Luna menyeret Evan keluar, ia tahan sakit kakinya itu, pergi mencari tempat yang cukup sepi di samping gedung rumah sakit itu. Kebetulan Tari tengah mengantri obat.
"Apa maksud kamu berlagak jadi Papi dari anak yang saya kandung?" tanya Luna geram.
"Bukan saya, dokter itu yang bilang. Lagi pula tidak ada yang salah, bukan?!" jawab Evan dengan santainya.
"Salah! Karena itu bohong," bentak Luna, kesalnya sampai ke ubun-ubun kini rasanya pada pria bule itu.
"Ya sudah kalau tidak mau bohong, jadi nyata saja," ucapnya mengedikkan bahu.
"Maksud kamu apa?" Mata Luna membulat sempurna, wajahnya terangkat menatap ke arah Evan yang bersikap santai dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya.
"Saya suka kamu!" ucap Evan begitu lancarnya.
Luna yang sempat terperanjat dalam sepersekian detik menjadi terkekeh, ternyata ada orang super aneh seperti Evan di dunia ini.
"Apa kamu gak tahu apa yang sudah terjadi pada saya?" tanya Luna menunjuk dirinya sendiri.
"I know, saya sudah dengar cerita kamu," jawab Evan, dia sama sekali tidak terpengaruh dengan emosi Luna.
"Lantas kenapa kamu terus dekati saya?" tanya Luna, raut wajahnya dingin dan sinis.
"Memang kenapa? Saya suka kamu, just the way you are. Saya tidak peduli yang lainnya," jelas Evan serius.
Luna geleng-geleng kepala dibuatnya, ia berusaha bersikap tenang, mencoba mengatur napasnya lalu tangannya bertolak pinggang.
"Memang umur kamu berapa sekarang?" tanya Luna masih memasang wajah jutek.
"Sembilan belas tahun," jawabnya tegas.
Seketika Luna tertawa terbahak sampai ia memegangi perutnya karena jawaban Evan. Pantas saja kalau dia konyol dan aneh, ia tidak lebih dari bocah ingusan.
"Kenapa? Memang ada yang lucu?" Alis matanya yang lebat itu saling bertaut.
"Dari umur saja, kita sudah berbeda jauh, sepuluh tahun bedanya," ucap Luna sambil mengangkat sepuluh jarinya.
"Tidak masalah, akan saya tunjukkan kalau saya bukan pria sembilan belas tahun pada umumnya," ujarnya yakin.
"Lalu kamu pria muda seperti apa?" tanya Luna seakan menantang.
"Saya tidak bisa menjelaskannya, saya akan membuktikannya," jawabnya lantang.
***
Sepulang dari rumah sakit, Luna gelisah, pikirannya tak tenang, itu semua karena Evan. Perjalanan pulang tadi, Luna sempat meminta berhenti untuk buang air kecil dan Evan seolah mengambil kesempatan, ia dengan sengaja menunggu Luna, mengucapkan berkali-kali bahwa ia serius. Tak hanya itu saja, Tari juga sempat meminta Evan untuk mampir ke minimarket, ada barang yang harus dibeli ibunya itu. Lagi, saat di mobil berdua, Evan menegaskan kembali ucapannya.
"Ayo, kita pacaran!" ajaknya dengan entengnya bicara.
"Gila! Mana ada perempuan hamil yang mau pacaran?!" bentak Luna padanya.
"Kalau begitu ... Married?! Saya akan menikahi kamu," katanya, tampak mudah sekali baginya mengucapkan semua itu.
"Kamu pikir menikah itu permainan?!" geram Luna. Entahlah, setiap berbicara dengan Evan, rasanya darah Luna langsung naik ke otaknya.
"Saya tidak bilang seperti itu, saya tahu menikah itu hal yang serius. Memang kamu tidak lihat keseriusan saya?!" Manik mata ambernya itu sengaja ia lebarkan, ia condongkan juga tubuhnya agar Luna yang duduk di belakangnya bisa melihat wajahnya lebih jelas.
Untuk beberapa saat jantung Luna berdebar kala menatap wajah Evan dengan jarak dekat seperti itu. Dia tampan, sangat tampan, kulit putih bersih dengan hidung tinggi dan rahang tegas, bahkan tak ada yang menyangka kalau umurnya baru 19 tahun, ia terlihat jauh lebih dewasa.
