"Balik ke Kanada? Why?" tanya Evan, sesampainya di kantor, ia sudah disodorkan tiket pesawat oleh Richard. "Ada bisnis aku yang harus diurus di sana, tapi aku juga baru ada project baru di sini sama Pak Bayu, jadi bisnis aku yang di Kanada tolong kamu urus ya," pinta Richard setengah membujuk. Evan mendengkus, raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan, salah satu sudut bibirnya tertarik. "Aku jauh-jauh ke sini karena gak mau kerja di sana, lagi pula aku juga ada bisnis sendiri, aku sibuk!" tolak Evan mentah-mentah. "Bisnis kamu kan baru aja mulai, jadi —""Ya justru baru mulai jadi perlu fokus dan usaha lebih. Sorry, aku gak bisa bantu kamu sekarang.""Van, aku minta tolong sama kamu, masalahnya —"Evan menatap Richard lekat-lekat, sepertinya ada sesuatu yang berat untuk dia ucapkan. Keduanya diam, ruangan mendadak sunyi hingga bunyi sepatu pantofel hitam yang dipakai Evan jelas terdengar saat berbenturan dengan lantai ketika ia berjalan menghampiri Richard. "Kamu punya rencana apa
"Bandara? Ngapain kita ke sini?" tanya Luna setelah mobil Richo terparkir aman di tempat yang tersedia. "Kita masuk aja dulu, sambil aku jelasin," jawab Richo sambil meminta Luna agar berjalan lebih dulu. Keduanya sudah berada di dalam bandara, di terminal pemberangkatan, Richo sudah menceritakan semuanya pada Luna soal maksudnya mengajak dirinya ke sini. "Jadi Adek kamu mau ke luar negeri?! Ke Kanada?" tanya Luna sekedar memperjelas. "Iya, dia ikut study exchange." Angguk Richo, raut wajahnya sulit dijelaskan saat itu. Mungkin karena setengah hatinya belum bisa membiarkan adiknya itu pergi karena ia tahu bagaimana manjanya seorang Erica, apa dia bisa tinggal jauh dari keluarga dan melakukan semuanya sendiri? Namun di sisi lain ia juga bangga, karena adiknya cukup berprestasi hingga bisa mengikuti program kampusnya itu. "Oh, itu mereka!" Tunjuk Richo pada kumpulan orang yang berada tak jauh dari mereka. Richo mempercepat langkahnya tapi tiba-tiba saja Luna menarik tangannya, ia
Semenjak Luna mengatakan yang sebenarnya, menceritakan apa yang menimpa dirinya, Richo justru semakin gencar mendekati dirinya. "Tidakkah dia merasa jijik pada perempuan kotor dan hidupnya hancur seperti aku?!" Pertanyaan itu kerap mengusik pikiran Luna karena dasarnya ia berterus-terang adalah agar Richo menjauhi dirinya. Lelaki terhormat seperti dia pasti segan mendekati perempuan seperti dirinya, yang sudah jelas hidupnya hancur tak tersisa. Ia kuat hanya mengingat masa depan anaknya, Jizan yang tentu saja menjadi tanggung jawabnya. Juga ada ibunya yang sangat berarti dalam hidupnya. "Ah, apa kamu lelaki bodoh, Cho?!" gerutu Luna ketika menerima makanan yang dikirim ojek online, meski tak menyebutkan pengirimnya tapi Luna tahu itu dari Richo karena ini bukan yang pertama kalinya semenjak ia mengantarnya pulang malam itu. "Apa itu, Lun?" tanya Tari yang menyembul dari balik pintu. Luna tak menjawab, ia hanya mengangkat plastik berisi makanan yang entah apa itu. "Loh, kamu pese
"Lepasin! Aku mau mati aja," teriak Luna terus memberontak. "Jangan, Lun! Ayo kita pulang ya Nduk," bujuk Tari, ibunya itu menarik Luna yang sudah separuh badannya terendam air pantai. Dari kejauhan Minah berlari tergopoh-gopoh bersama beberapa tetangga, mereka akan menyelamatkan usaha bunuh diri yang sudah kesekian kalinya dilakukan Luna. "Tolong selamatkan cucu saya, tolong!" pinta Minah histeris pada Bapak-Bapak yang berlari bersamanya itu. Dua lelaki bergegas lari ke pantai, malam ini air pasang, belum masuk terlalu jauh saja, air sudah setinggi ketiak orang dewasa. Tenaga lelaki memang berbeda, sekali tarikan saja, Luna sudah berhasil dibawa ke tepi pantai. "Aku mau mati ... " jerit Luna diiringi deburan ombak yang menerpa semua orang di sana. Seketika Tari menghambur memeluk sang putri, dalam tangisnya ia mencoba menenangkan putrinya itu. Minah pun datang menghampiri, ia turut memeluk anak dan cucunya itu. "Mbah, ayo kita bawa pulang Luna sekarang," ajak Pak RT yang
