Share

Bermuka Dua

Ethan baru saja menyelesaikan panggilan telepon. Tangannya mengepal erat, tidak terima dengan keadaan menyesakkan ini terus-menerus. Kali ini pun dia tidak tahu apa yang direncanakan Ibu dan Charla selanjutnya.

“Sir Ethan, apa kita sudah bisa menghadiri rapatnya sekarang?” Sekretaris wanitanya berkata.

“Sudah berapa lama kita terlambat?”

“Lebih kurang sepuluh menit. Seluruh peserta rapat sudah hadir, tinggal menunggu Anda untuk memulainya.”

“Bisakah mengambilkanku minuman terlebih dahulu?”

Ethan yang sejak tadi menghadap jendela lebar dengan pemandangan kota dan gedung-gedung itu membalikkan badan, mukanya tampak pucat.

“Anda baik-baik saja, Sir?”

Saat sang sekretaris akan mendekat, Ethan kembali berkata, “Ambilkan minuman untukku sekarang juga,” perintahnya dengan suara tegas.

“B—baik!”

Saat sang sekretaris berjalan cepat keluar dari ruangan, Ethan duduk di kursi jabatan. Dia mengambil sesuatu dari dalam laci, sebuah botol obat. Hanya tersisa dua kapsul.

“Sir Ethan! Maaf membuat Anda menunggu. Ini minuman yang Anda minta.”

Semakin mendekati meja Ethan, sang sekretaris terkejut melihat apa yang ada di tangan bosnya itu. Dia tidak pernah tahu kalau Ethan sedang mengonsumsi obat. Melihat tulisan yang ada pada kemasan, dia mengetahui dengan jelas fungsi obat tersebut.

Calmexa, obat penghilang kecemasan. Sejak kapan bosnya merasa cemas? Padahal, selama ini Ethan menghadapi masalah perusahaan dengan percaya diri dan tanpa hambatan.

Ethan meminum obatnya, lalu berkata, “Kau tidak perlu ikut dalam rapat ini. Aku akan menghadapinya sendiri.”

“Tapi Sir—“

“Sebagai gantinya, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.”

“Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Sir?”

“Hubungi pengacaraku dan atur janji temu hari ini.”

“Pengacara? Apa ada hal besar yang akan Anda lakukan sampai harus melibatkan pengacara?”

Pikiran Ethan melamun jauh ke depan. Bibirnya berat untuk digerakkan, tetapi akhirnya dia tetap mengucapkan kata itu dalam keadaan hati yang pilu, “Ada, perpisahan.”

“Perpisahan?”

Tidak menunggu pemahaman sang sekretaris, Ethan segera bangkit dan keluar dari ruangannya. Dia berusaha tegar akan keputusan berat itu, menceraikan Isabella agar hidup mereka tidak lagi menderita.

**

Charla mondar-mandir dengan pikiran yang terus berputar. Di dalam kamarnya, keheningan hanya diputus oleh bayangan seseorang yang bergerak dari celah bawah pintu.

Pintu kamar terbuka pelan. Dia melihat ibunya masuk dengan hati-hati. Pintu pun ditutup perlahan, tanpa menimbulkan suara berarti.

“Ibu sudah memastikan kalau tidak ada yang mengikuti, ‘kan?” tanya Charla cepat.

“Ya, kau tenang saja. Bagaimana dengan wanita itu? Sepertinya dia percaya kalau aku akan mengusirmu.”

Charla menyeringai sebelum raut wajahnya berubah buruk. “Aku tidak suka saat berlutut di hadapan wanita itu.”

“Tapi kau harus melakukan itu agar dia percaya. Yang penting sekarang rencana kita sudah lima puluh persen berhasil. Sekarang tinggal membuatnya masuk jebakan kita sepenuhnya.”

“Ya, Ibu. Malam ini Kak Ethan tidak akan pulang, waktu yang tepat untuk kita menyingkirkan wanita itu.”

“Baiklah, kalau begitu tinggal langkah terakhir,” ucap ibu mertua, lalu tersenyum licik.

**

Isabella tengah berada di halaman belakang bersama kepala pelayan dan tukang kebun. Dia mendapatkan kabar sebelumnya bahwa ada hama yang merusak kondisi tanaman.

“Apa yang kita bisa lakukan untuk mengatasi masalah ini?” tanya Isabella penuh harap.

Tukang kebun menyogok bibit tanaman yang mulai terkena dampak. “Kita perlu memperkuat sistem kekebalan tanaman dengan menggunakan pupuk organik kaya nutrisi. Saya akan menyiram tanaman secara teratur untuk memastikan kelembapan yang cukup.”

