Luna memegangi perutnya, ia bersiap untuk akhir yang mengecewakan, tak apa jika Chika memang tidak menyukainya dan tidak menginginkan ia menjadi gurunya, mungkin bukan rejekinya untuk mulai kembali mengajar.
"Apa di perut Ibu ada dedek bayinya?" tanyanya sambil berjalan mendekati Luna.Luna melemparkan senyum, "iya, di dalem perut Ibu ada adek bayinya, Chika hebat, kamu bisa tebak."Chika yang sejak tadi tak berekspresi kini tersenyum, ia begitu cantik ketika menaikan kedua sudut bibirnya itu, kecantikannya sebanding dengan ibunya bahkan matanya jauh lebih indah, bola mata chika mengingatkannya pada Evan, lelaki nekat yang menjadi salah satu penyebab ia dan ibunya harus pindah ke sini."Gimana? Chika mau kan belajar sama Bu guru Luna?" tanya Rachel menghampiri.Chika mengangguk sebagai jawaban, ia pun menuntun Luna ke meja belajarnya."Kita bisa mulai belajar sekarang kan, Bu?" tanya anak kecil berambut kecoklatan itu."Hai! Ayo masuk," teriak Rachel membuka pintu. Lelaki yang baru datang itu segera berlari menghampiri, Luna yang baru saja berbalik sudah tak bisa melihat wajahnya. Perempuan hamil itu pun akhirnya meneruskan langkahnya keluar melewati pintu gerbang setelah sebelumnya bertegur sapa dengan satpam rumah megah ini. "Gurunya Non Chika ya?" tanya Satria, namanya tertera di seragam coklatnya itu. "Iya, betul Pak. Mari," pamit Luna sambil menunduk pelan. Matahari begitu menyengat hingga baru sebentar saja Luna berdiri menunggu angkutan, keringatnya sudah bercucuran jatuh dari pelipisnya. Luna menyekanya, nafasnya sedikit tersengal, perutnya yang semakin besar membuat ia kesulitan bernafas. "Lama juga angkotnya," keluh Luna dan pada saat itu netranya menangkap masjid di seberangnya. "Lebih baik aku sholat dulu, sekalian ngadem," batin Luna lalu menyebrang jalan. Begitu sampai di sana, Luna bergegas mengambil wudhu lalu ma
"Guru aku namanya ---""Ternyata masih di dalem, ayo yang lain udah nungguin." Rachel muncul, Chika seketika berlari menghampiri maminya itu.Helaan nafas berat terhembus dari bibir Evan, padahal nyaris ia mendapatkan jawaban dari Chika, sebelum keluar kamar gadis kecil itu, kembali Evan melirik buku gambar Chika, rumah itu persis rumah Luna. Mulai dari gambar undakan tangga, empat pilar kayu, bentuk atap yang mengerucut di bagian tengah dan juga pintu kayu dengan ukiran yang selalu membuat Evan terkagum ketika datang bertamu."Kenapa bisa semirip itu?" gumam Evan sambil berjalan turun ke lantai satu."Ah, mungkin guru Chika hanya menggambar rumah adat, rumah Luna memang khas, dia masih mempertahankan bentuk rumah adat daerahnya." Evan berakhir dengan pikiran semacam itu.Bukan tak ada alasan ia berpikir seperti itu, Luna yang ia kenal sedang tidak baik-baik saja, kondisi fisik dan mentalnya sedikit terganggu jadi sepertinya tidak mungkin dia menja
Tari secepat kilat menarik kerudungnya hingga menutup setengah wajahnya, menyisakan kedua matanya saja yang terlihat, untuk saat ini ia belum siap bertemu kembali dengan Evan, terlebih Luna juga baru saja menata mentalnya, memulai hidupnya yang baru setelah segala penghinaan yang ia terima di kampung dan segala kebencian yang semakin menjadi karena orang-orang tak suka melihat kedekatannya dengan Evan."Terima kasih," ucap Tari sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.Evan tegas menolak, "tidak, tidak perlu. Saya sekedar membantu.""Terima kasih banyak," ucap Tari sekali lagi kemudian berlalu pergi.Kening Evan sempat berkerut samar, suaranya seperti tidak asing tapi semua itu segera ia tepis, terlalu menambah pikiran saja kalau ia mencoba untuk mengingatnya. Malam ini saja ia berolahraga untuk meringankan segala kenangan yang mendadak muncul. Jadi cukup, ia tak mau menambahnya lagi. Evan pun pergi dari sana, keduanya menempuh jalan