"Sadar Luna! Jangan bodoh. Sadar keadaan kamu," batin Luna berbicara sendiri.
Luna berusaha mengendalikan diri, Evan masih menatapnya lekat, Luna membuang muka, mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil.
"Cih! Anak kecil seperti kamu bisa apa?" Toleh Luna.
"Menikah itu butuh persiapan yang matang karena semuanya menyangkut masa depan. Anak muda seperti kamu, apa sudah punya masa depan yang baik?" tanya Luna sedikit kasar.
Kali ini Evan tak menyahutinya, ia memilih diam dan suasana pun menjadi hening sepanjang perjalanan pulang sampai mereka tiba di rumah.
***
"Astagfirullah, Nduk! Kamu ngelamun?" Tari gegas membersihkan air yang tumpah dari gelas yang sedang Luna isi.
"Untung saja bukan air panas, kamu kenapa toh?!" Minah turut mendekat, ia meraba kening Luna, barangkali cucunya itu sakit.
"Ndak demam kan, Mbah?" tanya Luna yang dibalas gelengan kepala Minah.
"Iya, karena aku baik-baik aja," kata Luna penuh penekanan di akhir kalimatnya.
"Baik-baik aja tapi ndak kelihatan baik. Sudah, istirahat sana!" titah Minah, sekarang sudah waktunya dapur dikuasai olehnya untuk menyiapkan semua bahan dagangannya besok.
"Aku mau bantu Mbah aja." Luna menawarkan bantuan.
"Ndak perlu, Mbah malah pusing kalau digrecokin," sahut Minah menolak.
Tari menarik lembut Luna keluar dari dapur itu, menuntun putrinya ke teras rumah. Di luar, beberapa anak kecil berlarian usai pulang mengaji setelah sholat maghrib. Tari mendudukkan Luna di kursi rotan, di beranda rumah mereka itu.
"Gimana kalau kita merajut?" usul Tari, ia memang selalu memiliki banyak cara agar putrinya terhindar dari melamun.
"Ibu kan tahu, kalau aku gak pandai." Luna menarik kedua sudut bibirnya malas.
"Ya makanya Ibu ajarin, tunggu ya!" Tanpa berlama-lama, Tari masuk ke rumah dan muncul kembali dengan peralatan merajut.
Sebuah benang wol berwarna putih kini tengah dirajut olehnya, entah akan dibuat apa. Luna hanya diam memperhatikan.
"Nduk! Kalau bisa, jangan kasar-kasar ya sama Evan." Tari memulai pembicaraan dengan membahas pria bule yang selalu membuat Luna emosi itu.
"Evan tadi bilang sama Ibu kalau dia gak punya niat apa-apa di depan dokter tadi. Malah bagus loh, Lun. Dia menjaga harga diri kamu di depan orang," tutur Tari, tangannya sibuk dengan hook dan benang.
"Kedengarannya lucu Bu, kalau bahas harga diri sama aku," lirih Luna mendengkus.
Pandangan Tari beralih pada Luna yang tertunduk, ia segera meraih tangan putrinya itu, menciumnya beberapa kali. Kasih sayang yang selalu ia tunjukkan ini agar Luna tahu, bahwa ia tak perlu merasa rendah diri karena selalu ada ibu yang melindungi dirinya.
"Oh ya, Bu. Ngomong-ngomong soal Evan, memang dia ke sini untuk apa?" Luna mulai penasaran tentang sosoknya.
"Dia mau mulai bisnis katanya, dia lagi meneliti pasar Asia. Sebelum ke sini, dia ke Malaysia dulu, habis ini, dia mau ke Singapur katanya," jawab Tari menjelaskan.
"Tumben, kamu tanya-tanya soal dia?" Tari memicingkan matanya penuh curiga.
"Ya mau tau aja orang asing dateng ke sini untuk urusan apa," balas Luna sekenanya.
"Uh ... Anak Ibu mulai kepo!" canda Tari sambil mencolek hidung Luna.
"Selamat malam Ibu Tari!" Sapaan itu menarik atansi ibu dan anak itu.
"Eh, Nak Evan. Ayo masuk," ajak Tari melambaikan tangan.
"Panjang umur ya dia," bisik Tari pada Luna diiringi tawa kecil.
"Malam Luna," sapa Evan melemparkan senyum pada Luna yang memasang wajah tak bersahabat.
"Malam," jawab Luna ketus.
