Isabella Montague memeriksa kebutuhan rumah tangga, ada yang tidak beres. Pengeluaran bulan lalu tiga kali lipat dari biasanya. Dia yakin kalau dia dan suaminya tidak memerlukan sebagian besar barang-barang yang ada di dalam list bulanan. “Kenapa jadi sebanyak ini?” tanya Isabella. Kepala pelayan menunduk. “Nyonya besar dan Nona muda berkata bahwa mereka membutuhkan semua barang-barang itu.” Sebelumnya, Isabella hanya tinggal bersama Ethan dan kakek, tetapi semenjak kakek telah tiada, mertua serta adik iparnya ikut tinggal bersama di rumah ini. Isabella belum mendapatkan kabar, kapan mereka akan pergi. Isabella tidak begitu senang dengan keberadaan dua orang itu. Menurutnya, mereka suka menghamburkan uang. Dia tidak bisa mengeluh pada suaminya karena saat ini merupakan waktu yang tidak mudah bagi suaminya. Ethan harus menangani perusahaan seorang diri, berbeda dengan dulu di mana hanya perlu menjalankan perintah kakek saja. Maka dari itu, dia ingin menjadi istri yang dapat diandal
Isabella merasa canggung ketika ditatap begitu lama. Dia menebak-nebak, apa yang dipikirkan Ethan saat ini? Jika dilihat dari jarak mereka yang dekat, apa suaminya ingin melakukan percintaan dengannya? Dia sama sekali tidak keberatan kalau memang perkiraannya benar. Isabella menutup mata ketika Ethan menyentuh rambutnya, menyelipkannya ke belakang telinga. Sentuhan jemari yang tidak sengaja bersinggungan dengan kulit sangat lembut. Jujur saja, dia sangat menantikan tindakan Ethan selanjutnya yang kemungkinan besar akan mencium bibirnya. Dia tidak sabar dan juga penasaran, bagaimana Ethan akan memulai percintaan mereka. Sudah lama sejak mereka tidak melakukannya, karena duka yang sedang mereka hadapi—kematian kakek. Mungkin, sekarang adalah saat di mana mereka harus melupakan duka tersebut. Lama waktu berlalu, belum ada tanda-tanda Ethan akan menyentuhnya lebih jauh. Di saat mendebarkan itu, dia dapat mendengar bunyi air dari arah kamar mandi. Dia pun membuka mata perlahan untuk meli
Tabir sang surya mulai terbuka perlahan, mengirim sinar emas ke dalam bilik tidur. Angin sejuk pagi membelai wajah Isabella saat dia meraih kesadaran pertama. Denyut jantung mengiringi irama burung-burung yang berkicau di luar. Saat memalingkan wajah, dia melihat suaminya tengah tidur dengan tenang di sampingnya. Wajah yang tampan dihiasi senyum tipis membuat hati Isabella meleleh lagi pagi ini. Dalam momen itu, dia merasakan kebahagiaan dan cinta yang mendalam. Betapa beruntungnya dia memiliki Ethan. Isabella tidak ada niat mengganggu Ethan yang tampak sangat lelah. Dia jadi merasa bersalah telah membiarkan Ethan meneruskan percintaan di saat perusahaan sedang sibuk-sibuknya. “Aku akan membangunkanmu nanti. Kau bisa beristirahat lebih lama,” bisiknya. Dengan gerakan ringan, Isabella beranjak dari tempat tidur. Dia membasuh muka terlebih dahulu sebelum melangkah dengan hati-hati keluar kamar agar tidak membangunkan suaminya yang masih terlelap. Saat Isabella mencapai dapur, pandan
Ibu mertua dan Charla tersenyum di balik kepergian Isabella. Mereka sangat senang karena Ethan berpihak pada mereka. Dengan begini, mereka harap pernikahan dua orang itu segera berakhir. Ethan menyusul Isabella yang saat ini mengambilkan tas yang diletakkan sebelumnya di atas meja dan diserahkan padanya. Dia tidak dapat melihat wajah Isabella karena istrinya itu terus menunduk. Dari suara seperti pilek itu dia tahu kalau Isabella sedang menangis. Ethan menyentuh bahu Isabella, tetapi istrinya berusaha menghindar. Dia harus memakai cara yang sedikit keras agar mereka bisa saling menatap, dengan mendorong Isabella ke dinding. Barulah air mata itu dapat terlihat jelas. “Tolong tinggalkan aku, aku ingin sendirian sekarang,” pinta Isabella. Ethan meraih kedua tangan Isabella, mengamati luka yang didapat akibat perkelahian. Bukan hanya hasil dari menjambak rambut saja, ada juga tanda seperti cakaran dia temukan. Charla memang memiliki kuku panjang, berbanding terbalik dengan Isabella seh