Evan mengendarai mobil sambil sesekali melirik ponselnya, ia membaca maps di sana, Rachel mengirimkan lokasi alamat Luna dari resume yang ia berikan. Melewati gang-gang kecil akhirnya Evan menghentikan mobilnya di tengah keramaian orang."Sorry, apa benar alamat ini di sini?" tanya Evan pada seorang Ibu yang ada di antara kerumunan orang itu.Perempuan setengah baya itu menatap layar ponsel yang disodorkan Evan, ia menyipitkan matanya, membaca tulisan yang tertera di sana."Iya, bener di sini. Nomer 16 B itu." Tunjuknya pada bangungan rumah petak yang berada persis di belakang Evan. "Tapi orangnya baru aja dibawa ke rumah sakit," jelasnya lagi menunjuk mobil yang baru saja pergi."Orangnya di mobil itu?" Evan ikut menunjuk mengikuti telunjuk lawan bicaranya."Iya." Angguk si Ibu.Evan gegas masuk kembali ke dalam mobilnya lalu menyusul mobil yang dimaksud tadi."Kenapa aku datang malah orangnya dibawa ke rumah sakit? Memangnya kenapa
Hari ini Luna menepati janjinya, merajut bersama chika. Sungguh anak yang pintar, ia begitu mudah mengikuti intruksi dari Luna dan dalam waktu satu jam saja dia sudah bisa membentuk sebuah sapu tangan. Ya, Luna mengajarinya sebuah bentuk sederhana saja dulu karena sebenarnya ia juga belum terlalu terampil, masih harus banyak belajar. "Bu, aku mau minta dibeliin Mami alat rajut," kata Chika di tengah kegiatan mereka. "Boleh tapi tetep harus utamakan belajar mata pelajaran dulu ya," pesan Luna pada murid kecilnya itu. Tiba-tiba saja ia diam, bola matanya berputar ke atas, ia bersuara tapi mulutnya tertutup rapat. "Ibu, aku keluar dulu ya," ucapnya sambil berlari meninggalkan kamar. Rupanya ia masuk ke kamar kakaknya, Abel. Chika ingat maminya pernah membelikan alat rajut untuk tugas sekolah Abel, Chika ikut ketika membelinya dan saat itulah ia mulai tertarik pada dunia merajut, bahkan tontonannya dalam beberapa bulan terakhir ini adala
"Sayang!" Suara seruan itu terdengar oleh Luna. "Nanti disambung ya, Bu Luna. Suami saya udah nungguin," ucap Rachel mengakhiri panggilan telepon tersebut. Luna diam mematung, rasa penasarannya tak kunjung tuntas. Niat hati ingin mengucapkan terima kasih saja kenapa begitu sulit? Orang itu seakan menjadi sebuah misteri yang harus dia pecahkan."Kenapa aku jadi kepikiran terus sih? Padahal kan gak penting juga ya?!" gumam Luna berbicara sendiri. "Loh, penting lah. Nanti aku dibilang gak tahu terima kasih lagi," celotehnya pada diri sendiri. "Assalamu'alaikum!" sapaan salam diiringi pintu yang terbuka membuat Luna bangun dan keluar dari kamar. "Kamu baru pulang, Nduk?" tanya Tari ketika melihat Luna masih berpakaian rapi. "Enggak kok, Bu. Udah dari tadi," jawabnya, ia sendiri baru sadar kalau terlalu lama diam memikirkan seseorang yang entah siapa itu sampai lupa untuk berganti pakaian dan makan siang. "Ibu