Tari sempat mendelik pada Luna, ia tak suka dengan cara Luna bersikap pada tamunya ini.
"Ada perlu apa, Nak Evan?" tanya Tari setelah mempersilakannya duduk.
Evan tak lekas menjawab, ia mengernyit sambil mengusap tengkuknya, seperti ada sesuatu yang sulit ia ucapkan.
"Bicara saja, it's okay!" ucap Tari santai agar Evan tidak canggung.
"Saya mau tanya —" Evan menjeda ucapannya.
"Tanya apa?" desak Tari tak sabar.
"Tempat sunat, saya mau disunat," ucapnya sambil menahan malu.
Tari tercengang, sementara Luna menelan ludahnya samar.
****
Dimas menertawakan Evan yang tengah meringis dan ke mana-mana harus menggunakan sarung itu, lucu sekali melihat bule itu selesai di sunat. Entah apa yang membuat ia tiba-tiba saja ingin memotong 'burung' nya itu. "Kamu kesambet di mana? Kenapa mendadak pengen di sunat?" tanya Dimas dengan nada meledek. "Aku tahu kalau sunat itu untuk kesehatan, jadi apa salahnya kalau aku juga disunat," sahut Evan sambil merengut, ia jengah juga diejek terus oleh teman kostnya itu. "Piye? Mantap toh rasanya?" Dimas kembali meledek. Evan melempar bantal yang ada di sampingnya mengenai wajah Dimas yang tidak sempat mengelak karena ia sibuk tertawa. "Ditanya malah ngamokk!" ketus Dimas yang akhirnya keluar dari kamar Evan. Tak lama suara langkah kaki mendekati pintu kamarnya kembali terdengar, Evan bersiap mengangkat bantalnya kembali, apalagi yang akan dilakukan Dimas? Begitu pikir Evan. "Pergi kamu! Jangan ganggu aku," teriak Evan kesal. "Saya cuma mau anterin makanan, ini juga Ibu yang suruh,
Luna menghampiri arah sumber suara, diikuti Evan dengan berjalan tertatih. Rupanya seorang perempuan paruh baya tengah memunguti pecahan gelas yang berserakan di lantai, seketika Luna pun inisiatif untuk membantunya. "Biar saya bantu Bude," ucap Luna cekatan memunguti pecahan beling yang kecil-kecil. Tak ada sahutan, perempuan yang ternyata pemilik kost itu sibuk sendiri, seolah tak peduli Luna membantunya atau tidak. "Sebaiknya habis ini kamu pulang, gak baik diliat tetangga. Perempuan di kamar kost laki-laki, apalagi kamu ---" Ia seperti sengaja tidak menuntaskan kalimatnya. Luna tertegun mendengar ucapan Ibu kost itu hingga tanpa sadar tangannya tertusuk pecahan beling. "Aww!" ringis Luna, telunjuk kanannya berdarah. "Luna! Kamu terluka?!" Seketika Evan panik. "Wong luka kecil aja lebay," gumam Ibu kost sambil menyapu lantai, matanya sempat mendelik. "Ibu, apa ada obat?" tanya Evan pada induk semangnya itu. Karena Evan yang bertanya, ia pun berubah sikap, tiba-tiba saja wa
Luna membuka matanya, perutnya sudah tak telalu sakit, Tari yang mengetahui putrinya sudah siuman segera menghampiri, ia mencium telapak tangan Luna berkali-kali. Luna bisa melihat mata ibunya yang sembab, pipinya basah ketika mengenai tangannya. "Ibu panggil dokter dulu ya?!" kata Tari lalu bersiap pergi. "Bu," panggil Luna, suaranya parau. "Kenapa? Mana yang sakit?" tanya Tari memeriksa sekujur tubuh Luna. "Perutku, Bu," lirih Luna. "Sakit banget ya?!" Tari tampak panik. "Bukan itu, Bu. Maksud aku ---" Luna menggantung kalimatnya. Tari masih diam menunggu kelanjutan cerita Luna, bola matanya melebar. "Kandungan aku gimana Bu?" Akhirnya Luna mengajukan pertanyaan itu. Sang Ibu mengembangkan senyumnya, ia menggenggam tangan Luna. "Alhamdulillah janin kamu gak kenapa-kenapa, ternyata dia bayi yang kuat." Nada bicara Tari begitu bahagia, raut wajahnya pun menggambarkan hal itu. "Ya udah, Ibu panggil dokter sebentar ya," pamit Tari dan ia pun keluar. Sementara Luna menghela n
