“Mana gajimu!”
Kaget! Mataku membelalang ketika melihat tangan berlengan kekar itu menjulur panjang dan tegas. Baru saja aku membuka pintu untuk masuk ke rumah, tetapi pria di hadapanku sudah bertampang masam.
“Sebentar, aku harus masuk ke rumah dulu.” Aku bahkan melewati tubuh pria di depan pintu. Sudah biasa kalau dia selalu celopar dan membentakku dengan perlakukan kasarnya.
Pria itu menggeram dengan nada membuncah.
“Haira!! Aku ini suamimu, kenapa kamu lewatin aku gitu aja?! Kurang ajar banget kamu ini!” Suamiku membentak kasar, tidak peduli kalau aku baru saja pulang bekerja. Napas lelahku bahkan belum sempat meredam. Tapi dia malah menahanku. Aku harus menoleh, tapi tidak menyahut. Keringat dinginku memuncak dengan sangat cepat. Mulai cemas dan waspada.
Aku, lebih dikenal dengan nama panjang Haira Estiana. Usiaku sudah memasuki angka ganjil 35 tahun. Bermata bulat hitam, memiliki kulit putih, tetapi bertubuh agak gendut. Mereka sering mengataiku seperti babi.
Suamiku sambil menggeram, melangkah maju dan menjambak kerudungku dengan kasar. Sehingga, tubuhku terlonjak akibat penyerangannya. Bahkan tangannya membanting kasar tubuhku ke sembarang arah. Aku terpelanting spontan menghantam dinding ruang tamu.
Gedebuk!
Rasanya sedikit sakit, benar-benar terpental dan harus tertahan oleh tembok.
“Aw!!” ringisku spontan memegangi kepala.
“Kau ini pulang kerja atau dari mana, kenapa lama banget?! Fathan harus kujemput, kalau nggak dijemput dia bakal kelayapan ke mana-mana. Dasar istri tak tahu diri!” Tangan kekar suamiku kembali memukul kepalaku.
Buk!
Lagi-lagi, pukulan itu membuatku semakin merunduk. Tubuhku mengendur turun, dengan memegangi kepalaku untuk berlindung dari serangan kasarnya. Terdengar napas berat dari ujung hidungnya, akhirnya dia menjatuhkan kembali tangannya ke depan pandangan wajahku.
“Mana uang gajinya?” Kali ini dia sedikit menurunkan nada bicara.
“Bang, aku belum dapet gaji,” ungkapku gugup. Kepalanya keluar dari kedua lenganku, tubuhku mulai menegak lebih gagah.
Kesal, setelah mendengar jawabanku. Abbas Chafik—suamiku yang bersikeras untuk meminta jatah gaji bulanan. Padahal, aku hanya sebagai guru honorer. Umur kami hanya selisih dua tahun, dia berkisar 37 tahun, sekarang tahun 2022.
Namun Abbas terpaksa menubruk tas milikku, tapi aku mencoba menahan dan memberontak. Namun sayang, tangannya lebih tangkas merampas dari lenganku yang tidak kuat lagi menahan tas tersebut. Dia membongkar isi dari dalamnya. Semua yang ada di tas tumpah dan berantakan. Mataku hanya menyimak diam dari kelakuan memaksanya ini.
“Besok, besok aku bakal minta sama mereka.” Suaraku melemah, takut akan terkena makian serta pukulan lagi darinya. Tubuhku geloyor, bersama jemari yang merapikan buku dan peralatan kerja ke dalam tas ini lagi. Abbas berdiri sambil menahan emosionalnya, enyah dari hadapanku.
“Aku harus menjemput Elvina pulang.”
Abbas yang telah menikah denganku selama kurang lebih belasan tahun. Wanita mana yang peduli dan kuat jika harus mendapat perlakuan kasarnya? Aku menatap kepergian suamiku dengan napas berat.
Glegar!
Pintu utama rumah tertutup rapat dengan sangat keras. Menghantam telinga kecilku menjadi sangat panas setelah mendengar ocehannya.
Beruntung, rumah kami berada di sudut dari dalam gang. Sehingga, tidak ada yang bisa mendengar kami bertengkar hebat.
