Share

Aset yang Dirahasiakan

Penulis: Rossystories
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-08 11:51:47

    Abbas menarik paksa tubuhku meninggalkan ruangan tengah. Kami masuk ke kamar di tengah siang bolong. Aku memekik keras dan lantang ketika dia harus memaksa untuk melakukannya.

Abbas mendorong tubuhku ke tempat tidur. Rasa kesalnya semakin membabi buta kejantanannya.

Abbas duduk di atasku. “Kau itu istriku. Sudah sepantasnya kau melayaniku dengan baik!”

Aku malah menegang. Dia hampir saja menyentuhku di saat hatiku sedang kesal. Rasanya tanganku ingin menusuk jantungnya dengan pisau belati panjang.

Aku dipaksa oleh sang suami untuk melayaninya. Abbas beranjak dengan cepat, mengurungkan niatnya di saat itu juga. Rautnya malah mual memandang tubuhku yang sudah terbaring lemah di atas tempat tidur.

“Hei, kau ini pulang kerja bukannya langsung mandi. Tapi, malah tertidur di sofa. Badan kamu itu bau tahu!”

“Apa kau nggak sadar, hah?!”

Abbas menonjolkan bibir mencondong ke arah tubuhku yang sehingga menempel sisa dari keringat baju dinasku. Aku bangkit dari tempat tidur sambil melepaskan seragam pertama. Mataku melirik sinis ke wajah si suami.

“Kau itu yang bodoh! Sudah tahu aku baru pulang. Tapi kau malah memaksaku,” ketusku membalas.

Abbas tak sanggup lagi dengan omelan yang tiba-tiba terlempar dari mulutku. Tanpa harus melanjutkan pertengkaran lagi, kakinya berkirai. Tangannya menghempas pintu kamar dengan kasar.

Glegar!

Aku terlonjak diam ketika melihat tingkah suami yang tidak pernah berubah. Mulutku mulai mencibir sembarangan, sembari meraih handuk untuk segera membersihkan diri.

Langkahku mengguyur ruangan yang tadinya memiliki suara lucu dari dua bocah. Tapi kali ini aku tidak mendapati jejak keberadaan kedua anakku. Rasa penasaran menguras keringatku untuk mencari dua bersaudara itu.

“Fathan!”

“Vivin!”

Ehsan Fathan, nama lengkap anak sulungku yang baru saja pergi dari rumah bersama si adiknya, mungkin. Elvina, aku suka memanggilnya dengan sebutan Vivin.

Namun mereka menghilang. Tidak ada yang menyahut panggilanku. Satu kamar tidur tampak sepi, sedangkan satu ruang selanjutnya terlihat sama. Aku mulai curiga dari kehilangan dua anakku.

Tiba-tiba terdengar pintu utama terbuka pelan. Yang ternyata, dua bersaudara itu masuk ke rumah sambil mengendap-endap.

“Kalian dari mana?”

“Kami mau pergi ke rumah nenek, Ma. Tapi tadi—”

Fathan menghentikan ucapannya, mengingat tadi telah terjadi pertengkaran. Aku memperhatikan dua raut yang sedang tidak baik. Artinya, mereka takut akan dimarahi oleh orang tuanya.

“Pergilah! Pulangnya jangan sore.”

Aku menawarkan senyuman agar dua anakku terlihat bersemangat. Tanpa ragu, Fathan membawa si adik pergi ke rumah nenek. Mereka dengan begitu riang menunjukkan keceriaan. Anak kecil memang sangat mudah berpengaruh dalam hal perubahan situasi.

Aku memperhatikan kedua anakku yang berlalu dari rumah. Untungnya, rumah neneknya memang tidak terlalu jauh. Melihat mereka, aku jadi terngiang masa lalu, di saat aku masih memiliki seorang ibu. Tapi, aku malah mengingat kejadian terakhir ibuku pergi dari dunia ini.

***

Lima tahun yang lalu, tepat pada tanggal 10 Agustus 2017.

Situasi duka di sebuah rumah. Di tengah ruangan yang dipenuhi dengan suara-suara yasin dan doa dari para penduduk desa. Aku malah menyudutkan diri di ujung ruangan, menepi dari semua orang karena pilu.