Tari menarik tubuh Luna ke dalam pelukannya, ia menangis sejadinya, bahkan air matanya itu membasahi baju Luna, dalam isak tangisnya Tari terus mengucapkan maaf, tampak ia begitu menyesal."Maafin Ibu, Nduk. Ibu salah sangka, Ibu pikir dengan mendekatkan kamu dengan Evan bisa sedikit membuat kamu senang karena merasa punya teman baru tapi kenyataannya justru sebaliknya. Maafin ibumu yang bodoh ini," sesal Tari yang merutuki diri.Mata Luna mengembun, tak hanya ibunya yang salah tapi juga dirinya. Ia tidak tahu maksud ibunya melakukan semua ini, semua yang ibunya lakukan semata-mata untuk kebahagiaan dirinya. Luna mendorong lembut tubuh ibunya untuk mengurai pelukan mereka."Sekarang Ibu udah tahu kan? Mulai saat ini aku gak mau berhubungan sama dia lagi, tolong ya Bu!" pinta Luna sedikit memaksa.Tari mengusap air mata Luna yang perlahan jatuh dengan ibu jarinya lalu menyibak rambut yang menutupi wajah manis putrinya itu, menyampirkannya pada bagian belakang telinga Luna, ditatapnya
Sore ini langit begitu mendung, angin bertiup sangat kencang, Luna yang sedari tadi berdiri di depan jendela segera menutupnya lalu menarik tirai jendela. Setelahnya ia berjalan menuju pintu dan sebelum menutupnya, ia sempat melihat keluar, celingukan, seperti tengah mencari-cari sesuatu."Ke mana Ibu? Kenapa belum pulang juga?" gumamnya khawatir."Nduk, cepet masuk. Mau hujan ini," titah Mbah Minah."Ibu ke mana ya, Mbah?" tanya Luna setelah menutup pintu dari kayu jati itu."Sudah kamu telepon?" Si Mbah balik bertanya."Udah tapi gak aktif," jawab Luna, gurat resah tergambar di wajahnya."Ke mana ya? Tumben tadi juga pergi ndak bilang mau ke mana," balas Minah yang membuat Luna kian cemas."Gimana ini, Mbah? Di luar juga udah mau hujan deras terus ---" Belum selesai Luna berucap, suara petir mengagetkan mereka, Luna dan Mbah Minah sempat mengerjap, saling merangkul."Udah, doakan saja ibumu, semoga secepatnya pulang dengan selamat," sahut perempuan tua itu, padahal dalam hatinya ia
"Loh, kok aku gak jatoh?!" Luna bingung kala tubuhnya bersandar pada sesuatu."Untung aku datang tepat waktu." Suara itu membuat Luna segera bangkit dan berbalik."Kamu?" pekik Luna pada lelaki di hadapannya yang tak lain adalah Evan."Kamu ngapain di sini? Pulang sana," bentak Luna dan secara terang-terangan mengusir Evan."Kamu sendiri sedang apa di sini? Hujan begini keluar." Evan turut bertanya."Bukan urusan kamu," ketus Luna, ia mencari-cari payungnya yang tadi terbang entah ke mana.Evan berinisiatif melepas jas hujannya ketika melihat tubuh Luna yang sudah basah diguyur hujan."Pakai ini!" Evan memberikan jas hujannya."Gak perlu, kamu aja yang pake!" balas Luna dingin.Lelaki bule itu memakaikan jas hujannya dengan paksa pada Luna, "orang tua kamu nanti khawatir kalau kamu sakit."Menyebut kata orang tua membuat Luna terdiam, ibunya tengah pergi entah ke mana, ia juga tak mau kalau ibunya pulang nanti har
"Luna, kenapa ada di sini?" tanya Tari bingung, ternyata yang dilihat sosok Luna benar, perempuan itu ibunya.Luna berlari menghambur ke dalam pelukan ibunya, seolah sudah lama ia tak berjumpa padahal baru ditinggal belum dua puluh empat jam saja Luna sudah ketakutan setengah mati. Rasa resah dan gelisah yang menyelimuti hatinya sepanjang hari tadi tiba-tiba hilang dan menguap begitu saja ketika ia bisa merasakan kembali kehangatan pelukan ibunya dan juga mencium aroma tubuh ibunya yang selalu membuat ia nyaman."Ibu, Ibu ke mana? Kenapa gak ada kabar? Aku khawatir!" rengek Luna di dalam pelukan ibunya."Ya ampun ... Maaf, hape Ibu lowbat, waktu pergi tadi lupa Ibu isi daya," ucapnya sambil menguar pelukan mereka."Terus emang Ibu ke mana seharian ini?" tanya Luna, jawaban dari pertanyaan itu yang sangat ingin ia dengar sekarang."Ibu pergi keluar kota, ada sedikit urusan," jawab Tari sekedarnya dan tentu saja tidak memuaskan keingintahuan Luna."Mendadak gitu? Emang urusan apa sih, B