"Ka-kamu Dewi kan?" gagap Luna yang tak menyangka bertemu anak remaja yang sempat membuatnya terjatuh sampai kesakitan.Tanpa pernah merasa bersalah gadis itu dengan santainya menarik kursi di depan Luna dan memilih duduk di sana, sementara Evan akhirnya memutuskan duduk di bangku sebelah Luna, ia memunggungi keduanya, penasaran pada percakapan apa yang akan terjadi di antara keduanya.Sebelum memulai bicara, Dewi memasang wajah sinis pada perempuan yang umurnya jauh lebih tua darinya itu, lagaknya benar-benar tidak memiliki sopan santun sambil menyilangkan kaki dan kedua tangan yang ia lipat di bawah dadanya."Ternyata benar ya gosip yang beredar di kampung," ucap Dewi tersenyum miring."Maaf, saya ndak peduli soal itu." Luna membuang muka, ia berusaha acuh."Gak peduli?" Seketika Dewi mencondongkan badannya mendekati Luna. "Hei ... Gosip itu tentang kamu, emang ya dari dulu cuma buat aib aja bisanya, bahkan udah pergi aja kebusukannya masih melek
"Ayo Ibu, itu taksinya." Chika menarik tangan Luna dan keduanya pun masuk ke dalam taksi. "What's going on?" Mark yang datang itu kebingungan ketika Evan menariknya mendekat dan ia bersembunyi di balik badannya. Desahan nafas Evan terdengar lega usai melihat Luna dan Chika yang sudah pergi dengan taksi, hampir saja ia ketahuan, untung badan Mark yang jangkung itu mampu menutupi tubuh Evan yang sengaja meringkuk ketika Luna menoleh tadi. Ia sudah seperti maling yang diincar warga untuk dipukuli. "Thanks Mark, lain kali kita bicara," ucap Evan kemudian berlalu pergi, ia ingin segera menyusul Chika. "Hei, Evan! Wait!" Bahkan teriakan Mark pun tidak dia pedulikan. Percuma juga membuntuti, Evan sudah tertinggal jauh, lagi pula dia lupa tidak mengingat nomer plat taksi yang ditumpangi Luna dan Chika tadi, bagaimana ia akan mengenalinya, terlebih jalanan mulai macet. Lampu merah yang bertahan lama seperti memberi kesempatan pada Evan untuk melamun, sikunya bersandar pada jendela kaca, t
Semenjak Luna mengatakan yang sebenarnya, menceritakan apa yang menimpa dirinya, Richo justru semakin gencar mendekati dirinya. "Tidakkah dia merasa jijik pada perempuan kotor dan hidupnya hancur seperti aku?!" Pertanyaan itu kerap mengusik pikiran Luna karena dasarnya ia berterus-terang adalah agar Richo menjauhi dirinya. Lelaki terhormat seperti dia pasti segan mendekati perempuan seperti dirinya, yang sudah jelas hidupnya hancur tak tersisa. Ia kuat hanya mengingat masa depan anaknya, Jizan yang tentu saja menjadi tanggung jawabnya. Juga ada ibunya yang sangat berarti dalam hidupnya. "Ah, apa kamu lelaki bodoh, Cho?!" gerutu Luna ketika menerima makanan yang dikirim ojek online, meski tak menyebutkan pengirimnya tapi Luna tahu itu dari Richo karena ini bukan yang pertama kalinya semenjak ia mengantarnya pulang malam itu. "Apa itu, Lun?" tanya Tari yang menyembul dari balik pintu. Luna tak menjawab, ia hanya mengangkat plastik berisi makanan yang entah apa itu. "Loh, kamu pese
"Bandara? Ngapain kita ke sini?" tanya Luna setelah mobil Richo terparkir aman di tempat yang tersedia. "Kita masuk aja dulu, sambil aku jelasin," jawab Richo sambil meminta Luna agar berjalan lebih dulu. Keduanya sudah berada di dalam bandara, di terminal pemberangkatan, Richo sudah menceritakan semuanya pada Luna soal maksudnya mengajak dirinya ke sini. "Jadi Adek kamu mau ke luar negeri?! Ke Kanada?" tanya Luna sekedar memperjelas. "Iya, dia ikut study exchange." Angguk Richo, raut wajahnya sulit dijelaskan saat itu. Mungkin karena setengah hatinya belum bisa membiarkan adiknya itu pergi karena ia tahu bagaimana manjanya seorang Erica, apa dia bisa tinggal jauh dari keluarga dan melakukan semuanya sendiri? Namun di sisi lain ia juga bangga, karena adiknya cukup berprestasi hingga bisa mengikuti program kampusnya itu. "Oh, itu mereka!" Tunjuk Richo pada kumpulan orang yang berada tak jauh dari mereka. Richo mempercepat langkahnya tapi tiba-tiba saja Luna menarik tangannya, ia
