Share

Rahasia Berdua

Author: Rossystories
last update Last Updated: 2023-07-23 10:32:09

Ya, aku malah memalingkan wajah. Kakiku malah menghindar dari hadapan suamiku dan memasuki kamar dua anakku. Mereka sudah berbaring di atas tempat tidur masing-masing. Sebentar lagi mata lelah mereka akan tertidur pulas.

“Mama buatin susu dulu, ya.” Aku menatap lurus ke arah Elvina yang hanya meranggul tidak menyahut dengan kata.

Kakiku akhirnya dengan semangat menuju ruang dapur untuk membuatkan susu untuk si kecil. Si kecil yang nantinya akan beranjak sekolah. Aku tidak boleh jadi ibu yang berpura-pura bodoh akan hal itu.

Satu botol yang cukup untuk si kecil yang sedang termangu diam. Aku menyodorkan untuknya seorang. Sementara abangnya—Fathan berbaring memeluk guling kesukaannya. Guling yang sudah berusia sepantarnya. Dia menyukai guling itu semenjak kecil.

Tidak ada yang boleh menukarnya dengan guling yang lain, tetapi tetap boleh dicuci agar bersih. Putra sulungku itu memang sangat cerewet. Dia tidak suka berbau, tidak suka ada kotoran yang melekat di gulingnya. Nanti dia pasti akan merengek untuk meminta dicuci.

“Tidurlah, setelah itu mama juga mau tidur.” Aku ikut jadi rewel karena si kecil masih menggerak-gerakkan kakinya, menendang-nendang ke arahku. Tapi sebelah tangannya memegang kuat botol susu yang hampir setengah badan.

Kepalanya sesekali meranggul, tetapi kaki dan tangan tidak pernah berdiam diri. Apalagi mulutnya sangat aktif untuk berkata banyak.

Mataku hampir redup, sesekali jemari sebelah kananku terus menepuk bagian paha si kecil. Tampaknya dia benar-benar ingin tertidur setelah tepuk hangat menempel dan berulang-ulang. Hari ini sangat melelahkan dan menyusahkan.

Baru saja aku kembali kemarin, tapi hari ini aku benar-benar digilakan oleh mereka semua. Ibu mertuaku yang tidak suka dengan keadaan keluargaku di sana. Dia begitu sensitif dengan cerita keluargaku.

Aku juga tidak berani mengajak sepupu-sepupuku datang ke rumah. Kelak, pasti akan ada alasan untuknya marah-marah. Itu sudah pernah terjadi dan terus berulang-ulang. Dia tidak ingin aku memiliki teman, saudara yang sering berkunjung, apalagi orang yang datang ke rumah tanpa adanya basa-basi.

Akhirnya pikiranku sempat jatuh, lalu melirik ke arah Elvina yang sudah tertidur. Tangannya melemah, bibirnya berhenti untuk menyedot ujung karet lembut.

Aku menarik botolnya dengan pelan, lalu beranjak untuk membersihkannya. Malam telah mengurungku pada kenangan buruk. Antara suami yang kasar dan ibu mertua yang suka marah.

***

            Cerahnya matahari ketika aku ingin bersiap-siap pulang dari bekerja. Sekolah dasar adalah pilihanku untuk bekerja. Aku hanya lulusan D3 perguruan tinggi sebatas harapan. Menjadi guru honorer yang katanya akan ditiadakan.

Ah! Aku tidak akan peduli lagi dengan masalah seperti itu. Mataku melihat mereka semua telah berlalu dan menyapaku.

“Ibu.”

“Ibu Haira, kami pulang dulu.”

Hampir seluruh murid sekolah ini ramah denganku, aku bahkan tidak pernah memarahi mereka semua. Sifatku yang ceria dan hangat membuat mereka nyaman belajar bersamaku. Aku bangga, aku pun berharap akan menjadi seorang guru panutan mereka.

Kakiku mengguyur jalanan menuju parkiran di ujung tepi dinding. Salah satu rekan perempuan menyapaku sambil memakai helm.

“Ra, kamu langsung pulang nih? Nggak ikut ma kita ke rumah pak kepala sekolah?” tawar rekanku itu.

