Ah! Buat apa aku melamun berdiri menghadapi masalah yang kurang pasti. Ibuku tidak gila! Tapi terkadang dia suka memarahi kami tanpa sebab. Mungkin, karena aku tadi sempat menimbrung bersama tetangga dekat, dan kemarin baru pulang dari Toboali—kampung halamanku.
Tapi rasanya aku tidak percaya kalau ibu mertuaku ternyata memarahiku hanya karena berbincang dengan tetangga. Dia mungkin malu, waspada, dan cemas sendiri. Akhirnya kakiku memerintah untuk memasuki rumah.Baru saja aku menutupi pintu, terdengar suara yang memecah rumah di depan. Aku sontak terperanjak, ketika suara adik iparku ikut campur.“Bang, kenapa mama di rumah? Kayaknya dia bertengkar sama adikmu,” ungkapku khawatir. Kepalaku spontan menoleh mengarah si suami yang sedang berbaring di atas sofa tamu.“Ah, biarin ajalah! Mereka kan emang sering kayak gitu.” Suamiku malah mengalihkan pembicaraan dengan gadget yang ada dalam genggamannya.Aku harus menahan napas sejenak dan melangkah melewati dirinya. Aku tidak ingin ikut campur lagi dengan masalah ibuku yang sedang marah.Tapi, hatiku tidak pernah tenang!Ibu mendatangi kami dengan suaranya yang lantang. Kali ini lebih keras dan tidak memedulikan dunia melihat.“Mana? Mana? Bagus ya, kamu! Bilang apa kamu tadi? Gila!!”“Kau pikir kalau tidak ada orang gila ini kau bisa lahir? Hah!!”“Enak saja ngomong kayak gitu!”Aku beranjak, tepat dimana suamiku memandang wajahku yang menegang. Ada apa lagi??“Ih, si mama ada-ada aja kalo udah malem begini! Pasti dah dia kek kerasukan lagi.” Abbas menjauh, melewati diriku sendiri untuk menyembunyikan si ibunya dari balik tirai jendela.
Rupanya ibu tidak sendiri, seorang lelaki menghampiri dirinya. Siapa lagi kalau bukan anaknya sendiri? Rafasya membujuk ibunya, suaranya agak merendah. “Ma, malu. Ini udah malem. Lagian nggak ada kegunaan ngungkit masa lalu di depan umum.” Suara Rafasya terdengar rapuh, mungkin dia mendesak ibunya agar penurut. “Alah, bodo amat dah!” Itu suara ibu mertuaku yang memberontak. Rasa kesalnya seakan tidak bisa ditahan-tahan. Abbas terus mengintip, sedangkan aku hanya terpaku menatap suamiku yang akhirnya mengalah dari balik tirai jendela. “Ah, nggak bisa dibiarin!”Aku baru saja melihat tingkah dan suara ibuku tadi petang, sekarang dia mulai lagi bertingkah di tengah malam. Baru saja jam sepuluh malam, dia mengamuk di depan rumahku. Rasanya aku sudah muak dengan tingkah ibu mertuaku yang selalul merengek dan memaki diriku dan suamiku. Dia selalu berulang-ulang, entah datangnya bulan terang atau memang unek-uneknya tidak tersampaikan? Akhirnya, Abbas keluar bersamaku dari pintu depan. Kami berdua memperhatikan keringat ibuku yang masih membuncah. Rupanya dia tidak akan mempan ditegur, Abbas memberi kode kepada Rafasya untuk membawa ibunya kembali. “Aku orang gila! Ya, semua orang udah pernah ngomong aku gila, Kalo aku gila, kenapa kamu masih percaya sama aku? Hah!!”Karena kesal, Abbas mulai melangkah untuk menyambut kedua tangan ibuku yang terus memekik. “Ma, hentikan! Tidak malu apa? Sudah malem mulai ngeganggu orang lagi istirahat,” cecah Abbas memegang tangan kuat ibunya yang hendak memberontak. Aku melangkah, menggeser kakiku agar lebih dekat dengan ibu mertua dan suamiku. Suaranya pecah, memekik telinga kami. Saya sudah tidak mendengar lagi apa yang dia katakan. Tapi aku mencoba meraba dan