"Ibu kenapa gak mau jawab?!" pekik Luna setengah histeris, dalam pikirannya sudah terbayang hal-hal buruk, mungkinkah ibunya selama ini sakit keras dan menutupi semua itu di hadapan keluarga.
"Ibu jawab ..." rengek Luna tapi Tari tetap tidak bergeming.
"Kalau gitu, biar aku telepon klinik itu," ucap Luna menyalakan ponsel ibunya yang masih berada di tangannya.
"Jangan Luna!" sergah Tari berusaha merebut ponselnya kembali.
"Kalau gitu Ibu bilang, jelasin semuanya, Bu," mohon Luna, ia merajuk.
Tari menghela nafas panjang dan berat, seperti sesuatu hal yang sulit apa yang akan ia ucapkan ini.
"Semua ini buat kamu," lirih Tari nyaris tak terdengar.
Evan yang berdiri mematung mencoba mendekat agar bisa mendengar percakapan ibu dan anak itu dengan jelas. Bukannya ingin ikut campur, hanya saja segala sesuatu tentang Luna, ia ingin tahu, sosok Luna memang sudah menarik perhatiannya.
"Apa? Buat aku, Bu? Aku gak salah denger kan?
Luna sudah berada di kamarnya, ia masih tak sadarkan diri, dengan amat terpaksa Tari kembali meminta bantuan Evan tadi untuk mengantar mereka pulang karena kondisi Luna yang pingsan tidak memungkinkan ia mencari kendaraan lain. "Ibu ngantuk berat semalam, Nduk. Sampai ndak tahu kalau Luna keluar rumah," sesal Minah ketika shubuh menjelang didapatinya cucunya itu tergeletak pingsan di kasurnya. "Gak apa-apa, Bu. Wajar Ibu ngantuk, wong Ibu seharian kerja, fisik Ibu kan emang udah seharusnya banyak istirahat, seharusnya aku yang minta maaf selalu ngerepotin Ibu untuk gantian jaga Luna." Tari mengusap punggung ibunya yang duduk di samping tempat tidur Luna. "Terus sekarang gimana Luna? Apa gak sebaiknya bawa ke rumah sakit?" saran Minah yang khawatir pada kondisi cucunya yang tak kunjung sadarkan diri. "Kalau udah terang nanti Tari telepon Bu Bidan untuk datang, Bu. Gak enak repotin tetangga terus pinjam kendaraan, terlalu sering kita min
Sudah tak terhitung Evan mundar-mandir di depan rumah Luna selama empat hari terakhir ini tapi tidak tampak ada kehidupan di dalam rumahnya. Sepertinya semua penghuninya pergi, ia sudah tanya tetangga terdekat tapi tidak ada yang tahu, keluarga Luna seperti menghilang begitu saja."Evan, ke sini lagi?! Mampir sini," ajak Lastri ketika ia sedang mengepel lantai terasnya."Luna belum pulang ya?" Ia bukan menjawab, justru balik bertanya.Lastri menarik salah satu ujung bibirnya tapi detik kemudian mencoba tersenyum agar Evan tidak melihatnya cemberut, kesal juga pemuda itu terus menanyakan Luna yang entah di mana keberadaannya sekarang ini."Gimana kalau nunggu di sini, saya buatkan minuman. Siapa tahu dia pulang hari ini," tawar Lastri sedikit membujuk.Evan yang berharap Luna segera pulang pun akhirnya mau untuk duduk di beranda rumah Lastri, mungkin benar apa kata tetangga Luna ini, bisa jadi mereka pulang hari ini, ia akan mencoba untuk menunggunya."Ini kue sama teh manisnya, kamu p