"Balik ke Kanada? Why?" tanya Evan, sesampainya di kantor, ia sudah disodorkan tiket pesawat oleh Richard. "Ada bisnis aku yang harus diurus di sana, tapi aku juga baru ada project baru di sini sama Pak Bayu, jadi bisnis aku yang di Kanada tolong kamu urus ya," pinta Richard setengah membujuk. Evan mendengkus, raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan, salah satu sudut bibirnya tertarik. "Aku jauh-jauh ke sini karena gak mau kerja di sana, lagi pula aku juga ada bisnis sendiri, aku sibuk!" tolak Evan mentah-mentah. "Bisnis kamu kan baru aja mulai, jadi —""Ya justru baru mulai jadi perlu fokus dan usaha lebih. Sorry, aku gak bisa bantu kamu sekarang.""Van, aku minta tolong sama kamu, masalahnya —"Evan menatap Richard lekat-lekat, sepertinya ada sesuatu yang berat untuk dia ucapkan. Keduanya diam, ruangan mendadak sunyi hingga bunyi sepatu pantofel hitam yang dipakai Evan jelas terdengar saat berbenturan dengan lantai ketika ia berjalan menghampiri Richard. "Kamu punya rencana apa
"Kan udah aku jelasin, Bu! Kenapa nanya lagi sih?!" sahut Luna sedikit ketus. Semua tentang Richo adalah luka lama yang sudah lama ia kubur dalam, mengungkitnya sama saja dengan mengorek luka itu, sakit rasanya karena mereka berpisah bukan karena keinginan masing-masing. Luna tak pernah membenci ibunya Richo, sejak awal memang cinta mereka yang salah, tumbuh dalam keadaan yang tidak tepat. Sungguh tak tahu diri kalau orang biasa seperti dirinya berharap mendapatkan pasangan kaya raya, terpandang seperti Richo. "Soalnya Ibu liat Richo itu perhatian banget sama kamu. Ya udah maafin Ibu kalau kamu gak suka bahas itu," sesal Tari, ia merasakan ketidaknyamanannya putrinya. Luna menggenggam tangan ibunya yang ditaruh di atas pahanya sendiri, ia menatap Tari yang sempat tertunduk tadi. "Gak perlu minta maaf, Bu. Aku cuma pengen fokus rawat anakku aja, aku gak mau kita bahas yang lainnya, yang gak penting," ujar Luna. "Iya, Lun." Angguk Tari. "Oh ya, ngomong-ngomong, katanya tadi kamu ud
"Ibu gak perlu khawatir, Evan itu udah punya pasangan," ujar Luna setelah mendengar penjelasan ibunya bagaimana ia bertemu dengan Evan. Helaan nafas berat ibunya dapat Luna rasakan beserta raut wajah lega yang terpancar. Setidaknya hidup Luna tidak akan terganggu dengan ocehan orang-orang tentang hubungannya dengan Evan, Luna bisa hidup dengan tenang seperti sebelumnya. "Tapi —" Luna menjeda ucapannya. "Tapi apa?" Kening Tari berkerut. "Evan itu ternyata saudaranya Pak Richard, Bu. Jadi —""Kalau kamu tetap ngajar di sana, berarti kamu pasti ketemu terus sama dia?!"Luna menganggukkan kepala pertanda membenarkan pernyataan ibunya. "Terus kamu mau ambil keputusan apa?" tanya Tari setelah jeda hening tercipta. "Mau gimana lagi, Bu! Aku gak bisa terus kerja di sana," balas Luna dengan menghentakkan bahunya. "Kamu yakin? Apa kamu gak sayang? Apalagi liat anak murid kamu yang udah deket gitu, kamu gak kasian sama dia?!" Pertanyaan Tari yang menerus itu membuat Luna gamang. Luna tak