Semua barang belanja ditaruh kasar dan digeletakan begitu saja oleh Tari, dadanya terasa meletup-leput, darahnya berdesir hebat. Ia tak habis pikir dengan perempuan yang sama-sama memiliki julukan seorang Ibu tapi dengan teganya menyakiti perasaan anak orang lain, yang mati-matian dia jaga mentalnya selama ini agar tetap mau berjuang untuk mempertahankan hidupnya yang sudah hancur. "Bu! Wes toh, Buk. Aku juga gak pa-pa kok," ucap Luna menenangkan ibunya yang tengah dikuasai amarah. "Seharusnya kamu gak cegah Ibu tadi, Lun. Biar Ibu jejelin sekalian mulutnya pake cabe," oceh Tari dengan kedua tangan yang bertolak di pinggang. "Gak perlu gitu, Bu. Toh apa yang Ibu itu bilang, bener kok," lirih Luna sambil memainkan ujung bajunya, sementara wajahnya tertunduk. Tari yang mendengar jawaban putrinya itu cepat menghampiri, ia raih dagu Luna dan wajah putrinya itu pun terangkat. Dia korban, tidak sepantasnya dia yang merasa malu dan terhina seperti ini. "Nduk, kamu harus berdiri dengan k
"Matur nuwun!" ucap Minah mengambil dua plastik hitam besar di tangan Evan. Luna menyenggol lengan mbahnya, "dia gak bisa bahasa jawa, Mbah! Ngomong bahasa Indonesianya aja masih gagap.""Huss! Ndak boleh kasar gitu," hardik Minah pada cucunya. "Terima kasih Nak Evan, lain kali saja ya mampirnya, ibuknya Luna ternyata gak ada di rumah," ucap Minah pada pria bule yang kulitnya sedikit kemerahan terbakar sinar matahari itu. "Iya Mbah," sahut Evan menunduk sopan. "Lun, bilang terima kasih iki loh, sebelum orangnya pergi," kata Minah pada Luna yang terus bersikap dingin. "Buat apa Mbah? Wong aku juga gak minta dibantu kok," tolak Luna kasar. Mata perempuan tua itu melotot, mengambil keranjang bambu dari tangan Luna kemudian masuk ke dalam rumah meninggalkan Luna berdua saja dengan Evan. "Mau apalagi kamu di sini? Sudah pulang sana!" Usir Luna terang-terangan. "Nanti malam saya mau bertemu Ibu Tari, apa saya bisa berbicara dengan kamu juga?" tanya Evan yang selalu blak-blakan tanpa
Luna terbaring di ranjang pasien, ia terserempet motor tadi, perawat tengah membalut kakinya, sementara Evan berdiri memperhatikan. Wajah cemasnya justru semakin membuat Luna benci pada pria bule itu. "Cuma lecet sama sedikit terkilir aja, seminggu diperban, InsyaAllah membaik," ucap perawat yang kemudian pamit setelah mengobati Luna. "Mau ke mana?" tanya Evan menghadang Luna yang berusaha turun dari ranjang itu. "Pulang! Kamu gak denger tadi kalau aku cuma lecet aja?!" ketus Luna dengan raut wajah sinisnya seperti biasa. "Tapi —" Belum selesai Evan menuntaskan kalimatnya, sebuah suara memanggil nama Luna terdengar, menarik atensi keduanya. "Ya ampun, Nduk! Kamu gak pa-pa?!" Tari cepat mengusap wajah Luna dengan rambut yang berantakan itu. "Kaki aku, Bu!" Tunjuk Luna dengan matanya. Tari beringsut, memeriksa kaki kanan Luna yang sudah diperban. "Ya Allah ... Kenapa jadi begini?!" risiknya seakan merasakan sakit anaknya. "Cuma terkilir aja kok, Bu! Dia aja yang heboh bawa aku
Luna menyeret Evan keluar, ia tahan sakit kakinya itu, pergi mencari tempat yang cukup sepi di samping gedung rumah sakit itu. Kebetulan Tari tengah mengantri obat."Apa maksud kamu berlagak jadi Papi dari anak yang saya kandung?" tanya Luna geram."Bukan saya, dokter itu yang bilang. Lagi pula tidak ada yang salah, bukan?!" jawab Evan dengan santainya."Salah! Karena itu bohong," bentak Luna, kesalnya sampai ke ubun-ubun kini rasanya pada pria bule itu."Ya sudah kalau tidak mau bohong, jadi nyata saja," ucapnya mengedikkan bahu."Maksud kamu apa?" Mata Luna membulat sempurna, wajahnya terangkat menatap ke arah Evan yang bersikap santai dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya."Saya suka kamu!" ucap Evan begitu lancarnya.Luna yang sempat terperanjat dalam sepersekian detik menjadi terkekeh, ternyata ada orang super aneh seperti Evan di dunia ini."Apa kamu gak tahu apa yang sudah terjadi pada saya?" tanya Luna menunjuk dirinya sendiri."I know, saya sudah d