Tabir sang surya mulai terbuka perlahan, mengirim sinar emas ke dalam bilik tidur. Angin sejuk pagi membelai wajah Isabella saat dia meraih kesadaran pertama. Denyut jantung mengiringi irama burung-burung yang berkicau di luar.
Saat memalingkan wajah, dia melihat suaminya tengah tidur dengan tenang di sampingnya. Wajah yang tampan dihiasi senyum tipis membuat hati Isabella meleleh lagi pagi ini. Dalam momen itu, dia merasakan kebahagiaan dan cinta yang mendalam. Betapa beruntungnya dia memiliki Ethan.Isabella tidak ada niat mengganggu Ethan yang tampak sangat lelah. Dia jadi merasa bersalah telah membiarkan Ethan meneruskan percintaan di saat perusahaan sedang sibuk-sibuknya.“Aku akan membangunkanmu nanti. Kau bisa beristirahat lebih lama,” bisiknya.Dengan gerakan ringan, Isabella beranjak dari tempat tidur. Dia membasuh muka terlebih dahulu sebelum melangkah dengan hati-hati keluar kamar agar tidak membangunkan suaminya yang masih terlelap.Saat Isabella mencapai dapur, pandangannya langsung tertuju pada ibu mertua. Beliau juga menyadari kehadiran Isabella, tetapi tidak memedulikan menantunya itu.“Selamat pagi, Bu.”Ibu mertua mengangkat alis, melirik Isabella sesaat menuangkan sup ke mangkuk. “Aku selalu ingin mengatakannya padamu, bahwa aku bukanlah ibumu dan tidak akan pernah menjadi ibumu.”Isabella seharusnya tahu kalau ibu mertua tidak hanya boros, tetapi juga tidak bersahabat. Bagaimana pun dia berusaha melakukan pendekatan tidak akan membuat hati ibu mertua lunak seperti apa yang diharapkan selama ini.Isabella tidak berkata lagi. Dia berniat membawa mangkuk yang sudah penuh oleh sup itu.Dengan cepat, ibu mertua menepis tangan Isabella. “Apa yang kau lakukan?!”“Tante tidak perlu repot-repot membuatkan sarapan di rumah ini. Aku yang akan melakukannya karena sudah menjadi tanggung jawab seorang istri mengatur soal kebutuhan rumah tangga.”“Selain hobi membantah, ternyata kau juga hobi mengatur orang lain, ya?”“Ibu, biarkan saja dia bekerja.” Charla yang baru muncul itu berkata. “Pelayan memang berbaur dengan sesamanya, bukan?”Isabella mengernyitkan alis, selalu tidak senang dengan anak kecil yang tidak pernah menghormatinya ini. Sesekali Charla harus diberi pelajaran agar lebih disiplin dalam bersikap.“Maksudmu, aku adalah pelayan?” Isabella berkata.Charla memasang tampang tidak peduli. “Orang yang hanya melakukan pekerjaan rumah disebut apa lagi selain pelayan?”Isabella menatap ibu mertua yang memalingkan wajah—sama tidak pedulinya. Isabella semakin diliputi kemarahan. Harus berapa kali dia menerima hinaan seperti ini?“Kali ini bukankah kau sudah sangat keterlaluan? Menghinaku di rumah suamiku sendiri.”“Rumah suamimu? Heh, kau pikir ada cap air yang menandakan siapa pemilik rumah ini?” sinis Charla.“Dalam surat wasiat sudah dijelaskan kalau kakek meninggalkan sebagian besar hartanya untuk Ethan, termasuk rumah ini.”Charla merasa kalah atas pengetahuannya yang minim. Seperti kata Isabella, rumah ini memang diwariskan pada Ethan.Tetapi dia pantang mundur untuk menyudutkan Isabella. “Kalau begitu, kau seharusnya pergi dari rumah ini karena kakek tidak meninggalkan sepersen pun untukmu. Kakakku memang suamimu, tapi jika dia berpisah darimu, maka kau bisa apa?”Isabella melebarkan mata. “Berpisah?”Sampai nyawa di ujung tanduk pun Isabella tidak pernah memikirkan kata perpisahan di dalam rumah tangganya. Sekarang dia mendengar kata itu dari mulut adik ipar sendiri, bahkan ibu mertua hanya diam seolah-olah setuju. Bagaimana mereka bisa begitu kejam mengharapkan hal demikian?Batas toleransinya sudah tersinggung, Isabella melampiaskannya dengan jambakan rambut. Charla berteriak seperti burung gagak tanpa henti sambil balas menjenggut rambut Isabella.