"Sudah, pergi saja kamu," usir Minah pada Evan yang terus mengikutinya sampai di depan rumah. "Tidak bisa, Mbah. Saya harus tahu di mana Luna?" tanyanya ngotot. Segala pikiran negatif terus muncul di kepala Evan, terlebih setelah perdebatan ia dengan Tari soal menggugurkan kandungan Luna malam itu dan esok paginya mereka sudah tidak ada di rumah. "Mbah, apa Luna benar-benar menggugurkan kandungannya?" tanya Evan berbisik, ia juga masih menjaga ucapannya, takut didengar para tetangga. "Ojo ngawur kamu kalau ngomong, tak tempeleng mulutmu," maki Minah pada pemuda itu. "Lalu ke mana Luna pergi?" Evan terus bertanya, khawatir tentu saja. "Kamu tidak ada kepentingan untuk tahu, pulang saja sana!" Minah kembali mengusir Evan. "Mbah, tapi saya mau tahu di mana Luna." Evan begitu memelas. "Memang ada perlu apa kamu? Ndak usah ikut campur urusan keluarga kami lagi," bentak perempuan tua itu sambil berjalan masuk
Setelah menceritakan semuanya pada Dimas, Evan merasa kegelisahan yang selama ini menyelimuti dirinya terasa sedikit menghilang. Ternyata menceritakan apa yang menjadi beban pikiran kita pada orang yang kita percaya itu cukup membantu, terlebih Dimas merupakan tipe pendengar yang baik, setiap Evan bicara ia merespon dengan raut wajah dan gerakan kepalanya saja tanpa menyela sedikit pun."Aku harus bagaimana?" tanya Evan mengakhiri sesi curhatnya.Melihat Dimas yang masih diam tak berkomentar, Evan melanjutkan bertanya."Memang salah kalau aku mau tanggung jawab? Aku serius, bukan main-main.""Menurutku bukan salah tapi kurang tepat, kamu itu orang asing yang baru mereka kenal terus tiba-tiba bilang mau tanggung jawab, yang ada yang mereka juga bingung, bisa jadi takut makanya mereka menghindar," sahut Dimas akhirnya memberi pendapat."Tapi kan aku sudah cukup kenal lama sama Ibu Tari, bahkan dia orang pertama yang dekat sama aku di sini," ujar Evan
Tak terasa sudah tiga bulan Luna bersama ibunya tinggal di Jakarta, ibu kota memang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang seperti mereka untuk mengadu nasib. Sebelum memutuskan untuk ke Jakarta Tari memang sudah mendapatkan tawaran dari temannya dulu sesama TKW. Ada panti lansia yang membutuhkan suster dan temannya itu meminta Tari untuk bekerja di sana, awalnya tentu saja ia tak berminat karena tak mungkin meninggalkan Luna dalam keadaan seperti itu hanya bersama ibunya yang sudah tua. Namun setelah segala masalah yang ada akhirnya Tari pun memutuskan untuk menerima pekerjaan itu."Tumben udah rapi, Nduk?!" tanya Tari ketika Luna baru saja keluar kamar yang mereka gunakan berdua, mereka memang hanya bisa menyewa kontrakan kecil, tak jauh dari panti tempat Tari bekerja."Ada panggilan, Bu. Ada yang perlu guru home schooling untuk anaknya," jawab Luna sambil merapikan penampilannya."Alhamdulillah, pasang iklan jasa ternyata ada yang tertarik juga ya," s
Luna memegangi perutnya, ia bersiap untuk akhir yang mengecewakan, tak apa jika Chika memang tidak menyukainya dan tidak menginginkan ia menjadi gurunya, mungkin bukan rejekinya untuk mulai kembali mengajar. "Apa di perut Ibu ada dedek bayinya?" tanyanya sambil berjalan mendekati Luna. Luna melemparkan senyum, "iya, di dalem perut Ibu ada adek bayinya, Chika hebat, kamu bisa tebak." Chika yang sejak tadi tak berekspresi kini tersenyum, ia begitu cantik ketika menaikan kedua sudut bibirnya itu, kecantikannya sebanding dengan ibunya bahkan matanya jauh lebih indah, bola mata chika mengingatkannya pada Evan, lelaki nekat yang menjadi salah satu penyebab ia dan ibunya harus pindah ke sini. "Gimana? Chika mau kan belajar sama Bu guru Luna?" tanya Rachel menghampiri. Chika mengangguk sebagai jawaban, ia pun menuntun Luna ke meja belajarnya. "Kita bisa mulai belajar sekarang kan, Bu?" tanya anak kecil berambut kecoklatan itu.
