"Lepasin! Aku mau mati aja," teriak Luna terus memberontak.
"Jangan, Lun! Ayo kita pulang ya Nduk," bujuk Tari, ibunya itu menarik Luna yang sudah separuh badannya terendam air pantai.
Dari kejauhan Minah berlari tergopoh-gopoh bersama beberapa tetangga, mereka akan menyelamatkan usaha bunuh diri yang sudah kesekian kalinya dilakukan Luna.
"Tolong selamatkan cucu saya, tolong!" pinta Minah histeris pada Bapak-Bapak yang berlari bersamanya itu.
Dua lelaki bergegas lari ke pantai, malam ini air pasang, belum masuk terlalu jauh saja, air sudah setinggi ketiak orang dewasa. Tenaga lelaki memang berbeda, sekali tarikan saja, Luna sudah berhasil dibawa ke tepi pantai.
"Aku mau mati ... " jerit Luna diiringi deburan ombak yang menerpa semua orang di sana.
Seketika Tari menghambur memeluk sang putri, dalam tangisnya ia mencoba menenangkan putrinya itu. Minah pun datang menghampiri, ia turut memeluk anak dan cucunya itu.
"Mbah, ayo kita bawa pulang Luna sekarang," ajak Pak RT yang tadi membantu menarik Luna.
"Enggeh, maaf sudah merepotkan!" balas Minah sungkan.
Tubuh Luna yang sudah lemas mudah dipapah oleh para lelaki itu, sementara Tari menuntun ibunya di belakang sambil mengikuti, ia merasa beruntung di keliling orang-orang baik, para tetangga yang pengertian dengan kondisi mental Luna sekarang walaupun tidak semuanya, masih ada saja orang di sekitar mencemooh keadaan Luna yang padahal seorang korban.
"Makasih banyak, Mas, Pak!" ucap Tari kepada mereka yang sudah menyelamatkan Luna malam ini.
"Sama-sama, kita pamit pulang!" Mereka pun undur diri.
Minah membukakan pintu, terus berjalan masuk menuju kamar Luna, pintunya ia buka lebar-lebar agar bisa dilewati oleh dua orang sekaligus. Tari dengan telaten membuka pakaian Luna yang basah kuyup, mengeringkan badannya lalu memakaikan baju tidur yang nyaman.
"Maafin Ibu ya, Nduk! Ibu ketiduran tadi sampe kecolongan," sesal Minah dengan mata yang mengembun.
"Wes toh, Buk! Bukan salah Ibu kok. Masa orang ngantuk disalahin, sekarang Ibu istirahat, biar Tari yang jaga Luna," ujar perempuan paruh baya itu mengusap tangan ibunya yang sudah keriput.
Kali ini Minah sudah tak bisa menahan laju air matanya, "kamu yang kuat ya, Nduk!"
***
Suara kokok ayam jantan terdengar dari samping rumah, lantunan adzan pun dikumandangkan dari masjid terdekat. Tari terbangun, menguap sambil merentangkan tangannya ke atas, melepaskan pegal yang menjalar pada setiap persendian tubuhnya.
Matanya yang masih belum sepenuhnya terbuka mendadak terbelalak ketika tak ia dapati Luna di sampingnya, Tari bergegas turun dari tempat tidur, setengah berlari keluar kamar.
"Luna! Lun, di mana kamu, Nduk?!" panggilnya berulang.
Tari menghela napas lega tatkala menemukan Luna yang tengah duduk di ambang pintu dapur.
"Ternyata kamu di sini, Nduk?!" ucap Tari mendekat.
Tak ada jawaban dari Luna, ia tengah memeluk lutut, tatapan matanya kosong, tubuhnya berayun ke depan dan ke belakang. Sungguh melihat kondisi putrinya yang seperti ini membuat batin Tari menjerit tapi sekali lagi ia harus kuat, siapa yang akan menyembuhkan putrinya kalau bukan dirinya?
