Share

Terus Seperti itu

Penulis: Rossystories
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-18 12:20:21

            Aku melihat rautnya si suami dengan segala ketenangan. Tampaknya dia baik-baik saja dengan sikap diamnya melangkah. Namun tiba-tiba kakinya berhenti tepat di muka pintu yang masih tertutup. Kepalanya menoleh ke balik belakang, tepat di depanku.

“Hei, kamu nggak liat aku bawa banyak barang?!” tegurnya sedikit menyayat pikiranku.

Maka tanganku segera meraih bungkusan yang ada di tangannya. Tidak ada kesulitan bagiku untuk merampas dari tangannya. Kemudian suamiku ini langsung membuka pintu tanpa harus menatap ramah.

Ya, seperti biasa! Dia tidak akan seramah suami lain di depan mataku. Pikirku lagi.

Lagi-lagi, nasib sial menghantuiku. Dia melihat dulang yang tidak terlihat apa-apa. Maka kedua mataku memelotot kaku di hadapannya. Tanganku segera menaruh bungkusan di sudut ruangan dapur.

“Eh, kamu nggak masak?” Terdengar suaranya agak rendah. Tidak memulai pertengkaran, maka aku akan hati-hati untuk menyahut.

Tubuhku yang geloyor untuk menaruh bungkusan yang dibawa olehnya terpaksa menegak lagi. Secara berpura-pura aku tersenyum. “Hehe, baru mau masak, Bang.”

Wah! Jawabanku seolah-olah dia akan toleransi. Nyatanya tidak!

Tangannya spontan mengayun cepat mengarah kepalaku. Di saat bersamaan, kepalaku tertunduk sambil mengangkat kedua tanganku untuk melindungi kepala yang paling berharga.

Buk!

Kena juga kepalaku! Dia kasar lagi, entah tangannya terbuat dari apa? Sehingga, begitu entengnya memukul seorang perempuan. Rasa amarahku yang tertunda, bahkan suasana hatiku sedikit tenang menjadi pilu.

“Kerja apaan kamu ini? Kantoran kok nggak masak. Jadi pejabat kalo gitu! Masak tinggal panggil pembantu. Orang suami baru balik perut kosong, lauk nggak ada. Mau jadi istri apaan kamu ini!!”

Ya, dia mulai celoteh lagi. Suaranya bahkan melengking keras sampai ke depan rumah. Tidak heran kalau dia selalu memarahiku ketika pulang bekerja. Masak salah, tidak masak pun tetap salah. Karena kurang asin dia marah, maka tidak tahu lagi harus bagaimana.

Tanganku harus gesit meraih bahan-bahan masakan. Tidak peduli suaranya melengking, tetapi aku tidak boleh duduk termenung. Jika begitu, maka aku akan mendapat perlakuan kasar lagi. Kemungkinan akan lebih menyakitkan.

Aku tidak mau!

Walau aku sudah menyiapkan seluruh bahan masakan, tetapi celopar suamiku tidak henti. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

“Punya istri malas! Pulang kerja pasti tuh ngobrol sama ibu-ibu. Udah kek pejabat aja!”

“Eeehh … nggak tahunya lauk zonk, rumah nggak disapu,”

“lihat tuh dua anaknya! Main terus sampe nggak usah mandi.”

Aduh! Aku harus memasak sambil meracik bumbu dengan omelan suamiku. Entah apa jadi masakanku kalau begini? Tangan-tangan bulat ini tidak lagi lentik untuk meracik bumbu lebih tenang. Padahal, memasak adalah seni yang dapat membuang rasa jenuh dan pikiran.

Jika mendengar ocehan yang dilontarkan pak suami, maka hanya bisa menahan dan bertabah untuk beberapa saat. Kelak, dia akan mereda seiringnya waktu berjalan.

Lalu, sekian lama aku menunggu masakanku hadir di depan kompor. Akhirnya aroma terpanggil untuk memenuhi menu di sana. Abbas benar-benar jahil dengan tangan, tetapi dia cepat mengubah situasi menjadi hangat.

“Nah, gitu dong! Jadi istri itu harus masak. Suami ini butuh asupan bergizi. Masa aku harus jajan di luar terus! Kantong juga bolong kalo lama-lama begitu.”