"Hai! Ayo masuk," teriak Rachel membuka pintu. Lelaki yang baru datang itu segera berlari menghampiri, Luna yang baru saja berbalik sudah tak bisa melihat wajahnya. Perempuan hamil itu pun akhirnya meneruskan langkahnya keluar melewati pintu gerbang setelah sebelumnya bertegur sapa dengan satpam rumah megah ini. "Gurunya Non Chika ya?" tanya Satria, namanya tertera di seragam coklatnya itu. "Iya, betul Pak. Mari," pamit Luna sambil menunduk pelan. Matahari begitu menyengat hingga baru sebentar saja Luna berdiri menunggu angkutan, keringatnya sudah bercucuran jatuh dari pelipisnya. Luna menyekanya, nafasnya sedikit tersengal, perutnya yang semakin besar membuat ia kesulitan bernafas. "Lama juga angkotnya," keluh Luna dan pada saat itu netranya menangkap masjid di seberangnya. "Lebih baik aku sholat dulu, sekalian ngadem," batin Luna lalu menyebrang jalan. Begitu sampai di sana, Luna bergegas mengambil wudhu lalu ma
"Guru aku namanya ---""Ternyata masih di dalem, ayo yang lain udah nungguin." Rachel muncul, Chika seketika berlari menghampiri maminya itu.Helaan nafas berat terhembus dari bibir Evan, padahal nyaris ia mendapatkan jawaban dari Chika, sebelum keluar kamar gadis kecil itu, kembali Evan melirik buku gambar Chika, rumah itu persis rumah Luna. Mulai dari gambar undakan tangga, empat pilar kayu, bentuk atap yang mengerucut di bagian tengah dan juga pintu kayu dengan ukiran yang selalu membuat Evan terkagum ketika datang bertamu."Kenapa bisa semirip itu?" gumam Evan sambil berjalan turun ke lantai satu."Ah, mungkin guru Chika hanya menggambar rumah adat, rumah Luna memang khas, dia masih mempertahankan bentuk rumah adat daerahnya." Evan berakhir dengan pikiran semacam itu.Bukan tak ada alasan ia berpikir seperti itu, Luna yang ia kenal sedang tidak baik-baik saja, kondisi fisik dan mentalnya sedikit terganggu jadi sepertinya tidak mungkin dia menja
Semenjak Luna mengatakan yang sebenarnya, menceritakan apa yang menimpa dirinya, Richo justru semakin gencar mendekati dirinya. "Tidakkah dia merasa jijik pada perempuan kotor dan hidupnya hancur seperti aku?!" Pertanyaan itu kerap mengusik pikiran Luna karena dasarnya ia berterus-terang adalah agar Richo menjauhi dirinya. Lelaki terhormat seperti dia pasti segan mendekati perempuan seperti dirinya, yang sudah jelas hidupnya hancur tak tersisa. Ia kuat hanya mengingat masa depan anaknya, Jizan yang tentu saja menjadi tanggung jawabnya. Juga ada ibunya yang sangat berarti dalam hidupnya. "Ah, apa kamu lelaki bodoh, Cho?!" gerutu Luna ketika menerima makanan yang dikirim ojek online, meski tak menyebutkan pengirimnya tapi Luna tahu itu dari Richo karena ini bukan yang pertama kalinya semenjak ia mengantarnya pulang malam itu. "Apa itu, Lun?" tanya Tari yang menyembul dari balik pintu. Luna tak menjawab, ia hanya mengangkat plastik berisi makanan yang entah apa itu. "Loh, kamu pese
"Bandara? Ngapain kita ke sini?" tanya Luna setelah mobil Richo terparkir aman di tempat yang tersedia. "Kita masuk aja dulu, sambil aku jelasin," jawab Richo sambil meminta Luna agar berjalan lebih dulu. Keduanya sudah berada di dalam bandara, di terminal pemberangkatan, Richo sudah menceritakan semuanya pada Luna soal maksudnya mengajak dirinya ke sini. "Jadi Adek kamu mau ke luar negeri?! Ke Kanada?" tanya Luna sekedar memperjelas. "Iya, dia ikut study exchange." Angguk Richo, raut wajahnya sulit dijelaskan saat itu. Mungkin karena setengah hatinya belum bisa membiarkan adiknya itu pergi karena ia tahu bagaimana manjanya seorang Erica, apa dia bisa tinggal jauh dari keluarga dan melakukan semuanya sendiri? Namun di sisi lain ia juga bangga, karena adiknya cukup berprestasi hingga bisa mengikuti program kampusnya itu. "Oh, itu mereka!" Tunjuk Richo pada kumpulan orang yang berada tak jauh dari mereka. Richo mempercepat langkahnya tapi tiba-tiba saja Luna menarik tangannya, ia