Dia Elina, temanku mengajar. Tapi dia berbeda denganku, dia adalah guru yang berdedikasi karena golongan yang tinggi. Menjadi pegawai negeri sipil adalah pilihannya menatap di sini. Aku ingin sekali seperti dirinya. Tapi belum saatnya aku sampai, mungkin suatu hari nanti.

“Ah, lain kali aja.”

Jawabanku dengan senyuman. Hari ini aku memang sedikit diam karena tujuanku untuk ke Toboali mengunjungi pamanku.

Aku muak dengan mereka semua! Jadi, aku harus menyiapkan beberapa keuanganku untuk digerakkan kembali.

“Ya udah, hati-hati Ra!”

Elina telah menduduki sepeda motornya hingga meninggalkanku. Walau dia termasuk orang yang memiliki golongan lebih tinggi dariku, tetapi dia termasuk orang yang dekat denganku. Ramah dan baik orangnya.

Sekarang giliranku, aku harus bersiap menuju tempat itu walau harus kutempuh puluhan kilometer. Aku tidak peduli.

Beruntung, pamanku bekerja di salah satu bagian kabupaten Koba. Dia termasuk pegawai negeri sipil yang ada di perkantoran kabupaten. Aku lebih dulu menghubunginya dengan pesan singkat. Jadi aku hanya menempuh perjalanan sekitar satu jam menuju daerah itu.

Rasanya tak singkat ketika aku harus melewati rintangan kecil ini. Setidaknya aku harus berjuang untuk menggapai keinginanku. Hartaku tidak akan kupendam lagi, yang akhirnya untuk kugerakkan supaya lebih meluas.

Satu jam berlalu di jalanan.

Terpampang jelas di muka bangunan kebupaten kota. Aku memarkir sepeda motor sambil melirik ke segala arah.

Tak sadar, kalau di ujung penglihatan seorang pria sudah menantiku. Beliau melambai di bawah keteduhan pohon.

 Seorang paman yang bersedia menunggu ketika waktu berkunjung dadakan. Aku pun segera turun dari sepeda motor, menaruh helm di dekat kaca spion. Kemudian aku melangkah mendekati sang paman.

Di sana, dia tersenyum untuk menungguku. Dialah salah satu keluarga yang paling dekat denganku. Paman yang memiliki nama Gani Ancala. Pria yang tadinya menyerahkan aset keluargaku secara tersembunyi.

Beberapa tahun lalu, aku masih menyimpannya agar tidak diketahui orang banyak. Hari ini, aku akan berani untuk membuka jalan agar namaku dapat dirahasiakan.

“Om, aku pengen gerakkin usaha.”

Tubuhku sudah di depan mata paman. Di bawah pepohonan taman yang tumbuh tidak terlalu tinggi. Tapi masih memberi kami keteduhan. Pamanku segera mendekat lalu menepuk bahu sebelah kananku.

“Kalau kamu pengen ngomong ini, mending kita makan siang dulu yuk!” ajak pamanku menarik bahuku agar tergerak.

Aku tidak mungkin menolak, apalagi perutku sedang kosong. Jika pulang agak terlambat sedikit pun tidak jadi masalah. Yang penting, aku bisa bersama sang paman untuk membicarakan lebih lanjut tentang pelarian usaha rahasiaku nanti.

“Kebetulan Haira juga laper, Om.” Aku sedikit mengeluarkan senyuman agar suasana hati kami saling berbicara antara paman dan keponakan.

Tidak jauh dari sana, hanya menyeberangi jalan menuju pinggiran rumah makan padang. Kami harus memesan terlebih dahulu. Baru setelahnya kami menunggu sajian itu datang.

“Nasinya pakai ayam bakar, ya.” Pamanku mengacungkan jemarinya mengarah tepat etalase yang di sana ada banyak pilihan ayam.

“Aku juga sama,” timpalku.

“Ayo!”

Pamanku Gani segera memutuskan untuk mendekati meja yang sudah disediakan. Aku dan paman bersitegang untuk membicarakan soal keuangan.

“Kamu yakin?” Pamanku seolah-olah tidak percaya kalau aku ingin memulainya.

“Yakin, Om. Aku udah ngga bisa nyimpen aset itu, kalau bisa ya harus dikembang.” Aku menimpali ucapan pamanku. Percaya diri dan harus melakukan apa yang aku inginkan.

