“Pulanglah! Pulang demi anakmu yang kamu tinggalin di rumah, bukan demiku.”
Abbas memelas dengan raut penyesalan tanpa harus menetes buir air mata. Ya, mana mungkin pria sepertinya akan tumpah demi seorang wanita? Ini mustahil! Namun, hatiku tergerak oleh permohonannya yang tidak akan kubiarkan terlalu lama. “Baiklah, aku bakal pulang. Tapi kamu harus bisa pegang janji.” “Ya, aku janji!” tegas Abbas meranggul.Cukup singkat! Aku tidak akan banyak bicara. Kakiku mengguyur ruangan dimana Elvina duduk bersama mainannya. “Elvina, ada papa. Ayo kita pulang!” ajakku sedikit tersenyum. Elvina langsung beranjak bahagia. Kakinya langsung tertuju pada diriku, kemudian berpindah pada ayahnya. Abbas menggendong tubuh putri kecilnya dengan raut terhangat yang pernah ada. Aku melihat sekilas wajah suamiku yang memang jarang tersenyum. Hari ini aku belajar betapa banyak kenangan indah hidup bersamanya. Walau sebenarnya hidupku benar-benar pahit. Karena dia, aku jadi mengenal agama lebih baik. Karena dia, aku mengenal keikhlasan yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Ini sungguh cobaan terberat jika harus memiliki derajat tinggi. Karena Allah, aku bersedia untuk mengikuti suamiku kembali. Abbas terus bercanda dengan putri kecilnya. Putri yang berkulit putih itu tersenyum manja dengan ucapan rindu kepada ayahnya. “Papa, aku rindu papa. Kenapa papa ngak nyusul tadi malam?” Betapa besar hati anak kecil yang selalu memaafkan dengan tulus kepada orang tua yang telah menyakiti ibunya. Bahkan hatinya selalu ada bersama kedua orang tua. Aku terenyuh, sambil menyembunyikan identitasku sebagai pewaris kekayaan dari mereka semua. Mereka tidak boleh tahu, sebelum salah satu dari anakku tumbuh dewasa. ‘Fathan bakal berusia 18 tahun. Di saat itulah, aku bakal mengatakan pada semua orang.’Gumamku dalam hati. Takut akan menyerobot keputusan yang semestinya tidak kurencanakan sebelumnya. Pamanku yang menginginkan semua ini. Kami kembali, menutupi rumah orang tuaku menjadi kosong. Padahal, aku adalah anak tunggal dari mereka yang melahirkanku. Sudah semestinya aku tinggal di sini. Tapi tidak, aku malah ikut dengan keluarga baruku.Dengan sepeda motor, suamiku membawa kami kembali pulang. Elvina duduk di tengah dengan memeluk ayahnya erat. Di antara perjalanan pulang, dia masih ragu-ragu untuk bicara. “Gimana keadaan mama?” tanyaku ragu. “Gitulah dia. Dia nggak banyak bicara,” sahut Abbas agak kendur. Suaranya, dia sedikit malu atau mungkin kurang enak setelah membentak dan mengusirku. Kami benar-benar melaju di jalanan dengan membisu. Sepanjang jalan yang sangat jauh, aku tidak melontarkan pertanyaan atau pun basa-basi lagi. Tanganku begitu kuat memeluk si kecil yang sudah tertidur pulas di tengah. Cahaya perkotaan akhirnya mengiringi perjalanan pulang. Sampai akhirnya kami bertemu dengan pemukiman. Dimana salah satu gang kecil adalah jalan rumah kami. Tidak banyak cahaya yang dapat menerobos masuk di sekitar area gang kecil. Pemukiman padat telah kami lalui, kini beberapa rumah memiliki jarak pemisah. Antara pohon dan satu pohon, bahkan beberapa halaman yang cukup luas. Motor Abbas berhenti, tepat di depan rumah. Terkejut, kalau di sana sudah berdiri seorang pemuda. Bersedekap tangan, menengadah seolah-olah memperhatikan langit di malam ini. Di sana, dia bersama Fathan yang sedang bermain di teras. “Om!” Fathan menghampiri pemuda itu. Aku turun sambil menggendong Elvina pelan agar tidak mengeluarkan suara berisik. “Rafa, mama nggak marah lagi?” Abbas mendekati pemuda itu sambil menatap datar. Tanpa harus tersenyum. Rafa, pemuda yang tinggi badannya sekitar 170 sentimeter. Adik dari suamiku yang biasa bermain dengan Fathan ketika malam. Rafasya Taufik, satu-satunya anak bungsu yang masih belum menikah. Padahal, usianya sudah menginjak 27 tahun.