"Balik ke Kanada? Why?" tanya Evan, sesampainya di kantor, ia sudah disodorkan tiket pesawat oleh Richard. "Ada bisnis aku yang harus diurus di sana, tapi aku juga baru ada project baru di sini sama Pak Bayu, jadi bisnis aku yang di Kanada tolong kamu urus ya," pinta Richard setengah membujuk. Evan mendengkus, raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan, salah satu sudut bibirnya tertarik. "Aku jauh-jauh ke sini karena gak mau kerja di sana, lagi pula aku juga ada bisnis sendiri, aku sibuk!" tolak Evan mentah-mentah. "Bisnis kamu kan baru aja mulai, jadi —""Ya justru baru mulai jadi perlu fokus dan usaha lebih. Sorry, aku gak bisa bantu kamu sekarang.""Van, aku minta tolong sama kamu, masalahnya —"Evan menatap Richard lekat-lekat, sepertinya ada sesuatu yang berat untuk dia ucapkan. Keduanya diam, ruangan mendadak sunyi hingga bunyi sepatu pantofel hitam yang dipakai Evan jelas terdengar saat berbenturan dengan lantai ketika ia berjalan menghampiri Richard. "Kamu punya rencana apa
"Kan udah aku jelasin, Bu! Kenapa nanya lagi sih?!" sahut Luna sedikit ketus. Semua tentang Richo adalah luka lama yang sudah lama ia kubur dalam, mengungkitnya sama saja dengan mengorek luka itu, sakit rasanya karena mereka berpisah bukan karena keinginan masing-masing. Luna tak pernah membenci ibunya Richo, sejak awal memang cinta mereka yang salah, tumbuh dalam keadaan yang tidak tepat. Sungguh tak tahu diri kalau orang biasa seperti dirinya berharap mendapatkan pasangan kaya raya, terpandang seperti Richo. "Soalnya Ibu liat Richo itu perhatian banget sama kamu. Ya udah maafin Ibu kalau kamu gak suka bahas itu," sesal Tari, ia merasakan ketidaknyamanannya putrinya. Luna menggenggam tangan ibunya yang ditaruh di atas pahanya sendiri, ia menatap Tari yang sempat tertunduk tadi. "Gak perlu minta maaf, Bu. Aku cuma pengen fokus rawat anakku aja, aku gak mau kita bahas yang lainnya, yang gak penting," ujar Luna. "Iya, Lun." Angguk Tari. "Oh ya, ngomong-ngomong, katanya tadi kamu ud
"Ibu gak perlu khawatir, Evan itu udah punya pasangan," ujar Luna setelah mendengar penjelasan ibunya bagaimana ia bertemu dengan Evan. Helaan nafas berat ibunya dapat Luna rasakan beserta raut wajah lega yang terpancar. Setidaknya hidup Luna tidak akan terganggu dengan ocehan orang-orang tentang hubungannya dengan Evan, Luna bisa hidup dengan tenang seperti sebelumnya. "Tapi —" Luna menjeda ucapannya. "Tapi apa?" Kening Tari berkerut. "Evan itu ternyata saudaranya Pak Richard, Bu. Jadi —""Kalau kamu tetap ngajar di sana, berarti kamu pasti ketemu terus sama dia?!"Luna menganggukkan kepala pertanda membenarkan pernyataan ibunya. "Terus kamu mau ambil keputusan apa?" tanya Tari setelah jeda hening tercipta. "Mau gimana lagi, Bu! Aku gak bisa terus kerja di sana," balas Luna dengan menghentakkan bahunya. "Kamu yakin? Apa kamu gak sayang? Apalagi liat anak murid kamu yang udah deket gitu, kamu gak kasian sama dia?!" Pertanyaan Tari yang menerus itu membuat Luna gamang. Luna tak