membujuk ibuku agar berhenti. “Ma, mending kita balik ke rumah. Kita ngomong baik-baik, ayo.” Tanganku sampai memegang lengan ibu mertuaku. Lantas, dia masih saja memberontak untuk bisa mengeluarkan segala unek-unek kepada orang lain. Mungkin, jika orang mendengar akan iba. Tapi dia tidak tahu kalau semua orang pasti akan mencaci maki dirinya.Aku berusaha menahan suara kerasnya yang menyayat hatiku secara bersamaan. “Eh, kamu tahu nggak mama kamu dulu ngomong apa sama aku? Katanya aku nggak pantas pakai hijab, udah berdosa nggak usah sok suci. Terus, dia juga bilang uangnya kasih ke kamu aja biar aku nggak usah belanja. Enak bener!!” “Dasar miskin!!” Ibuku dengan katanya cukup menekan batin. Ibu mertuaku tampaknya masih merasa kesal dan mengungkit masa lalu. Padahal, ibuku sudah tiada dan pasti tidak akan kembali ke dunia ini. Resah! Telingaku rasanya sudah panas mendengar omelannya selama ini. Akhirnya aku muak! Aku pun berbalik membentaknya.“Oke, mama nggak usah lagi liat aku sebagai menantu atau anak! Aku juga udah muak. Aku punya perasaan, jangan cuma gara-gara mama kalah di masa lalu mama jadi berontak sama aku. Aku bagaimana harus lagi? Semuanya udah aku kasih ke mama, tapi mama jadi berontak dan menginjak harga diriku.” Aku mundur, keringat dinginku menjadi basah. Abbas ikut menoleh mengarah ke wajahku. Kedua tangannya malah melepas dan melapisi salah satu tangannya ke pipiku. Plak! Satu tamparan cukup keras ke arahku. Wajahku jadi malu dari hadapan ibunya. “Kak Abbas, cukup!” pekik Rafasya. Si adik laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya dari sang ibunda. Dia malah mendekati si kakak yang sudah berani memukul wajahku lagi.Aku terpaksa menahan panasnya tamparan yang melekat di pipi kananku. Rasanya benar-benar muak! Di antara ibu yang berontak dan suami yang kasar. “Kau itu nggak tahu diuntung! Bukannya malah ngeredain suasana malah jadi ngerepotin.” Abbas menunjuk-nunjuk ke arahku. Jemarinya memanas, amarahnya cukup naik. Tapi Rafasya memaksa kakaknya untuk mundur, dan membawa pergi ibunya dari depan halaman rumah kami. “Nah, syukurin! Enak kan rasanya dipukul?!” Ibu mertuaku meledek dengan napas geram, bercampur emosi yang masih terpendam. Aku melirik pelan mengarah ke dua arah yang berbeda. Karena kesal, saya jadi berbalik dan tidak mengacuhkan keduanya. Kakiku seakan geli, tapi aku tetap memaksakan kuat untuk menempuh tujuan pintu rumah.Tatapanku seakan jatuh tidak akan menoleh ke arah suamiku yang lagi-lagi tangan utama. Tapi telapak tangan masih menempel erat pipi kananku. Dua anakku jadi pengaruh besar dari kekerasan rumah tangga. Tapi aku berusaha menahan air mata agar tidak jatuh membasahi pipiku. Aku masuk dan membiarkan kedua anakku tidur sendiri. Aku mengunci di kamar, lalu meneteskan buir air mata. Betapa sakitnya harus mendengar masa lalu mendesakku untuk melakukan hal yang lebih baik. Padahal, selama ini aku sudah memberikan seluruh kebaikan dan harga diri demi mertuaku. Nanti suamiku, dia selalu enteng. 'Aku harus bermain dengan uangku selama ini. Akan kutunjukkan pada mereka kalau aku bukan orang miskin lagi.'Dalam hatiku mulai bertanggung jawab atas hartaku selama ini yang terpendam. Mataku berkelebat, sinar menatap ke arah depan. Air mata yang basah ini menjadi sangat mengering karena tekadku menggeliat untuk menjadi maju. 