“Ibu, tolong aku! Wanita ini sudah gila!”“Kau pikir aku akan mengalah hanya karena kau anak kecil? Aku sudah cukup sabar selama ini dan tidak mengadukanmu pada Ethan, tapi kau tetap saja tidak mengontrol ucapanmu!”“Kau bilang aku ini anak kecil? Aku memang berumur dua puluh dua tahun, tapi otakku lebih dewasa dibandingkan dirimu!”“Kau pikir berkata-kata buruk adalah sikap yang dewasa, hah?!”“Kau pikir menjambak rambut adalah sikap yang dewasa?!”Isabella dan Charla saling menatap tajam, mendengus seperti banteng. Tangan mereka semakin mencengkeram rambut lawan dengan erat, lalu mulai saling menarik kembali.“Jangan diam saja, Bu! Kalau terus begini aku akan botak!” teriak Charla, merasa sangat muak.“Ibu harus apa?”“Jambak rambutnya!” teriak Charla kembali.“Jangan mendekat atau aku juga akan menjambak rambut Tante!”Ibu mertua langsung mundur, memikirkan soal tatanan rambut sempurnanya. Dia tidak rela ada yang merusak penampilan yang selalu rapi ini. Di sisi lain, dia juga berpikir kalau Isabella dan Charla harus dihentikan dan jangan sampai Ethan melihatnya.“Berhenti, Isabella! Apa kau pikir begini sikap menantu yang baik?”Hanya kata-kata tidak mampu menghentikan Isabella yang toleransinya sudah tersinggung. Mereka terus saling menjambak sampai terbaring di lantai, berputar-putar dan saling menduduki. Pemandangan memalukan itu juga dilihat oleh para pekerja di kediaman tersebut.“Security! Panggilkan security kemari!” teriak ibu mertua, tidak diindahkan siapa pun karena terlalu asyik menonton perkelahian.Di tengah-tengah suasana yang tegang, Ethan tampak muncul dari lantai atas. Dia langsung disuguhkan pemandangan memalukan yang membuatnya tidak mampu menyelesaikan langkah untuk menuruni tangga.Menyadari siapa yang datang, ibu mertua bergegas menghampiri dengan sikap seolah dirinya sudah berusaha keras melerai perkelahian di rumah mereka.“Ethan! Tolong bantu Ibu! Istrimu sudah keterlaluan, Ibu sudah tidak tahan lagi dengan sikapnya ini.”Mendengar nama itu disebut, Isabella dan Charla segera memisahkan diri. Mereka berdiri dalam keadaan berantakan. Ada banyak rambut berserakan di lantai, pun dengan jemari mereka yang terasa seperti dililit oleh rambut.“Ibu tidak menyangka hal memalukan ini akan terjadi pada pagi hari yang cerah begini. Ya, Tuhan! Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nak? Istrimu marah pada adikmu hanya karena dia terlambat membantu di dapur.”“Itu semua tidak benar!” ucap Isabella dengan cepat.Ibu mertua mengusap matanya seperti ingin menangis. “Apa salah kami padamu, Isabella? Kenapa terus memperlakukan kami dengan buruk saat Ethan tidak ada? Kau tahu kalau Ethan sedang berada dalam masa transisi setelah kehilangan kakek. Kau bahkan membeli barang yang tidak perlu di saat kita harus berhemat. Aku berkata padamu untuk tidak menghamburkan uang, tapi kau justru mengusirku dari rumah putraku sendiri.”Isabella menghampiri ibu mertua dan Ethan, lalu berkata, “Kenapa Tante mengatakan hal sebaliknya?Ibu mertua semakin terlihat sedih. “Lihatlah Nak, istrimu masih belum menganggapku sebagai ibunya. Dia memperlakukan ibumu bagaikan orang asing.”“Tante yang meminta agar aku tidak memanggilmu dengan sebutan ‘Ibu’.”Isabella menatap Ethan yang terlihat semakin marah. Penampilan setelah bertengkar dengan Charla turut membuat dirinya merasa seperti tersangka. Kalau terus dilanjutkan, maka hanya akan memperburuk nilainya di mata Ethan. Apa dia harus mengalah lagi?“Ethan, yang dikatakan ibumu tidak benar. Ada banyak saksi di sini, kau bisa menanyakannya pada mereka siapa yang salah dan siapa yang benar.”