Ethan baru saja menyelesaikan panggilan telepon. Tangannya mengepal erat, tidak terima dengan keadaan menyesakkan ini terus-menerus. Kali ini pun dia tidak tahu apa yang direncanakan Ibu dan Charla selanjutnya. “Sir Ethan, apa kita sudah bisa menghadiri rapatnya sekarang?” Sekretaris wanitanya berkata. “Sudah berapa lama kita terlambat?” “Lebih kurang sepuluh menit. Seluruh peserta rapat sudah hadir, tinggal menunggu Anda untuk memulainya.” “Bisakah mengambilkanku minuman terlebih dahulu?” Ethan yang sejak tadi menghadap jendela lebar dengan pemandangan kota dan gedung-gedung itu membalikkan badan, mukanya tampak pucat. “Anda baik-baik saja, Sir?” Saat sang sekretaris akan mendekat, Ethan kembali berkata, “Ambilkan minuman untukku sekarang juga,” perintahnya dengan suara tegas. “B—baik!” Saat sang sekretaris berjalan cepat keluar dari ruangan, Ethan duduk di kursi jabatan. Dia mengambil sesuatu dari dalam laci, sebuah botol obat. Hanya tersisa dua kapsul. “Sir Ethan! Maaf mem
Di tengah perjalanan, Isabella singgah ke salah satu toko yang ada di jantung kota untuk membeli pakaian sesuai dress code. Dia langsung mengenakannya dan keluar dari butik dengan penampilan yang bisa dikatakan jauh dari kesan seorang Isabella. “Pakaian yang Anda kenakan kini terlihat sangat cocok,” ucap pegawai toko. “Jangan bercanda. Pakaian ini terlalu terbuka dan membuatku jadi terlihat menyedihkan.” Pegawai itu langsung kikuk. “Saya akan mencarikan pakaian lain untuk Anda.” “Tidak perlu. Aku akan membeli ini. Berikan aku satu outer yang cocok.” Perkataan Isabella lain di mulut lain di hati, membuat sang pegawai kebingungan. “Anda akan membelinya? Bukankah tadi Anda berkata kalau—” Isabella menatap pegawai di depannya, lalu berkata, “Aku terburu-buru.” “Baik! Saya akan mengambilnya untuk Anda.” Isabella menunggu di dekat kasir. Outer yang dimintanya datang beberapa saat kemudian. Dia langsung mengenakannya. Selesai membayar, dia pun keluar dari toko dan berkendara kembali.
Ethan menarik selimut untuk menutupi tubuh Isabella. Pandangan matanya sendu, merasa sedih atas apa yang menimpa sang istri dan merasa begitu egois karena menahan istrinya agar tetap di sisinya saat dia tahu bagaimana perlakuan buruk yang diterima Isabella. “Sir Ethan.” Ethan menatap ambang pintu, sekretarisnya sedang menunggu. Dia hampir lupa kalau tadi berada dalam perjalanan. Saat dia mendapatkan kabar dari kepala pelayan, dia langsung meminta sopir berputar arah, itulah alasan kenapa akhirnya dia sampai di Midnight Muse. “Bisakah kau membatalkan semua jadwalku selanjutnya? Aku tidak berada dalam kondisi baik sekarang.” “Itu sulit, tapi saya akan mencobanya.” Ethan kembali menatap Isabella, menyentuh pipi istrinya itu dengan lembut. Dia langsung menjauh saat Isabella bereaksi akan sentuhannya. “Kita pergi sekarang,” ucap Ethan. Dia dengan cepat pergi dari kamar itu. Sebaiknya, Isabella tidak tahu kalau dia sempat datang ke Midnight Muse. Ethan dan sang sekretaris kembali ke m
Isabella mendengar suara ribut dari dalam rumah. Yang menjadi perhatiannya adalah di antara suara itu dia juga mendengar suara Charla. Untuk memastikannya, dia pun pergi ke sumber suara. Pada saat itulah dia berpapasan dengan ibu mertua dan juga adik ipar. “Charla ... bagaimana kau bisa ada di rumah? Bukankah sebelumnya kau diculik?” tanya Isabella dengan tampang heran bercampur tidak percaya. Ibu mertua memandang sinis. Dia berlalu pergi bersama Charla. Merasa diabaikan, Isabella segera meraih tangan Charla agar dirinya dapat menuntut penjelasan. “Kau ini bodoh atau apa?!” teriak Charla, menepis tangan Isabella. Isabella tercenung. Jika sebelumnya Charla bicara sopan, sekarang dia justru melihat sosok yang memeranginya. 180 derajat berbeda. “Kenapa kau berkata seperti itu padaku, Charla?” Charla melipatkan tangan di dada. “Berapa kali harus aku katakan padamu? Berhenti menyebut namaku dengan ekspresi seolah kita dekat!” Segera setelah itu, Charla menyentuh lengan ibunya. “Kita