"Masuk yuk! Di sini dingin, kamu gak pake baju hangat juga kan?!" ajak Tari, ia menarik pelan tangan Luna agar segera beranjak dari sana.
"Loh, Ibu dari mana?" tanya Tari ketika melihat ibunya tiba-tiba muncul dari arah luar.
"Dari masjid, oh ya! Kamu ke pasar sana beli ayam, tempe dan lainnya buat jualan Ibu," perintah Minah.
"Loh, kan biasanya juga kalau belanja sore, Buk!" Heran Tari.
"Udah sana, biar sekalian ajak Luna jalan. Kasian dia di rumah terus," kata Minah tak ingin dibantah.
"Yok wes, aku sholat dulu habis itu siap-siap ke pasar," balas Tari sambil menuntun Luna untuk kembali ke kamarnya.
***
Matahari belum sepenuhnya terbit tapi pasar ini sudah sangat ramai, jilbab cokelat Tari berantakan karena tersenggol orang-orang ketika melewati jalan berdesakan.
"Sini, Bu! Biar Luna benerin," ucap Luna membawa ibunya ke tempat yang lebih sepi, ia cekatan merapikan jilbab instan yang sudah miring-miring di kepala ibunya itu.
Tari memandangi putrinya sambil menahan tangis, rasanya putrinya itu tak pernah mengecap kebahagiaan sejak kecil, Luna kecil tumbuh menjadi anak yang hanya melihat pertengkaran kedua orang tuanya, tidak pernah mendapat kasih sayang dari Bapak kandungnya sendiri dan setelah dewasa justru ia harus mengalami peristiwa yang merupakan sebuah malapetaka bagi setiap korbannya.
"Ibu, kok diem?" tanya Luna bingung.
"Enggak, kamu capek?" Tari mengusap keringat yang menetes di kening Luna.
"Apa ini sakit?" tanyanya lagi sambil mengusap perut Luna.
Luna menggeleng tegas, "ayo Bu, cepet. Biar kita bisa cepet pulang juga." Luna mulai tak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.
Setelah mendapat semua bahan untuk membuat pecel pincuk dagangan ibunya, Tari pun segera mengajak Luna pulang, ia paham putrinya tak nyaman bila berada lama-lama di keramaian.
"Ibu Tari!" sapa lelaki berkulit putih dan tinggi ketika mereka berpapasan.
"Eh, Nak Evan!" sahut Tari membalasnya dengan senyuman hangat.
"What're you doing here?" tanya Tari pada pemuda asal Kanada itu.
"Just look around after jogging," jawabnya lalu melirik pada Luna yang sedikit bersembunyi di balik punggung ibunya.
"Wah ... Rajin sekali kamu!" puji Tari, ia tau Evan sudah mulai bisa berbahasa Indonesia setelah tiga bulan tinggal di sini.
"Supaya ... Se-hat," balas Evan sedikit tersendat.
"Who's she?" Kemudian Evan menunjuk Luna, sejak tadi ia terpesona pada wajah manisnya itu.
"My daughter. Oh ya Lun, kenalin ini Nak Evan, yang waktu itu pernah Ibu cerita," kata Tari menyuruh putrinya berkenalan.
Evan lebih dulu mengulurkan tangan, Luna ragu-ragu membalasnya tapi setelah melirik ibunya yang memberi isyarat tak masalah, Luna pun akhirnya menjabat tangan pemuda bermanik mata amber atau orange kecoklatan itu.
"Evan!" ucapnya memperkenalkan diri.
"Luna," balas perempuan hitam manis itu menyebutkan namanya.
Tiba-tiba saja seorang Ibu yang melintas menepuk tangan keduanya dengan kasar hingga jabatan tangan mereka terlepas.
"Jangan mau sentuhan sama perempuan kotor, najis!" hinanya sambil menetap sinis pada Luna.
"Astagfirullah, Buk! Mulutnya dijaga ya, jangan asal sembarangan kalau ngomong," bentak Tari yang tak terima putrinya mendapat cacian seperti itu.