Seorang pria paruh baya menghampiri diriku sambil melambaikan pelan ke depan wajahku.

“Haira, bisa ikut om sebentar?” Suara pria itu pelan, apalagi berisiknya ruangan tidak dapat didengar dengan jelas. Pria itu memberi kode kepadaku agar ikut dengannya.

Pada akhirnya, aku beranjak mengikuti pria paruh baya itu. Di satu ruangan sempit, sedikit orang yang berkumpul. Pria itu berhenti, membalikkan badan sambil memperlihatkan dokumen berwarna cokelat muda dari balik bajunya.

“Nak, kau perlu ingat satu hal!”

“Om hanya mau kamu bahagia.”

Pria di hadapanku ini adalah pamanku. Adik dari mendiang ibuku, menjulurkan sebuah dokumen berwarna cokelat muda kepadaku.

Aku memperhatikan dokumen yang segera dibuka oleh sang paman untukku.

“Sebagai anak tunggal, hanya kau yang bisa dapetin aset terbanyak. Sisanya, terserahmu. Tapi, om mau kamu merahasiakan ini dari orang lain, termasuk keluarga barumu,”

“om pengen kamu jaga wasiat kedua orang tuamu sampai salah satu anak kamu dewasa.”

Tuturan paman sedikit puas setelah menyampaikan wasiat penting kepada keponakannya. Itu aku.

“Om, apa aku harus berpura-pura miskin hanya karena memiliki harta ini?” Aku mendongakkan wajah untuk menunggu kepastian dari sang paman.

Paman meranggul, menepuk pelan pundakku. Aku mulai mendengus napas lesu, dimana aku akan menjadi orang biasa dengan berpura-pura miskin. Aku menarik ujung bibir, tersenyum kecil. Hingga mulai terangguk-angguk.

Sekilas senyuman yang berarti menerima.

***

Ingatan yang telah berlalu, aku mengerjapkan mata sesekali. Kepalaku menggeleng tidak ingin mengingatnya lagi. Kakiku bergeser menuju kamar mandi yang ada di sebelah dapur.

Waktu yang berlalu begitu cepat. Tidak terasa kalau dua anakku belum kembali pulang. Aku mengkhawatirkan dua anakku yang belum pulang dari rumah neneknya. Namun tubuhku secepatnya ke ruang tengah.

Tak lama menunggu, terdengar suara pintu terbuka. Suara tangis dari seorang anak perempuan menjerit kencang.

Aku sontak terperanjak dan melihat situasi yang berisik itu.

“Ayo cepat masuk! Cengeng banget sih kamu!”

Itu ibu mertuaku yang sangat cerewet dan jutek, usianya memang tak lagi muda. Berkisar 63 tahun, cantik, dengan tinggi badan yang melebihi diriku lima sentimeter—165 sentimeter. Seorang mualaf yang sudah berumur sekitar 30 tahun yang lalu.

Tubuh si kecil berlari ke dekatku untuk segera digendong olehku. Dengan cekatan, aku menggendong tubuh Elvina sambil membelai rambut lurusnya. Diikuti oleh Fathan yang hanya menunduk, kemudian berlari dengan cepat memasuki kamar.

“Hei, Haira! Dia nangis mulu tuh. Nggak tahu lagi dia mau apa? Dikasih apa aja tetap rewel.” Ibu mertuaku mengacungkan jemarinya meninggi, resah dari kelakuan dua anakku.

Aku merunduk, “Maaf, Ma. Mungkin Elvina udah ngantuk.”

Kakiku melawan dari hadapan ibu mertua yang sudah membawa pulang Elvina. Namun tangan kasar ibu menarik kuat lenganku. Menatap dengan visus, tajam. Sorotan matanya seakan meminta sesuatu dariku.

“Eh, kamu belum ngerti sama kedatangan mama ke sini?” sambar ibu mertuaku—Cantika.

“Ma, nanti aku bakal ke rumah mama. Aku bahkan belum dapet gaji,” keluhku secepat kilat membaca situasi.

“Alah! Jangan banyak alasan. Kalo kamu telat kasih uang, mama nggak mau jagain Vivin lagi!”