Aset yang terpendam tidak seharusnya dibiarkan berlama-lama. Harus tetap mengalir beriringnya waktu berjalan. Apalagi dalam jumlah yang banyak. Jika sedikit itu tidaklah perlu.

“Baiklah, nanti paman bantu kamu. Tapi ingat! Jangan sampai keluargamu tahu kalau perusahaan itu milik kamu. Paman cuma berharap buat ngajaga amanah dari mama kamu.”

Aku meranggul sambil mengacungkan ibu jari. Itu tandanya aku setuju! Di saat bersamaan, makanan sudah sampai di atas meja kami.

Namun, apakah rahasia di antara kami tetap aman?

Related chapters

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Perjalanan

    Perjalanan pulang yang memang memakan waktu. Namun, hatiku jadi merasa tenang karena akan memulainya. Walau sebenarnya dulu kedua orang tuaku pernah menjalankan pabrik terasi dan aset kelautan tidak lagi berjalan. Namun, hasilnya tetap disimpan dalam bentuk rahasia. Mereka mengumpulkan aset demi diriku sendiri dan keluarganya. Pamanku sudah diberi bagian setelah mereka meninggal. Apalagi dulu mereka juga memiliki perkebunan sawit sekitar sepuluh hektar. Sayangnya, terjual dan sia-sia. Aku ingin meraup kembali perkebunan itu, tetapi aku masih belum yakin. ‘Akhirnya lega! Usaha dan nama baru akan segera dimulai.’ Gumamanku dalam hati. Perasaan dan pikiranku sudah tenang. Tapi, aku harus tiba lagi dimana rumah itu sangatlah menyakitkan. Apalagi di ujung penglihatanku terlihat jelas kalau rumah ibu mertuaku masih terlihat sunyi. Aku menghentikan sepeda motorku di depan halaman rumah. Mataku malah menyoroti bangunan sedang yang ada di depan rumah. Sepertinya ibu mertuaku sudah lebih t

    Last Updated : 2023-07-24
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tetangga Bermulut Kasar

    “Oh, mulutmu ini keterlaluan sekali, Bu! Nggak takut sama kita? Jaga mulut!! Apa?!! Suami kita sering bayarin cewek di kafe? Wah, hati-hati kalo ngomong, Bu!!” Mursia angkat bicara. Jemari telunjuknya melonjak tinggi, dengan dua bola mata mencolot visus, menajam. “Kenapa emangnya?? Kenyataannya!!” Cantika berteriak sekencangnya dengan perlawanan kata yang menyayat hati si ibu-ibu itu. Akhirnya kuku yang mungkin tajam menghantam dengan cepat ke arah Cantika. Ibu mertuaku berteriak keras dari rumahnya. Dari ketiga ibu itu seakan kerasukan setan karena tidak terima dari ucapan mulut harimau ibu mertuaku.Dari arah rumah, aku pun terlonjak dan tanpa sadar kalau si Elvina sudah tertidur di atas karpet ruang tengah. Aku sudah tak peduli lagi, sehingga membawa pelarian cepat ini keluar dari rumah. Aku mendengar suara-suara lantang dari wanita yang mengamuk dari arah depan. Dan pelarianku benar-benar sampai tepat di muka pintu rumah ibu mertua. Mataku terbelalak tegang, melihat tiga lawan s

    Last Updated : 2023-07-25
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tetangga Repot dan Merepotkan Hati

    Dalam satu wilayah kampung. Tidak pernah ada kata tidak bergosip. Hampir di setiap anggota keluarga menampung seratus ribu pembicaraan tentang orang lain dalam sehari.Tepat ketika Minggu tiba. Pastinya semua kalangan bersekolah libur.Sialnya, motorku diberhentikan oleh beberapa ibu-ibu gendut. Ketiganya, di beberapa hari yang lalu.“Ada apa lagi, Bu? Aku mau buru-buru balik ke rumah.” Garis keningku mengapit hampir menyatu, sedangkan napas berembus sempit nan panjang.Masing-masing menawarkan wajah memelas sambil merapatkan tangan mereka di bawah perut. Dan tingkahnya itu, seperti anak berusia lima tahun yang baru saja dimarahi oleh ibunya.“Ngomong aja langsung, Bu.”Embusan terakhir, benar-benar resah. “Begini—“ Dimulai dari mulut ibu gendut bernama Mursia. Sambil melepaskan genggaman tangannya, “Kami cuma prihatin sama kamu, kenapa kamu sampe betah ya sama si Abbas?”“Iya, Haira, jangan tersinggung dulu, soalnya kami kelihatannya risih lihat tingkah lakunya si Abbas.”“Terus?”