“Halo, Kakak ipar! Aku udah ngemarahin Abbas. Dia memang kurang ajar karena udah jadi pria brengsek. Kau nggak usah khawatir lagi. Aku nggak bakal ngebiarin Abbas berbuat jahat lagi.” Rafa seolah-olah menunjukkan sisi kepahlawanannya. Mungkin, dia sudah berupaya untuk membela diriku. Aku hanya membalas dengan senyuman sambil memapah tubuh putri kecil kami yang sudah tertidur. Sambil tersenyum, aku pun mendekati si adik ipar. “Kau pulanglah! Besok aku bakal lihat mama. Aku masih lelah,” balasku. “Tenang aja!” “Aku pulang dulu, bye-bye, Fathan!” pamit Rafasya melambai. Tubuhnya berbalik sambil melambaikan tangan mengarah Fathan yang memang sudah layaknya seorang teman. Fathan membalas lambaian dari sang pamannya. Akhirnya kami masuk, meninggalkan halaman luar yang gelap. Malam menutup kisah ini menjadi sangat diam, menjadi agak canggung. Suasana dalam rumah menjadi sangat bergeming. Aku bahkan tidak menyapa suamiku. Apalagi dia yang harus meninggalkanku bersama si kecil—Elvina. Elvina telah terbaring di atas kasur bersama seorang kakak di satu kamar. Elvina kembali kutinggalkan sambil memperhatikan sang kakak yang masih belum tertidur. “Mama.” Fathan seolah-olah merintih. Aku tidak jadi berpaling dari sana karena Fathan membutuhkanku. Akhirnya aku memenuhi panggilan putra sulungku. Aku duduk di samping tempat tidurnya, dimana tempat tidur mereka memang terpisah. “Kenapa?” “Kenapa kemarin mama nggak ngajak aku?” Keluhan Fathan sedikit merengek. Ya, itu wajar saja karena dia juga membutuhkanku!Tanganku segera merampas tubuhnya, harus dipeluk dengan erat. Kepalaku tergoyang-goyang sambil menepuk bahunya perlahan. Sesekali telapak tanganku menggosok punggungnya. “Maafkan mama, Nak!” “Jangan tinggalin aku lagi, Ma.” Fathan lirih, sudah seperti anak kecil membutuhkan kasih sayang. “Iya, mama nggak akan ninggalin kamu lagi. Kamu udah ngaji belum?” Fathan mengangguk, artinya ia sudah melakukan dengan baik. “Jangan berbohong! Nanti kamu bakal sekolah di luar. Ada banyak tantangan yang akan kamu hadapi.” Tanganku mendorong tubuh Fathan dari dekapanku. Fathan tidak menolak, tubuhnya segera roboh di bantalan kasur empuk. Matanya mulai memejam. “Jangan lupa berdoa!” “Oke, Ma.” Aku berdiri, memandang kedua anakku yang benar-benar penurut ketika mendapat sentuhan lembut. Mereka akan memberontak ketika diserang kasar. *** Seperti biasa, aku harus bekerja dan meninggalkan anakku bersama ibu mertua. Dia dan neneknya akan lebih akrab, tetapi tidak padaku. Karena hari Sabtu, aku kembali di pukul satu siang, lebih cepat dari biasanya. Namun, kakiku baru saja turun dari sepeda motor untuk segera beralih menuju rumah ibu mertua. Beliau datang terlalu cepat, sampai-sampai aku cukup terkesan saat dia membawa anakku sambil menggendongnya. “Ma,” sapaku hangat. “Cepat sekali pulangnya.” Basa-basi darinya. Mungkin, dia sudah tidak marah lagi denganku. “Hari Sabtu, Ma. Lebih cepat dari biasanya,” balasku.Aku segera meraih tubuh Elvina dari tangan ibu