Aku harus diam ketika melihat ibu mertua berkirai dengan napas resah. Bersamaan dengan tangis yang hendak memicu situasi ricuh. Tanganku hanya bisa membelai dan menepuk punggung si kecil, membujuknya agar berhenti merengek.

Elvina terus menderu tangis. Aku terus berusaha sambil menepuk punggung Elvina perlahan-lahan. Apa lagi, baru saja aku mendapat desakan keras dari ibu mertuaku. Tentang uang lagi, mereka tidak akan bersabar kalau demi sepeser uang.

Fathan keluar dari kamar sembari menampakkan wajah kesal menyorot ke arahku. Aku sedikit curiga dan iba.

“Nenek jahat, Ma! Nenek jahat!” teriak Fathan kembali mengamuk. Dengan kasar dia membanting pintu kamar hingga menutup pintu rapat-rapat.

Aku bingung harus berbuat bagaimana?

‘Seharusnya aku nggak ngizinin kalian datang ke rumah nenek.’

Semua menjadi serba salah. Mataku sendu sambil menatap putriku menangis serta si sulung merajuk.

Bab terkait

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Terbersit Masa Lalu

    Aku tidak akan mematung diam ketika melihat Fathan merajuk kesal terhadap sang nenek. Kakiku gesit menuju kamar mereka, membuka pintu lalu menghampirinya yang sedang duduk menatap jendela. Menjadi seorang ibu, aku harus membujuk si sulung sambil mengelus rambut pendeknya. “Fathan, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Kan nenek lagi capek. Lagian ini salah mama juga sih ngizinin kalian datang ke rumah nenek. Nenek jadi marah.” Tangan sebelahku masih menopang kuat tubuh Elvina yang mulai mereda setelah melihat tingkah si sulung. Jemariku terus menggosok dan mengelus rambut Fathan. Melirik sang buah hati pasti merasakan lara setelah mendapati sifat nenek yang pemarah. Aku pun duduk untuk membuatnya merasa nyaman. “Tapi nenek jahat, Ma. Dia udah ngatain mama.” Fathan masih saja cemberut, segala rautnya bergelimpang menggerutu berat. “Udah, nenek marah karena sayang. Jadi kamu nggak usah ambil hati,” bujukku. “Udah, ini juga udah sore. Kamu mandi gih!” Perintahku menggerakan hati Fatha

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-08
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Malah Diusir dari Rumah

    Keadaan semakin sore dan redup. Suasana di ujung terminal masih sangat ramai. Aku memeluk erat tubuh anak bungsuku yang ikut bersamaku. Aku bahkan tidak peduli dengan anak sulungku yang akan segera menderita oleh ayahnya.Namun, aku pasti akan kembali untuk melakukan sesuatu.‘Fathan, kau harus bersabar! Mama bakal jemput kamu, kamu nggak usah khawatir lagi.’Aku sudah menekan niat minggat agar menjauhi keluarga baru ini. Padahal, sudah cukup bagiku penderitaan yang berulang-ulang selama belasan tahun lamanya.Bus menuju Toboali telah terlihat di depan, kami segera memasuki dan duduk di tengah. Secepatnya, aku menenteng tas besar sambil menggendong putri bungsu. Meninggalkan kota Pangkal Pinang yang memang tidak jauh dari tempat tinggalnya.Jodoh yang sudah diatur oleh Allah memang tidak bisa dielak lagi. Hari ini, aku harus pupus oleh pengusiran suami terhadapku. Sialnya, suamiku tidak menyebutkan talak tiga yang berarti kami akan berpisah.Aku duduk di tengah badan bus bersama E

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-08
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Dasar tak Tahu Diri!

    “Pulanglah! Pulang demi anakmu yang kamu tinggalin di rumah, bukan demiku.” Abbas memelas dengan raut penyesalan tanpa harus menetes buir air mata. Ya, mana mungkin pria sepertinya akan tumpah demi seorang wanita? Ini mustahil! Namun, hatiku tergerak oleh permohonannya yang tidak akan kubiarkan terlalu lama. “Baiklah, aku bakal pulang. Tapi kamu harus bisa pegang janji.” “Ya, aku janji!” tegas Abbas meranggul.Cukup singkat! Aku tidak akan banyak bicara. Kakiku mengguyur ruangan dimana Elvina duduk bersama mainannya. “Elvina, ada papa. Ayo kita pulang!” ajakku sedikit tersenyum. Elvina langsung beranjak bahagia. Kakinya langsung tertuju pada diriku, kemudian berpindah pada ayahnya. Abbas menggendong tubuh putri kecilnya dengan raut terhangat yang pernah ada. Aku melihat sekilas wajah suamiku yang memang jarang tersenyum. Hari ini aku belajar betapa banyak kenangan indah hidup bersamanya. Walau sebenarnya hidupku benar-benar pahit. Karena dia, aku jadi mengenal agama lebih baik.

