sadar kalau ini adalah bau kemenyan. Tiba-tiba bulu kuduknya bergidi
Rian bisa bekerja dengan tenang. Dia melajutkan pekerjaannya. Membuat rekap selama setahun terakhir, termasuk menyertakan kesalahan yang sempat ia perbuat. Walau menurut Aurel penggantinya sudah dipersiapkan untuk menjaga rahasia mereka. Namun dia tidak mau orang baru itu menghubunginya hanya untuk menanyakan tentang masa lalu yang hampir menjebloskannya ke penjara.Sore harinya pekerjaan sudah selesai. Lia membuka pintu. Sudah memakai jaket dan maskernya. Bersiap hendak pulang. Seperti biasa wanita itu hendak pamit pada atasannya jika beluk keluar dari ruangan.“Pak Rian mau lembur ya?” tanyanya memastikan. Di belakang Lia, Dina melongok ke dalam. Memastikan sang suami nanti bisa pulang bersamanya.“Iya. Kamu bisa tolong saya sebentar Lia. Soalnya tadi pagi kamu yang memegang pekerjaan ini,” pinta Rian menunjukkan berkas yang diletakan Lia di mejanya sebagai alasan.“Baiklah,” jawab Lia ringan. Sudah biasa baginya jika ada pekerjaan tambahan.“Kalau begitu saya duluan Pak,” pamit Di
“Apa?” Danu hampir menyemburkan makanannya. Untung saja pria itu bisa menelan smeuanya hingga tandas.“Kamu bencanda Yan?” tanya Danu tidak percaya. Rian menggeleng. Wajahnya masih serius seperti tadi.“Aku nggak bercanda Dan. Aku serius.” Rian menghela nafas lalu menceritakan semuyanya pada Danu.Dia tidak perduli jika Danu tidak percaya dengan ceritanya. Karena satu-satunya orang yang bisa ia percaya di kantor hanya Danu. Apalagi Danu juga bekerja untuk Aurel. Di titik dimana Rian sadar hari ini kalau sudah mendapat guna-guna dari Dina.Ia ingin berpisah dari Dina sekarang juga atau mencampakan istri mudanya di hari pernikahan mereka. Namun perjanjiannya dengan Aurel membuat Rian tidak bisa mewujudkan keinginannya.“Aku masih harus menjaga Dina untuk satu bulan ke depan. Sampai Bu Aurel selesai melakukan pekerjaannya yang entah aku tidak tahu apa. Aku bingung Dan. Bagaimana caraku membohongi Dina?”Danu masih diam. Tangannya bertumpu di atas meja. Dia tidak bisa banyak berkomentar d
Rian memandang lurus ke depan. Dina melambaikan tangan di depan wajah suaminya. Wanita itu belum menyadari apa yang terjadi. Dia mengambil botol yang sudah ia campur dengan air merah lalu memberikannya pada Rian.“Minum dulu Mas.” Dina mengulurkan botol air itu tepat di depan wajah sang suami.“Terima kasih Din,” jawab Rian tanpa menoleh.Pria itu berusaha menata pikirannya. Dia mengatur ekspresi sedemikian rupa agar Dina tidak curiga. Saat menoleh, Rian bisa menampilkan senyum palsu yang tampak normal di mata Dina.“Maaf aku injak rem mendadak. Tadi ada anak kecil lewat. Kamu tidak lihat?” tanya Rian memastikan. Dina menggeleng.“Tidak. Aku sibuk berkirim pesan dengan tukang dekor. Ya sudah jalankan lagi mobilnya. Kita harus sampai di kantor tepat waktu.” Dina mengembalikan botol air ke tempatnya.“Oke.”Seperti biasa, Dina akan turun di halte yang jaraknya cukup jauh dari kantor. Rian melanjutkan perjalanan seorang diri. Di mobil, pria itu berpikir bagaimana cara membohongi Dina ten
Dina berhasil menemukan dua gaun yang ia sukai. Setelah urusan baju pengantin selesai, Dina mengajak Rian pergi ke MUA langganannya. Seorang MUA yang terkenal di kalangan selebgram.“Aku sudah lama akrab dengannya. Dia tidak menuntut kliennya memakai gaun pengantin di butiknya. Jadi, tidak akan masalah kalau kita hanya memakai jasa riasnya saja.” Cerita Dina semangat. Dia tidak sabar menantikan seperti apa penampilannya di hari pernikahan resminya dengan Rian.Meskipun Dina tidak bisa membayangkan reaksi teman-teman sekantornya saat melihat ia berdampingan dengab Rian di atas pelaminan. Wanita itu tidak tahu kalau kemungkinan besar mereka tidak jadi mengundang teman-teman kantor karena Rian sudah resign lebih dulu.Kemarin Rian sudah membicarakan hal ini dengan orang tua dan istri pertamanya. Karena Rian diam-diam keluar dari perusahaan berkat bantuan Aurel, akan menjadi banyak tanda tanya untuk karyawan yang lain.“Bagaimana kalau aku batal mengundang teman-teman kantorku? Aku tidak