mertuaku. Sementara beliau tidak melanjutkan kembali pembicaraan. Ibu mertuaku malah berbalik dan tidak ingin berbicara banyak. Kepalanya agak merunduk lalu pergi begitu saja. Aku masih memperhatikan dirinya dari kejauhan. Sampai dia benar-benar memasuki rumah. “Ma, aku mau turun.” Elvina hendak turun dari tanganku. Aku segera memenuhi keinginannya. Elvina turun dengan cepat dan berlari masuk ke rumah. Sepertinya hubungan kami masih belum tampak baik. Tapi, aku merasa lega ketika ibuku sudah bisa menyapaku dengan nada yang pelan. Tidak seperti biasa, dengan bentakan dan suara kerasnya. Tapi, bagaimana dengan besok? Apakah senyuman akan terukir di wajah mertua yang setelah lama kian menghilang. Lagi-lagi uang adalah satu-satunya untuk menghibur mereka semua.Aku tahu apa yang harus aku lakukan menjadi seorang ibu beranak dua. Kakiku langsung berkirai dari sana, halaman rumah yang cukup luas untuk bersantai. Setelah mataku melihat sosok ibu mertua yang telah memasuki rumah, dan aku pun mengikuti jejak Elvina ke rumah.Pintu rumah terbuka lebar, dimana kedua anakku bermain bersama. Aku tidak menghiraukan dengan posisi mereka. Rasanya sedikit bosan ketika aku harus menguasai rumah sepenuh hariku. Apalagi aku harus bangun sepagi mungkin, sedangkan aku pulang harus lebih telat dari orang lain.Ya, jarak dari rumah ke sekolah—tempat aku mengajar cukup jauh. Mungkin jarak antara rumahku dengan kota Namang tidak terlalu dekat. Bahkan jarak yang sudah melebihi belasan kilometer dari sini.Membutuhkan waktu sekitar kurang lebih setengah jam bila menggunakan sepeda motor. Itu pun tergantung kecepatan yang kita tempuh.Kakiku langsung menuju kamar, membiarkan semua kelelahanku pada ruangan yang sempit ini. Hanya seukuran tempat tidur dan
Aku melihat rautnya si suami dengan segala ketenangan. Tampaknya dia baik-baik saja dengan sikap diamnya melangkah. Namun tiba-tiba kakinya berhenti tepat di muka pintu yang masih tertutup. Kepalanya menoleh ke balik belakang, tepat di depanku.“Hei, kamu nggak liat aku bawa banyak barang?!” tegurnya sedikit menyayat pikiranku.Maka tanganku segera meraih bungkusan yang ada di tangannya. Tidak ada kesulitan bagiku untuk merampas dari tangannya. Kemudian suamiku ini langsung membuka pintu tanpa harus menatap ramah.Ya, seperti biasa! Dia tidak akan seramah suami lain di depan mataku. Pikirku lagi.Lagi-lagi, nasib sial menghantuiku. Dia melihat dulang yang tidak terlihat apa-apa. Maka kedua mataku memelotot kaku di hadapannya. Tanganku segera menaruh bungkusan di sudut ruangan dapur.“Eh, kamu nggak masak?” Terdengar suaranya agak rendah. Tidak memulai pertengkaran, maka aku akan hati-hati untuk menyahut.Tubuhku yang geloyor untuk menaruh bungkusan yang dibawa olehnya terp
Ah! Buat apa aku melamun berdiri menghadapi masalah yang kurang pasti. Ibuku tidak gila! Tapi terkadang dia suka memarahi kami tanpa sebab. Mungkin, karena aku tadi sempat menimbrung bersama tetangga dekat, dan kemarin baru pulang dari Toboali—kampung halamanku.Tapi rasanya aku tidak percaya kalau ibu mertuaku ternyata memarahiku hanya karena berbincang dengan tetangga. Dia mungkin malu, waspada, dan cemas sendiri. Akhirnya kakiku memerintah untuk memasuki rumah.Baru saja aku menutupi pintu, terdengar suara yang memecah rumah di depan. Aku sontak terperanjak, ketika suara adik iparku ikut campur.“Bang, kenapa mama di rumah? Kayaknya dia bertengkar sama adikmu,” ungkapku khawatir. Kepalaku spontan menoleh mengarah si suami yang sedang berbaring di atas sofa tamu.“Ah, biarin ajalah! Mereka kan emang sering kayak gitu.” Suamiku malah mengalihkan pembicaraan dengan gadget yang ada dalam genggamannya.Aku harus menahan napas sejenak dan melangkah melewati dirinya. Aku tidak ingin ikut c