"Ibu kenapa gak mau jawab?!" pekik Luna setengah histeris, dalam pikirannya sudah terbayang hal-hal buruk, mungkinkah ibunya selama ini sakit keras dan menutupi semua itu di hadapan keluarga. "Ibu jawab ..." rengek Luna tapi Tari tetap tidak bergeming. "Kalau gitu, biar aku telepon klinik itu," ucap Luna menyalakan ponsel ibunya yang masih berada di tangannya. "Jangan Luna!" sergah Tari berusaha merebut ponselnya kembali. "Kalau gitu Ibu bilang, jelasin semuanya, Bu," mohon Luna, ia merajuk. Tari menghela nafas panjang dan berat, seperti sesuatu hal yang sulit apa yang akan ia ucapkan ini. "Semua ini buat kamu," lirih Tari nyaris tak terdengar. Evan yang berdiri mematung mencoba mendekat agar bisa mendengar percakapan ibu dan anak itu dengan jelas. Bukannya ingin ikut campur, hanya saja segala sesuatu tentang Luna, ia ingin tahu, sosok Luna memang sudah menarik perhatiannya. "Apa? Buat aku, Bu? Aku gak salah denger kan?
Semenjak Luna mengatakan yang sebenarnya, menceritakan apa yang menimpa dirinya, Richo justru semakin gencar mendekati dirinya. "Tidakkah dia merasa jijik pada perempuan kotor dan hidupnya hancur seperti aku?!" Pertanyaan itu kerap mengusik pikiran Luna karena dasarnya ia berterus-terang adalah agar Richo menjauhi dirinya. Lelaki terhormat seperti dia pasti segan mendekati perempuan seperti dirinya, yang sudah jelas hidupnya hancur tak tersisa. Ia kuat hanya mengingat masa depan anaknya, Jizan yang tentu saja menjadi tanggung jawabnya. Juga ada ibunya yang sangat berarti dalam hidupnya. "Ah, apa kamu lelaki bodoh, Cho?!" gerutu Luna ketika menerima makanan yang dikirim ojek online, meski tak menyebutkan pengirimnya tapi Luna tahu itu dari Richo karena ini bukan yang pertama kalinya semenjak ia mengantarnya pulang malam itu. "Apa itu, Lun?" tanya Tari yang menyembul dari balik pintu. Luna tak menjawab, ia hanya mengangkat plastik berisi makanan yang entah apa itu. "Loh, kamu pese
"Bandara? Ngapain kita ke sini?" tanya Luna setelah mobil Richo terparkir aman di tempat yang tersedia. "Kita masuk aja dulu, sambil aku jelasin," jawab Richo sambil meminta Luna agar berjalan lebih dulu. Keduanya sudah berada di dalam bandara, di terminal pemberangkatan, Richo sudah menceritakan semuanya pada Luna soal maksudnya mengajak dirinya ke sini. "Jadi Adek kamu mau ke luar negeri?! Ke Kanada?" tanya Luna sekedar memperjelas. "Iya, dia ikut study exchange." Angguk Richo, raut wajahnya sulit dijelaskan saat itu. Mungkin karena setengah hatinya belum bisa membiarkan adiknya itu pergi karena ia tahu bagaimana manjanya seorang Erica, apa dia bisa tinggal jauh dari keluarga dan melakukan semuanya sendiri? Namun di sisi lain ia juga bangga, karena adiknya cukup berprestasi hingga bisa mengikuti program kampusnya itu. "Oh, itu mereka!" Tunjuk Richo pada kumpulan orang yang berada tak jauh dari mereka. Richo mempercepat langkahnya tapi tiba-tiba saja Luna menarik tangannya, ia