Dia tidak mau menerima piring kosong, tetapi aku harus menyiapkan nasi hangat di piring. Jika tidak, dia akan mengomel lagi. Lalu tanganku meraih nasi yang sudah aku tuang ke dalam piringnya.

Kekehannya mulai terpampang jelas di raut keningnya. Dia memang menyebalkan! Sudah marah malah ketawa kecil. “Hahaha.”

“Makanya jadi orang harus sabar!” ketusku memulai pembicaraan.

“Kamu tuh ngelawan, ya.” Tapi nada Abbas tidak membentak. Dia hanya seloroh menanggapi ucapanku. Kemudian dia pergi dari dapur dan makan di dekat anak-anaknya.

Dia memang begitu, kalau ada maunya harus cepat dan cekatan. Maka, balasan untukku adalah sebuah pukulan keras.

Lagi-lagi, aku siap menerima ocehannya setelah aku minggat dari rumah. Walau ada sedikit perbedaan yang kecil, tetapi aku masih belum merasa yakin.

“Eh, kamu udah sholat belum? Kenapa berdiri doang kek patung?!” tegur Abbas menyertaiku.

Kakiku segera bergegas dari sana, tidak ingin dimarahi aku menjawab. “Udah, Bang!” Mungkin dalam hatiku belum sepenuhnya berkata jujur.

            Setelah kisah sore berlalu begitu saja. Sepertinya keadaan rumah tanggaku setelah diusir terjalin lebih akrab. Layaknya orang yang baru saja menikah. Mungkin, karena suamiku takut akan sikapku yang tidak main-main.

Jika diusir, maka dengan senang hati aku menurut. Nyatanya kehangatan itu tidaklah sempurna yang berlangsung berlama-lama.

Lagi-lagi, suara ibu mertuaku memekik dengan keras dari ujung pintu rumahnya.

Malam di saat kami sedang duduk bersantai.

“Haira!!” pekiknya melengking.

“Abbas!! Sialan!!”

Wah! Ini sudah malam, kenapa ibu memanggil kami dengan suara kerasnya? Apalagi orang-orang pasti akan mudah mendengar suara ini. Aku secepatnya bangkit dari ruang tengah bersama keluargaku. Tampaknya, suamiku juga merasa curiga dari suara ibunya yang tampak tidak baik.

Tanganku segera mendorong kedua anakku untuk memasuki kamar. Dengan rasa cemasku, mereka jadi penurut.

Jadi, aku membuka pintu depan rumah. Suara itu bahkan memekik telingaku secara bersamaan. Ibu mertuaku tampak melepaskan urat malunya di tengah kegelapan.

“Apa yang kau sembunyikan dariku? Kau pasti pulang untuk menceritakan keburukanku kepada keluargamu di sana, bukan? Bahkan mereka, tetangga kita jadi sinis melihatku. Apa yang kau bicarakan di depan semua orang tadi sore, hah!”

Nada ibu mertuaku sudah tidak lagi hangat, tidak seperti ketika aku baru pulang dari bekerja. Melihat rautnya membuncah tak bisa dihentikan dengan kata-kata. Tapi aku memberanikan diri untuk melawan emosinya.

“Nggak ada kok, Ma. Aku nggak pernah ngomong apa-apa,” sahutku berani.

Ya, sedikit mencoba-coba karena ibu mertuaku pasti tidak akan mendengarkanku. Tampaknya dia benar-benar serius dalam mengatakan setiap ucapannya.

“Alah! Jangan sok pura-pura baik deh. Aku tahu kok kamu udah cerita ini itu ke tetangga kita. Apa lagi kamu udah pulang ke sana, pastilah kamu banyak cerita. Mending, jangan pulang lagi!”

Bahkan suara itu memuncak, Abbas keluar di waktu yang tepat.

“Ma, mama tuh malu nggak sih? Banyak tetangga yang lewat lho! Kayak orang gila tahu nggak!” ketus suamiku menikam jeritan ibunya sendiri.

Sialnya, ibu mertuaku semakin naik pitam. Dia melempar sapu lidi yang ada di depan halaman rumah kami.

“Ya, aku memang gila! Lain kali, kalian tidak usah melihatku lagi. Ngurusin anak kalian itu udah cukup, nggak usah banyak cerita ke orang lain tentang ini itu.”