"A-aku ...""Evan!" panggilan dari arah belakang mereka membuat kedua lelaki itu menoleh. Erica cepat berlari, langsung merangkul lengan Evan, dia tampak bahagia bertemu dengan pemuda itu, senyum serta rona merah di pipinya menghiasi wajah cantiknya itu. "Ck! Kakakmu loh di sini, malah cowok lain yang jadi prioritas," ketus Richo memalingkan wajah sebal. "Apaan sih, Kak! Sama Kakak kan bosen, tiap hari juga ketemu di rumah." Erica menyenggol lengan kakaknya itu, sikap manjanya terlihat dan Evan tak suka itu. "Eh, kamu mau ke mana? Aku anter ya?!" Erica langsung membawa Evan menjauh. Richo hanya bisa menatap punggung keduanya sampai hilang dari pandangannya. Dalam hatinya masih mengganjal pertanyaan yang belum dijawab Evan, sebenarnya apa hubungan dia dengan Luna hingga membuat ibunya terlihat kesal tadi? "Aku harus cari tahu!" tekad dokter muda itu, melangkah pasti menuju ruang rawat Luna. Begitu sampai di depan pintu, ia berpapasan dengan Tari, Richo segera menunduk sopan, tak
Evan pergi terburu-buru, Richard baru saja meneleponnya, ada masalah di kantor, cukup urgent yang mengharuskan ia untuk segera datang hingga Richo tidak sempat bertemu dengannya. "Siapa suami Luna? Aku ingin bertemu dengannya, lelaki beruntung seperti apa yang bisa mendapatkan hatinya?" batin Richo sambil terus mencari sosoknya. "dokter Richo," panggil seorang perawat, setengah berlari ia menghampiri. "Saya cari dokter dari tadi, sekarang waktunya jam visit dok," ujar perawat itu memberitahu. Seketika Richo menepuk keningnya, terlalu sibuk mengurus Luna membuat ia lupa akan tugas dan tanggung jawabnya di rumah sakit ini. Ia tak terpikirkan ada pasien yang sedang menunggu dirinya, pikirannya hanya dipenuhi tentang Luna saat ini. "Maaf, ayo!" Richo berjalan mendahului. Sementara Luna sendiri sudah terbangun, ia segera menelepon ibunya tadi, ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Tari sebelum Luna menghubunginya. Tak berapa lama, Tari pun datang, seketika ia menangis sambil terus
Waktu persalinan semakin dekat, Rachel sudah memberikan Luna cuti sampai waktu melahirkan tapi pagi ini Luna memaksa untuk datang, ia ingin memberikan tugas untuk Chika agar ia masih bisa belajar meski Luna tidak bisa datang selama beberapa minggu ke depan. Pembantu membukakan pintu ketika Luna menekan bel, "loh, Bu guru? Kata Bu Rachel ---" "Iya Bi, saya cuma sebentar. Saya cuma mau kasih tugas aja untuk Chika," potong Luna yang sudah tahu maksud pembicaraan perempuan itu. "Kalau gitu silakan masuk Bu, Non Chika ada di kamarnya, kebetulan saya mau ke minimarket depan sebentar, ada yang harus dibeli. Bu guru bisa tolong jaga Luna dulu?!" tanyanya yang justru meminta bantuan Luna. "Iya Bi, saya pulang kalau Bibi sudah dateng," sahut Luna yang dibalas ucapan terima kasih sebelum pembantu rumah itu pergi. "Bu guru ..." pekik Chika kegirangan, sudah empat hari ini mereka tidak bertemu, meski sesekali Chika meminta maminya untuk melakukan video call dengan gurunya itu tapi bertemu lan
Seperti ada saja cara Erica untuk membuat ia dengan Evan semakin dekat dengan memanfaatkan papinya. Seperti hari ini, Bayu mengundang Richard sekeluarga untuk makan malam bersama di rumahnya. "Oh ya, saudara Bapak juga diajak sekalian, kemarin dia yang bawa dokumen sampai akhirnya kita deal kontrak kerja sama ini," kata Bayu melalui panggilan telepon. "Oh tentu saja, Pak. Dia juga sudah seperti anak saya sendiri jadi dia bagian dari keluarga saya," sahut Richard, tak mungkin ia menolak perintah rekan bisnisnya itu. "Baik, kalau begitu saya tunggu besok malam," ucap Bayu kemudian mengakhiri panggilan telepon tersebut. "Pih, gimana?" tanya Erica, sejak tadi dia mengikuti sesi telepon papinya itu. "Udah, tenang aja. Dia juga pasti dateng," jawab Bayu yang memang memanjakan putri bungsunya itu. "Tapi kalau cuma makan malem gak seru, Pih. Apalagi makan sekeluarga, gimana aku bisa ngobrol berdua aja sama dia." Erica cemberut, hembusan nafas berat keluar dari bibirnya yang mungil itu.