"Balik ke Kanada? Why?" tanya Evan, sesampainya di kantor, ia sudah disodorkan tiket pesawat oleh Richard. "Ada bisnis aku yang harus diurus di sana, tapi aku juga baru ada project baru di sini sama Pak Bayu, jadi bisnis aku yang di Kanada tolong kamu urus ya," pinta Richard setengah membujuk. Evan mendengkus, raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan, salah satu sudut bibirnya tertarik. "Aku jauh-jauh ke sini karena gak mau kerja di sana, lagi pula aku juga ada bisnis sendiri, aku sibuk!" tolak Evan mentah-mentah. "Bisnis kamu kan baru aja mulai, jadi —""Ya justru baru mulai jadi perlu fokus dan usaha lebih. Sorry, aku gak bisa bantu kamu sekarang.""Van, aku minta tolong sama kamu, masalahnya —"Evan menatap Richard lekat-lekat, sepertinya ada sesuatu yang berat untuk dia ucapkan. Keduanya diam, ruangan mendadak sunyi hingga bunyi sepatu pantofel hitam yang dipakai Evan jelas terdengar saat berbenturan dengan lantai ketika ia berjalan menghampiri Richard. "Kamu punya rencana apa
"Kan udah aku jelasin, Bu! Kenapa nanya lagi sih?!" sahut Luna sedikit ketus. Semua tentang Richo adalah luka lama yang sudah lama ia kubur dalam, mengungkitnya sama saja dengan mengorek luka itu, sakit rasanya karena mereka berpisah bukan karena keinginan masing-masing. Luna tak pernah membenci ibunya Richo, sejak awal memang cinta mereka yang salah, tumbuh dalam keadaan yang tidak tepat. Sungguh tak tahu diri kalau orang biasa seperti dirinya berharap mendapatkan pasangan kaya raya, terpandang seperti Richo. "Soalnya Ibu liat Richo itu perhatian banget sama kamu. Ya udah maafin Ibu kalau kamu gak suka bahas itu," sesal Tari, ia merasakan ketidaknyamanannya putrinya. Luna menggenggam tangan ibunya yang ditaruh di atas pahanya sendiri, ia menatap Tari yang sempat tertunduk tadi. "Gak perlu minta maaf, Bu. Aku cuma pengen fokus rawat anakku aja, aku gak mau kita bahas yang lainnya, yang gak penting," ujar Luna. "Iya, Lun." Angguk Tari. "Oh ya, ngomong-ngomong, katanya tadi kamu ud
"Ibu gak perlu khawatir, Evan itu udah punya pasangan," ujar Luna setelah mendengar penjelasan ibunya bagaimana ia bertemu dengan Evan. Helaan nafas berat ibunya dapat Luna rasakan beserta raut wajah lega yang terpancar. Setidaknya hidup Luna tidak akan terganggu dengan ocehan orang-orang tentang hubungannya dengan Evan, Luna bisa hidup dengan tenang seperti sebelumnya. "Tapi —" Luna menjeda ucapannya. "Tapi apa?" Kening Tari berkerut. "Evan itu ternyata saudaranya Pak Richard, Bu. Jadi —""Kalau kamu tetap ngajar di sana, berarti kamu pasti ketemu terus sama dia?!"Luna menganggukkan kepala pertanda membenarkan pernyataan ibunya. "Terus kamu mau ambil keputusan apa?" tanya Tari setelah jeda hening tercipta. "Mau gimana lagi, Bu! Aku gak bisa terus kerja di sana," balas Luna dengan menghentakkan bahunya. "Kamu yakin? Apa kamu gak sayang? Apalagi liat anak murid kamu yang udah deket gitu, kamu gak kasian sama dia?!" Pertanyaan Tari yang menerus itu membuat Luna gamang. Luna tak
"A-aku ...""Evan!" panggilan dari arah belakang mereka membuat kedua lelaki itu menoleh. Erica cepat berlari, langsung merangkul lengan Evan, dia tampak bahagia bertemu dengan pemuda itu, senyum serta rona merah di pipinya menghiasi wajah cantiknya itu. "Ck! Kakakmu loh di sini, malah cowok lain yang jadi prioritas," ketus Richo memalingkan wajah sebal. "Apaan sih, Kak! Sama Kakak kan bosen, tiap hari juga ketemu di rumah." Erica menyenggol lengan kakaknya itu, sikap manjanya terlihat dan Evan tak suka itu. "Eh, kamu mau ke mana? Aku anter ya?!" Erica langsung membawa Evan menjauh. Richo hanya bisa menatap punggung keduanya sampai hilang dari pandangannya. Dalam hatinya masih mengganjal pertanyaan yang belum dijawab Evan, sebenarnya apa hubungan dia dengan Luna hingga membuat ibunya terlihat kesal tadi? "Aku harus cari tahu!" tekad dokter muda itu, melangkah pasti menuju ruang rawat Luna. Begitu sampai di depan pintu, ia berpapasan dengan Tari, Richo segera menunduk sopan, tak