“Cukup, Isabella,” ucap Ethan.Isabella mengatupkan bibir, tidak berani bicara lagi. Dia rasa suaminya sudah termakan omongan ibu mertua. Kenyataan itu sekaligus menyadarkan dirinya kalau kepalanya terasa begitu panas. Ada berapa banyak kerontokan rambut yang dia alami?“Maaf, seharusnya istriku tidak membuat keributan.”Ucapan Ethan membuat Isabella terdiam seribu bahasa. Seharusnya dia tidak terkejut lagi karena memang selalu seperti ini, Ethan memilih sang ibu ketimbang dirinya, lalu dia yang akan meminta maaf.“Aku menyesal sudah membuat keributan. Maafkan aku.” Isabella berkata, kemudian menaiki tangga dan berjalan menuju kamar sambil menangis.Ibu mertua dan Charla tersenyum di balik kepergian Isabella. Mereka sangat senang karena Ethan berpihak pada mereka. Dengan begini, mereka harap pernikahan dua orang itu segera berakhir. Ethan menyusul Isabella yang saat ini mengambilkan tas yang diletakkan sebelumnya di atas meja dan diserahkan padanya. Dia tidak dapat melihat wajah Isabella karena istrinya itu terus menunduk. Dari suara seperti pilek itu dia tahu kalau Isabella sedang menangis. Ethan menyentuh bahu Isabella, tetapi istrinya berusaha menghindar. Dia harus memakai cara yang sedikit keras agar mereka bisa saling menatap, dengan mendorong Isabella ke dinding. Barulah air mata itu dapat terlihat jelas. “Tolong tinggalkan aku, aku ingin sendirian sekarang,” pinta Isabella. Ethan meraih kedua tangan Isabella, mengamati luka yang didapat akibat perkelahian. Bukan hanya hasil dari menjambak rambut saja, ada juga tanda seperti cakaran dia temukan. Charla memang memiliki kuku panjang, berbanding terbalik dengan Isabella seh
Ethan baru saja menyelesaikan panggilan telepon. Tangannya mengepal erat, tidak terima dengan keadaan menyesakkan ini terus-menerus. Kali ini pun dia tidak tahu apa yang direncanakan Ibu dan Charla selanjutnya. “Sir Ethan, apa kita sudah bisa menghadiri rapatnya sekarang?” Sekretaris wanitanya berkata. “Sudah berapa lama kita terlambat?” “Lebih kurang sepuluh menit. Seluruh peserta rapat sudah hadir, tinggal menunggu Anda untuk memulainya.” “Bisakah mengambilkanku minuman terlebih dahulu?” Ethan yang sejak tadi menghadap jendela lebar dengan pemandangan kota dan gedung-gedung itu membalikkan badan, mukanya tampak pucat. “Anda baik-baik saja, Sir?” Saat sang sekretaris akan mendekat, Ethan kembali berkata, “Ambilkan minuman untukku sekarang juga,” perintahnya dengan suara tegas. “B—baik!” Saat sang sekretaris berjalan cepat keluar dari ruangan, Ethan duduk di kursi jabatan. Dia mengambil sesuatu dari dalam laci, sebuah botol obat. Hanya tersisa dua kapsul. “Sir Ethan! Maaf mem
Di tengah perjalanan, Isabella singgah ke salah satu toko yang ada di jantung kota untuk membeli pakaian sesuai dress code. Dia langsung mengenakannya dan keluar dari butik dengan penampilan yang bisa dikatakan jauh dari kesan seorang Isabella. “Pakaian yang Anda kenakan kini terlihat sangat cocok,” ucap pegawai toko. “Jangan bercanda. Pakaian ini terlalu terbuka dan membuatku jadi terlihat menyedihkan.” Pegawai itu langsung kikuk. “Saya akan mencarikan pakaian lain untuk Anda.” “Tidak perlu. Aku akan membeli ini. Berikan aku satu outer yang cocok.” Perkataan Isabella lain di mulut lain di hati, membuat sang pegawai kebingungan. “Anda akan membelinya? Bukankah tadi Anda berkata kalau—” Isabella menatap pegawai di depannya, lalu berkata, “Aku terburu-buru.” “Baik! Saya akan mengambilnya untuk Anda.” Isabella menunggu di dekat kasir. Outer yang dimintanya datang beberapa saat kemudian. Dia langsung mengenakannya. Selesai membayar, dia pun keluar dari toko dan berkendara kembali.