'Aku harus membuktikannya.' “Ma, Mama!” Panggilan untuk diriku, tidak kusahut karena kalut. Kesalnya masih berkepanjangan. Mataku masih basah karena lendir di antara beningnya bola mata. Tapi, suamiku terus mendesakku untuk memintaku membuka pintu. Dur! Dur! Dur! “Mama, bukain cepet! Kenapa sih pake ditutup segala?!” Suara suamiku terdengar muak! Akhirnya sulit memaksa untuk membuka pintu kamar. Dengan kasarnya, dia mendorong gagang pintu agar tidak ditutup olehku lagi. Dia berpikir kalau aku pasti akan menutupnya kembali.“Jangan keseringan, awas ya!” ancamnya saya.Ya, aku malah memalingkan wajah. Kakiku malah menghindar dari hadapan suamiku dan memasuki kamar dua anakku. Mereka sudah berbaring di atas tempat tidur masing-masing. Sebentar lagi mata lelah mereka akan tertidur pulas.“Mama buatin susu dulu, ya.” Aku menatap lurus ke arah Elvina yang hanya meranggul tidak menyahut dengan kata.Kakiku akhirnya dengan semangat menuju ruang dapur untuk membuatkan susu untuk si kecil. Si kecil yang nantinya akan beranjak sekolah. Aku tidak boleh jadi ibu yang berpura-pura bodoh akan hal itu.Satu botol yang cukup untuk si kecil yang sedang termangu diam. Aku menyodorkan untuknya seorang. Sementara abangnya—Fathan berbaring memeluk guling kesukaannya. Guling yang sudah berusia sepantarnya. Dia menyukai guling itu semenjak kecil.Tidak ada yang boleh menukarnya dengan guling yang lain, tetapi tetap boleh dicuci agar bersih. Putra sulungku itu memang sangat cerewet. Dia tidak suka berbau, tidak suka ada kotoran yang melekat di gulingnya. Nanti dia pasti a
Perjalanan pulang yang memang memakan waktu. Namun, hatiku jadi merasa tenang karena akan memulainya. Walau sebenarnya dulu kedua orang tuaku pernah menjalankan pabrik terasi dan aset kelautan tidak lagi berjalan. Namun, hasilnya tetap disimpan dalam bentuk rahasia. Mereka mengumpulkan aset demi diriku sendiri dan keluarganya. Pamanku sudah diberi bagian setelah mereka meninggal. Apalagi dulu mereka juga memiliki perkebunan sawit sekitar sepuluh hektar. Sayangnya, terjual dan sia-sia. Aku ingin meraup kembali perkebunan itu, tetapi aku masih belum yakin. ‘Akhirnya lega! Usaha dan nama baru akan segera dimulai.’ Gumamanku dalam hati. Perasaan dan pikiranku sudah tenang. Tapi, aku harus tiba lagi dimana rumah itu sangatlah menyakitkan. Apalagi di ujung penglihatanku terlihat jelas kalau rumah ibu mertuaku masih terlihat sunyi. Aku menghentikan sepeda motorku di depan halaman rumah. Mataku malah menyoroti bangunan sedang yang ada di depan rumah. Sepertinya ibu mertuaku sudah lebih t
“Oh, mulutmu ini keterlaluan sekali, Bu! Nggak takut sama kita? Jaga mulut!! Apa?!! Suami kita sering bayarin cewek di kafe? Wah, hati-hati kalo ngomong, Bu!!” Mursia angkat bicara. Jemari telunjuknya melonjak tinggi, dengan dua bola mata mencolot visus, menajam. “Kenapa emangnya?? Kenyataannya!!” Cantika berteriak sekencangnya dengan perlawanan kata yang menyayat hati si ibu-ibu itu. Akhirnya kuku yang mungkin tajam menghantam dengan cepat ke arah Cantika. Ibu mertuaku berteriak keras dari rumahnya. Dari ketiga ibu itu seakan kerasukan setan karena tidak terima dari ucapan mulut harimau ibu mertuaku.Dari arah rumah, aku pun terlonjak dan tanpa sadar kalau si Elvina sudah tertidur di atas karpet ruang tengah. Aku sudah tak peduli lagi, sehingga membawa pelarian cepat ini keluar dari rumah. Aku mendengar suara-suara lantang dari wanita yang mengamuk dari arah depan. Dan pelarianku benar-benar sampai tepat di muka pintu rumah ibu mertua. Mataku terbelalak tegang, melihat tiga lawan s