Tinggal di tengah kota, jalan Taman Indah, air itam, Pangkal Pinang. Memang sangat menjadi ancaman jika terdengar oleh telinga para tetangga.
Kota ini menjadi yang terbaru untukku. Bukanlah tempat kelahiranku, tetapi aku harus meninggalkan kampung halamanku yang ada di ujung Selatan kepulauan Bangka Belitung, yakni Toboali. Kampung halamanku yang sudah aku tinggalkan demi keluarga baruku.
Aku beranjak sambil memeluk tas kerjaku dengan raut kesal berkepanjangan.
Wajahku merengut, sedikit jenuh dari perbuatan suamiku selama ini. Apalagi umurku tak lagi muda untuk menjadi istri yang cantik. 35 tahun adalah umur dimana mereka akan menuju kesukesaan. Katanya.
Namun sayang, aku harus menjalani hidup sederhana demi menyembunyikan identitas terpendam. Lalu, kenapa aku harus menyembunyikan identitas itu?
Aku menaruh tas kerja di atas meja dekat ruangan tengah. Tak lama berkeliling dengan penglihatan ruangan yang agak sepi. Seorang anak lelaki berusia sembilan tahun muncul perlahan dari balik pintu kamar. Kepalanya sedikit menunduk dan harus kembali masuk ke kamar.
Kekesalanku terabaikan pada situasi sunyi. Mungkin, rasa lelahku cukup menghantui di hari yang berhawa panas. Ditambah ketika pulang kena semprotan makian. Tak sengaja diriku duduk di atas sofa kecil, lalu aku merobohkan tubuhku di atasnya. Kerudungku secepatnya kucopot, membiarkan rambutku terurai.
Rasa nyaman terlampiaskan setelah aku merobohkan tubuh ke atas sofa yang empuk. Pandangan mataku redup mengarah langit-langit ruang.
“Bagaimana kalau aku tidur sebentar??”
Kalimatku terputus, tak kuasa banyak celopar. Akhirnya mataku benar-benar berat seperti ada lem yang menempel di kelopaknya. Aku terlelap tanpa harus berganti pakaian dahulu. Daerah di sekitar mataku berkeringat tipis.
Sudahlah, aku tidak peduli lagi dengan urusan dunia ini. Akhirnya aku tertidur nyaman di atas sofa.
***
Tak lama aku tertidur, pintu kembali terbuka. Lebih kencang dan keras. Aku masih terjaga dalam tidur. Aku bahkan tidak memedulikan siapa yang akan memasuki rumah. Mungkin, si suami kembali pulang dengan napas terengah kesal.
Aku merasakan gerak-gerik dari suara langkah kaki suamiku. Dia cukup berwara-wiri dengan suara berisik dan sedikit mendengus kesal.
“Vivin, masuklah ke dalam!” Suara itu masih kudengar, dan benar kalau dia suamiku. Tapi aku masih saja masa bodoh. Aku mendengar langkah cepatnya, mungkin saja dia mendekatiku.
Antara mimpi dan kenyataan menyertaiku secara bersamaan.
Buk!
Dia memukul bahuku, mataku cepat terbuka lebar. Kepalaku sontak bangkit dan terayun dari tidur pulas.
“Akh!”
Mataku langsung terfokus pada tangan suami yang mengepal bulat. Tak segan-segan dia maju kembali mendekatiku, lalu memukuli wajahku dengan kasar.
Plak!
“Akh!”
Kepalaku ikut terayun. Menahan posisi kepala yang baru saja terbangun dari tidur siang.
“Kau ini memang enak, ya?! Baru pulang bukannya nyiapin makanan, tapi malah tidur. Terus bajunya nggak pake diganti lagi.”
Abbas menjatuhkan tangan ke samping tubuhnya. Aku harus bangkit demi suara yang membentak diriku. Padahal, kantukku masih terasa berat di mataku. Keriput tipis mulai menyelimuti kulitku yang putih.
“Udah gendut, malas lagi!”
Tak heran, kalau suamiku selalu mengolok-olokku.
“Siapin camilan untukku dulu!”