"Ibu, kita pulang aja, Buk! Ayo Bu," ajak Luna mendorong kuat ibunya, ia tak mau ada keributan.
Sementara Evan termenung sambil menatap punggung Ibu dan anaknya itu yang kian menjauh. What's going on?
***
Evan kembali ke tempat kostnya, keningnya yang berkerut tajam disadari oleh Dimas, teman satu kostnya.
"Wes ... Mas Bule! Kenapa toh?" tanya Dimas menepuk pundak Evan yang sudah duduk di bangku bambu panjang yang ada di teras depan kost mereka ini.
"Kamu kenal Luna, anaknya Bu Tari?" tanya Evan.
"Kenal, why?" Dimas bertanya balik sambil berlagak karena bahasa Inggrisnya juga pas-pasan.
Akhirnya Evan menceritakan kejadian di pasar tadi, Dimas manggut-manggut mendengarkan.
"Ya ... Memang begitulah, masih aja ada orang yang berpikir begitu. Kasian Luna, padahal kan dia korban," ucap Dimas dengan nada sedih.
"Korban? Memang dia korban apa?" tanya Evan tak mengerti.
"Sini!" Dimas meminta Evan mendekat lalu berbisik tepat di telinga Evan.
"What?" Evan belum paham betul apa yang dikatakan Dimas.
Dimas menggaruk kepalanya bingung, sulit juga menjelaskan pada orang yang berbeda bahasa, namun ia tak kehabisan akal. Dimas menyalakan ponselnya, mengetik sesuatu di sana lalu menyerahkannya pada Evan.
"Oh my God!" Seketika Evan membekap mulutnya sendiri.
Pada layar ponsel Dimas tertulis terjemahan.
"She was raped and now pregnant."
[Dia diperkosa dan sekarang dia hamil]
****
Semua barang belanja ditaruh kasar dan digeletakan begitu saja oleh Tari, dadanya terasa meletup-leput, darahnya berdesir hebat. Ia tak habis pikir dengan perempuan yang sama-sama memiliki julukan seorang Ibu tapi dengan teganya menyakiti perasaan anak orang lain, yang mati-matian dia jaga mentalnya selama ini agar tetap mau berjuang untuk mempertahankan hidupnya yang sudah hancur. "Bu! Wes toh, Buk. Aku juga gak pa-pa kok," ucap Luna menenangkan ibunya yang tengah dikuasai amarah. "Seharusnya kamu gak cegah Ibu tadi, Lun. Biar Ibu jejelin sekalian mulutnya pake cabe," oceh Tari dengan kedua tangan yang bertolak di pinggang. "Gak perlu gitu, Bu. Toh apa yang Ibu itu bilang, bener kok," lirih Luna sambil memainkan ujung bajunya, sementara wajahnya tertunduk. Tari yang mendengar jawaban putrinya itu cepat menghampiri, ia raih dagu Luna dan wajah putrinya itu pun terangkat. Dia korban, tidak sepantasnya dia yang merasa malu dan terhina seperti ini. "Nduk, kamu harus berdiri dengan k
"Matur nuwun!" ucap Minah mengambil dua plastik hitam besar di tangan Evan. Luna menyenggol lengan mbahnya, "dia gak bisa bahasa jawa, Mbah! Ngomong bahasa Indonesianya aja masih gagap.""Huss! Ndak boleh kasar gitu," hardik Minah pada cucunya. "Terima kasih Nak Evan, lain kali saja ya mampirnya, ibuknya Luna ternyata gak ada di rumah," ucap Minah pada pria bule yang kulitnya sedikit kemerahan terbakar sinar matahari itu. "Iya Mbah," sahut Evan menunduk sopan. "Lun, bilang terima kasih iki loh, sebelum orangnya pergi," kata Minah pada Luna yang terus bersikap dingin. "Buat apa Mbah? Wong aku juga gak minta dibantu kok," tolak Luna kasar. Mata perempuan tua itu melotot, mengambil keranjang bambu dari tangan Luna kemudian masuk ke dalam rumah meninggalkan Luna berdua saja dengan Evan. "Mau apalagi kamu di sini? Sudah pulang sana!" Usir Luna terang-terangan. "Nanti malam saya mau bertemu Ibu Tari, apa saya bisa berbicara dengan kamu juga?" tanya Evan yang selalu blak-blakan tanpa