Dalam satu wilayah kampung. Tidak pernah ada kata tidak bergosip. Hampir di setiap anggota keluarga menampung seratus ribu pembicaraan tentang orang lain dalam sehari.Tepat ketika Minggu tiba. Pastinya semua kalangan bersekolah libur.Sialnya, motorku diberhentikan oleh beberapa ibu-ibu gendut. Ketiganya, di beberapa hari yang lalu.“Ada apa lagi, Bu? Aku mau buru-buru balik ke rumah.” Garis keningku mengapit hampir menyatu, sedangkan napas berembus sempit nan panjang.Masing-masing menawarkan wajah memelas sambil merapatkan tangan mereka di bawah perut. Dan tingkahnya itu, seperti anak berusia lima tahun yang baru saja dimarahi oleh ibunya.“Ngomong aja langsung, Bu.”Embusan terakhir, benar-benar resah. “Begini—“ Dimulai dari mulut ibu gendut bernama Mursia. Sambil melepaskan genggaman tangannya, “Kami cuma prihatin sama kamu, kenapa kamu sampe betah ya sama si Abbas?”“Iya, Haira, jangan tersinggung dulu, soalnya kami kelihatannya risih lihat tingkah lakunya si Abbas.”“Terus?”
Di atas tempat tidur seukuran satu orang dewasa. Kamar yang tidak seberapa luasnya.Ibu mertua yang cerewet malah membaringkan tubuhnya di atas sana.Bukan karna lelah atau merasa malam. Tapi, kelelahan setelah dia mengeluarkan emosi berlebih. Setelah marah-marah yang terlalu berlebihan.“Bu, makan bubur dulu, Bu.”Tanganku menggamit sendok diisi penuh dengan butiran bubur lembek.Kepala ibu mertuaku hanya menggeleng-geleng ringan. “Nanti.”Sesingkat itu, dia berkata setelah menggelengkan kepala.Mataku tak berhenti melamunkan diri sendiri di atas kursi samping tempat tidur.“Ibu mau makan apa?”“Ibu mau tidur.”Suara ibu mertua yang hanya terlihat sendu lagi lusuh. Jengkel, hanya bisa menahan diri.Aku menaruh mangkuk yang masih berisi penuh bubur, tepat di atas meja rias dekat ujung dinding rumah.“Kalo gitu, Haira mau cuci baju mama dulu.”“Nggak usah, nanti kalo sembuh ibu bisa.”“Nggak apa-apa, Bu, aku bisa nyucinya.”Seperti biasa, ibu mertua selalu merobohkan diri dengan tidak
“Ada yang bolos, siapa?”Elina, rekan kerjaku yang menjadi wali kelas 6b di tingkat paling atas. Sementara diriku hanya sebagai guru yang mengajar kelas bawah, yakni muridnya masih sangat lucu, kelas 2a.“Maaf ganggu kelasnya sebentar,” ucap Elina mendekatiku yang masih duduk di meja pengajar.Elina mendekatkan bibirnya ke telingaku yang diselimuti oleh hijab panjang.“Anak kelas aku, Ra, cuma aku hari ini ada urusan jadi aku mau minta tolong sebentar.”Elina menegakkan kembali kepalanya setelah bisikan itu terdengar kelas di telingaku.“Jadi, maksud kamu harus aku yang awasi anak itu di kelas?”“Hm, begitulah, aku sekalian mau bikin surat buat orang tua anak itu.” Elina menyodorkan ponsel yang berisi banyaknya teks berbasis word. “Tolong isi materi kelas, ya.”“Lah, bukannya kalo kosong bisa diisi sama ibu kepala sekolah?” Aku mulai mengerutkan kening, rasanya kurang yakin karna jarang sekali guru kelas meminta bantuan kepada guru honorer seperti diriku.“Aku udah minta izin, daripad