Aku harus menahan segala lara dari balik dapur yang terpisah dengan ruang tengah. Rasanya aku ingin menaruh cabai super pedas ke dalam makanannya jika mengingat kasarnya perilaku suami ini.
Tanganku segera meraih piring kecil untuk menaruh beberapa camilan ke atasnya. Tanpa ragu saya membawanya kepada sang suami yang sedang berbaring nyaman sambil menonton televisi. Melihat tingkah suamiku, aku semakin bosan.
Aku tak memedulikan tingkah suami yang jelek, dia malah menjauh tanpa adanya raut kemacetan. Abbas tak sengaja melihat raut wajahku ini. Keningnya bertautan, sampai-sampai tangannya kembali gatal.
“Eh, kamu ini mau apa?!” geram Abbas meninggi.
Tangannya begitu gesit menjamah rambutku. Aku menahan rasa sakit yang menyiksa serigala harus tercekik oleh jambakan suami. Aku berbalik dan menghadang suami agar dia tidak kembali menyerang.
Tangan kasarnya kembali menarik rambutku, sedangkan aku berusaha melepaskannya. Memberontak dengan segala kekuatanku.
Hingga akhirnya, rambutku selamat dari jambakan yang ingin berulang-ulang.
“Aku ingin bebas, Bang. Jangan perlakukan aku seperti binatang!”
Satu kalimat muak terlampiaskan di ujung bibirku. Abbas mulai menahan kekesalannya, setelah mendengar bantahanku.
“Jadi, apakah kamu mau lebih sedih sekarang juga? Oke!”
Abbas menarik paksa tubuhku meninggalkan ruangan tengah. Kami masuk ke kamar di tengah siang bolong. Aku memekik keras dan lantang ketika dia harus memaksa untuk melakukannya.Abbas mendorong tubuhku ke tempat tidur. Rasa kesalnya semakin membabi buta kejantanannya.Abbas duduk di atasku. “Kau itu istriku. Sudah sepantasnya kau melayaniku dengan baik!”Aku malah menegang. Dia hampir saja menyentuhku di saat hatiku sedang kesal. Rasanya tanganku ingin menusuk jantungnya dengan pisau belati panjang.Aku dipaksa oleh sang suami untuk melayaninya. Abbas beranjak dengan cepat, mengurungkan niatnya di saat itu juga. Rautnya malah mual memandang tubuhku yang sudah terbaring lemah di atas tempat tidur.“Hei, kau ini pulang kerja bukannya langsung mandi. Tapi, malah tertidur di sofa. Badan kamu itu bau tahu!”“Apa kau nggak sadar, hah?!”Abbas menonjolkan bibir mencondong ke arah tubuhku yang sehingga menempel sisa dari keringat baju dinasku. Aku bangkit dari tempat tidur sambil melepaskan
Aku tidak akan mematung diam ketika melihat Fathan merajuk kesal terhadap sang nenek. Kakiku gesit menuju kamar mereka, membuka pintu lalu menghampirinya yang sedang duduk menatap jendela. Menjadi seorang ibu, aku harus membujuk si sulung sambil mengelus rambut pendeknya. “Fathan, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Kan nenek lagi capek. Lagian ini salah mama juga sih ngizinin kalian datang ke rumah nenek. Nenek jadi marah.” Tangan sebelahku masih menopang kuat tubuh Elvina yang mulai mereda setelah melihat tingkah si sulung. Jemariku terus menggosok dan mengelus rambut Fathan. Melirik sang buah hati pasti merasakan lara setelah mendapati sifat nenek yang pemarah. Aku pun duduk untuk membuatnya merasa nyaman. “Tapi nenek jahat, Ma. Dia udah ngatain mama.” Fathan masih saja cemberut, segala rautnya bergelimpang menggerutu berat. “Udah, nenek marah karena sayang. Jadi kamu nggak usah ambil hati,” bujukku. “Udah, ini juga udah sore. Kamu mandi gih!” Perintahku menggerakan hati Fatha