Ibu mertuaku akhirnya berbalik. Dia menghentikan ucapannya begitu Abbas membentak sangat kasar. Kami melihat kepergian ibu menuju rumah yang ada di depan.

“Kamu nih kok kasar banget ngomong ma mama? Nggak usah disahut gitu juga kali.”

Aku melirik pelan wajah suamiku yang menggertak. Wajahnya sedikit resah karena ucapan ibunya yang sempat meradang. Dia malah berbalik dan masuk ke dalam rumah, sepertinya dia tidak mengindahkannya.

Tapi aku tidak bisa melangkah untuk meninggalkan pintu depan, mataku masih memperhatikan posisinya.

Bab terkait

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Dasar Miskin!

    Ah! Buat apa aku melamun berdiri menghadapi masalah yang kurang pasti. Ibuku tidak gila! Tapi terkadang dia suka memarahi kami tanpa sebab. Mungkin, karena aku tadi sempat menimbrung bersama tetangga dekat, dan kemarin baru pulang dari Toboali—kampung halamanku.Tapi rasanya aku tidak percaya kalau ibu mertuaku ternyata memarahiku hanya karena berbincang dengan tetangga. Dia mungkin malu, waspada, dan cemas sendiri. Akhirnya kakiku memerintah untuk memasuki rumah.Baru saja aku menutupi pintu, terdengar suara yang memecah rumah di depan. Aku sontak terperanjak, ketika suara adik iparku ikut campur.“Bang, kenapa mama di rumah? Kayaknya dia bertengkar sama adikmu,” ungkapku khawatir. Kepalaku spontan menoleh mengarah si suami yang sedang berbaring di atas sofa tamu.“Ah, biarin ajalah! Mereka kan emang sering kayak gitu.” Suamiku malah mengalihkan pembicaraan dengan gadget yang ada dalam genggamannya.Aku harus menahan napas sejenak dan melangkah melewati dirinya. Aku tidak ingin ikut c

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-22
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Rahasia Berdua

    Ya, aku malah memalingkan wajah. Kakiku malah menghindar dari hadapan suamiku dan memasuki kamar dua anakku. Mereka sudah berbaring di atas tempat tidur masing-masing. Sebentar lagi mata lelah mereka akan tertidur pulas.“Mama buatin susu dulu, ya.” Aku menatap lurus ke arah Elvina yang hanya meranggul tidak menyahut dengan kata.Kakiku akhirnya dengan semangat menuju ruang dapur untuk membuatkan susu untuk si kecil. Si kecil yang nantinya akan beranjak sekolah. Aku tidak boleh jadi ibu yang berpura-pura bodoh akan hal itu.Satu botol yang cukup untuk si kecil yang sedang termangu diam. Aku menyodorkan untuknya seorang. Sementara abangnya—Fathan berbaring memeluk guling kesukaannya. Guling yang sudah berusia sepantarnya. Dia menyukai guling itu semenjak kecil.Tidak ada yang boleh menukarnya dengan guling yang lain, tetapi tetap boleh dicuci agar bersih. Putra sulungku itu memang sangat cerewet. Dia tidak suka berbau, tidak suka ada kotoran yang melekat di gulingnya. Nanti dia pasti a

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-23
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Perjalanan

    Perjalanan pulang yang memang memakan waktu. Namun, hatiku jadi merasa tenang karena akan memulainya. Walau sebenarnya dulu kedua orang tuaku pernah menjalankan pabrik terasi dan aset kelautan tidak lagi berjalan. Namun, hasilnya tetap disimpan dalam bentuk rahasia. Mereka mengumpulkan aset demi diriku sendiri dan keluarganya. Pamanku sudah diberi bagian setelah mereka meninggal. Apalagi dulu mereka juga memiliki perkebunan sawit sekitar sepuluh hektar. Sayangnya, terjual dan sia-sia. Aku ingin meraup kembali perkebunan itu, tetapi aku masih belum yakin. ‘Akhirnya lega! Usaha dan nama baru akan segera dimulai.’ Gumamanku dalam hati. Perasaan dan pikiranku sudah tenang. Tapi, aku harus tiba lagi dimana rumah itu sangatlah menyakitkan. Apalagi di ujung penglihatanku terlihat jelas kalau rumah ibu mertuaku masih terlihat sunyi. Aku menghentikan sepeda motorku di depan halaman rumah. Mataku malah menyoroti bangunan sedang yang ada di depan rumah. Sepertinya ibu mertuaku sudah lebih t