Luna terbaring di ranjang pasien, ia terserempet motor tadi, perawat tengah membalut kakinya, sementara Evan berdiri memperhatikan. Wajah cemasnya justru semakin membuat Luna benci pada pria bule itu. "Cuma lecet sama sedikit terkilir aja, seminggu diperban, InsyaAllah membaik," ucap perawat yang kemudian pamit setelah mengobati Luna. "Mau ke mana?" tanya Evan menghadang Luna yang berusaha turun dari ranjang itu. "Pulang! Kamu gak denger tadi kalau aku cuma lecet aja?!" ketus Luna dengan raut wajah sinisnya seperti biasa. "Tapi —" Belum selesai Evan menuntaskan kalimatnya, sebuah suara memanggil nama Luna terdengar, menarik atensi keduanya. "Ya ampun, Nduk! Kamu gak pa-pa?!" Tari cepat mengusap wajah Luna dengan rambut yang berantakan itu. "Kaki aku, Bu!" Tunjuk Luna dengan matanya. Tari beringsut, memeriksa kaki kanan Luna yang sudah diperban. "Ya Allah ... Kenapa jadi begini?!" risiknya seakan merasakan sakit anaknya. "Cuma terkilir aja kok, Bu! Dia aja yang heboh bawa aku
Luna menyeret Evan keluar, ia tahan sakit kakinya itu, pergi mencari tempat yang cukup sepi di samping gedung rumah sakit itu. Kebetulan Tari tengah mengantri obat."Apa maksud kamu berlagak jadi Papi dari anak yang saya kandung?" tanya Luna geram."Bukan saya, dokter itu yang bilang. Lagi pula tidak ada yang salah, bukan?!" jawab Evan dengan santainya."Salah! Karena itu bohong," bentak Luna, kesalnya sampai ke ubun-ubun kini rasanya pada pria bule itu."Ya sudah kalau tidak mau bohong, jadi nyata saja," ucapnya mengedikkan bahu."Maksud kamu apa?" Mata Luna membulat sempurna, wajahnya terangkat menatap ke arah Evan yang bersikap santai dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya."Saya suka kamu!" ucap Evan begitu lancarnya.Luna yang sempat terperanjat dalam sepersekian detik menjadi terkekeh, ternyata ada orang super aneh seperti Evan di dunia ini."Apa kamu gak tahu apa yang sudah terjadi pada saya?" tanya Luna menunjuk dirinya sendiri."I know, saya sudah d
Dimas menertawakan Evan yang tengah meringis dan ke mana-mana harus menggunakan sarung itu, lucu sekali melihat bule itu selesai di sunat. Entah apa yang membuat ia tiba-tiba saja ingin memotong 'burung' nya itu. "Kamu kesambet di mana? Kenapa mendadak pengen di sunat?" tanya Dimas dengan nada meledek. "Aku tahu kalau sunat itu untuk kesehatan, jadi apa salahnya kalau aku juga disunat," sahut Evan sambil merengut, ia jengah juga diejek terus oleh teman kostnya itu. "Piye? Mantap toh rasanya?" Dimas kembali meledek. Evan melempar bantal yang ada di sampingnya mengenai wajah Dimas yang tidak sempat mengelak karena ia sibuk tertawa. "Ditanya malah ngamokk!" ketus Dimas yang akhirnya keluar dari kamar Evan. Tak lama suara langkah kaki mendekati pintu kamarnya kembali terdengar, Evan bersiap mengangkat bantalnya kembali, apalagi yang akan dilakukan Dimas? Begitu pikir Evan. "Pergi kamu! Jangan ganggu aku," teriak Evan kesal. "Saya cuma mau anterin makanan, ini juga Ibu yang suruh,