    Last Updated : 2023-07-26
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Ibu Mertua Sakit

    Di atas tempat tidur seukuran satu orang dewasa. Kamar yang tidak seberapa luasnya.Ibu mertua yang cerewet malah membaringkan tubuhnya di atas sana.Bukan karna lelah atau merasa malam. Tapi, kelelahan setelah dia mengeluarkan emosi berlebih. Setelah marah-marah yang terlalu berlebihan.“Bu, makan bubur dulu, Bu.”Tanganku menggamit sendok diisi penuh dengan butiran bubur lembek.Kepala ibu mertuaku hanya menggeleng-geleng ringan. “Nanti.”Sesingkat itu, dia berkata setelah menggelengkan kepala.Mataku tak berhenti melamunkan diri sendiri di atas kursi samping tempat tidur.“Ibu mau makan apa?”“Ibu mau tidur.”Suara ibu mertua yang hanya terlihat sendu lagi lusuh. Jengkel, hanya bisa menahan diri.Aku menaruh mangkuk yang masih berisi penuh bubur, tepat di atas meja rias dekat ujung dinding rumah.“Kalo gitu, Haira mau cuci baju mama dulu.”“Nggak usah, nanti kalo sembuh ibu bisa.”“Nggak apa-apa, Bu, aku bisa nyucinya.”Seperti biasa, ibu mertua selalu merobohkan diri dengan tidak

    Last Updated : 2023-07-28
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Dikenal Menjadi Guru Terbaik

    “Ada yang bolos, siapa?”Elina, rekan kerjaku yang menjadi wali kelas 6b di tingkat paling atas. Sementara diriku hanya sebagai guru yang mengajar kelas bawah, yakni muridnya masih sangat lucu, kelas 2a.“Maaf ganggu kelasnya sebentar,” ucap Elina mendekatiku yang masih duduk di meja pengajar.Elina mendekatkan bibirnya ke telingaku yang diselimuti oleh hijab panjang.“Anak kelas aku, Ra, cuma aku hari ini ada urusan jadi aku mau minta tolong sebentar.”Elina menegakkan kembali kepalanya setelah bisikan itu terdengar kelas di telingaku.“Jadi, maksud kamu harus aku yang awasi anak itu di kelas?”“Hm, begitulah, aku sekalian mau bikin surat buat orang tua anak itu.” Elina menyodorkan ponsel yang berisi banyaknya teks berbasis word. “Tolong isi materi kelas, ya.”“Lah, bukannya kalo kosong bisa diisi sama ibu kepala sekolah?” Aku mulai mengerutkan kening, rasanya kurang yakin karna jarang sekali guru kelas meminta bantuan kepada guru honorer seperti diriku.“Aku udah minta izin, daripad

    Last Updated : 2023-07-31
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Mendadak Tegang

    “Maaf, Bu Kepala Sekolah, saya sangat menghargai anda sebagai kepala di sini.” Dengan nada penuh tanggung jawab tanpa rasa takut, “Tapi saya sudah bertahun-tahun mendidik anak-anak di sekolah ini, bukan seperti itu cara mendidik murid yang benar!”Lantas, nadaku yang penuh emosional ini pun mulai mengecam tanda hijau kuning untuk ibu kepala sekolah.Wanita gemuk tinggi yang tanpa hijabnya itu, masih memendam kekesalan namun kehabisan kata-kata.Aku pun bergegas pergi tanpa ragu. Tak lama setelah aku mencaci maki atasan sendiri.Satu bulan kemudian, kepala sekolah terjerat kasus korupsi.***Lagi-lagi kenangan buruk menghantuiku dalam kelas. Tak begitu lama pelajaran telah usai.Semua murid berserakan untuk mengatur baris. Mereka dipimpin oleh ketua kelas agar keluar sesuai perintah guru.Aku mulai menindaklanjuti ketegasan ketua kelas.“Assalamualaikum warrohmatullahi wabarakatuh!”Suara yang menjerit bukan tanda marah. Itu teriakan dari sekumpulan murid dalam satu kelas.Begitu antus