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-08
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Emak-Emak Rempong

    Aku tahu apa yang harus aku lakukan menjadi seorang ibu beranak dua. Kakiku langsung berkirai dari sana, halaman rumah yang cukup luas untuk bersantai. Setelah mataku melihat sosok ibu mertua yang telah memasuki rumah, dan aku pun mengikuti jejak Elvina ke rumah.Pintu rumah terbuka lebar, dimana kedua anakku bermain bersama. Aku tidak menghiraukan dengan posisi mereka. Rasanya sedikit bosan ketika aku harus menguasai rumah sepenuh hariku. Apalagi aku harus bangun sepagi mungkin, sedangkan aku pulang harus lebih telat dari orang lain.Ya, jarak dari rumah ke sekolah—tempat aku mengajar cukup jauh. Mungkin jarak antara rumahku dengan kota Namang tidak terlalu dekat. Bahkan jarak yang sudah melebihi belasan kilometer dari sini.Membutuhkan waktu sekitar kurang lebih setengah jam bila menggunakan sepeda motor. Itu pun tergantung kecepatan yang kita tempuh.Kakiku langsung menuju kamar, membiarkan semua kelelahanku pada ruangan yang sempit ini. Hanya seukuran tempat tidur dan

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-10
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Terus Seperti itu

    Aku melihat rautnya si suami dengan segala ketenangan. Tampaknya dia baik-baik saja dengan sikap diamnya melangkah. Namun tiba-tiba kakinya berhenti tepat di muka pintu yang masih tertutup. Kepalanya menoleh ke balik belakang, tepat di depanku.“Hei, kamu nggak liat aku bawa banyak barang?!” tegurnya sedikit menyayat pikiranku.Maka tanganku segera meraih bungkusan yang ada di tangannya. Tidak ada kesulitan bagiku untuk merampas dari tangannya. Kemudian suamiku ini langsung membuka pintu tanpa harus menatap ramah.Ya, seperti biasa! Dia tidak akan seramah suami lain di depan mataku. Pikirku lagi.Lagi-lagi, nasib sial menghantuiku. Dia melihat dulang yang tidak terlihat apa-apa. Maka kedua mataku memelotot kaku di hadapannya. Tanganku segera menaruh bungkusan di sudut ruangan dapur.“Eh, kamu nggak masak?” Terdengar suaranya agak rendah. Tidak memulai pertengkaran, maka aku akan hati-hati untuk menyahut.Tubuhku yang geloyor untuk menaruh bungkusan yang dibawa olehnya terp

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-18
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Dasar Miskin!

    Ah! Buat apa aku melamun berdiri menghadapi masalah yang kurang pasti. Ibuku tidak gila! Tapi terkadang dia suka memarahi kami tanpa sebab. Mungkin, karena aku tadi sempat menimbrung bersama tetangga dekat, dan kemarin baru pulang dari Toboali—kampung halamanku.Tapi rasanya aku tidak percaya kalau ibu mertuaku ternyata memarahiku hanya karena berbincang dengan tetangga. Dia mungkin malu, waspada, dan cemas sendiri. Akhirnya kakiku memerintah untuk memasuki rumah.Baru saja aku menutupi pintu, terdengar suara yang memecah rumah di depan. Aku sontak terperanjak, ketika suara adik iparku ikut campur.“Bang, kenapa mama di rumah? Kayaknya dia bertengkar sama adikmu,” ungkapku khawatir. Kepalaku spontan menoleh mengarah si suami yang sedang berbaring di atas sofa tamu.“Ah, biarin ajalah! Mereka kan emang sering kayak gitu.” Suamiku malah mengalihkan pembicaraan dengan gadget yang ada dalam genggamannya.Aku harus menahan napas sejenak dan melangkah melewati dirinya. Aku tidak ingin ikut c