Luna menghampiri arah sumber suara, diikuti Evan dengan berjalan tertatih. Rupanya seorang perempuan paruh baya tengah memunguti pecahan gelas yang berserakan di lantai, seketika Luna pun inisiatif untuk membantunya. "Biar saya bantu Bude," ucap Luna cekatan memunguti pecahan beling yang kecil-kecil. Tak ada sahutan, perempuan yang ternyata pemilik kost itu sibuk sendiri, seolah tak peduli Luna membantunya atau tidak. "Sebaiknya habis ini kamu pulang, gak baik diliat tetangga. Perempuan di kamar kost laki-laki, apalagi kamu ---" Ia seperti sengaja tidak menuntaskan kalimatnya. Luna tertegun mendengar ucapan Ibu kost itu hingga tanpa sadar tangannya tertusuk pecahan beling. "Aww!" ringis Luna, telunjuk kanannya berdarah. "Luna! Kamu terluka?!" Seketika Evan panik. "Wong luka kecil aja lebay," gumam Ibu kost sambil menyapu lantai, matanya sempat mendelik. "Ibu, apa ada obat?" tanya Evan pada induk semangnya itu. Karena Evan yang bertanya, ia pun berubah sikap, tiba-tiba saja wa
Luna membuka matanya, perutnya sudah tak telalu sakit, Tari yang mengetahui putrinya sudah siuman segera menghampiri, ia mencium telapak tangan Luna berkali-kali. Luna bisa melihat mata ibunya yang sembab, pipinya basah ketika mengenai tangannya. "Ibu panggil dokter dulu ya?!" kata Tari lalu bersiap pergi. "Bu," panggil Luna, suaranya parau. "Kenapa? Mana yang sakit?" tanya Tari memeriksa sekujur tubuh Luna. "Perutku, Bu," lirih Luna. "Sakit banget ya?!" Tari tampak panik. "Bukan itu, Bu. Maksud aku ---" Luna menggantung kalimatnya. Tari masih diam menunggu kelanjutan cerita Luna, bola matanya melebar. "Kandungan aku gimana Bu?" Akhirnya Luna mengajukan pertanyaan itu. Sang Ibu mengembangkan senyumnya, ia menggenggam tangan Luna. "Alhamdulillah janin kamu gak kenapa-kenapa, ternyata dia bayi yang kuat." Nada bicara Tari begitu bahagia, raut wajahnya pun menggambarkan hal itu. "Ya udah, Ibu panggil dokter sebentar ya," pamit Tari dan ia pun keluar. Sementara Luna menghela n
Tari menarik tubuh Luna ke dalam pelukannya, ia menangis sejadinya, bahkan air matanya itu membasahi baju Luna, dalam isak tangisnya Tari terus mengucapkan maaf, tampak ia begitu menyesal."Maafin Ibu, Nduk. Ibu salah sangka, Ibu pikir dengan mendekatkan kamu dengan Evan bisa sedikit membuat kamu senang karena merasa punya teman baru tapi kenyataannya justru sebaliknya. Maafin ibumu yang bodoh ini," sesal Tari yang merutuki diri.Mata Luna mengembun, tak hanya ibunya yang salah tapi juga dirinya. Ia tidak tahu maksud ibunya melakukan semua ini, semua yang ibunya lakukan semata-mata untuk kebahagiaan dirinya. Luna mendorong lembut tubuh ibunya untuk mengurai pelukan mereka."Sekarang Ibu udah tahu kan? Mulai saat ini aku gak mau berhubungan sama dia lagi, tolong ya Bu!" pinta Luna sedikit memaksa.Tari mengusap air mata Luna yang perlahan jatuh dengan ibu jarinya lalu menyibak rambut yang menutupi wajah manis putrinya itu, menyampirkannya pada bagian belakang telinga Luna, ditatapnya