Luna sudah berada di kamarnya, ia masih tak sadarkan diri, dengan amat terpaksa Tari kembali meminta bantuan Evan tadi untuk mengantar mereka pulang karena kondisi Luna yang pingsan tidak memungkinkan ia mencari kendaraan lain.
"Ibu ngantuk berat semalam, Nduk. Sampai ndak tahu kalau Luna keluar rumah," sesal Minah ketika shubuh menjelang didapatinya cucunya itu tergeletak pingsan di kasurnya."Gak apa-apa, Bu. Wajar Ibu ngantuk, wong Ibu seharian kerja, fisik Ibu kan emang udah seharusnya banyak istirahat, seharusnya aku yang minta maaf selalu ngerepotin Ibu untuk gantian jaga Luna." Tari mengusap punggung ibunya yang duduk di samping tempat tidur Luna."Terus sekarang gimana Luna? Apa gak sebaiknya bawa ke rumah sakit?" saran Minah yang khawatir pada kondisi cucunya yang tak kunjung sadarkan diri."Kalau udah terang nanti Tari telepon Bu Bidan untuk datang, Bu. Gak enak repotin tetangga terus pinjam kendaraan, terlalu sering kita minSudah tak terhitung Evan mundar-mandir di depan rumah Luna selama empat hari terakhir ini tapi tidak tampak ada kehidupan di dalam rumahnya. Sepertinya semua penghuninya pergi, ia sudah tanya tetangga terdekat tapi tidak ada yang tahu, keluarga Luna seperti menghilang begitu saja."Evan, ke sini lagi?! Mampir sini," ajak Lastri ketika ia sedang mengepel lantai terasnya."Luna belum pulang ya?" Ia bukan menjawab, justru balik bertanya.Lastri menarik salah satu ujung bibirnya tapi detik kemudian mencoba tersenyum agar Evan tidak melihatnya cemberut, kesal juga pemuda itu terus menanyakan Luna yang entah di mana keberadaannya sekarang ini."Gimana kalau nunggu di sini, saya buatkan minuman. Siapa tahu dia pulang hari ini," tawar Lastri sedikit membujuk.Evan yang berharap Luna segera pulang pun akhirnya mau untuk duduk di beranda rumah Lastri, mungkin benar apa kata tetangga Luna ini, bisa jadi mereka pulang hari ini, ia akan mencoba untuk menunggunya."Ini kue sama teh manisnya, kamu p
"Sudah, pergi saja kamu," usir Minah pada Evan yang terus mengikutinya sampai di depan rumah. "Tidak bisa, Mbah. Saya harus tahu di mana Luna?" tanyanya ngotot. Segala pikiran negatif terus muncul di kepala Evan, terlebih setelah perdebatan ia dengan Tari soal menggugurkan kandungan Luna malam itu dan esok paginya mereka sudah tidak ada di rumah. "Mbah, apa Luna benar-benar menggugurkan kandungannya?" tanya Evan berbisik, ia juga masih menjaga ucapannya, takut didengar para tetangga. "Ojo ngawur kamu kalau ngomong, tak tempeleng mulutmu," maki Minah pada pemuda itu. "Lalu ke mana Luna pergi?" Evan terus bertanya, khawatir tentu saja. "Kamu tidak ada kepentingan untuk tahu, pulang saja sana!" Minah kembali mengusir Evan. "Mbah, tapi saya mau tahu di mana Luna." Evan begitu memelas. "Memang ada perlu apa kamu? Ndak usah ikut campur urusan keluarga kami lagi," bentak perempuan tua itu sambil berjalan masuk
Setelah menceritakan semuanya pada Dimas, Evan merasa kegelisahan yang selama ini menyelimuti dirinya terasa sedikit menghilang. Ternyata menceritakan apa yang menjadi beban pikiran kita pada orang yang kita percaya itu cukup membantu, terlebih Dimas merupakan tipe pendengar yang baik, setiap Evan bicara ia merespon dengan raut wajah dan gerakan kepalanya saja tanpa menyela sedikit pun."Aku harus bagaimana?" tanya Evan mengakhiri sesi curhatnya.Melihat Dimas yang masih diam tak berkomentar, Evan melanjutkan bertanya."Memang salah kalau aku mau tanggung jawab? Aku serius, bukan main-main.""Menurutku bukan salah tapi kurang tepat, kamu itu orang asing yang baru mereka kenal terus tiba-tiba bilang mau tanggung jawab, yang ada yang mereka juga bingung, bisa jadi takut makanya mereka menghindar," sahut Dimas akhirnya memberi pendapat."Tapi kan aku sudah cukup kenal lama sama Ibu Tari, bahkan dia orang pertama yang dekat sama aku di sini," ujar Evan