Isabella mendengarkan dengan penuh perhatian. “Baiklah. Apa ada lagi?”

“Selain itu, Nyonya, kita bisa mempertimbangkan untuk memasang perangkap hama dan menggunakan pestisida organik. Ini akan membantu mengendalikan hama tanpa merusak ekosistem di sekitar.”

Isabella mengangguk paham. “Kepala pelayan, apa kau bisa membantuku untuk memenuhi kebutuhan kita ini?”

“Baik, Nyonya,” ucap kepala pelayan.

“Kalian bisa berkoordinasi. Lakukan yang diperlukan, aku percayakan pada kalian.”

Kepala pelayan dan tukang kebun mengangguk. Pada saat bersamaan, ponsel Isabella berdering sehingga membuatnya harus membuat jarak dari para pekerja. Panggilan itu adalah panggilan pribadi dari Charla.

“Halo, Charla?” ucap Isabella sesaat panggilan tersambung.

“Kakak! Tolong aku!”

Raut wajah Isabella seketika berubah panik. “Ada apa? Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja? Katakan padaku ada di mana kau sekarang!”

“Seseorang membawaku, Kak! Tolong aku!”

“Siapa orang itu? Cepat katakan padaku!”

“Aku tidak mengenalnya!”

Isabella mendengar suara seperti benda dibanting, diikuti oleh teriakan Charla. Tidak lama kemudian, panggilan terputus.

“H—halo?”

Isabella melihat layar ponsel, sadar bahwa panggilan telepon sudah tidak lagi tersambung. Dia bingung harus mencari Charla ke mana lebih dulu. Saat ini, hanya nama Ethan yang ada di dalam benak. Dia ingin menghubungi suaminya itu, tetapi niatnya urung karena tidak ingin mengganggu Ethan yang sangat sibuk.

Tepat saat Isabella akan pergi, kepala pelayan yang mengawasi sejak tadi segera berkata, “Nyonya akan ke mana?”

“Aku akan pergi keluar sebentar. Teruskan pekerjaan kalian,” ucap Isabella.

Baru membalikkan badan, Isabella tersentak saat kepala pelayan memegang tangannya.

“Nyonya, saya mohon jangan pergi sampai Tuan kembali.”

“Suamiku tidak pulang malam ini, sedangkan aku terburu-buru.”

“Firasat saya tidak enak, Nyonya.”

Isabella terdiam sebentar, lalu dia tersenyum hangat. “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, tapi sungguh aku akan baik-baik saja. Aku pasti segera kembali.”

Tidak ada lagi alasan bagi kepala pelayan menghalangi, jadi dia terpaksa melepaskan tangan istri tuannya itu.

Isabella bergegas menuju kamar untuk mengambil kunci mobil. Saat hendak keluar rumah, dia tidak sengaja bertemu dengan ibu mertua.

“Kau mau ke mana, Isabella? Langit sebentar lagi akan berubah gelap.”

“Apa Charla menelepon Tante hari ini?”

“Charla?” Ibu mertua tampak heran. “Tidak. Memangnya, ada apa? Dia membuat ulah lagi?”

Dari perkataan itu, Isabella berpikir bahwa ibu mertua tidak tahu soal Charla. Dia tidak ingin memberi tahu pembicaraannya dengan Charla lewat telepon karena takut akan menimbulkan kekhawatiran.

“Tante tahu ke mana biasanya Charla pergi?”

“Kenapa kau ingin tahu? Apa itu penting?”

Isabella tidak menjawab. Ibu mertua juga tidak memaksa agar diberi jawaban.

“Dia sering menghabiskan waktu di night club.”

“Night club?”

“Ya, Midnight Muse.”

Midnight Muse adalah tempat legendaris, terletak di jantung pusat kota. Ada peraturan khusus agar pengunjung bisa masuk ke sana yaitu dress code. Untuk mengetahui tema dress code, Isabella harus mengunjungi situs club.

“Ada apa memangnya?”

Pertanyaan ibu mertua memecahkan lamunan. Isabella menggeleng, lalu bergegas pergi. Dia mengunjungi situs Midnight Muse sambil berjalan menuju mobilnya. Setelah mengetahui tema dress code kali ini, dia pun menyalakan mesin dan melajukan mobil keluar dari kediaman.

Ibu mertua melihat kepergian Isabella, lalu tersenyum. Dia menghubungi Charla dan mengatakan bahwa Isabella sudah berangkat menuju Midnight Muse. Di samping itu, kepala pelayan yang masih mengawasi diam-diam pun ikut melaporkan kejadian tersebut pada tuannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status