Ya, aku malah memalingkan wajah. Kakiku malah menghindar dari hadapan suamiku dan memasuki kamar dua anakku. Mereka sudah berbaring di atas tempat tidur masing-masing. Sebentar lagi mata lelah mereka akan tertidur pulas.“Mama buatin susu dulu, ya.” Aku menatap lurus ke arah Elvina yang hanya meranggul tidak menyahut dengan kata.Kakiku akhirnya dengan semangat menuju ruang dapur untuk membuatkan susu untuk si kecil. Si kecil yang nantinya akan beranjak sekolah. Aku tidak boleh jadi ibu yang berpura-pura bodoh akan hal itu.Satu botol yang cukup untuk si kecil yang sedang termangu diam. Aku menyodorkan untuknya seorang. Sementara abangnya—Fathan berbaring memeluk guling kesukaannya. Guling yang sudah berusia sepantarnya. Dia menyukai guling itu semenjak kecil.Tidak ada yang boleh menukarnya dengan guling yang lain, tetapi tetap boleh dicuci agar bersih. Putra sulungku itu memang sangat cerewet. Dia tidak suka berbau, tidak suka ada kotoran yang melekat di gulingnya. Nanti dia pasti a
Perjalanan pulang yang memang memakan waktu. Namun, hatiku jadi merasa tenang karena akan memulainya. Walau sebenarnya dulu kedua orang tuaku pernah menjalankan pabrik terasi dan aset kelautan tidak lagi berjalan. Namun, hasilnya tetap disimpan dalam bentuk rahasia. Mereka mengumpulkan aset demi diriku sendiri dan keluarganya. Pamanku sudah diberi bagian setelah mereka meninggal. Apalagi dulu mereka juga memiliki perkebunan sawit sekitar sepuluh hektar. Sayangnya, terjual dan sia-sia. Aku ingin meraup kembali perkebunan itu, tetapi aku masih belum yakin. ‘Akhirnya lega! Usaha dan nama baru akan segera dimulai.’ Gumamanku dalam hati. Perasaan dan pikiranku sudah tenang. Tapi, aku harus tiba lagi dimana rumah itu sangatlah menyakitkan. Apalagi di ujung penglihatanku terlihat jelas kalau rumah ibu mertuaku masih terlihat sunyi. Aku menghentikan sepeda motorku di depan halaman rumah. Mataku malah menyoroti bangunan sedang yang ada di depan rumah. Sepertinya ibu mertuaku sudah lebih t
“Oh, mulutmu ini keterlaluan sekali, Bu! Nggak takut sama kita? Jaga mulut!! Apa?!! Suami kita sering bayarin cewek di kafe? Wah, hati-hati kalo ngomong, Bu!!” Mursia angkat bicara. Jemari telunjuknya melonjak tinggi, dengan dua bola mata mencolot visus, menajam. “Kenapa emangnya?? Kenyataannya!!” Cantika berteriak sekencangnya dengan perlawanan kata yang menyayat hati si ibu-ibu itu. Akhirnya kuku yang mungkin tajam menghantam dengan cepat ke arah Cantika. Ibu mertuaku berteriak keras dari rumahnya. Dari ketiga ibu itu seakan kerasukan setan karena tidak terima dari ucapan mulut harimau ibu mertuaku.Dari arah rumah, aku pun terlonjak dan tanpa sadar kalau si Elvina sudah tertidur di atas karpet ruang tengah. Aku sudah tak peduli lagi, sehingga membawa pelarian cepat ini keluar dari rumah. Aku mendengar suara-suara lantang dari wanita yang mengamuk dari arah depan. Dan pelarianku benar-benar sampai tepat di muka pintu rumah ibu mertua. Mataku terbelalak tegang, melihat tiga lawan s
