Evan mengendarai mobil sambil sesekali melirik ponselnya, ia membaca maps di sana, Rachel mengirimkan lokasi alamat Luna dari resume yang ia berikan. Melewati gang-gang kecil akhirnya Evan menghentikan mobilnya di tengah keramaian orang.
"Sorry, apa benar alamat ini di sini?" tanya Evan pada seorang Ibu yang ada di antara kerumunan orang itu.
Perempuan setengah baya itu menatap layar ponsel yang disodorkan Evan, ia menyipitkan matanya, membaca tulisan yang tertera di sana.
"Iya, bener di sini. Nomer 16 B itu." Tunjuknya pada bangungan rumah petak yang berada persis di belakang Evan. "Tapi orangnya baru aja dibawa ke rumah sakit," jelasnya lagi menunjuk mobil yang baru saja pergi.
"Orangnya di mobil itu?" Evan ikut menunjuk mengikuti telunjuk lawan bicaranya.
"Iya." Angguk si Ibu.
Evan gegas masuk kembali ke dalam mobilnya lalu menyusul mobil yang dimaksud tadi.
"Kenapa aku datang malah orangnya dibawa ke rumah sakit? Memangnya kenapa
Hari ini Luna menepati janjinya, merajut bersama chika. Sungguh anak yang pintar, ia begitu mudah mengikuti intruksi dari Luna dan dalam waktu satu jam saja dia sudah bisa membentuk sebuah sapu tangan. Ya, Luna mengajarinya sebuah bentuk sederhana saja dulu karena sebenarnya ia juga belum terlalu terampil, masih harus banyak belajar. "Bu, aku mau minta dibeliin Mami alat rajut," kata Chika di tengah kegiatan mereka. "Boleh tapi tetep harus utamakan belajar mata pelajaran dulu ya," pesan Luna pada murid kecilnya itu. Tiba-tiba saja ia diam, bola matanya berputar ke atas, ia bersuara tapi mulutnya tertutup rapat. "Ibu, aku keluar dulu ya," ucapnya sambil berlari meninggalkan kamar. Rupanya ia masuk ke kamar kakaknya, Abel. Chika ingat maminya pernah membelikan alat rajut untuk tugas sekolah Abel, Chika ikut ketika membelinya dan saat itulah ia mulai tertarik pada dunia merajut, bahkan tontonannya dalam beberapa bulan terakhir ini adala
"Sayang!" Suara seruan itu terdengar oleh Luna. "Nanti disambung ya, Bu Luna. Suami saya udah nungguin," ucap Rachel mengakhiri panggilan telepon tersebut. Luna diam mematung, rasa penasarannya tak kunjung tuntas. Niat hati ingin mengucapkan terima kasih saja kenapa begitu sulit? Orang itu seakan menjadi sebuah misteri yang harus dia pecahkan."Kenapa aku jadi kepikiran terus sih? Padahal kan gak penting juga ya?!" gumam Luna berbicara sendiri. "Loh, penting lah. Nanti aku dibilang gak tahu terima kasih lagi," celotehnya pada diri sendiri. "Assalamu'alaikum!" sapaan salam diiringi pintu yang terbuka membuat Luna bangun dan keluar dari kamar. "Kamu baru pulang, Nduk?" tanya Tari ketika melihat Luna masih berpakaian rapi. "Enggak kok, Bu. Udah dari tadi," jawabnya, ia sendiri baru sadar kalau terlalu lama diam memikirkan seseorang yang entah siapa itu sampai lupa untuk berganti pakaian dan makan siang. "Ibu
"Ka-kamu Dewi kan?" gagap Luna yang tak menyangka bertemu anak remaja yang sempat membuatnya terjatuh sampai kesakitan.Tanpa pernah merasa bersalah gadis itu dengan santainya menarik kursi di depan Luna dan memilih duduk di sana, sementara Evan akhirnya memutuskan duduk di bangku sebelah Luna, ia memunggungi keduanya, penasaran pada percakapan apa yang akan terjadi di antara keduanya.Sebelum memulai bicara, Dewi memasang wajah sinis pada perempuan yang umurnya jauh lebih tua darinya itu, lagaknya benar-benar tidak memiliki sopan santun sambil menyilangkan kaki dan kedua tangan yang ia lipat di bawah dadanya."Ternyata benar ya gosip yang beredar di kampung," ucap Dewi tersenyum miring."Maaf, saya ndak peduli soal itu." Luna membuang muka, ia berusaha acuh."Gak peduli?" Seketika Dewi mencondongkan badannya mendekati Luna. "Hei ... Gosip itu tentang kamu, emang ya dari dulu cuma buat aib aja bisanya, bahkan udah pergi aja kebusukannya masih melek
"Ayo Ibu, itu taksinya." Chika menarik tangan Luna dan keduanya pun masuk ke dalam taksi. "What's going on?" Mark yang datang itu kebingungan ketika Evan menariknya mendekat dan ia bersembunyi di balik badannya. Desahan nafas Evan terdengar lega usai melihat Luna dan Chika yang sudah pergi dengan taksi, hampir saja ia ketahuan, untung badan Mark yang jangkung itu mampu menutupi tubuh Evan yang sengaja meringkuk ketika Luna menoleh tadi. Ia sudah seperti maling yang diincar warga untuk dipukuli. "Thanks Mark, lain kali kita bicara," ucap Evan kemudian berlalu pergi, ia ingin segera menyusul Chika. "Hei, Evan! Wait!" Bahkan teriakan Mark pun tidak dia pedulikan. Percuma juga membuntuti, Evan sudah tertinggal jauh, lagi pula dia lupa tidak mengingat nomer plat taksi yang ditumpangi Luna dan Chika tadi, bagaimana ia akan mengenalinya, terlebih jalanan mulai macet. Lampu merah yang bertahan lama seperti memberi kesempatan pada Evan untuk melamun, sikunya bersandar pada jendela kaca, t