“Maaf, Bu Kepala Sekolah, saya sangat menghargai anda sebagai kepala di sini.” Dengan nada penuh tanggung jawab tanpa rasa takut, “Tapi saya sudah bertahun-tahun mendidik anak-anak di sekolah ini, bukan seperti itu cara mendidik murid yang benar!”Lantas, nadaku yang penuh emosional ini pun mulai mengecam tanda hijau kuning untuk ibu kepala sekolah.Wanita gemuk tinggi yang tanpa hijabnya itu, masih memendam kekesalan namun kehabisan kata-kata.Aku pun bergegas pergi tanpa ragu. Tak lama setelah aku mencaci maki atasan sendiri.Satu bulan kemudian, kepala sekolah terjerat kasus korupsi.***Lagi-lagi kenangan buruk menghantuiku dalam kelas. Tak begitu lama pelajaran telah usai.Semua murid berserakan untuk mengatur baris. Mereka dipimpin oleh ketua kelas agar keluar sesuai perintah guru.Aku mulai menindaklanjuti ketegasan ketua kelas.“Assalamualaikum warrohmatullahi wabarakatuh!”Suara yang menjerit bukan tanda marah. Itu teriakan dari sekumpulan murid dalam satu kelas.Begitu antus
Seakan menikam mental dalam sekali entakan. Ini pertanyaan penuh darurat.Rupa Abbas yang senantiasa menjadi sirene maupun rambu-rambu, selalu diperhatikan dengan hati-hati.Napasku mendadak tertahan sesaat. Lalu mengembusnya secara perlahan sambil menjawab, “A-Apa yang kau tanyakan, Bang? Bukankah kau yang sendiri bilang kalau kedua orang tuaku bangkrut.”Abbas memiringkan kepalanya, berdengus napas kecewa. Kemudian dia kembali melenggak tegas sambil memainkan tangan.“Aduh, bangkrut sih bangkrut, Haira.” Sedikit berpikir, “Tapi kan siapa tahu dia punya simpanan lain.”“Nggak mungkin kan orang bangkrut kehilangan segala hartanya secara nihil.”Abbas menahan posisi tangan ditegakkan ke hadapanku.Dia berharap agar aku meneruskan kalimatnya, yang sehingga mendorongku untuk mencegah atau mengungkap rahasia besar.“Ah, kau ini mengada-ngada!”Tanganku melambai ringan, sebaiknya aku melangkah untuk keluar dari ruang kamar.Ditinggalkan sang suami duduk termenung. Akhirnya aku benar-benar
“Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp
Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa
Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna
Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba
Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”
Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih
Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan
Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat
Satu kali terdorong, maka akan sering mendapat dorongan. Dorongan itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan menjatuhkan. Harga diriku sebagai seorang guru tersindirkan, hanya karena pangkat yang belum menjamin kehidupan.Apalah daya menjadi seorang guru honorer? Yang harus terus-menerus memikul beban. Tapi, selama hidupku menjadi seorang guru honorer. Alhamdulillah, hidupku tak pernah terlilit hutang atau hidup mewah yang luar biasa.Rasanya, aku bisa merasakan syukur yang lebih. Ini bahkan tak bisa dibayar dengan uang. Kalau dihitung, jasa ditambah dengan status sama dengan kesederhanaan.Jadi, istilah dalam prinsip hidupku adalah sebuah kesederhanaan. Tidak perlu berlebih-lebihkan. Andai diberi lebih, siapa yang akan menolak? Ini hidupku, dan inilah tentangku. Aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang terbaik. Siapa tahu kelak aku akan naik pangkat seperti mereka?Aku tak perduli ketika rekan tadi meledekku dengan sindirannya. Lebih kepada dengan memberinya sebuah senyuma