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-24
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tetangga Bermulut Kasar

    “Oh, mulutmu ini keterlaluan sekali, Bu! Nggak takut sama kita? Jaga mulut!! Apa?!! Suami kita sering bayarin cewek di kafe? Wah, hati-hati kalo ngomong, Bu!!” Mursia angkat bicara. Jemari telunjuknya melonjak tinggi, dengan dua bola mata mencolot visus, menajam. “Kenapa emangnya?? Kenyataannya!!” Cantika berteriak sekencangnya dengan perlawanan kata yang menyayat hati si ibu-ibu itu. Akhirnya kuku yang mungkin tajam menghantam dengan cepat ke arah Cantika. Ibu mertuaku berteriak keras dari rumahnya. Dari ketiga ibu itu seakan kerasukan setan karena tidak terima dari ucapan mulut harimau ibu mertuaku.Dari arah rumah, aku pun terlonjak dan tanpa sadar kalau si Elvina sudah tertidur di atas karpet ruang tengah. Aku sudah tak peduli lagi, sehingga membawa pelarian cepat ini keluar dari rumah. Aku mendengar suara-suara lantang dari wanita yang mengamuk dari arah depan. Dan pelarianku benar-benar sampai tepat di muka pintu rumah ibu mertua. Mataku terbelalak tegang, melihat tiga lawan s

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-25
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tetangga Repot dan Merepotkan Hati

    Dalam satu wilayah kampung. Tidak pernah ada kata tidak bergosip. Hampir di setiap anggota keluarga menampung seratus ribu pembicaraan tentang orang lain dalam sehari.Tepat ketika Minggu tiba. Pastinya semua kalangan bersekolah libur.Sialnya, motorku diberhentikan oleh beberapa ibu-ibu gendut. Ketiganya, di beberapa hari yang lalu.“Ada apa lagi, Bu? Aku mau buru-buru balik ke rumah.” Garis keningku mengapit hampir menyatu, sedangkan napas berembus sempit nan panjang.Masing-masing menawarkan wajah memelas sambil merapatkan tangan mereka di bawah perut. Dan tingkahnya itu, seperti anak berusia lima tahun yang baru saja dimarahi oleh ibunya.“Ngomong aja langsung, Bu.”Embusan terakhir, benar-benar resah. “Begini—“ Dimulai dari mulut ibu gendut bernama Mursia. Sambil melepaskan genggaman tangannya, “Kami cuma prihatin sama kamu, kenapa kamu sampe betah ya sama si Abbas?”“Iya, Haira, jangan tersinggung dulu, soalnya kami kelihatannya risih lihat tingkah lakunya si Abbas.”“Terus?”

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-26
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Ibu Mertua Sakit

    Di atas tempat tidur seukuran satu orang dewasa. Kamar yang tidak seberapa luasnya.Ibu mertua yang cerewet malah membaringkan tubuhnya di atas sana.Bukan karna lelah atau merasa malam. Tapi, kelelahan setelah dia mengeluarkan emosi berlebih. Setelah marah-marah yang terlalu berlebihan.“Bu, makan bubur dulu, Bu.”Tanganku menggamit sendok diisi penuh dengan butiran bubur lembek.Kepala ibu mertuaku hanya menggeleng-geleng ringan. “Nanti.”Sesingkat itu, dia berkata setelah menggelengkan kepala.Mataku tak berhenti melamunkan diri sendiri di atas kursi samping tempat tidur.“Ibu mau makan apa?”“Ibu mau tidur.”Suara ibu mertua yang hanya terlihat sendu lagi lusuh. Jengkel, hanya bisa menahan diri.Aku menaruh mangkuk yang masih berisi penuh bubur, tepat di atas meja rias dekat ujung dinding rumah.“Kalo gitu, Haira mau cuci baju mama dulu.”“Nggak usah, nanti kalo sembuh ibu bisa.”“Nggak apa-apa, Bu, aku bisa nyucinya.”Seperti biasa, ibu mertua selalu merobohkan diri dengan tidak