Dalam satu wilayah kampung. Tidak pernah ada kata tidak bergosip. Hampir di setiap anggota keluarga menampung seratus ribu pembicaraan tentang orang lain dalam sehari.Tepat ketika Minggu tiba. Pastinya semua kalangan bersekolah libur.Sialnya, motorku diberhentikan oleh beberapa ibu-ibu gendut. Ketiganya, di beberapa hari yang lalu.“Ada apa lagi, Bu? Aku mau buru-buru balik ke rumah.” Garis keningku mengapit hampir menyatu, sedangkan napas berembus sempit nan panjang.Masing-masing menawarkan wajah memelas sambil merapatkan tangan mereka di bawah perut. Dan tingkahnya itu, seperti anak berusia lima tahun yang baru saja dimarahi oleh ibunya.“Ngomong aja langsung, Bu.”Embusan terakhir, benar-benar resah. “Begini—“ Dimulai dari mulut ibu gendut bernama Mursia. Sambil melepaskan genggaman tangannya, “Kami cuma prihatin sama kamu, kenapa kamu sampe betah ya sama si Abbas?”“Iya, Haira, jangan tersinggung dulu, soalnya kami kelihatannya risih lihat tingkah lakunya si Abbas.”“Terus?”
Di atas tempat tidur seukuran satu orang dewasa. Kamar yang tidak seberapa luasnya.Ibu mertua yang cerewet malah membaringkan tubuhnya di atas sana.Bukan karna lelah atau merasa malam. Tapi, kelelahan setelah dia mengeluarkan emosi berlebih. Setelah marah-marah yang terlalu berlebihan.“Bu, makan bubur dulu, Bu.”Tanganku menggamit sendok diisi penuh dengan butiran bubur lembek.Kepala ibu mertuaku hanya menggeleng-geleng ringan. “Nanti.”Sesingkat itu, dia berkata setelah menggelengkan kepala.Mataku tak berhenti melamunkan diri sendiri di atas kursi samping tempat tidur.“Ibu mau makan apa?”“Ibu mau tidur.”Suara ibu mertua yang hanya terlihat sendu lagi lusuh. Jengkel, hanya bisa menahan diri.Aku menaruh mangkuk yang masih berisi penuh bubur, tepat di atas meja rias dekat ujung dinding rumah.“Kalo gitu, Haira mau cuci baju mama dulu.”“Nggak usah, nanti kalo sembuh ibu bisa.”“Nggak apa-apa, Bu, aku bisa nyucinya.”Seperti biasa, ibu mertua selalu merobohkan diri dengan tidak
“Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp
Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa
Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna
Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba
Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”
Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih
Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan
Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat
Satu kali terdorong, maka akan sering mendapat dorongan. Dorongan itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan menjatuhkan. Harga diriku sebagai seorang guru tersindirkan, hanya karena pangkat yang belum menjamin kehidupan.Apalah daya menjadi seorang guru honorer? Yang harus terus-menerus memikul beban. Tapi, selama hidupku menjadi seorang guru honorer. Alhamdulillah, hidupku tak pernah terlilit hutang atau hidup mewah yang luar biasa.Rasanya, aku bisa merasakan syukur yang lebih. Ini bahkan tak bisa dibayar dengan uang. Kalau dihitung, jasa ditambah dengan status sama dengan kesederhanaan.Jadi, istilah dalam prinsip hidupku adalah sebuah kesederhanaan. Tidak perlu berlebih-lebihkan. Andai diberi lebih, siapa yang akan menolak? Ini hidupku, dan inilah tentangku. Aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang terbaik. Siapa tahu kelak aku akan naik pangkat seperti mereka?Aku tak perduli ketika rekan tadi meledekku dengan sindirannya. Lebih kepada dengan memberinya sebuah senyuma