    Last Updated : 2023-08-03
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Masalah Pertama Fathan

    Seakan menikam mental dalam sekali entakan. Ini pertanyaan penuh darurat.Rupa Abbas yang senantiasa menjadi sirene maupun rambu-rambu, selalu diperhatikan dengan hati-hati.Napasku mendadak tertahan sesaat. Lalu mengembusnya secara perlahan sambil menjawab, “A-Apa yang kau tanyakan, Bang? Bukankah kau yang sendiri bilang kalau kedua orang tuaku bangkrut.”Abbas memiringkan kepalanya, berdengus napas kecewa. Kemudian dia kembali melenggak tegas sambil memainkan tangan.“Aduh, bangkrut sih bangkrut, Haira.” Sedikit berpikir, “Tapi kan siapa tahu dia punya simpanan lain.”“Nggak mungkin kan orang bangkrut kehilangan segala hartanya secara nihil.”Abbas menahan posisi tangan ditegakkan ke hadapanku.Dia berharap agar aku meneruskan kalimatnya, yang sehingga mendorongku untuk mencegah atau mengungkap rahasia besar.“Ah, kau ini mengada-ngada!”Tanganku melambai ringan, sebaiknya aku melangkah untuk keluar dari ruang kamar.Ditinggalkan sang suami duduk termenung. Akhirnya aku benar-benar

    Last Updated : 2023-08-05
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Wanita Keras Kepala

    “Oh, ini ya orang tuanya Fathan!” Suara nyaring menggusur suasana tenang di balik pintu masuk ruang para guru. Setibanya seorang wanita berpostur tubuh gendut mulai memberi aba-aba sambil membawa kemarahan. Di lengannya ada tas tangan bergelantungan. Wanita yang memakai setelan celana standar panjang dengan kemeja seperempat lengan menghampiri kami berdua. Alisnya memuncak tegang, tanpa memberi salam bahwa dirinya mencari wali murid bersangkutan. Tak hanya diriku yang terperanjak, tetapi semua guru ikut terlongong-longong. “Mohon tenang dulu, Bu Meli, di sini ada banyak pendidik murid, tidak baik bersuara tidak sopan di sini.” Ibu yang sesekali menatapku ketus lantas mencoba mengatur napas. Emosi yang terlihat jelas bahwa dia tidak baik. “Duduk dulu, Bu.” Guru kelas Fathan menyodorkan kursi untuk si wali murid. Tubuhnya tak berhenti menggeliat karena tiba celetuknya cukup kasar. “Khusus wali orang tua murid, mohon dipersilakan memasuki ruang kepala sekolah.” Terdengar suara

    Last Updated : 2023-08-06

Latest chapter

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tidak dengan Kekerasan

    “Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kedatangan Sang Paman

    Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kantin Bu Melda

    Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tentang Ibu Maina

    Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kakak-Beradik

    Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Ada yang Berpura-pura Miskin

    Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Hati Hasad

    Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Saling Mengenal

    Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Untung Saja!

    Satu kali terdorong, maka akan sering mendapat dorongan. Dorongan itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan menjatuhkan. Harga diriku sebagai seorang guru tersindirkan, hanya karena pangkat yang belum menjamin kehidupan.Apalah daya menjadi seorang guru honorer? Yang harus terus-menerus memikul beban. Tapi, selama hidupku menjadi seorang guru honorer. Alhamdulillah, hidupku tak pernah terlilit hutang atau hidup mewah yang luar biasa.Rasanya, aku bisa merasakan syukur yang lebih. Ini bahkan tak bisa dibayar dengan uang. Kalau dihitung, jasa ditambah dengan status sama dengan kesederhanaan.Jadi, istilah dalam prinsip hidupku adalah sebuah kesederhanaan. Tidak perlu berlebih-lebihkan. Andai diberi lebih, siapa yang akan menolak? Ini hidupku, dan inilah tentangku. Aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang terbaik. Siapa tahu kelak aku akan naik pangkat seperti mereka?Aku tak perduli ketika rekan tadi meledekku dengan sindirannya. Lebih kepada dengan memberinya sebuah senyuma

DMCA.com Protection Status