Tak terasa sudah tiga bulan Luna bersama ibunya tinggal di Jakarta, ibu kota memang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang seperti mereka untuk mengadu nasib. Sebelum memutuskan untuk ke Jakarta Tari memang sudah mendapatkan tawaran dari temannya dulu sesama TKW. Ada panti lansia yang membutuhkan suster dan temannya itu meminta Tari untuk bekerja di sana, awalnya tentu saja ia tak berminat karena tak mungkin meninggalkan Luna dalam keadaan seperti itu hanya bersama ibunya yang sudah tua. Namun setelah segala masalah yang ada akhirnya Tari pun memutuskan untuk menerima pekerjaan itu."Tumben udah rapi, Nduk?!" tanya Tari ketika Luna baru saja keluar kamar yang mereka gunakan berdua, mereka memang hanya bisa menyewa kontrakan kecil, tak jauh dari panti tempat Tari bekerja."Ada panggilan, Bu. Ada yang perlu guru home schooling untuk anaknya," jawab Luna sambil merapikan penampilannya."Alhamdulillah, pasang iklan jasa ternyata ada yang tertarik juga ya," s
Luna memegangi perutnya, ia bersiap untuk akhir yang mengecewakan, tak apa jika Chika memang tidak menyukainya dan tidak menginginkan ia menjadi gurunya, mungkin bukan rejekinya untuk mulai kembali mengajar. "Apa di perut Ibu ada dedek bayinya?" tanyanya sambil berjalan mendekati Luna. Luna melemparkan senyum, "iya, di dalem perut Ibu ada adek bayinya, Chika hebat, kamu bisa tebak." Chika yang sejak tadi tak berekspresi kini tersenyum, ia begitu cantik ketika menaikan kedua sudut bibirnya itu, kecantikannya sebanding dengan ibunya bahkan matanya jauh lebih indah, bola mata chika mengingatkannya pada Evan, lelaki nekat yang menjadi salah satu penyebab ia dan ibunya harus pindah ke sini. "Gimana? Chika mau kan belajar sama Bu guru Luna?" tanya Rachel menghampiri. Chika mengangguk sebagai jawaban, ia pun menuntun Luna ke meja belajarnya. "Kita bisa mulai belajar sekarang kan, Bu?" tanya anak kecil berambut kecoklatan itu.
"Hai! Ayo masuk," teriak Rachel membuka pintu. Lelaki yang baru datang itu segera berlari menghampiri, Luna yang baru saja berbalik sudah tak bisa melihat wajahnya. Perempuan hamil itu pun akhirnya meneruskan langkahnya keluar melewati pintu gerbang setelah sebelumnya bertegur sapa dengan satpam rumah megah ini. "Gurunya Non Chika ya?" tanya Satria, namanya tertera di seragam coklatnya itu. "Iya, betul Pak. Mari," pamit Luna sambil menunduk pelan. Matahari begitu menyengat hingga baru sebentar saja Luna berdiri menunggu angkutan, keringatnya sudah bercucuran jatuh dari pelipisnya. Luna menyekanya, nafasnya sedikit tersengal, perutnya yang semakin besar membuat ia kesulitan bernafas. "Lama juga angkotnya," keluh Luna dan pada saat itu netranya menangkap masjid di seberangnya. "Lebih baik aku sholat dulu, sekalian ngadem," batin Luna lalu menyebrang jalan. Begitu sampai di sana, Luna bergegas mengambil wudhu lalu ma
"Guru aku namanya ---""Ternyata masih di dalem, ayo yang lain udah nungguin." Rachel muncul, Chika seketika berlari menghampiri maminya itu.Helaan nafas berat terhembus dari bibir Evan, padahal nyaris ia mendapatkan jawaban dari Chika, sebelum keluar kamar gadis kecil itu, kembali Evan melirik buku gambar Chika, rumah itu persis rumah Luna. Mulai dari gambar undakan tangga, empat pilar kayu, bentuk atap yang mengerucut di bagian tengah dan juga pintu kayu dengan ukiran yang selalu membuat Evan terkagum ketika datang bertamu."Kenapa bisa semirip itu?" gumam Evan sambil berjalan turun ke lantai satu."Ah, mungkin guru Chika hanya menggambar rumah adat, rumah Luna memang khas, dia masih mempertahankan bentuk rumah adat daerahnya." Evan berakhir dengan pikiran semacam itu.Bukan tak ada alasan ia berpikir seperti itu, Luna yang ia kenal sedang tidak baik-baik saja, kondisi fisik dan mentalnya sedikit terganggu jadi sepertinya tidak mungkin dia menja
Tari secepat kilat menarik kerudungnya hingga menutup setengah wajahnya, menyisakan kedua matanya saja yang terlihat, untuk saat ini ia belum siap bertemu kembali dengan Evan, terlebih Luna juga baru saja menata mentalnya, memulai hidupnya yang baru setelah segala penghinaan yang ia terima di kampung dan segala kebencian yang semakin menjadi karena orang-orang tak suka melihat kedekatannya dengan Evan."Terima kasih," ucap Tari sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.Evan tegas menolak, "tidak, tidak perlu. Saya sekedar membantu.""Terima kasih banyak," ucap Tari sekali lagi kemudian berlalu pergi.Kening Evan sempat berkerut samar, suaranya seperti tidak asing tapi semua itu segera ia tepis, terlalu menambah pikiran saja kalau ia mencoba untuk mengingatnya. Malam ini saja ia berolahraga untuk meringankan segala kenangan yang mendadak muncul. Jadi cukup, ia tak mau menambahnya lagi. Evan pun pergi dari sana, keduanya menempuh jalan