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-22
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Rahasia Berdua

    Ya, aku malah memalingkan wajah. Kakiku malah menghindar dari hadapan suamiku dan memasuki kamar dua anakku. Mereka sudah berbaring di atas tempat tidur masing-masing. Sebentar lagi mata lelah mereka akan tertidur pulas.“Mama buatin susu dulu, ya.” Aku menatap lurus ke arah Elvina yang hanya meranggul tidak menyahut dengan kata.Kakiku akhirnya dengan semangat menuju ruang dapur untuk membuatkan susu untuk si kecil. Si kecil yang nantinya akan beranjak sekolah. Aku tidak boleh jadi ibu yang berpura-pura bodoh akan hal itu.Satu botol yang cukup untuk si kecil yang sedang termangu diam. Aku menyodorkan untuknya seorang. Sementara abangnya—Fathan berbaring memeluk guling kesukaannya. Guling yang sudah berusia sepantarnya. Dia menyukai guling itu semenjak kecil.Tidak ada yang boleh menukarnya dengan guling yang lain, tetapi tetap boleh dicuci agar bersih. Putra sulungku itu memang sangat cerewet. Dia tidak suka berbau, tidak suka ada kotoran yang melekat di gulingnya. Nanti dia pasti a

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-23
  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Perjalanan

    Perjalanan pulang yang memang memakan waktu. Namun, hatiku jadi merasa tenang karena akan memulainya. Walau sebenarnya dulu kedua orang tuaku pernah menjalankan pabrik terasi dan aset kelautan tidak lagi berjalan. Namun, hasilnya tetap disimpan dalam bentuk rahasia. Mereka mengumpulkan aset demi diriku sendiri dan keluarganya. Pamanku sudah diberi bagian setelah mereka meninggal. Apalagi dulu mereka juga memiliki perkebunan sawit sekitar sepuluh hektar. Sayangnya, terjual dan sia-sia. Aku ingin meraup kembali perkebunan itu, tetapi aku masih belum yakin. ‘Akhirnya lega! Usaha dan nama baru akan segera dimulai.’ Gumamanku dalam hati. Perasaan dan pikiranku sudah tenang. Tapi, aku harus tiba lagi dimana rumah itu sangatlah menyakitkan. Apalagi di ujung penglihatanku terlihat jelas kalau rumah ibu mertuaku masih terlihat sunyi. Aku menghentikan sepeda motorku di depan halaman rumah. Mataku malah menyoroti bangunan sedang yang ada di depan rumah. Sepertinya ibu mertuaku sudah lebih t

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-24

Bab terbaru

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tidak dengan Kekerasan

    “Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kedatangan Sang Paman

    Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kantin Bu Melda

    Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tentang Ibu Maina

    Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kakak-Beradik

    Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Ada yang Berpura-pura Miskin

    Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Hati Hasad

    Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Saling Mengenal

    Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Untung Saja!

    Satu kali terdorong, maka akan sering mendapat dorongan. Dorongan itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan menjatuhkan. Harga diriku sebagai seorang guru tersindirkan, hanya karena pangkat yang belum menjamin kehidupan.Apalah daya menjadi seorang guru honorer? Yang harus terus-menerus memikul beban. Tapi, selama hidupku menjadi seorang guru honorer. Alhamdulillah, hidupku tak pernah terlilit hutang atau hidup mewah yang luar biasa.Rasanya, aku bisa merasakan syukur yang lebih. Ini bahkan tak bisa dibayar dengan uang. Kalau dihitung, jasa ditambah dengan status sama dengan kesederhanaan.Jadi, istilah dalam prinsip hidupku adalah sebuah kesederhanaan. Tidak perlu berlebih-lebihkan. Andai diberi lebih, siapa yang akan menolak? Ini hidupku, dan inilah tentangku. Aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang terbaik. Siapa tahu kelak aku akan naik pangkat seperti mereka?Aku tak perduli ketika rekan tadi meledekku dengan sindirannya. Lebih kepada dengan memberinya sebuah senyuma

DMCA.com Protection Status