Ethan menarik selimut untuk menutupi tubuh Isabella. Pandangan matanya sendu, merasa sedih atas apa yang menimpa sang istri dan merasa begitu egois karena menahan istrinya agar tetap di sisinya saat dia tahu bagaimana perlakuan buruk yang diterima Isabella. “Sir Ethan.” Ethan menatap ambang pintu, sekretarisnya sedang menunggu. Dia hampir lupa kalau tadi berada dalam perjalanan. Saat dia mendapatkan kabar dari kepala pelayan, dia langsung meminta sopir berputar arah, itulah alasan kenapa akhirnya dia sampai di Midnight Muse. “Bisakah kau membatalkan semua jadwalku selanjutnya? Aku tidak berada dalam kondisi baik sekarang.” “Itu sulit, tapi saya akan mencobanya.” Ethan kembali menatap Isabella, menyentuh pipi istrinya itu dengan lembut. Dia langsung menjauh saat Isabella bereaksi akan sentuhannya. “Kita pergi sekarang,” ucap Ethan. Dia dengan cepat pergi dari kamar itu. Sebaiknya, Isabella tidak tahu kalau dia sempat datang ke Midnight Muse. Ethan dan sang sekretaris kembali ke m
Isabella mendengar suara ribut dari dalam rumah. Yang menjadi perhatiannya adalah di antara suara itu dia juga mendengar suara Charla. Untuk memastikannya, dia pun pergi ke sumber suara. Pada saat itulah dia berpapasan dengan ibu mertua dan juga adik ipar. “Charla ... bagaimana kau bisa ada di rumah? Bukankah sebelumnya kau diculik?” tanya Isabella dengan tampang heran bercampur tidak percaya. Ibu mertua memandang sinis. Dia berlalu pergi bersama Charla. Merasa diabaikan, Isabella segera meraih tangan Charla agar dirinya dapat menuntut penjelasan. “Kau ini bodoh atau apa?!” teriak Charla, menepis tangan Isabella. Isabella tercenung. Jika sebelumnya Charla bicara sopan, sekarang dia justru melihat sosok yang memeranginya. 180 derajat berbeda. “Kenapa kau berkata seperti itu padaku, Charla?” Charla melipatkan tangan di dada. “Berapa kali harus aku katakan padamu? Berhenti menyebut namaku dengan ekspresi seolah kita dekat!” Segera setelah itu, Charla menyentuh lengan ibunya. “Kita
Kini, Isabella berada di depan sebuah gedung. Ini adalah kali pertama dia menginjakkan kaki di tempat kerja suaminya. Dia sudah mengabari Ethan selama perjalanan, tetapi tidak ada balasan yang diterima sehingga tekadnya juga semakin bulat.“Oh, bukankah Anda istri Sir Ethan?”Isabella menoleh pada seorang wanita berpenampilan formal di sampingnya. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Lalu, siapa wanita itu?Wanita itu melihat kebingungan di wajah Isabella, lalu dia menunduk sedikit sambil mengurai senyuman. “Saya Olivia Mitchell, sekretaris Sir Ethan.”Isabella langsung membawa tatapannya ke atas dan ke bawah, mengamati Olivia yang tampak elegan. Dia tidak tahu kalau Ethan memiliki sekretaris yang cantik dan dia juga tidak pernah bertanya—entah kenapa dia jadi menyesal.Isabella mengedikkan dagu. “Ya, aku istri Ethan Sinclair. Kedatanganku kemari untuk bertemu dengan suamiku. Bisakah tunjukkan jalan menuju ruangannya padaku?”“Boleh saya tahu alasan kedatangan Anda?”Isabella merasa
Rion akan selalu menatapnya dalam-dalam ketika sedang bersungguh, sama seperti yang dilakukan saat ini. Jadi, agak sulit mempercayai pria ini sedang berbohong. Tetapi Sara tidak ingin langsung percaya begitu saja, karena setelah kasus perceraian mereka—terlepas dari alasan Rion, kepercayaannya menjadi sangat mahal.Pada pria itu dulu Sara bergantung, hanya menjadi tempat satu-satunya baginya. Kalau tidak karena rencana kakek yang mempertimbangkan tentang kehidupan cucunya, pasti dia akan mengalami banyak kesulitan untuk hidup sendirian di luar sana.Mungkin, untuk sementara waktu dia akan mempercayai perkataan Rion, karena dia butuh informasi lebih banyak mengenai apa yang sebenarnya terjadi."Lalu, kenapa kau masih bertahan dalam lingkungan seperti itu?""Kakek berpesan sebelum meninggal, memintaku untuk menerima kekurangan mereka. Di sisi lain, aku tidak ingin kau menderita. Maka pilihan terbaik untuk semua orang adalah perpisahan kita."Sara menganggukkan kepala dalam kepahitan. Di
Rion memandangi televisi dengan pikiran melayang entah ke mana. Semua sudah sampai sejauh ini dan dia tidak mengira kalau akan mengambil keputusan yang bertolak belakang dengan apa yang sering diucapkan oleh kakeknya.Dia pun sudah begitu muak pada mereka yang bertingkah menyulitkannya. Tetapi sudah melewati batas berulang kali, dia tidak bisa menoleransi lagi. Sebenarnya, tidak masalah jika dia tidak mendapatkan warisan apa-apa, karena sejak awal tidak menginginkan posisi di keluarga Atkinson.Semua hanya karena permintaan kakek.Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Rion sesaat televisi dimatikan. Dia dengan remote di genggaman tangan terkejut melihat sosok Sara. Apa yang dilakukan wanita itu di sini?"Seseorang membuatku merasa sangat bersalah padamu sehingga akhirnya harus datang ke mari."Sara mengembuskan napas panjang. "Apa yang dipikirkan Auris sebenarnya? Dia bahkan menyiapkan perlengkapan menginap seolah kedatanganku ke rumah sakit seperti sudah direncanakan saja," g