Evan pergi terburu-buru, Richard baru saja meneleponnya, ada masalah di kantor, cukup urgent yang mengharuskan ia untuk segera datang hingga Richo tidak sempat bertemu dengannya. "Siapa suami Luna? Aku ingin bertemu dengannya, lelaki beruntung seperti apa yang bisa mendapatkan hatinya?" batin Richo sambil terus mencari sosoknya. "dokter Richo," panggil seorang perawat, setengah berlari ia menghampiri. "Saya cari dokter dari tadi, sekarang waktunya jam visit dok," ujar perawat itu memberitahu. Seketika Richo menepuk keningnya, terlalu sibuk mengurus Luna membuat ia lupa akan tugas dan tanggung jawabnya di rumah sakit ini. Ia tak terpikirkan ada pasien yang sedang menunggu dirinya, pikirannya hanya dipenuhi tentang Luna saat ini. "Maaf, ayo!" Richo berjalan mendahului. Sementara Luna sendiri sudah terbangun, ia segera menelepon ibunya tadi, ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Tari sebelum Luna menghubunginya. Tak berapa lama, Tari pun datang, seketika ia menangis sambil terus
Waktu persalinan semakin dekat, Rachel sudah memberikan Luna cuti sampai waktu melahirkan tapi pagi ini Luna memaksa untuk datang, ia ingin memberikan tugas untuk Chika agar ia masih bisa belajar meski Luna tidak bisa datang selama beberapa minggu ke depan. Pembantu membukakan pintu ketika Luna menekan bel, "loh, Bu guru? Kata Bu Rachel ---" "Iya Bi, saya cuma sebentar. Saya cuma mau kasih tugas aja untuk Chika," potong Luna yang sudah tahu maksud pembicaraan perempuan itu. "Kalau gitu silakan masuk Bu, Non Chika ada di kamarnya, kebetulan saya mau ke minimarket depan sebentar, ada yang harus dibeli. Bu guru bisa tolong jaga Luna dulu?!" tanyanya yang justru meminta bantuan Luna. "Iya Bi, saya pulang kalau Bibi sudah dateng," sahut Luna yang dibalas ucapan terima kasih sebelum pembantu rumah itu pergi. "Bu guru ..." pekik Chika kegirangan, sudah empat hari ini mereka tidak bertemu, meski sesekali Chika meminta maminya untuk melakukan video call dengan gurunya itu tapi bertemu lan
Seperti ada saja cara Erica untuk membuat ia dengan Evan semakin dekat dengan memanfaatkan papinya. Seperti hari ini, Bayu mengundang Richard sekeluarga untuk makan malam bersama di rumahnya. "Oh ya, saudara Bapak juga diajak sekalian, kemarin dia yang bawa dokumen sampai akhirnya kita deal kontrak kerja sama ini," kata Bayu melalui panggilan telepon. "Oh tentu saja, Pak. Dia juga sudah seperti anak saya sendiri jadi dia bagian dari keluarga saya," sahut Richard, tak mungkin ia menolak perintah rekan bisnisnya itu. "Baik, kalau begitu saya tunggu besok malam," ucap Bayu kemudian mengakhiri panggilan telepon tersebut. "Pih, gimana?" tanya Erica, sejak tadi dia mengikuti sesi telepon papinya itu. "Udah, tenang aja. Dia juga pasti dateng," jawab Bayu yang memang memanjakan putri bungsunya itu. "Tapi kalau cuma makan malem gak seru, Pih. Apalagi makan sekeluarga, gimana aku bisa ngobrol berdua aja sama dia." Erica cemberut, hembusan nafas berat keluar dari bibirnya yang mungil itu.