Keadaan semakin sore dan redup. Suasana di ujung terminal masih sangat ramai. Aku memeluk erat tubuh anak bungsuku yang ikut bersamaku. Aku bahkan tidak peduli dengan anak sulungku yang akan segera menderita oleh ayahnya.Namun, aku pasti akan kembali untuk melakukan sesuatu.‘Fathan, kau harus bersabar! Mama bakal jemput kamu, kamu nggak usah khawatir lagi.’Aku sudah menekan niat minggat agar menjauhi keluarga baru ini. Padahal, sudah cukup bagiku penderitaan yang berulang-ulang selama belasan tahun lamanya.Bus menuju Toboali telah terlihat di depan, kami segera memasuki dan duduk di tengah. Secepatnya, aku menenteng tas besar sambil menggendong putri bungsu. Meninggalkan kota Pangkal Pinang yang memang tidak jauh dari tempat tinggalnya.Jodoh yang sudah diatur oleh Allah memang tidak bisa dielak lagi. Hari ini, aku harus pupus oleh pengusiran suami terhadapku. Sialnya, suamiku tidak menyebutkan talak tiga yang berarti kami akan berpisah.Aku duduk di tengah badan bus bersama E
“Pulanglah! Pulang demi anakmu yang kamu tinggalin di rumah, bukan demiku.” Abbas memelas dengan raut penyesalan tanpa harus menetes buir air mata. Ya, mana mungkin pria sepertinya akan tumpah demi seorang wanita? Ini mustahil! Namun, hatiku tergerak oleh permohonannya yang tidak akan kubiarkan terlalu lama. “Baiklah, aku bakal pulang. Tapi kamu harus bisa pegang janji.” “Ya, aku janji!” tegas Abbas meranggul.Cukup singkat! Aku tidak akan banyak bicara. Kakiku mengguyur ruangan dimana Elvina duduk bersama mainannya. “Elvina, ada papa. Ayo kita pulang!” ajakku sedikit tersenyum. Elvina langsung beranjak bahagia. Kakinya langsung tertuju pada diriku, kemudian berpindah pada ayahnya. Abbas menggendong tubuh putri kecilnya dengan raut terhangat yang pernah ada. Aku melihat sekilas wajah suamiku yang memang jarang tersenyum. Hari ini aku belajar betapa banyak kenangan indah hidup bersamanya. Walau sebenarnya hidupku benar-benar pahit. Karena dia, aku jadi mengenal agama lebih baik.
Aku tahu apa yang harus aku lakukan menjadi seorang ibu beranak dua. Kakiku langsung berkirai dari sana, halaman rumah yang cukup luas untuk bersantai. Setelah mataku melihat sosok ibu mertua yang telah memasuki rumah, dan aku pun mengikuti jejak Elvina ke rumah.Pintu rumah terbuka lebar, dimana kedua anakku bermain bersama. Aku tidak menghiraukan dengan posisi mereka. Rasanya sedikit bosan ketika aku harus menguasai rumah sepenuh hariku. Apalagi aku harus bangun sepagi mungkin, sedangkan aku pulang harus lebih telat dari orang lain.Ya, jarak dari rumah ke sekolah—tempat aku mengajar cukup jauh. Mungkin jarak antara rumahku dengan kota Namang tidak terlalu dekat. Bahkan jarak yang sudah melebihi belasan kilometer dari sini.Membutuhkan waktu sekitar kurang lebih setengah jam bila menggunakan sepeda motor. Itu pun tergantung kecepatan yang kita tempuh.Kakiku langsung menuju kamar, membiarkan semua kelelahanku pada ruangan yang sempit ini. Hanya seukuran tempat tidur dan
Aku melihat rautnya si suami dengan segala ketenangan. Tampaknya dia baik-baik saja dengan sikap diamnya melangkah. Namun tiba-tiba kakinya berhenti tepat di muka pintu yang masih tertutup. Kepalanya menoleh ke balik belakang, tepat di depanku.“Hei, kamu nggak liat aku bawa banyak barang?!” tegurnya sedikit menyayat pikiranku.Maka tanganku segera meraih bungkusan yang ada di tangannya. Tidak ada kesulitan bagiku untuk merampas dari tangannya. Kemudian suamiku ini langsung membuka pintu tanpa harus menatap ramah.Ya, seperti biasa! Dia tidak akan seramah suami lain di depan mataku. Pikirku lagi.Lagi-lagi, nasib sial menghantuiku. Dia melihat dulang yang tidak terlihat apa-apa. Maka kedua mataku memelotot kaku di hadapannya. Tanganku segera menaruh bungkusan di sudut ruangan dapur.“Eh, kamu nggak masak?” Terdengar suaranya agak rendah. Tidak memulai pertengkaran, maka aku akan hati-hati untuk menyahut.Tubuhku yang geloyor untuk menaruh bungkusan yang dibawa olehnya terp