"A-aku ...""Evan!" panggilan dari arah belakang mereka membuat kedua lelaki itu menoleh. Erica cepat berlari, langsung merangkul lengan Evan, dia tampak bahagia bertemu dengan pemuda itu, senyum serta rona merah di pipinya menghiasi wajah cantiknya itu. "Ck! Kakakmu loh di sini, malah cowok lain yang jadi prioritas," ketus Richo memalingkan wajah sebal. "Apaan sih, Kak! Sama Kakak kan bosen, tiap hari juga ketemu di rumah." Erica menyenggol lengan kakaknya itu, sikap manjanya terlihat dan Evan tak suka itu. "Eh, kamu mau ke mana? Aku anter ya?!" Erica langsung membawa Evan menjauh. Richo hanya bisa menatap punggung keduanya sampai hilang dari pandangannya. Dalam hatinya masih mengganjal pertanyaan yang belum dijawab Evan, sebenarnya apa hubungan dia dengan Luna hingga membuat ibunya terlihat kesal tadi? "Aku harus cari tahu!" tekad dokter muda itu, melangkah pasti menuju ruang rawat Luna. Begitu sampai di depan pintu, ia berpapasan dengan Tari, Richo segera menunduk sopan, tak
Evan pergi terburu-buru, Richard baru saja meneleponnya, ada masalah di kantor, cukup urgent yang mengharuskan ia untuk segera datang hingga Richo tidak sempat bertemu dengannya. "Siapa suami Luna? Aku ingin bertemu dengannya, lelaki beruntung seperti apa yang bisa mendapatkan hatinya?" batin Richo sambil terus mencari sosoknya. "dokter Richo," panggil seorang perawat, setengah berlari ia menghampiri. "Saya cari dokter dari tadi, sekarang waktunya jam visit dok," ujar perawat itu memberitahu. Seketika Richo menepuk keningnya, terlalu sibuk mengurus Luna membuat ia lupa akan tugas dan tanggung jawabnya di rumah sakit ini. Ia tak terpikirkan ada pasien yang sedang menunggu dirinya, pikirannya hanya dipenuhi tentang Luna saat ini. "Maaf, ayo!" Richo berjalan mendahului. Sementara Luna sendiri sudah terbangun, ia segera menelepon ibunya tadi, ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Tari sebelum Luna menghubunginya. Tak berapa lama, Tari pun datang, seketika ia menangis sambil terus
Waktu persalinan semakin dekat, Rachel sudah memberikan Luna cuti sampai waktu melahirkan tapi pagi ini Luna memaksa untuk datang, ia ingin memberikan tugas untuk Chika agar ia masih bisa belajar meski Luna tidak bisa datang selama beberapa minggu ke depan. Pembantu membukakan pintu ketika Luna menekan bel, "loh, Bu guru? Kata Bu Rachel ---" "Iya Bi, saya cuma sebentar. Saya cuma mau kasih tugas aja untuk Chika," potong Luna yang sudah tahu maksud pembicaraan perempuan itu. "Kalau gitu silakan masuk Bu, Non Chika ada di kamarnya, kebetulan saya mau ke minimarket depan sebentar, ada yang harus dibeli. Bu guru bisa tolong jaga Luna dulu?!" tanyanya yang justru meminta bantuan Luna. "Iya Bi, saya pulang kalau Bibi sudah dateng," sahut Luna yang dibalas ucapan terima kasih sebelum pembantu rumah itu pergi. "Bu guru ..." pekik Chika kegirangan, sudah empat hari ini mereka tidak bertemu, meski sesekali Chika meminta maminya untuk melakukan video call dengan gurunya itu tapi bertemu lan
Seperti ada saja cara Erica untuk membuat ia dengan Evan semakin dekat dengan memanfaatkan papinya. Seperti hari ini, Bayu mengundang Richard sekeluarga untuk makan malam bersama di rumahnya. "Oh ya, saudara Bapak juga diajak sekalian, kemarin dia yang bawa dokumen sampai akhirnya kita deal kontrak kerja sama ini," kata Bayu melalui panggilan telepon. "Oh tentu saja, Pak. Dia juga sudah seperti anak saya sendiri jadi dia bagian dari keluarga saya," sahut Richard, tak mungkin ia menolak perintah rekan bisnisnya itu. "Baik, kalau begitu saya tunggu besok malam," ucap Bayu kemudian mengakhiri panggilan telepon tersebut. "Pih, gimana?" tanya Erica, sejak tadi dia mengikuti sesi telepon papinya itu. "Udah, tenang aja. Dia juga pasti dateng," jawab Bayu yang memang memanjakan putri bungsunya itu. "Tapi kalau cuma makan malem gak seru, Pih. Apalagi makan sekeluarga, gimana aku bisa ngobrol berdua aja sama dia." Erica cemberut, hembusan nafas berat keluar dari bibirnya yang mungil itu.