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-28
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Dikenal Menjadi Guru Terbaik

    “Ada yang bolos, siapa?”Elina, rekan kerjaku yang menjadi wali kelas 6b di tingkat paling atas. Sementara diriku hanya sebagai guru yang mengajar kelas bawah, yakni muridnya masih sangat lucu, kelas 2a.“Maaf ganggu kelasnya sebentar,” ucap Elina mendekatiku yang masih duduk di meja pengajar.Elina mendekatkan bibirnya ke telingaku yang diselimuti oleh hijab panjang.“Anak kelas aku, Ra, cuma aku hari ini ada urusan jadi aku mau minta tolong sebentar.”Elina menegakkan kembali kepalanya setelah bisikan itu terdengar kelas di telingaku.“Jadi, maksud kamu harus aku yang awasi anak itu di kelas?”“Hm, begitulah, aku sekalian mau bikin surat buat orang tua anak itu.” Elina menyodorkan ponsel yang berisi banyaknya teks berbasis word. “Tolong isi materi kelas, ya.”“Lah, bukannya kalo kosong bisa diisi sama ibu kepala sekolah?” Aku mulai mengerutkan kening, rasanya kurang yakin karna jarang sekali guru kelas meminta bantuan kepada guru honorer seperti diriku.“Aku udah minta izin, daripad

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-31
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Mendadak Tegang

    “Maaf, Bu Kepala Sekolah, saya sangat menghargai anda sebagai kepala di sini.” Dengan nada penuh tanggung jawab tanpa rasa takut, “Tapi saya sudah bertahun-tahun mendidik anak-anak di sekolah ini, bukan seperti itu cara mendidik murid yang benar!”Lantas, nadaku yang penuh emosional ini pun mulai mengecam tanda hijau kuning untuk ibu kepala sekolah.Wanita gemuk tinggi yang tanpa hijabnya itu, masih memendam kekesalan namun kehabisan kata-kata.Aku pun bergegas pergi tanpa ragu. Tak lama setelah aku mencaci maki atasan sendiri.Satu bulan kemudian, kepala sekolah terjerat kasus korupsi.***Lagi-lagi kenangan buruk menghantuiku dalam kelas. Tak begitu lama pelajaran telah usai.Semua murid berserakan untuk mengatur baris. Mereka dipimpin oleh ketua kelas agar keluar sesuai perintah guru.Aku mulai menindaklanjuti ketegasan ketua kelas.“Assalamualaikum warrohmatullahi wabarakatuh!”Suara yang menjerit bukan tanda marah. Itu teriakan dari sekumpulan murid dalam satu kelas.Begitu antus

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-03

Bab terbaru

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tidak dengan Kekerasan

    “Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kedatangan Sang Paman

    Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kantin Bu Melda

    Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tentang Ibu Maina

    Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kakak-Beradik

    Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Ada yang Berpura-pura Miskin

    Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Hati Hasad

    Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Saling Mengenal

    Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Untung Saja!

    Satu kali terdorong, maka akan sering mendapat dorongan. Dorongan itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan menjatuhkan. Harga diriku sebagai seorang guru tersindirkan, hanya karena pangkat yang belum menjamin kehidupan.Apalah daya menjadi seorang guru honorer? Yang harus terus-menerus memikul beban. Tapi, selama hidupku menjadi seorang guru honorer. Alhamdulillah, hidupku tak pernah terlilit hutang atau hidup mewah yang luar biasa.Rasanya, aku bisa merasakan syukur yang lebih. Ini bahkan tak bisa dibayar dengan uang. Kalau dihitung, jasa ditambah dengan status sama dengan kesederhanaan.Jadi, istilah dalam prinsip hidupku adalah sebuah kesederhanaan. Tidak perlu berlebih-lebihkan. Andai diberi lebih, siapa yang akan menolak? Ini hidupku, dan inilah tentangku. Aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang terbaik. Siapa tahu kelak aku akan naik pangkat seperti mereka?Aku tak perduli ketika rekan tadi meledekku dengan sindirannya. Lebih kepada dengan memberinya sebuah senyuma

DMCA.com Protection Status