Ah! Buat apa aku melamun berdiri menghadapi masalah yang kurang pasti. Ibuku tidak gila! Tapi terkadang dia suka memarahi kami tanpa sebab. Mungkin, karena aku tadi sempat menimbrung bersama tetangga dekat, dan kemarin baru pulang dari Toboali—kampung halamanku.Tapi rasanya aku tidak percaya kalau ibu mertuaku ternyata memarahiku hanya karena berbincang dengan tetangga. Dia mungkin malu, waspada, dan cemas sendiri. Akhirnya kakiku memerintah untuk memasuki rumah.Baru saja aku menutupi pintu, terdengar suara yang memecah rumah di depan. Aku sontak terperanjak, ketika suara adik iparku ikut campur.“Bang, kenapa mama di rumah? Kayaknya dia bertengkar sama adikmu,” ungkapku khawatir. Kepalaku spontan menoleh mengarah si suami yang sedang berbaring di atas sofa tamu.“Ah, biarin ajalah! Mereka kan emang sering kayak gitu.” Suamiku malah mengalihkan pembicaraan dengan gadget yang ada dalam genggamannya.Aku harus menahan napas sejenak dan melangkah melewati dirinya. Aku tidak ingin ikut c
Ya, aku malah memalingkan wajah. Kakiku malah menghindar dari hadapan suamiku dan memasuki kamar dua anakku. Mereka sudah berbaring di atas tempat tidur masing-masing. Sebentar lagi mata lelah mereka akan tertidur pulas.“Mama buatin susu dulu, ya.” Aku menatap lurus ke arah Elvina yang hanya meranggul tidak menyahut dengan kata.Kakiku akhirnya dengan semangat menuju ruang dapur untuk membuatkan susu untuk si kecil. Si kecil yang nantinya akan beranjak sekolah. Aku tidak boleh jadi ibu yang berpura-pura bodoh akan hal itu.Satu botol yang cukup untuk si kecil yang sedang termangu diam. Aku menyodorkan untuknya seorang. Sementara abangnya—Fathan berbaring memeluk guling kesukaannya. Guling yang sudah berusia sepantarnya. Dia menyukai guling itu semenjak kecil.Tidak ada yang boleh menukarnya dengan guling yang lain, tetapi tetap boleh dicuci agar bersih. Putra sulungku itu memang sangat cerewet. Dia tidak suka berbau, tidak suka ada kotoran yang melekat di gulingnya. Nanti dia pasti a
“Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp
Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa
Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna
Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba
Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”
Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih
Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan
Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat
Satu kali terdorong, maka akan sering mendapat dorongan. Dorongan itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan menjatuhkan. Harga diriku sebagai seorang guru tersindirkan, hanya karena pangkat yang belum menjamin kehidupan.Apalah daya menjadi seorang guru honorer? Yang harus terus-menerus memikul beban. Tapi, selama hidupku menjadi seorang guru honorer. Alhamdulillah, hidupku tak pernah terlilit hutang atau hidup mewah yang luar biasa.Rasanya, aku bisa merasakan syukur yang lebih. Ini bahkan tak bisa dibayar dengan uang. Kalau dihitung, jasa ditambah dengan status sama dengan kesederhanaan.Jadi, istilah dalam prinsip hidupku adalah sebuah kesederhanaan. Tidak perlu berlebih-lebihkan. Andai diberi lebih, siapa yang akan menolak? Ini hidupku, dan inilah tentangku. Aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang terbaik. Siapa tahu kelak aku akan naik pangkat seperti mereka?Aku tak perduli ketika rekan tadi meledekku dengan sindirannya. Lebih kepada dengan memberinya sebuah senyuma