"Tidak, ah ... Maksudku iya, tapi itu dulu," jawab Evan cukup sedih mengingat kisah cintanya itu. "Katakan dengan jelas," perintah Richard tegas. "Duduklah, cerita saja," titah Rachel dengan suara yang lembut, berbanding terbalik dengan suaminya. Evan menurut, menarik kursi yang berhadapan dengan Rachel, tepat di sebelah kiri Richard yang kursinya berada di tengah sebagai kepala keluarga. Ia menundukan kepalanya, bingung harus mengatakannya mulai dari mana karena sebenarnya dia juga belum terlalu lama mengenal Luna tapi entah kenapa perasaannya teramat dalam pada perempuan itu. Sempat ia menyangkalnya sebagai rasa kasihan tapi semakin hari ia semakin yakin kalau bukan itu, ini perasaan cinta. Seandainya Luna tidak hamil dan dia tidak tahu tentang kisah hidupnya, Evan yakin akan tetap jatuh cinta padanya. Dia perempuan pertama yang ia temui di Yogya yang mampu menggetarkan hatinya. "Kenapa diam?" Suara berat dan dalam milik Richard membuat Evan mengangkat kepalanya. "Kamu kenal Bu
"Terima kasih," ucap Luna yang hanya dibalas anggukan Evan tanpa menoleh sedikit pun. Lelaki tampan itu menghela nafas lega, baru saja jantungnya serasa mencelos, ia pikir Luna menganalinya tadi. Evan begitu ketakutan sampai ritme jantungnya berdebar sangat cepat, hari ini ia selamat tapi apakah ia bisa terus menyembunyikan identitasnya seperti ini? Sampai kapan? Ah, entahlah! Yang jelas untuk saat ini Luna pasti tidak siap, ia juga tidak berani kalau muncul tiba-tiba lagi di depannya, ia tidak siap untuk kehilangan Luna lagi. "Loh, dia ninggalin saladnya di sini," ucap Luna ketika hendak meninggalkan dapur tak sengaja melihat mangkuk salad yang dibuat lelaki yang mengaku supir tadi. "Ke mana dia?" Luna mencoba mencarinya sambil membawa mangkuk berisi salad itu, barangkali ia lupa sampai meninggalkannya di dapur. Luna berkeliling tapi lelaki itu tak ditemukan, di garasi juga tidak ada. Luna mencarinya di sana karena barangkali supir itu sedang
Untunglah Tari bisa beralasan bahwa ia hanya sekedar mengingat Evan saja bukan berarti ia tahu kalau lelaki itu ada di sini."Mana Ibu tahu, Nduk! Kan kamu tahu sendiri kalau Ibu cuma sibuk kerja," ucap Tari beralasan.Luna tak curiga, memang di mana ibunya itu bisa bertemu dengan Evan? Nomer teleponnya juga sudah lama diblokir, ia sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya meski ucapan Dewi waktu di mall itu sedikit mengusiknya, ia bilang Evan ada di Jakarta, benarkah?"Ah, emang apa peduliku?! Jakarta ini luas, dia bisa berada di mana aja." Luna membatin."Bu, kenapa gak tidur? Gak usah dipikirin soal Evan, gak perlu dibahas lagi ya," katanya ketika baru saja naik ke atas kasur usai membersihkan diri di kamar mandi."Ibu cuma kangen si Mbah," jawab Tari sambil mengusap matanya, ada titik bening yang perlahan jatuh.Luna turut duduk di samping ibunya, bersandar di bahu ibunya yang tengah memeluk lutut. Sejujurnya ia juga meras
"Stop!" teriak Erica pada lelaki itu."Kenapa? Dia kan cowoknya?!" Tunjuk lelaki itu pada Evan yang terjatuh di lantai."Kak, Kakak salah paham! Bukan dia," kata Erica lalu membantu Evan berdiri.Keributan yang terjadi diketahui juga oleh Richard dan Pak Bayu, selaku Ayah Erica, mereka pun menemui ketiganya. Kejadian itu tentu saja menarik atensi semua orang yang berada di sana, apalagi malam ini restoran cukup ramai, banyak mata memandang ke arah mereka."Van, are you okay?" tanya Richard yang hanya dibalas anggukan Evan, ia sibuk mengusap rahang pipinya yang terasa nyeri."Apa-apaan ini?" hardik Bayu."Papi? Kok Papi ada di sini?" Lelaki yang baru saja memukuli Evan bingung."Richo! Kamu bikin ulah apalagi?" Bayu geram terhadap anak lelakinya itu."Sorry Pih, aku pikir Erica ---" Kadung malu, ia tidak bisa menuntaskan ucapannya, mengusap-usap tengkuknya salah tingkah."Makanya apa-apa tuh tanya dulu, jangan main asal p